Sebuah Kisah Seorang Ustadz Malamar Satrimatinya
Melamar Santriwati – Jodoh itu rahasia Tuhan. Tak ada yang tahu dengan siapa dan kapan jodoh akan datang. Begitu pula dengan Ifah, seorang mbak ndalem yang harus menjalani skenario Allah yang berliku dalam urusan jodohnya.
“Semoga ustaz belum masuk!”
Langkah gadis kelas dua aliyah itu semakin cepat. Rok model sepan yang dia kenakan mau tidak mau membuat jangkauannya tidak begitu lebar.
Cerita Dewasa 18+ – Dengan napas ngos-ngosan, juga bulir keringat yang menghiasi kening, dia nyengir karena usahanya sia sia. Seorang lelaki berpeci hitam dengan kemeja polos kuning langsat dan bersarung coklat sudah duduk menghadap absen kelas.
Jari mengetuk pintu dan mengucapkan salam, santriwati yang merangkul kitab itu melangkah masuk. Wajahnya merunduk mendekati meja sang ustaz. Kembali dia mengucap salam lalu mengungkapkan alasan kenapa datang terlambat.
“Mohon maaf, Ustaz. Saya datang terlambat karena baru selesai membantu bu nyai membuat kue,” ujar gadis berjilbab putih itu seraya menunduk.
Lelaki yang disebut ustaz itu tanpa menoleh, berujar, “Bu Nyai itu orang yang disiplin dan pengertian. Beliau tahu kapan waktunya meminta tolong dan kapan santri harus masuk madin. Jadi alasanmu tidak bisa saya terima.”
Mulut gadis itu cemberut. Dia sudah tahu kalau alasan macam apa pun tak akan diterima oleh orang yang duduk di depannya. Ustaz yang dikenal sangat disiplin ketika mengajar. Walau belum genap satu tahun mengajar di kelasnya.
“Nama?”
“Ghina Ulya Syarifah.”
“Baik, salin pelajaran hari ini dua kali dan kumpulkan nanti malam maksimal pukul sembilan di kantor! Sekarang, duduklah! Kamu sudah membuang beberapa menit hak temanmu untuk belajar.”
Ifah, panggilan gadis itu nyengir karena ucapan sang ustaz. Juga tentang takzir yang harus dia kerjakan. Bukannya apa, ba’da salat Isya’, bu nyai menyuruhnya ke ndalem lagi. Maka tak akan ada waktu untuk mengerjakan takzir yang diberikan. Jadi … ifah berniat untuk menawar deadline pengumpulan takzir.
Karena Ifah masih bergeming, membuat sang ustaz berdehem.
“Masih kurang takzirnya?”
Terkejut, dia pun menjawab cepat, “Eh, cukup, Ustaz! Hanya sa-ja ….”
“Mau menawar?” potong sang lelaki itu cepat.
“Emm ….”
Belum sempat gadis itu mengungkapkan keinginan untuk mengundur deadline, ultimatum tak terbantahkan dia peroleh.
“Tidak ada tawar menawar untuk tugas saya. Sepertinya hal itu sudah pernah saya sampaikan di awal pembelajaran. Kamu belum terlalu tua untuk mengingatnya, bukan?”
“Injih, Ustaz.”
Dalam hati, Ifah ngedumel ingin protes, tapi percuma. Toh, dia tetap harus menerima apa yang disampaikan ustaznya. Peraturan tidak boleh datang terlambat memang sudah disetujui sejak awal. Tidak hanya dirinya yang mendapatkan takzir karena telat masuk kelas. Namun, beberapa teman sekelasnya juga pernah mengalami.
Bagi Ifah, ustaz satu itu terlalu kaku dalam menegakkan aturan. Seharusnya bisa lebih santai apabila alasan yang diberikan masuk akal. Susah payah dia merangkai alasan, tapi nihil hasilnya.
“Kenapa kamu telat, sih? Aku ‘kan sudah bangunkan tadi sebelum berangkat,” tanya Ilmi–sahabat Ifah–saat usai kelas madin.
“Habis bantuin bu nyai, disuruh makan di ndalem. Perut kenyang, badan capek, rebahan sebentar sudah lenyap. Saat kamu bangunin, aku langsung ke kamar mandi. Namun ternyata penuh. Ya sudah telat jadinya,” papar Ifah tak bersemangat. ” Permainan Slot Terbaik“
“Rejekimu, Fah. Telat saat jadwalnya Ustaz Harun. Ustaz paling dingin plus killer.”
Ifah mengangguk lesu, berjalan dengan lunglai menuju kamarnya. Matahari semakin meredup. Awan pun mulai mengumpul. Burung-burung kecil bergerombol menuju peraduan. Suara qiraat dari toa masjid menjelang Magrib mulai menggema.
***
“Fah, kamu sudah selesai kerjakan takzir dari Ustaz Harun?”
Kedua sahabat itu kini berada di dapur ndalem untuk membantu membuat kue kering sejak ba’da Magrib.
“Belum nih. Sudah jam delapan. Duh, aku izin bu nyai saja, ya. Khawatir gak nutut kalau nunggu adonan habis.”
Obrolan kedua santriwati itu tak sengaja terdengar oleh sang empunya rumah. Bu nyai yang baru kembali dari menemui tamu, mengerti kegelisahan Ifah. Beliau seketika berujar, “Kamu kena takzir, Fah?”
“Eh, ngapunten, Bu Nyai. Sa-ya ….” Ifah terkejut dengan kemunculan tiba-tiba wanita berwajah mirip orang Arab itu.
“Siapa yang mentakzir kamu?”
“Emm … Us-taz … Ha-run.” Dia menjawab terbata karena malu.
“Oalaaahh … kok tumben. Yawes kamu berhenti saja! Segera kerjakan tugasnya. Tolong panggilkan mbak besar yang lain buat bantu di sini, ya.” Bu Nyai Zumaroh malah tertawa mendengar pengakuan Ifah. Dia merasa lucu sekaligus heran karena baru kali ini mendengar Ifah, santriwati yang rajin itu mendapat takzir dari ustaz yang super disiplin.
Tanpa babibu, gadis bersarung batik mega mendung itu segera pamit, meninggalkan adonan kue yang belum selesai dicetak. Setelah meminta seorang mbak besar untuk menggantikan tugasnya, Ifah segera mengerjakan apa yang diminta Ustaz Harun.
Beberapa bait di nadhom Alfiyah Ibnu Malik yang diajarkan di kelas tadi dia salin. Kebetulan atau entah kenapa makna lain dari baitnya membahas jodoh. Ifah mengingat kembali keterangan sang ustaz saat di kelas.
Dalam bait tersebut tersirat bahwa jodoh umumnya dari sama-sama kenal dan akrab. Namun banyak pula yang bertemu jodohnya tanpa diduga dan tanpa perkenalan mendalam sebelumnya. Adakalanya saling jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu langsung melaju pada jalan pernikahan. Ada pula yang baru jatuh cinta setelah akad nikah.
Tanpa disadari, bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat keterangan tersebut. Pikirannya menggembara. Seperti apakah jodohnya nanti? Apakah mereka akan kenal dan akrab terlebih dahulu? Atau kenal sekilas langsung menikah?
Atau bahkan dia tak akan mengenal jodonya sebelum mereka halal. Ah … Ifah lupa. Semua kakaknya menikah karena dijodohkan oleh orang tua. Jadi perjodohan sudah seperti tradisi di keluarga. Tak mungkin punya kesempatan untuk memilih jodohnya sendiri.
Membayangkan tentang jodoh, membuat waktu berjalan seolah semakin cepat. Sadar dari lamunannya, Ifah segera melanjutkan tugas agar tidak melampaui batas waktu yang ditentukan.
Setelah selesai, Ifah segera berjalan tergopoh menuju kantor asatid di ujung kompleks bangunan antara pondok putra dan putri. Sambil berharap tak mau kena takzir lagi. Ini harus menjadi yang pertama dan terakhir baginya. Dia tak mau orang tua mendapat laporan kalau anaknya di pesantren langganan kena takzir.
Melewati lorong yang becek karena hujan baru reda, langkah Ifah harus tetap cepat. Saat ekor matanya bisa menangkap sosok sang ustaz yang sedang mengunci pintu kantor, tiba-tiba sandal jepit yang dikenakan putus dan membuatnya terpeleset.
Suara tubuh yang jatuh, menarik perhatian Harun dan temannya. Sedangkan Ifah tak menghiraukan keadaan dirinya. Dia meringis melihat kertas tugasnya berceceran di lantai yang becek. Tugas yang dia salin dengan segala upaya sekarang telah lecek.
Harun dan temannya menghampiri untuk memastikan keadaan santriwati itu.
“Mbak gak papa?” tanya teman Harun khawatir.
Ifah tak kuasa mendongak. Berusaha menyembunyikan wajah agar tidak dikenali, dia menggeleng tanpa suara.
Mengerti akan jawaban yang diberikan, Harun menyahuti, “Kok bisa terjatuh, sih, Mbak? Perempuan itu jalannya pelan-pelan. Lagian ini sudah jam sembilan. Kok mau keluyuran!”
Ifah medumel dalam hati. ‘Orang jatuh bukannya dikasihani, malah diomeli. Ketusnya gak ilang-ilang!’
“Afwan Ustaz,” jawab Ifah lirih sambil berdiri dan masih tetap merunduk. Biar bagaimanapun dia harus bisa menjaga sikap.
“Mbak bukan santri baru yang mau kabur dari pondok ‘kan?” Harun menelisik karena heran melihat santriwati sendirian dan masih berada di luar kamar jam sembilan malam.
“Bu-bukan Ustaz. Sa-ya hanya mau ….” Ifah mengurungkan niatnya untuk memberitahu orang yang berdiri di depannya tersebut. Dia tidak siap jika ditertawakan karena kejadian memalukan itu.
“Hemm?”
“Afwan, saya hanya mau melancarkan hafalan nadhom di luar kamar. Tak tahunya terpeleset.” Alasan paling tepat saat ini yang bisa diberikan Ifah.
Harun memperhatikan kepala gadis yang masih menunduk itu. Sebagian sarungnya kotor. Tak ada tas ataupun dompet yang dia bawa. Hanya kertas bertuliskan huruf hijaiah yang berserakan di depannya. Dia berpikir bahwa alasan gadis itu masuk akal.
Harun menyayangkan, di saat dia sedang menunggu salah satu santri yang lalai mengumpulkan takzir, ada santriwati lain yang berjuang menghafal nadhom hingga terpeleset.
“Ya sudah, segera balik ke kamar karena gerbang pondok putri akan kami kunci sekarang!” pungkas Harun lalu melangkah menjauh bersama temannya.
Ifah tak tahu seperti apa warna wajahnya sekarang. Malu, kesal, sedih menjadi satu. Sebenarnya dia ingin mengatakan kalau mau mengumpulkan tugas yang diberikan. Namun, insiden itu membuatnya mengurungkan niat.
Ifah tak yakin kalau Harun mau menerima tugasnya yang sudah lecek dan basah. Jatuh di depan laki-laki membuatnya merasa sangat malu. Beruntung lampu tidak terlalu terang, sehingga dia yakin kedua lelaki itu tidak mengenalinya. Apalagi ustaz satu itu tak pernah memandang santriwati kalau bicara.
“Sampean kalau sama mbak-mbak, kok ketus ya, Kang,” ujar teman Harun saat mereka berjalan menuju pondok putra.
“Ketus piye?”
“Banyak yang bilang sampean cuek dan kalau ngajar killer.”
Bukannya marah, Harun justru tertawa.
“Kenapa kok tertawa?” protes lelaki bertubuh ceking tersebut.
“Sampean itu laki-laki kok ikut ngosip. Gini lho Kang, mbak-mbak itu kalau dikasih kendor saat ngajar, bisa-bisa aku yang kalah. Apalagi kelas aliyah sudah pinter ngojloki para ustaz yang masih muda.
Nah, aku gak mau jadi bahan ledekan mereka. Malu jenderal! Karena itu, jurus jitu menghadapi mereka ya macak kereng (bersikap killer) biar disegani.” Penuturan panjang lebar itu hanya ditanggapi bibir monyong oleh temannya.
“Ya gak papa macak kereng. Tapi awas nanti kalau gak laku. Hahahaa ….”
“Enak aja. Gini-gini banyak mbak-mbak yang kepincut. Wew.”
Ledekan demi ledekan mereka lontarkan sampai di dalam kamar pondok. Karena tidak ada alat komunikasi, kecuali para ustaz dan abdi ndalem yang diperbolehkan membawa ponsel, membuat interaksi sesama santri cukup akrab. Ponsel yang dimiliki Harun hanya dipakai saat ada acara keluar.
Kembali ke kamar setelah memungut kertas lembaran yang berserakan, Ifah segera tengkurap di ranjangnya. Ilmi yang baru pulang dari ndalem, bertanya-tanya melihat sahabatnya seperti itu.
“Kenapa, Fah?”
“Huwaaa … Ilmi ….”
“Kamu nih, ditanya malah nangis. Cerita, kenapa?”
Ifah duduk dan menceritakan kejadian yang barusan dialami. Bukannya simpati, Ilmi justru ngakak mendengarnya. Mendapat respons tak diharapkan, Ifah semakin bad mood.
“Lha kamu lucu. Kenapa pakai acara jatuh segala? Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga.” Ilmi masih saja cekikikan mendengar cerita sahabatnya itu.
“Orang jatuh bukan kemauanku. Wew! Kenapa sial banget, sih hari ini?”
“Astagfirullah, Fah. Kok ngomongnya gitu! Ambil hikmahnya saja.”
“Hikmah apa?”
“Hikmahnya kamu bakal dikenal Ustaz Harun sebagai santriwati yang jatuh di depannya. Bukan yang jatuh cinta, lho ya. Hahaha ….”
Ifah semakin cemberut mendengar ledekan Ilmi.
***
Azan Subuh kembali menyapa. Para santri dan santriwati diwajibkan bangun sebelum subuh. Kegiatan rutin di pesantren salah satunya adalah qiyamullail. Salat tahajud, salat witir, semaan al quran menjadi agenda mengawali hari. Begitu juga dengan Ifah dan teman-temannya.
Kali ini, rasa ngantuk masih menghinggapi gadis bermata bulat tersebut. Pasalnya, semalam dia lembur menyalin tugas yang telah basah dan lecek.
Pagi ini sebelum berangkat sekolah formal, Ifah berniat menyerahkan tugas tersebut kepada ustaznya agar tidak dinilai lepas tanggungjawab. Bersama Ilmi, dia mendatangi kantor asatid. Hanya ada satu ustaz di kantor tersebut, tapi bukan Harun. Terpaksa dia menitipkan tugasnya kepada ustaz tersebut.
“Semoga ustaz baru itu berbelas kasih mau menerima tugasku yang telat,” ujar Ifah lirih.
“Ifah ….” Suara teriakan salah satu temannya membuat gadis berseragam sekolah itu menoleh.
“Kenapa?”
“Bu Nyai pesan, sepulang sekolah kamu disuruh ke ndalem. Gus Amar sudah datang.”
Kisah Dewasa 18+ – “Bu nyai pesan, sepulang sekolah kamu disuruh ke ndalem. Gus Amar sudah datang.”
Kalimat pemberitahuan itu membuat gadis bertubuh langsing itu tercekat. Tak disangka anak kedua dari kiainya itu tiba sepagi ini. Kemarin dia dengar lelaki yang disapa Gus Amar akan datang sore hari. Karena itu bu nyai menyiapkan aneka kue kesukaan putranya.
“Waaahhh … bagaimana ya wajah Gus Amar? Pasti ganteng pakai bingitz. Secara pak kiai dan bu nyai sama-sama bagus rupanya. Aku kok jadi deg-degan ya, Fah,” celetuk Ilmi sambil senyum-senyum tak jelas, setelah teman yang membawa kabar berlalu.
Ifah berusaha cuek. “Sepertinya begitu. Tapi kenapa kamu deg-degan?”
Ilmi mencebik. “Jangan munafik deh, Fah. Cewek mana yang tidak klepek-klepek kalau ketemu sama yang bening. Lulusan luar negeri pula. Cakep iya, pinter jangan ditanya, ditambah lagi seorang gus. High quality, Gaess! Kalau kakang santri di sini bhanya bisa dihitung pakai jari yang wajahnya lumayan seger.” Ilmi beragumen panjang lebar.
“Es kali, bikin seger. Dah ah, jangan bicarakan gus e lagi. Nanti matanya keduten terus.” Keduanya lalu tertawa sambil bercanda hal lain.
Sekolah formal berada di luar kompleks pesantren. Namun masih satu desa, jadi para santri dan santriwati cukup berjalan kaki apabila berangkat dan pulang sekolah. Kelas pun dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga mereka hanya bisa berbaur saat istirahat dan perjalanan pulang pergi.
Pengasuh pesantren selalu mewanti-wanti agar seluruh santrinya bisa menjaga diri dan pandangan. Baik di dalam maupun luar pesantren. Walau begitu, tidak semuanya patuh. Tetap saja ada yang membuat ulah, semisal pacaran.
Namun, karena takzir (hukuman) ditegakkan, maka hal semacam itu bisa berkurang. Kebanyakan para pelanggar adalah santri baru yang belum kenal dengan baik kedisiplinan di pesantren.
Sepulang sekolah, Ifah segera ke ndalem bu nyai seperti yang disampaikan temannya pagi tadi. Membuang rasa penasaran, Ifah seperti biasa masuk pintu belakang yang langsung terhubung dengan taman kecil. Ada gazebo di sudut sisi untuk bersantai.
Karena tergesa-gesa, tanpa dia sadari, ada seseorang yang sedang duduk di gazebo dan memperhatikannya. Ifah memasuki dapur, tapi kondisi kosong. Bingung harus bagaimana, dia celingak celinguk ke ruang tengah. Barangkali bu nyai sedang duduk di ruang tengah. Nihil.
“Cari siapa, Mbak?” Sebuah suara mengagetkan dari arah dapur. Seorang lelaki muda berwajah kearaban, sarung biru dan kaus oblong putih lengan pendek, berdiri menatapnya menyelidik.
Ifah segera menunduk, malu sekaligus bingung. “Ma-maaf … tadi … katanya bu nyai memanggil saya ke ndalem sepulang sekolah,” ujar gadis bersarung itu sedikit gagap.
Sang lelaki mengangguk. “Mbak namanya siapa?”
“Saya Ifah, Gus,” jawabnya lirih dengan tetap pandangan ke bawah.
“Oh iya, tapi ummah masih pergi. Beliau nitip sesuatu tadi. Tunggu, saya ambil dulu.”
Dugaan Ifah benar. Lelaki itu adalah anak bu nyai yang baru pulang dari kuliah di Yaman. Gus Amar panggilannya. Baru kali ini Ifah bertemu. Di ndalem tak ada foto yang dipajang. Jadi tak tahu wajah anak kiainya.
Benar prediksi Ilmi kalau wajah gus e memang nyegerin. ‘Astagfirullahhalazim ….’ Ifah menggeleng sambil beristigfar. Bisa-bisanya dia ketularan Ilmi. Tak lama menunggu, Gus Amar muncul dengan menenteng sebuah paper bag dan kresek putih besar.
“Ini oleh-oleh untuk dibagi sama mbak-mbak. Lalu … yang ini untuk ibu sampean di rumah.”
“Lho! Kenapa ada oleh-oleh untuk umi saya, Gus?”
“Pesan ummah seperti itu. Nanti tanyakan sendiri sama beliau.”
Dengan perasaan gundah, Ifah menerima pemberian dari lelaki di depannya. Hatinya masih bertanya-tanya kenapa bu nyai memberikan sang ibu oleh-oleh. Lalu bagaimana kalau teman-temannya tahu nanti?
Setelah berpamitan dengan rasa malu, Ifah meninggalkan rumah besar tersebut. Sang gus hanya memandang jejak langkah gadis yang baru bicara dengannya. Ada perasaan tak biasa di dalam hati saat menatap gadis itu.
Wajah khas pribumi dengan kulit bersih, juga caranya bicara dengan lawan jenis yang menunduk, sedikit banyak membuatnya tertarik. Namun, sang ibu sudah mewanti-wanti kalau akan menjodohkan dirinya dengan anak teman mondok dulu.
Harapan sang ibu seperti titah baginya. Dia hanya percaya pilihan orang tua adalah yang terbaik bagi anak-anaknya. Hanya saja … selama belajar di luar negeri, belum ada gadis yang bisa menggetarkan hati. Walau tak menampik jika banyak sekali pesona perempuan yang elok rupa, baik dari negara sendiri maupun asing, yang mencoba menarik perhatiannya.
***
Ifah berjalan dengan mendekap paper bag pemberian sang gus yang disembunyikan di balik jilbab. Dia tak ingin mendapat pertanyaan macam-macam dari teman yang penasaran. Hingga sampai kamar, ternyata Ilmi sedang menderas Al Quran. Berjalan membelakangi, agar tak ketahuan, nyatanya ekor mata sang sahabat menangkap keganjilan padanya.
“Kamu bawa apa, Fah? Kok kayak ada yang disembunyikan?”
Ifah memejamkan mata karena terciduk. Dia berbalik dan meringis. “Ini … oleh-oleh dari Gus Amar untuk mbak-mbak.”
Ilmi memperhatikan kresek yang dibawa Ifah. “Yang itu?” Ilmi menunjuk tangan Ifah yang masih mendekap bagian depan tubuhnya.
Terpaksa Ifah menyibak jilbab dan menunjukkan paper bag pada Ilmi. Susah memang berbohong pada sahabatnya yang punya jiwa kepo maksimal. Dengan wajah layaknya seorang detektif, Ilmi bertanya kembali.
“Apa itu? Dari gus e juga? Buat kamu? Jangan-jangan ….”
“Apa sih! Ini titipan bu nyai untuk ibu. Mungkin ibu nitip barang untuk dibeli. Jadi jangan mikir macem-macem deh, kamu!” Ifah memberikan alasan agar bisa diterima Ilmi.
“Ah, gak mungkin. Pasti ada sesuatu. Atau jangan-jangan … kamu mau diambil mantu sama bu nyai. Ya Allah … Ifah, sungguh beruntung hidupmu kalau jadi menantu Bu Nyai Zumaroh. Kamu sudah ketemu sama gus e dong.
Gimana? Cakep banget ya? Aahhh … Ifah … jadi iri aku.” Panjang lebar Ilmi menginterogasi sahabatnya. Tak hanya itu, pundaknya juga jadi sasaran digoyang-goyangkan gadis energik itu. Tak ayal membuat sebagian teman di luar kamar melonggok ke dalam karena berisik.
Segera Ifah memasukkan paper bag itu ke lemarinya. Lalu memperingatkan Ilmi agar tidak menyebar gosip tentangnya.
“Ish … tapi beneran, Fah. Aku penasaran sama gus e. Juga alasan ibumu dikasih oleh-oleh khusus sama bu nyai.”
“Sudah, jangan menebak-nebak. Apalagi nyebarkan sesuatu yang belum tahu kebernarannya. Jatuhnya fitnah tau! Kalau mau ketemu gus e, ya ke ndalem sana!” ujar Ifah ketus.
Ifah tak suka sifat kepo Ilmi yang bisa menjadi berita bohong dan menyebar seantero pondok. Mau ditaruh di mana mukanya kalau digosipkan ada sesuatu dengan gus e. Walau dalam hati, dia tak menampik pesona sang gus.
***
Saat berangkat ke madin, tak sengaja Ifah bertemu dengan Harun. Dia menyampaikan kalau tugasnya sudah dititipkan kepada seorang ustadz di kantor pagi tadi.
“Lain kali belajarlah lebih tanggungjawab dan disiplin pada diri sendiri. Bagaimana mau mendapat ilmu manfaat kalau tidak bisa menghormati dan menghargai gurunya?”
Berniat meluruskan masalah, malah Ifah mendapat ceramah dari Harun. Mau tak mau, dia hanya mengangguk lalu meminta maaf. Dalam hati dia berujar, semoga suaminya kelak bukanlah orang yang kaku seperti Harun.
Sementara itu saat masuk kelas, ternyata sudah ada ustaz yang duduk di bangku depan.
“Gus Amar,” lirihnya.
“Silakan masuk, Mbak,” ucap Amar mempersilakan santriwati yang baru datang dengan ramah.
Berbeda dengan Harun yang super disiplin, Amar justru lebih santai memperlakukan santriwati. Tanpa disadari, bibir Ifah melengkung ke atas.
Cerita 18+ – “Tak disangka ternyata Gus Amar secakep itu ya, Fah. Duh … kenapa baru muncul sekarang, gus e?”
Sejak kepulangan Amar ke pesantren pagi tadi, pesona lelaki muda itu menjadi hot topik di antara para santriwati. Pembawaan yang kalem, wajah kearab-araban, ramah dan tentunya pintar, membuat hampir semua orang kagum padanya.
Tak kecuali Ilmi dan sahabatnya. Hanya saja tingkat kelebaian keduanya berbeda. Ifah lebih santai dan bisa menjaga sikap, sedangkan Ilmi jauh lebih ekspresif.
Sesi bertanya saat perkenalan, menjadi ajang unjuk diri bagi para santriwati. Semua hal ditanyakan, mulai dari nama lengkap, umur, pengalaman menarik saat belajar di Yaman, sampai gebetan pun ditanyakan. Hal itu membuat Amar membatasi jumlah pertanyaan agar tidak merembet pada topik yang tidak etis untuk ditanyakan di kelas.
“Memang kalau datang dari dulu, kamu mau apa tho?”
“Duuhhh … Ifah, mbak ndalem anyaran, coba bayangkan. Andaikan semua ustaz yang mengajar seperti Gus Amar, pasti semua santriwati pada semangat, rajin bertanya, hafalannya banyak, pokoknya bakal tambah pinter karena dapat nutrisi hati.”
Mendengar penuturan sahabatnya, gadis berwajah kalem itu malah terbahak. “Kamu itu niat ngaji karena ustaznya apa karena butuh ngaji?”
“Hihiii … ya dua-duanya,” jawab Ilmi nyengir.
Setelah salat Isya’, Ifah ke ndalem karena dipanggil bu nyai. Dia hanya ke kediaman kiai saat dibutuhkan karena masih sekolah. Beda dengan mbak ndalem yang sudah lulus aliyah, sudah punya piket harian untuk membantu di sana.
“Kamu sudah nerima oleh-oleh untuk umimu, kan?” tanya bu nyai saat Ifah sudah ada di dapur membantu mbak ndalem lain menyiapkan makan malam.
“Sampun, Bu Nyai,” jawabnya mengiyakan, “em … ngapunten, kenapa Bu Nyai ngasih umi oleh-oleh? Saya … ndak enak dengan mbak-mbak lainnya.” Ifah mengungkapkan hal yang menganjal di pikiran sejak menerima paper bag tadi pagi. Karena suara Ilmi yang tak bisa dikontrol, beberapa temannya menjadi kepo dengan oleh-oleh tersebut. Ifah merasa tak enak karena seperti dispesialkan.
“Gak papa, Fah. Aku pernah cerita sama umimu kalau punya anak sekolah di Yaman. Dia kepingin juga ada anak atau cucunya yang bisa belajar di sana. Pingin sambang dan bisa ziarah waliyullah di sana juga. Yawes, karena belum kesampaian, aku minta Amar belikan jilbab khas sana biar seneng umimu,” ujar bu nyai mengemukakan alasan pemberian adiah pada ibunya Ifah.
“Masya Allah … Bu Nyai saya jadi nggak enak. Matur suwun.” Rasa sungkan mendominasi perasaan gadis itu. Namun tetap saja rasa tidak enak masih ada karena dia yakin bahwa wanita di depannya itu tidak bersikap spesial kepada wali santri yang lain.
“Biasa wae, Fah. Umimu juga sering bawakan oleh-oleh kalau sambang ke sini. Jadi aku juga kepingin kasih sesuatu,” ujar wanita bergamis marun itu sambil memilah potongan kue di meja makan.
Tak sengaja, Amar datang. Sang ibu memanggil agar dia duduk di sampingnya. “Kamu sudah ketemu anakku ‘kan, Fah? Ya ini cah bagusku yang lama tak pulang. Ganteng yo?”
Mendapat pertanyaan yang menodong, gadis itu malah membelalak, lalu segera menunduk sambil menahan senyum. Bisa-bisanya bu nyai berkata seperti itu di depan Amar.
“Ummah ini. Promosikan terus saja anaknya, biar cepet laku,” celetuk lelaki berumur 24 tahun itu dengan nada bercanda.
Ifah yang berusaha menahan senyum, malah ikut tertawa mendengar ucapan gus e.
“Bukan promosi, Le (1). Aku itu seneng karena kamu sudah balik. Ifah ini sering jadi teman cerita ummah tentang kamu kalau pas kangen. Ya kan, Fah?”
Gadis berjilbab merah muda itu mengangguk pelan dengan perasaan malu. Bu nyai memang sering bercerita tentang anak-anaknya, terutama Amar karena tak pernah pulang hampir lima tahun. Hanya sekali beliau berkunjung ke sana saat selesai melaksanakan umroh.
Cinta orang tua pada anak tidak boleh menjadikan penghambat yang mau menempuh pendidikan di tempat yang jauh, termasuk di pesantren. Karena keredaan orang tua adalah sumber keberkahan dan kemudahan anak mendapat ilmu manfaat barakah.
“Memang ummah cerita apa saja, Mbak?” Mimpi apa semalam, dia diajak bicara seperti itu oleh anak kiainya? Berusaha menata kalimat agar tidak salah ucap, Ifah mengatur napasnya.
“Emm … ceritanya baik-baik kok, Gus. Tidak ada yang buruk. Bu nyai kepingin njenengan bisa memajukan pesantren ini. Intinya bu nyai sayang ke njenengan,” tutur Ifah apa adanya.
Amar tersenyum sekilas. “Kalimat terakhir nggak salah ucap kan, Mbak?”
“Hah? Maksudnya?” sahut Ifah cepat.
Melihat Ifah bingung, bu nyai menyahuti, “Memang berharap siapa yang sayang sama kamu, Mar? Wes bener kui,” (Sudah betul itu.) ucap sang ibu membela Ifah.
“Barangkali salah subjek, Ummah,” ujar Amar sambil tertawa lalu menuang air minum yang tersedia di atas meja.
Apabila Bu Nyai Zumaroh dan Gus Amar menanggapi dengan bercanda, beda halnya dengan Ifah yang sudah berkeringat dingin. Ternyata selain ramah, gus e suka usil sama orang lain yang baru dikenal.
***
Tanggal merah menjadi hari yang sibuk bagi Ifah. Pasalnya, bu nyai mengajaknya dan Ilmi menemani ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah acara. Karena pak kiai dan Amar ada acara di kota yang berbeda, maka Harun diminta mengantar rombongan bu nyai.
“Titip rombongan, ya Kang,” ujar Amar pada Harun saat mobil berwarna putih itu hendak berangkat.
“Njih Gus. Siap!”
Sepanjang perjalanan, Harun hanya fokus ke lalu lintas jalanan. Hanya sesekali menimpali pertanyaan bu nyai. Dua orang itu yang menemani ngobrol sang pengasuh pesantren.
“Kang Harun bisa istirahat dulu. Acaranya kurang lebih dua jam. Biar Mbak Ifah dan Ilmi ikut saya,” ujar bu nyai saat mereka sampai di tempat acara. Kebetulan Harun merasa capek setelah nyetir kurang lebih tiga jam. Istirahatlah dia di masjid lingkungan pesantren tempat acara berlangsung.
“Fah, Ustaz Harun itu dingin sekali ya pada perempuan. Irit bicara dan nggak pernah mau menatap lawan bicaranya.” Ilmi bersuara setelah duduk di barisan hadirin. Sedangkan Bu Nyai Zumaroh duduk sebagai pengisi acara di panggung.
“Bukan dingin saja, Mi, tapi seperti kulkas. Xixixixix … kemarin mbak kelas tiga aliyah juga ngomongin beliau,” sahut Ifah cekikikan.
“Ngomongin apa?”
“Niatnya caper sama Ustaz Harun, eh, malah kena takzir(2) karena bikin gaduh kelas.”
“Hah! Masak?”
“Iya. Tahu sendiri Ustaz Harun orangnya disiplin dan gak suka bergurau saat di kelas. Jadi ditakzir deh.”
“Oalaaahhh … njur kasihan ya mbaknya. Jadi kapok kan berulah sama Ustaz Harun.” Ifah mengangguk.
Walau pernah mendapat takzir, tapi dalam hari dia bersyukur masih ada lelaki yang punya prinsip dalam hidupnya. Lelaki yang bisa menjaga pandangan pada kaum hawa. Dia tahu hal itu pasti sangat berat, karena titik kelemahan seorang lelaki ada pada perempuan.
Ifah juga berdoa agar jodohnya adalah lelaki yang punya prinsip dan bisa menjaga pandangan dari yang tidak halal. Dia ingin suami yang hanya mengagumi dirinya sebagai seorang istri. Bukan yang suka tebar pesona pada wanita lain.
Namun tidak berarti bersikap kaku pada semua orang. Bagi Harun, apabila bersikap lempeng pada santriwati, maka akan banyak santriwati yang akan usil kepadanya. Entah dengan menggoda ataupun hal lain yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Harun adalah lelaki yang berusaha Istiqomah menjaga pandangan dari kaum hawa. Karena itu, selain keluarga, dia tak pernah menatap lawan bicaranya kalau perempuan, terutama para santriwati. Biarlah dikata sombong atau dingin, asal tidak menambah dosa.
***
Matahari tampak kemerahan saat perjalanan pulang dari Pekalongan. Mobil yang dikendarai Harun melesat membelah lalu lintas yang cukup lenggang. Suara murotal dari tape mobil mengalun merdu, menenangkan hati yang mendengarnya.
“Sudah masuk waktu Magrib. Salat dulu ya, Kang,” pinta bu nyai ketika azan berkumandang.
Harun segera menepikan mobil di parkiran masjid. Ilmi mengikuti bu nyai untuk salat jamaah. Sedangkan Ifah sedang berhalangan, jadi hanya perlu ke kamar kecil setelah iqamah agar tidak membuang waktu jamaah yang ingin ke kamar kecil. Dia menunggu di dekat mobil.
Beberapa langkah dari mobil, Harun mendapat telepon yang ternyata dari Amar. Dia menanyakan posisi dan keadaan rombongan.
“Alhamdulillah lancar, Gus. Sekarang masih salat,” ucap Harun yang bisa didengar oleh Ifah.
………….
“Mbak Ifah yang mana ya, Gus? Pokoknya kedua mbak ndalem itu baik-baik saja,” tutur Harun setelah mendapat pertanyaan dari Amar.
Ifah tak menyangka kalau Amar cukup perhatian dengan santrinya. Pantas saja teman-teman banyak yang caper. Apalagi Ilmi, sahabatnya.
“Mbak.” Suara panggilan membuat lamunannya buyar.
“Eh, iya Ustaz?”
“Tolong sampaikan ke bu nyai kalau Gus Amar nitip lumpia Semarang.”
Setelah mendapat jawaban Ifah, Harun berlalu tanpa mengucapkan apa pun. Dari belakang dia beranikan diri untuk memandang sosok yang melangkah menjauh.
“Ustaz kulkas. Xixixiii ….”
Cerita Hangat – Hari masih gelap saat sebagian besar santri dan santriwati bangun untuk melaksanakan qiyamul lail. Bagi para santri, langsung menuju masjid pesantren. Sedangkan santriwati memenuhi musala dalam. Begitu pula dengan Ifah dan Ilmi.
Keduanya mengikuti rutinitas harian dengan khusuk. Saat salat Subuh, Bu Nyai sendiri yang menjadi imam jamaah putri. Sedangkan di masjid, Gus Amar didapuk abahnya untuk mengimami salat.
Setelah selesai salat Subuh, para santri dibebaskan kegiatannya. Ada yang antre mandi agar tidak telat ke sekolah. Cara antre para santri itu menarik. Mereka tidak berjejer orangnya, tapi cukup diwakili oleh gayung yang berisi peralatan mandi.
Diletakkan begitu saja di depan pintu kamar mandi secara berderet. Jika antrean lama, mereka bisa mengerjakan hal lain tanpa takut diserobot. Apabila sudah gilirannya tapi belum datang sang empunya, maka bisa digeser belakangan. Sudah risiko dan tidak boleh ada yang keberatan.
Selain antre mandi, ada juga yang olahraga. Sebagian lagi bersih-bersih lingkungan pondok sesuai piket, hafalan, murojaah, dan yang lain masih duduk di musala untuk mendengarkan ngaji tafsir dari toa masjid.
Jika biasanya pak kiai sendiri yang membacakan tafsir, kali ini Gus Amar. Suara laki-laki itu sudah cukup familiar di pendengaran para santri dan santriwati, tak terkecuali Ifah.
Penjelasan yang disampaikan pun lebih menarik dan mudah dipahami. Mungkin karena contoh-contoh yang diambil adalah sesuai usia para santri. Sehingga mengena di benak pendengarnya.
***
Matahari menyingsing saat riuh suara langkah kaki para pejuang ilmu berhamburan menuju gerbang pesantren. Dari teras ndalem terlihat sang gus sedang berbincang dengan beberapa santri termasuk Harun.
Usia keduanya hanya terpaut satu tahun. Jadi wajar kalau terlihat akrab. Tak sengaja pandangan Ifah berserobok dengan Amar. Sempat mengulum senyum, tapi keduanya segera mengalihkan pandangan.
Tak seharusnya Ifah merasakan hangat perasaannya saat sang gus menatap walau sekejap. Namun, hati tak bisa berbohong. Tatapan sekilas itu memberi efek luar biasa baginya. Senyum terus terkembang dari sudut bibirnya.
“Fah, ngapain kamu senyum-senyum terus?” celetuk Ilmi karena menangkap keganjalan pada sahabatnya.
“Siapa yang senyum-senyum? Mending senyum ‘kan daripada cemberut?” Ifah membela diri. Tak mungkin dia menyebutkan alasan sebenarnya yang membuat hati berbunga.
Saat Ifah sibuk dengan perasaannya, terbesit kalau mungkin saja dia terlalu baper. Bisa saja Gus Amar juga menyapa dengan senyuman seperti tadi pada orang lain.
‘Ah … mungkin aku terlalu ge-er. Namun, susah juga menampik pesona gus e,’ batin gadis itu berperang.
***
Hari berganti dengan segala rutinitas yang hampir sama. Ifah lebih memilih menjaga hati dengan tidak terlalu baper pada perhatian-perhatian kecil yang diberikan Amar. Selain karena usia masih sangat muda, Ifah juga takut menaruh hati pada lelaki karena tradisi perjodohan yang dialami kakak-kakaknya.
Murojaah adalah cara gadis asal Jombang itu untuk menenangkan hati apabila bayangan sang gus menyapa. Sedangkan Amar pun sama. Walau perasaan pada Ifah dia anggap spesial, tapi tak serta merta diungkapkan.
Penuturan orang tua akan hal jodohnya sudah diatur, membuat Amar berusaha menekan gejolak di dada saat sosok Ifah terbesit di pikirannya.
Baru kali ini dia merasakan hal seperti itu. Sebelumnya tak pernah ada gadis lain yang bisa membuat tidur malamnya tak nyenyak. Menjadikan seorang pelamun, pun tersenyum sendiri kala mengingat sosok gadis itu.
Cintakah yang dia rasa? Atau hanya godaan setan yang bisa membuatnya lalai akan permintaan orang tua. Sampai sekarang pun dia tidak diberitahu siapa gadis yang dijodohkan dengannya. Sang ibu hanya mengatakan kalau jodohnya sudah disiapkan. Jadi tak boleh lirak-lirik perempuan lain.
Tradisi perjodohan memang sudah familiar di kalangan pesantren. Walau tidak semua gus dan ning dijodohkan. Perjodohan pun biasanya bukan asal, para kiai tentu punya alasan khusus kenapa menjodohkan anaknya dengan seseorang. Bisa karena nasab, ilmu, keluarga atau alasan lain. Yang jelas paling utama adalah karena agamanya.
***
“Kamu yang nyupiri, ya, Kang,” pinta Amar kepada Harun saat menjenguk pak kiai yang sedang dirawat di rumah sakit karena typus.
Selain mereka berdua, di mobil ada kakak perempuan Amar beserta kedua anaknya yang masih balita, juga Ifah diminta bu nyai menemani. Dalam perjalanan, Amar mengajak ngobrol Harun. Sedangkan Ifah cenderung diam. Sesekali menyahuti obrolan ningnya.
“Rencana umur berapa menikah, Kang?” tanya Amar pada Harun. Lelaki berpeci hitam dan kemeja biru polos itu tersenyum simpul. Baru kali ini Ifah bisa melihat secuil senyum dari ustaznya tersebut, meski dari pantulan cermin.
“Tidak ada rencana, Gus. Sedikasihnya saja,” jawab Harun santai.
“Dikasih siapa? Mau dicarikan?” gurau Amar.
“Boleh, Gus.”
“Mau yang bagaimana?”
“Standar saja Gus. Salihah, enak dipandang, pinter, kalau bisa yang kaya dan anak tunggal,” jawab Harun sambil tertawa.
Sontak semuanya ikut tertawa mendengar jawaban lelaki berumur 25 tahun itu. Baru kali ini Ifah tahu kalau ustaz kulkasnya itu bisa bercanda.
“Kamu mau minta dicarikan jodoh sama Amar? Lha wong dia saya belum laku-laku,” ledek kakak Amar di sela gurauan mereka.
“Enak saja gak laku. Sudah ada yang inden sejak bayi aku itu,” celetuk Amar dengan gaya bergurau.
“Eh, iya lupa. Kamu kan sudah dijodohkan sama anak temannya ummah,” sahut sang kakak yang membuat keadaan tiba-tiba senyap.
Ifah segera menunduk karena matanya mulai berembun. Sedangkan Amar menyesal kenapa membahas topik jodoh dan menjawab pertanyaan sang kakak seperti itu. Walau belum tahu pasti perasaan Ifah kepadanya, tapi dia bisa merasakan kalau gadis yang sebentar lagi lulus itu terkejut dengan penuturan kakaknya.
Melalui pantulan kaca spion, Amar melirik Ifah yang sedang terdiam menunduk. Perubahan sikap dan yang tadinya tertawa menjadi murung, bisa Amar lihat. Tak ingin keadaan menjadi canggung, lelaki berhidung mancung itu pun melontarkan gurauan lain. Namun tidak berpengaruh pada mood baik gadis itu.
Amar berpikir apakah Ifah memiliki perasaan khusus sama sepertinya? Bisakah dia mengungkapkan pada orang tua tentang perasaannya agar perjodohan itu dibatalkan? Ah … sepertinya belum terlambat kalau dibicarakan segera setelah kiai sehat.
***
“Mbak, sampean lapar?” tanya Amar saat Ifah menunggu di luar. Dia menjaga kedua cucu kiainya itu di taman rumah sakit.
“Eh, mboten, Gus,” (tidak, Gus) jawab Ifah terkejut karena kehadiran gus e yang tak tiba-tiba.
“Kok murung saja sejak di mobil. Apa sakit?”
Ifah menggeleng. “Mboten, Gus,” jawabnya lirih.
“Apa keberatan di ajak ke sini hanya disuruh momong anaknya ning?”
“Mboten, Gus.”
“Apa keberatan kalau jadi uminya anak-anakku?”
“Hah ?!”
“Lho, kok bukan jawaban ‘mboten’ yang keluar?” Amar tertawa melihat ekspresi terkejut gadis di depannya itu.
“Dari tadi jawabnya ‘mboten-mboten’ terus. Barangkali jawab sama juga buat pertanyaanku yang terakhir.” Amar masih tertawa agar keadaan tidak canggung.
Ifah melengos. “Gus Amar remen guyon,” (Gus Amar suka bercanda) celetuk Ifah setelah tersadar dikerjai gus e.
Karena penasaran dan nanggung juga, dia memberanikan diri bertanya.
“Gus … boleh tanya?”
“Tanya apa?”
“Njenengan beneran sudah dijodohkan?”
Kisah Romantis – “Njenengan beneran sudah dijodohkan?”
Pertanyaan gadis bergamis hitam itu membuat Amar sedikit tersentak. Dia tak menyangka akan mendapat todongan dari Ifah. Ternyata ucapan sang kakak di mobil tadi membuatnya penasaran. Haruskah lelaki itu menjawab yang sebenarnya?
Amar menarik napas sejenak lalu tersenyum memandang rimbunnya bunga matahari yang menghiasi sudut taman. Kedua ponakan sedang asyik main kejar-kejaran mengelilinginya. Sedangkan Ifah duduk di bangku kayu samping dia berdiri.
“Maunya sampean (kamu) bagaimana?”
“Kok balik tanya, Gus?”
“Daripada balik kucing. Hayoo ….” Amar mencoba mencairkan suasana dengan bercanda. Akan tetapi sepertinya percuma. Gadis itu terlihat murung.
Ifah tersenyum kecut, lalu berucap, “Saya ‘kan tanyanya serius, Gus.”
Amar meliriknya lagi. “Kenapa kok ingin tahu? Apa jawaban saya nanti ada hubungannya dengan sampean?”
“Maaf Gus. Saya lancang,” ucap Ifah lirih. Dia menyesal karena berusaha mengorek informasi tentang gus e.
Amar pun menyesal kenapa menjawab seperti itu. Sejujurnya dia ingin menggiring Ifah agar bisa menunjukkan responsnya. Dia punya keyakinan kalau gadis itu menyukainya. Melalui bahasa tubuh setiap bertemu, juga cara Ifah bertanya tentang perjodohan tadi, membuat Amar lebih yakin akan perasaan gadis itu kepadanya.
Tak ingin suasana menjadi canggung, Amar menjawab pertanyaan Ifah.
“Jodoh itu rahasia Tuhan. Manusia hanya bisa berencana tapi Allah yang menentukan. Namun Dia sudah memberi jaminan bahwa laki-laki baik adalah jodoh bagi perempuan yang baik. Begitu pula sebaliknya.
Kini … saya sedang berusaha menjadi baik agar Allah memberi saya pendamping yang baik pula,” jawab Amar tanpa melihat Ifah. Mereka berdua menatap tingkah bocah yang berkelakar ceria di depan mereka.
Mendengar jawaban seperti itu, membuat Ifah berhenti bertanya. Dia mengerti kalau pertanyaan itu salah. Tidak semestinya bertanya tentang privasi gus e. Barangkali memang benar bahwa Gus Amar sudah dijodohkan dengan seseorang yang tentu salihah.
“Maaf Gus kalau pertanyaan saya lancang,” ujar Ifah lirih.
Amar tersenyum kecut. “Mboten nopo, Mbak.” (Tidak apa-apa, Mbak.)
Keduanya menarik napas berat. Amar melirik sekilas gadis yang sedang menunduk dan memainkan ujung jilbab hijau botol bermotif abstrak yang dikenakan.
“Mbak Ifah sendiri apa sudah punya pandangan calon imam?” tanya Amar menelisik.
“Hah!”
Ifah terkejut sekilas tapi bisa cepat mengendalikan sikap. Kembali dia menatap ke depan dan menyunggingkan senyum hambar.
“Saya masih muda sekali, Gus. Belum lulus sekolah pula. Masih lama perjalanan ke sana,” tuturnya tetap dengan senyum hambar, lalu melanjutkan, “dalam keluarga saya, perjodohan sudah biasa. Kedua kakak saya menikah karena dijodohkan. Mungkin hal itu juga berlaku pada saya nanti.” Suaranya semakin melemah. Menahan sesuatu yang sesak di dalam hatinya.
Amar berpikir. Mereka sama-sama bakal dijodohkan. Andai saja perjodohan itu adalah antara mereka berdua. Sayangnya Amar belum tahu siapa gafia yang dijodohkan dengannya. Dia juga belum punya keberanian untuk bertanya tentang perasaan gadis di sampingnya tersebut.
“Apa sampean setuju dengan perjodohan?” tanya Amar kembali sambil memasukkan kedua jari ke saku jaket abu yang dia kenakan.
Ifah tersenyum sekilas dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada beberapa orang yang sedang duduk di bangku kayu. Sebagian mereka sibuk dengan ponselnya. Sebagian yang lain sedang mengobrol entah tentang apa.
“Saya tak bisa mengatakan setuju atau tidak. Namun, kita sebagai muslim tentu tahu larangan pacaran. Menurut saya salah satu ikhtiar orang tua untuk menyelamatkan anak-anaknya dari perbuatan itu adalah dengan menjodohkannya.”
“Kalau yang dijodohkan tidak cinta bagaimana? Bukankah itu zalim?”
“Cinta bisa hadir saat sudah halal, Gus. Kakak saya pun begitu. Mereka belum kenal sebelumnya. Namun sekarang anaknya sudah banyak. Hehee … bukankah itu artinya mereka saling mencintai walau sebelumnya tidak saling mengenal?”
Amar tersenyum sepintas. Dia meresapi apa yang diucapkan mbak ndalem itu. Pemikirannya simple tapi masuk akal. Namun, hati kecil masih belum sepenuhnya mendukung cara perjodohan yang sudah familiar tersebut.
Di saat kedua orang itu sedang sibuk dengan pikiran masing-masing, seorang pemuda memanggilnya dari belakang.
“Ngapunten, Gus Amar ditimbali pak kiai.” (Mohon maaf, Gus Amar dipanggil Pak Kiai.)
Amar menoleh dan mengangguk, lalu melangkah menjauhi taman tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan seorang gadis yang menunduk dengan mata berembun. Menyisakan tanda tanya yang belum menemukan jawab pasti.
‘Allah akan memberikan yang terbaik. Siapa pun dia dan di saat yang tepat. Aku yakin,’ batinnya.
***
Tiga tahun sudah Ifah menempuh pembelajaran tingkat aliyah. Namun dia masih kerasan di pesantren untuk menghafal Al Quran. Setelah haflah, dia dijemput orang tua karena masuk masa liburan.
Terbiasa berinteraksi dengan Ifah, walau hanya melihat sosoknya saja, lalu sekarang tak bertemu, membuat Amar merasakan sesuatu yang berbeda. Dia tak tahu apakah itu namanya rindu. Sedangkan selama mengenal gadis itu, Amar berusaha menjaga hati. Perasaannya memang condong pada gadis itu, tetapi dia tak sanggup membantah keinginan orang tua.
“Nanti lebaran kita silaturahmi ke rumah teman ummah ya. Kamu ‘kan belum tahu anak perempuannya yang baru lulus. Ayu lan calon hafizah, cah e (cantik dan calon penghafal Al Quran, anaknya),” ajak Ummah Zumaroh di suatu pagi.
Amar hanya mengangguk pelan. “Monggo kerso, Ummah.” (Terserah, Ummah.)
Sebenarnya Amar ragu ingin menolak. Namun tak ada salahnya silaturahmi. Toh dia belum pernah bertemu dengan gadis yang ingin dijodohkan dengannya. Sejauh ini lelaki itu tak pernah mengungkapkan perasaannya terhadap Ifah kepada orang tua. Apa mungkin kalau dia utarakan, orang tuanya akan berubah pikiran tentang perjodohan itu.
“Ummah ….”
“Ummah, ada telepon dari Jombang.” Panggilan abah membuat Amar urung mengutarakan perihal Ifah.
“Kamu mau bicara apa?”
Amar menggeleng. “Ummah jawab teleponnya dulu.”
Wanita itu berlalu dari ruang tengah menuju kamar untuk menerima panggilan telepon. Dengan perasaan sedikit kecewa, Amar pun meninggalkan ruangan itu dan menuju masjid pesantren.
Sekalian dia mau melaksanakan salat Dhuha. Tak sengaja dia melihat Harun yang sedang murojaah (mengulang bacaan beberapa kali agar lancar dan terjaga hafalannya) hafalan Al Quran di sudut masjid.
Beberapa santri yang belum pulang, juga menjadikan masjid sebagai tempat kegiatan memperlancar hafalannya. Selesai salat, Amar menghampiri dan duduk di samping Harun.
“Nggak pulang, Kang?”
“Mboten, Gus.”
“Kenapa?”
“Mau posoan (puasa ramadhan) di pondok saja. Nanti pulang setelah bodo (hari raya Idul Fitri).”
“Oohh iya,” jawab Amar singkat.
Hening.
“Kang.”
“Nggih, Gus.”
“Boleh minta pendapat?”
“Monggo.”
“Ada seorang pemuda. Dia sudah dijodohkan oleh orang tua tanpa pernah bertemu satu sama lain. Dalam waktu dekat ini, rencananya mereka akan ditemukan.” Amar mulai bercerita. “Di satu sisi, pemuda itu memiliki perasaan khusus pada gadis lain yang sudah dia kenal.
Namun, dia juga tak pernah mengungkapkannya. Orang menyebutnya cinta dalam diam. Hehee ….” Amar tertawa kecil. “Menurut sampean apa yang harus dilakukan pemuda itu?” tanyanya melanjutkan.
Harun terdiam. Mencoba mengalisa apa yang disampaikan anak kiainya tersebut. Senyum tipis tercetak di bibirnya.
“Kalau saya yang jadi pemuda itu, pertama akan mengerjakan salat istikharah. Perasaan pada gadis lain yang belum tentu bersambut, bisa jadi adalah cara setan untuk menghalangi jalan kita.
Kalau hasilnya baik, tentu bakal manut sama orang tua. Saya yakin pilihan orang tua tak akan menjerumuskan anaknya. Apalagi orang tua yang mengerti agama. Paling tidak, mereka sudah tahu seperti apa perempuan yang cocok untuk dijadikan menantu.”
Harun menarik napas lalu melanjutkan. “Namun apabila belum sreg dan sudah punya pandangan lain, bisa diutarakan juga. Orang tua yang bijak pasti akan mempertimbangkan pendapat anaknya.”
Amar mengangguk. Itulah yang akan dia lakukan. Berusaha mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya.
“Seumpama orang tua menyetujui pilihan pemuda itu, lalu datanglah dia ke rumah sang gadis. Ternyata ditolak. Bagaimana?”
“Siapa juga yang akan menolak sampean, Gus?” celetuk Harun dengan senyum lebih lebar.
“Lho, ini bukan kisahku, Kang.” Amar berkilah.
“Bukan sampean, tapi kok baper,” sahut Harun sambil tertawa.
Amar menggeleng sambil tertawa juga. Ternyata Harun bisa menebak siapa pemuda itu.
Cerita Khusus Dewasa – Suara tadarus dari toa masjid setelah salat tarawih menggema di penjuru pesantren. Walau sebagian besar santri telah pulang, tapi suasanya khas malam Ramadhan masih terasa kental di pesantren tersebut. Setelah tadarus, Amar memutuskan untuk pulang.
Di ruang tengah, kedua orang tuanya sedang duduk santai. Meja di depannya terdapat potongan melon sebagai kudapan. Mereka bertiga membicarakan hal-hal ringan, sampai nyerempet perihal jodoh Amar. Seperti mendapat peluang, Amar berusaha menanyakan perempuan yang dicalonkan untuknya.
“Ngapunten (maaf) Ummah, saya kan belum pernah bertemu atau melihat gadis itu selama ini. Kenapa Ummah sangat yakin kami cocok?”
“Cah e ayu, Le (Anaknya cantik). Sekarang sudah hafal 24 juz. Keluarganya juga baik. Ummah cari mantu juga gak sembarangan. Insya Allah cocok sama kamu. Sama-sama pinter dan ngerti agama,” tutur sang ibu dengan bersemangat.
Amar mengangguk untuk menghormati ibunya.
“Ummah punya fotonya? Atau akun sosmed barangkali?” Lagi, Amar mencoba mengorek informasi.
“Dia gak main sosmed. Dari kecil sudah nyantri. Anaknya kalem. Weslah percaya sama Ummah. Gak akan nyesel sampean nanti.”
Melihat antusias ibunya, Amar pun luluh. Dia urung mengungkapkan bahwa dia sudah punya pilihan hati sendiri. Gadis yang tinggal di kota yang sama dengan calon yang disebutkan ibunya. Amar hanya berdoa agar mereka orang yang sama. Menunggu … hanya menunggu sampai perjumpaan itu benar terjadi setelah lebaran nanti.
“Le, malam-malam begini apa ada counter yang buka?” tanya ummah sambil mengutak atik ponselnya.
“Pulsa Ummah habis?”
“Sepertinya iya. Aku WA Ifah kok centang satu dari tadi.”
“Ifah siapa, Ummah?”
“Ya Ifah Mbak ndalem. WA-nya centang semua ini.”
Mendengar jawaban dari ibunya, Amar mengulum senyum lalu menawarkan untuk beli pulsa. Tak lupa dia meminta untuk membawa ponsel sang ibu.
***
[Assalamualaikum]
Sebuah pesan masuk dari aplikasi berlogo gagang telepon dan chat hijau itu. Gadis yang sudah berniat tidur itu membukanya sambil bertanya-tanya. Siapa?
[Sudah tidur ya Mbak?]
Kembali sebuah pesan masuk.
“Orang iseng mungkin ya?”
Alih-alih menjawab pesan tersebut, gadis itu malah menekan logo pesawat. Menaruhnya di atas nakas lalu bersiap tidur.
Hari masih gelap. Ayam jago pun belum terbangun. Suara patrol sudah menggema di sepanjang jalanan kampung untuk membangunkan sahur.
Panci beserta tutupnya, kentongan bambu, botol kaca, galon air, ember, dan bermacam perkakas dapur disulap menjadi alat musik yang menciptakan nada berirama khas. Walau terdengar bising, tapi kegiatan itu adalah salah satu moment yang dirindukan selama Ramadhan.
Benda pipih di atas nakas berbunyi. Ifah segera meraih dan mematikan suara alarmnya. Kemudian me-nonaktif-kan mode pesawat. Beberapa saat termenung di atas kasur, deretan pesan whatsapp bermunculan dari nomor yang sama.
[Maaf malam-malam mengganggu]
[Sudah tidur nggih, Mbak?]
[Beneran sudah tidur, nggih. Afwan]
[Ini nomor saya]
[Amar]
Ifah mengucek matanya beberapa kali. Tak percaya dengan nama yang tertera.
“Gus Amar?”
“Masak Gus Amar?”
“Seingatku gak punya teman dengan nama itu selain gus e.”
“Dari mana bisa tahu nomor WA-ku?”
“Apa dikasih tahu bu nyai, ya?”
“Lalu apa maksudnya chat seperti ini?”
Deretan tanda tanya memenuhi pikirannya. Ingin membalas, tapi urung. Biar nanti saja. Kalau memang penting, pasti akan chat lagi. Mengabaikan ponsel di atas kasur, dia turun untuk melaksanakan rutinitas pagi.
Setelah salat Subuh berjamaah dengan sang ibu, masih dengan mukenah terusan berwarna putih, dia melafalkan kalamallah dengan tartil. Tak ingin menyia-yiakan jackpot yang Allah berikan di bulan yang mulia tersebut. Di mana pintu-pintu langit terbuka bagi siapa saja yang mau berdoa dan melakukan amalan saleh.
Setelah selesai tadarus, Ifah kembali ke kamarnya. Mengecek ponsel yang tergeletak di atas kasur, masih sama seperti tadi dia tinggalkan.
“Sepertinya hanya orang iseng yang kebetulan namanya sama dengan gus e. Jaman sekarang banyak modus penipuan seperti ini. Sok kenal, lalu kena tipu. Nauzubillah minzalik.” Gadis itu bermonolog.
Sirat jingga menghiasi langit. Suara burung bersahutan membentuk sebuah irama seolah menyambut kemunculan sang surya. Embun di atas dedaunan menambah kesegaran pagi di kampung tersebut.
Ifah sudah bersiap dengan alat kebersihan. Selama nyantri, dia merasakan terbentuknya perilaku disiplin dan mandiri sampai sekarang. Begitupun saat di rumah seperti ini. Kegiatan bersih-bersih rumah merupakan rutinitasnya setiap hari.
Setelah selesai bersih-bersih rumah, dia kembali ke kamar untuk salat Dhuha. Sebelumnya mengecek ponsel. Tak ada pesan lagi. Berarti benar hanya orang iseng yang kebetulan namanya sama dengan gus e.
Setelah sata Ashar, ponselnya berbunyi. Di layar tampak foto profil seorang lelaki berdiri dengan background bangunan khas timur tengah.
“Gus Amar?” Seolah tak yakin kalau orang yang menelepon adalah anak dari kiainya, Ifah malah tertegun.
Panggilan pertama tidak dijawab. Selang beberapa detik, kembali panggilan itu lagi. Setelah mengucap bismillah, akhirnya Ifah menekan gagang telepon berwarna hijau.
“Ini benar Mbak Ifah, kan?”
Tanya suara di seberang setelah mengucap salam.
“Injih, Gus (iya).”
“Kenapa tidak dibalas chat saya tadi, Mbak?”
“Eh, ngapunten Gus (Maaf, Gus) saya kira orang iseng.”
“Astaghfirullah … saya beneran Amar Mbak. Gak percoyo sampean?”
“Injih, ngapunten Gus.”
“Nggih. Oh iya Mbak, saya sekarang di kompleks pemakaman Gus Dur. Rencananya setelah ini ke makam Syekh Jumadil Kubro di Troloyo. Rumah sampean sebelah mananya?”
‘Hah! Gus Amar di makam Gus Dur? Tanya alamat, apa mau mampir?’ batin gadis itu bertanya-tanya.
“Eemm … njenengan mau apa tanya rumah saya, Gus?”
“Mau cari buka gratisan, Mbak. Maklum musafir.”
Seketika tawa kedua orang itu pecah.
“Hehee … kok melas njenengan, Gus.”
“Lumayan Mbak bisa hemat ongkos marung (makan di warung).”
Kembali Ifah dibuat geli dengan guyonan gus e.
“Jadi beneran mau mampir?” tanyanya lagi memastikan.
“Njih, kalau tuan rumah mengizinkan. Nanggung sudah sampai sini pula.”
Ifah terdiam sejenak.
“Mbak ….”
“Eh nggih Gus. Eemm … saya tanyakan ab– eh bapak dulu nggih. Kalau diizinkan, saya kirim alamatnya lewat google map.”
Setelah mendapat jawaban dan salam penutup, Ifah segera memutuskan panggilan suara tersebut. Mencari sosok orang tua laki-lakinya yang ternyata sedang duduk di ruang baca.
Setelah menceritakan maksud gus e, lelaki berusia 58 tahun itu berpikir sejenak lalu mengangguk. Ifah mengirimkan titik lokasi rumahnya pada Amar. Setelah itu menuju dapur untuk bilang kepada ibunya. Beruntung masakannya banyak karena sang kakak dari kota sebelah tiba-tiba batal datang untuk buka bersama.
Pukul lima sore, sebuah mobil Innova berhenti di halaman rumah bercat kuning gading tersebut. Empat lelaki bersarung turun dari mobil. Ifah hanya mengintip dari selambu ruang tengah. Sang bapak yang menyambut dan mempersilakan masuk.
Setelah berbincang beberapa saat, azan Magrib berkumandang. Semua disilakan ke ruang makan untuk membatalkan puasa dengan takjil yang disediakan.
Di sana Amar bisa melihat sosok gadis yang menjadi alasan dia melakukan perjalanan hari itu. Ifah yang sedang meletakkan buah, menyapa dengan mengucapkan salam dan mempersilakan para tamu, kemudian berlalu masuk ke dapur kembali.
Melihat sekilas senyum gadis itu bagi Amar bak menemukan oase di padang pasir. Apa benar dia sedang jatuh cinta? Entahlah apa namanya, tapi dia tak mampu menolak perasaan bahagia yang dirasa.
Perjalanan ziarah mendadak kali ini memang memiliki maksud ganda. Tadi setelah subuhan, Amar mengutarakan niatnya untuk ziarah wali di Jawa Timur. Kebetulan rutenya melewati kota tempat tinggal gadis yang membuatnya merasakan arti rindu.
Setelah jamaah Magrib dan buka bersama, Amar mengirim pesan pada Ifah karena hendak pamit.
[Mbak, ada oleh-oleh dari Kudus.]
Tak lama menunggu, balasan dari Ifah diterima.
[Njih Gus. Matur suwun. Njenengan berikan pada bapak saja.]
Walau sedikit kecewa karena mendapat jawaban itu, tapi Amar memakluminya. Sebagai seorang muslimah, sikap Ifah termasuk wajar. Amar beristigfar dalam hati. Semoga ini bukan dorongan setan.
Rombongan sudah naik ke atas mobil dan bersiap melanjutkan perjalanan. Tak sengaja, gadis yang diharapkan kemunculannya itu keluar dari ruang tengah membawa nampan. Walau sekilas melihat sosoknya, hati Amar kembali seperti disiram air yang menyejukkan.
[Mbak, tidak perlu bilang ummah kalau saya mampir, ya. Nanti beliau kepingin ke sini lagi.]
Walau tak mengerti maksud gus e, Ifah menjawab singkat.
[Njih, Gus]
Di tangannya sudah ada paper bag pemberian Amar. Ifah mengeluarkan isinya. Ternyata sebuah jilbab sutera berwarna soft pink yang cantik. Ada juga sepucuk amplop dengan tulisan “Bacalah sehari sebelum balik ke pondok.”
Kisah Cinta Panas – “Mbak, bisa titip ini ke Bu Nyai?”
Seorang mbak ndalem yang sedang menyapu teras, menghentikan kegiatannya. Dia menoleh sejenak lalu menunduk, memerhatikan kresek putih besar yang dijinjing seorang pemuda.
“Apa itu … Kang?” tanyanya lirih. Dia bingung harus memanggil apa pada lelaki di depannya tersebut.
“Ini sayuran hasil kebun ibu. Keponakan saya ngaji di TPQ sini. Itu, Farida.” Lelaki berperawakan tinggi itu menunjuk seorang bocah usia enam tahunan yang sedang bermain bersama teman-temannya di halaman TPQ.
“Ooh … njih. Nanti saya sampaikan bu nyai. Terima kasih.” Mbak ndalem bersarung batik itu menerima uluran kresek besar tersebut dengan tangan bergetar.
Setelah kresek berpindah tangan, sang pemuda segera berlalu. Namun berbeda dengan perempuan yang barusan bicara dengannya. Dia cukup terkejut dengan pertemuan itu.
Bersyukur pemuda itu tidak mengenali lawan bicaranya.
Tersadar dari lamunan, gadis itu segera masuk dan menyerahkan pemberian tersebut kepada umminya. “Ummi, ada yang kasih ini, dari … keluarganya Farida anak TPQ.”
“Oh iya, alhamdulillah. Ibunya pernah kirim sayuran saat panen hasil kebun.” Ummi membuka kresek yang sudah diletakkan di atas meja. Ada kacang panjang, manisa, sawi, cabe dan tomat yang masih segar.
“Tadi yang ngasih laki-laki, Um. Dia bilang pamannya Farida,” ucap gadis itu hati-hati. Dia berusaha mengorek informasi dari umminya.
“Oohh iya,” sahut ummi sekilas sambil mengeluarkan sayuran tersebut dan meletakkan di tempeh bambu untuk dipilah.
“Emm … Ummi kenal sama keluarga Farida? Termasuk … pamannya?” Karena penasaran, gadis itu melanjutkan pertanyaannya.
“Mboten. Ya tahu sekedar wali santri saja.”
Gadis itu mengembuskan napas karena tak berhasil mendapatkan informasi yang dia inginkan. Perasaannya menjadi gelisah, entah kenapa. Sepertinya butuh waktu sendiri untuk menenangkan hatinya. Segera anak bungsu tersebut berpamitan ke kamar.
Ingatan gadis itu melayang ke waktu tujuh tahun lalu. Di mana segala rasa campur aduk menguasai hati. Sebuah fase kehidupan yang tak bisa dia hindari. Masa yang ingin dia lupakan. Akan tetapi karena kemunculan orang yang pernah berhubungan dengan masa lalunya tersebut, mau tak mau, gadis itu seolah ditarik kembali ke masa itu.
Namun dia bersyukur lelaki itu tidak mengenalinya. Biarkan gadis itu menjadi sosok baru, tanpa ada yang tahu manis getirnya perjalanan hidup sampai di titik sekarang. Biarkan masa lalu itu menjadi kenangan. Sesuatu yang tak bisa dihapus dalam perjalanan hidupnya. Bulir bening meluncur di pipi. Namun segera dia seka karena tak ingin terlarut dalam kenangan yang sudah susah payah dia kubur.
“Aku Ifah yang kuat! Aku punya Allah dan orang tua yang sangat sayang. Kenangan itu tidak boleh membuatku lemah kembali. Yah … senyum Ifah … senyum ….”
Sambil menghadap kaca, gadis itu bermonolog. Menata perasaannya agar tetap tegar menatap masa depan tanpa bayang-bayang kenangan.
***
“Sudah diberikan sayurannya ke bu nyai tadi?”
“Sampun, Bu. Saya kasihkan ke mbak ndalem yang sedang nyapu teras.”
“Oh iya sama saja,” sahut ibu singkat.
Bagi sang pemuda, itu adalah pertama kalinya dia melihat dari dekat dan berkomunikasi dengan mbak ndalem yang setiap sore selalu menyapu teras rumah induk pak kiai. Berpakaian khas anak pondok dan selalu menjaga pandangan dari ikhwan. Terlihat sosok sederhana tapi memiliki kharisma tersendiri.
Setelah kepergian bapak setahun lalu, pemuda berusia 32 tahun itu memutuskan untuk boyong dari pesantren. Ibunya tinggal sendirian. Kakak dan adik perempuan sudah berumah tangga dan tinggal di rumah masing-masing. Kakanya di luar kota, sedangkan sang adik tinggal di tetangga desa. Hanya dia laki-laki sau-satunya dan masih betah melajang.
Sejak kecil lelaki itu tinggal bersama sang nenek di Magelang karena kasihan tak ada anak cucu yang tinggal bersamanya. Setelah lulus MI dia mondok di kota yang sama dekat rumah sang nenek. Kemudian saat tamat MA, neneknya meninggal. Dia memutuskan untuk pindah nyantri di Kudus sampai bapaknya meninggal setahun lalu.
Lelaki itu masih menikmati masa lajangnya, walau sang ibu sudah sering menyuruh mencari jodoh. Bahkan ada tetangga yang terang-terangan ingin menjadikannya menantu. Namun belum ada yang sreg di hati.
Usaha rumahan menjahit sandal dan sepatu dari kulit yang ditekuni almarhum bapak sudah berjalan lumayan lancar. Namun di tangan pemuda itu, usahanya semakin berkembang. Dia memberdayakan para tetangga yang punya skill di bidangnya. Sedangkan sang ibu memang gemar berkebun. Beraneka sayur mayur dia tanam. Hasilnya dinikmati sendiri dan dibagi-bagikan ke tetangga.
***
“Le, kamu antarkan Farida ngaji, ya. Adikmu belum datang. Tadi pengasuhnya telepon,” ucap ibu di suatu sore.
Sudah sebulan terakhir, lelaki tersebut sering mengantar Farida mengaji karena ibunya dipindahkan ke tempat kerja yang lebih jauh.
“Pakde Harun kok lama jemputnya,” protes Farida saat lelaki itu baru tiba menjemputnya dengan motor.
“Maaf, pakde ketiduran. Ayo berangkat!”
Pondok pesantren yang dijadikan TPQ itu tidak terlalu jauh. Berada di desa sebelah yang dibatasi sawah terbentang luas. Lelaki bernama Harun itu pun baru-baru ini masuk kompleks pesantren. Dari kegiatan itulah, dia sering tak sengaja melihat mbak ndalem yang sedang menyapu teras. Entah kenapa, diam-diam dia menikmati pemandangan tersebut.
‘Ya Allah … semoga ini bukan godaan setan.’
Beberapa kali dia merasa bahwa seolah pernah mengenal mbak ndalem tersebut. Akan tetapi dia tak mengingatnya sama sekali. Mungkin saja saat bertemu di jalan. Entahlah … tetapi sepertinya tidak asing.
Sejak di pesantren, Harun tak pernah dekat dengan perempuan manapun. Fokusnya adalah menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Sampai diminta mengajar diniyah di kelas santriwati juga tak pernah berniat tebar pesona dengan santriwatinya. Dia takut akan godaan memandang perempuan yang bisa melalaikan. Walau terlihat cuek pada perempuan, tetapi dia sosok yang menyenangkan dan mudah bergaul dengan teman-temannya.
Suatu hari, ibu mengajak Harun membicarakan perihal jodoh. Usia lelaki itu memang sudah waktunya berkeluarga. Usaha juga sudah mulai berjalan lancar. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dan adik juga sudah menikah, ibu tentu menginginkan menantu yang baik agamanya dan mau tinggal bersama beliau yang sudah tak bersuami.
“Kamu mau carikan ibu menantu yang seperti apa, tho, Le?”
“Ya yang bisa membuat ibu senang,” jawabnya tersenyum.
“Jangan mikirin ibu terus. Cari perempuan yang sesuai keinginanmu. Nilam itu kan anaknya cantik, jilbaban, sudah ngajar walau honorer. Kurang apa, Le?”
Nilam adalah salah satu anak tetangga yang ingin dijodohkan oleh ibunya, tapi ditolak Harun.
“Iya, Bu. Nilam perempuan yang baik sepertinya. Namun saya belum sreg dengannya.”
“Belum sreg kan ada alasannya, Le. Mosok mung urung sreg tok? (Masak hanya belum sreg saja?)”
“Alasannya saya gak sreg sama Nilam itu karena … pernah melihat dia nongkrong berdua dengan laki-laki yang bukan saudaranya. Di rumah makan dekat alun-alun Mojoagung.”
“Ah, mosok?” Harun hanya menjawab dengan anggukan.
“Bisa saja itu temannya dan mereka sedang menunggu teman lain yang belum datang. Jangan ambil kesimpulan yang belum tahu sebenarnya, Le.” Ibu masih membela Nilam.
“Bisa jadi begitu, tapi bisa juga tidak. Namun, dari apa yang saya lihat, Allah sudah menunjukkan sesuatu sehingga hati ini tak bisa sreg memilihnya jadi pendamping hidup, Bu.”
“Mosok Nilam pacaran? Nanti ibu tanya ibunya ya.”
“Jangan Bu! Cukup kita saja yang tahu. Itu bukan urusan kita,” cegah Harun cepat. Dia tidak mau ibunya dinilai keluarga Nilam sebagai penyebar gosip. Hidup dengan masyarakat harus hati-hati menjaga lidah agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Terus piye? Kamu gak punya kenalan mbak-mbak pondok atau siapa gitu untuk jadi mantu ibu? Ibu kepingin kamu cepet nikah, Le.” Wajah wanita tua itu sendu. Benarkah ini saatnya dia serius mencari pendamping hidup?
Mbak-mbak pondok? Pilihan itu sepertinya yang tepat baginya. Selintas, pikiran Harun tertuju pada mbak ndalem di pondok tempat Farida mengaji. Setelah pergulatan batin yang dialami beberapa hari lalu, Harun sengaja salat istikharah. Selain untuk meminta petunjuk, juga agar hati ditentramkan jika perasaannya hanya fatamorgana semata.
Namun, bingung juga cara mendekati seorang mbak ndalem. Seorang santriwati sejati, tak mungkin mau diajak kenalan sembarangan. Mereka mampu menjaga marwahnya dengan lawan jenis.
Beberapa hari setelah pembicaraan pekara jodoh dengan ibunya, Harun menceritakan sosok yang dimaksud pada ibu.
“Bu, saya punya calon, tapi belum pasti karena belum tahu juga caranya,” ucap Harun ragu.
“Siapa?”
“Di pondok Darul Falah ada seorang mbak ndalem yang kerap terlihat nyapu rumah pak kiai saat saya antar Farida ngaji. Saya bicara dengannya hanya saat mengantar sayur ke bu nyai kala itu.”
“Mbak ndalem?” tanya ibu semringah.
Harun mengangguk. “Njih.”
“Ibu setuju saja. Ibu dulu kan seorang mbak ndalem di pondok. Kenal bapakmu juga karena diajak bu nyai belanja di kios pasar eyangmu. Bapakmu sering bantu di sana. Jadi lama-lama diajak nikah. Hihii … duh kok ibu malah cerita masa muda.”
Wanita tua itu tersenyum malu menceritakan masa perkenalan dengan suaminya. Cerita sederhana tapi bertahan sampai maut memisahkan. Tak ada yang merasa unggul dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Itulah cinta sejati.
Harun ikut tersenyum membayangkan kisah cinta orang tuanya dulu.
“Wes, balik bahas mbak ndalem tadi.” Setelah mengusap ujung matanya, ibu kembali bersua.
“Ya begitulah, Bu. Pandangan saya ke mbak ndalem itu cocok. Namun … saya tak tahu bagaimana cara mendekatinya,” ungkap Harun lirih.
Keduanya terdiam beberapa saat. Lalu sang ibu berujar, “Mintalah dia pada pak kiai. Biasanya kalau yang meminta kiainya, para santri akan setuju. Sebab pak kiai tak mungkin menjodohkan asal para santrinya.
Pasti ada usaha lahir batin yang beliau lakukan untuk menerima atau menolak lamaran yang datang.” Penuturan ibu membuat Harun sedikit lega. Setidaknya dia tahu cara yang tepat untuk melangkah.
“Njih, Bu. Mohon doanya. Insya Allah hari Jumat mau sowan ke pak kiai,” ucap Harun menyanggupi. Ibu tersenyum sambil mengangguk pelan.
“Rida ibu untukmu, Le.”
Cerita Intim – Mencari pasangan tulang rusuk membutuhkan usaha lahir dan batin. Begitu pula dengan yang sedang dilakukan Harun. Pertemuan sekilas dengan seorang perempuan telah mampu memantapkan hatinya untuk mencari kepastian.
Santriwati itukah kiranya pasangan tulang rusuk yang ditakdirkan untuk melengkapi hidupnya?
Roda motor berhenti di pelataran pesantren pada Jumat malam. Dada pemuda itu dag dig dug tak karuan saat kaki mulai melangkah mendekati bangunan di tengah kompleks. Sederhana tetapi cukup asri dengan banyak tanaman yang menghiasi teras.
Dia ingat saat berbicara dengan mbak ndalem di teras ini beberapa waktu yang lalu. Wajah menunduk dengan tangan sedikit gemetar saat menerima pemberiannya. Dari situ Harun bisa menyimpulkan kalau mbak ndalem tersebut jarang berkomunikasi dengan ikhwan.
Seorang lelaki muda yang membukakan pintu. Lelaki bersarung itu mempersilakan masuk dengan ramah setelah Harun mengatakan ingin sowan pada kiai. Sepertinya dia kakang ndalem yang biasa membantu di rumah kiai.
Harun menunggu sekitar lima menit di ruang tamu tanpa sova. Hanya beralas karpet dan sebuah meja kayu pendek ukuran 1x1m yang diletakkan di sudut ruang. Tatanan khas ndalem kiai agar mudah menerima tamu dalam jumlah banyak.
“Sepertinya saya baru kali ini melihatmu,” ucap Kiai Rahman, pria berusia sekitar enam puluh tahunan. Beliau terkenal bijak dan ramah pada sesama.
“Njih, Yai. Maaf karena baru kali ini sowan Panjenengan (bertamu pada Anda),” jawab Harun takzim. Dia berusaha bersikap biasa saja walau dalam hatinya dag dig dug tak karuan.
Kiai Rahman mangangguk pelan dengan senyum simpul di sudut bibirnya. “Ada maksud apa kamu ke mari?”
Mendapat pertanyaan langsung seperti itu, tak ayal membuat pelipis Harun dibanjiri keringat. Padahal tadi dia sudah menyiapkan kalimat agar tidak grogi. Namun apalah kini, kenyataannya melamar anak orang memang membutuhkan persiapan mental yang matang.
“Eemm … pertama, saya ingin silaturahim dengan Panjenengan. Nama saya Harun Ar Rosyid. Warga kampung sebelah, tetapi baru setahun ini tinggal di rumah.
Sebelumnya di Jawa Tengah,” tutur Harun hati-hati lalu melanjutkan, “maksud saya yang kedua … sa-ya … ingin meminta bantuan Pak Kiai untuk … meminang mbak ndalem yang setiap hari menyapu teras ndalem ini,” lanjutnya dengan suara bergetar.
Ini pengalaman pertama bagi Harun melamar seorang perempuan. Sendirian. Pada kiainya. Bukan hal mudah bisa mengeluarkan apa maksud hatinya seperti ini. Butuh keberanian ekstra karena menyangkut masa depan kehidupannya.
Kiai Rahman termenung sejenak, lalu menarik napas dengan kepala mengangguk pelan beberapa kali.
“Jadi mbak ndalem yang setiap hari nyapu teras?” Harun mengangguk. Sang kiai masih memandangnya dengan intens.
“Baiklah, nanti kutanya ummi, siapa orang yang kamu maksud. Di sini ada beberapa santriwati yang membantu ndalem.”
Rasa deg-degan yang tadi menyergap Harun, menjadi sedikit mencair karena sikap ramah dan terbuka Kiai Rahman menyambut niat baiknya.
“Njih, Pak Kiai. Matur suwun sanget.”
Rasanya sedikit plong hati Harun setelah memberanikan diri mengungkapkan maksud hati pada pria berpeci putih itu.
Suasana hening sejenak. “Kamu mondok di mana sebelumnya?” tanya Kiai Rahman.
“Saya lulusan ponpes Al-Hidayah Kudus. Boyong setahun lalu karena bapak tiada dan tak ada saudara yang menjaga ibu,” jelas Harun sedikit rileks karena sudah melewati masa menegangkan sebelumnya. Obrolan sekarang sudah kembali normal seperti orang bertamu pada umumnya.
“Kiai Mustofa?” Pak kiai menebak nama pengasuh pesantren tempat Harun nyantri.
“Njih, leres Pak Kiai.”
Mendengar jawaban Harun, beliau hanya mengangguk-angguk. Sebagai sesama kiai, tentulah mudah mengenal karena sering menghadiri acara yang sama.
“Baiklah, Jumat depan salat di sini saja. Insya Allah sudah ada jawabannya ba’da salat Jumat.”
Dalam hati Harun bersyukur walau belum mendapat jawaban langsung, setidaknya dia sudah berusaha mencari pasangan tulang rusuk melalui pak kiai. Berharap semoga jawaban terbaik yang didapatkan.
Sepeninggal Harun, istri Kiai Rahman menghampiri ke ruang tamu.
“Siapa tadi, Bah?”
“Pemuda desa sebelah. Dia … mau melamar mbak ndalem yang biasa nyapu teras setiap sore.”
Bu nyai terkesiap mendengar jawaban suaminya. “Abah tidak bilang kalau ….” Belum sempat beliau melanjutkan kalimatnya, sang suami sudah menggeleng.
“Nanti malam kita salat istikharah. Besok abah akan cari tahu tentangnya.”
Setelah mengatakan hal itu, Kiai Rahman meninggalkan istrinya yang masih tertegun. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu.
***
Fajar menyingsing menyinari bumi yang masih basah karena sapuan lembut air langit semalam. Kegiatan di PP Darul Falah sudah menggeliat. Kesibukan tiga ratus lebih santri di pesantren itu membuat suasana pagi yang dingin terasa hangat.
Setelah selesai mengisi ngaji pagi, Kiai Rahman meminta Ifah untuk bicara di ruang tengah. Di dapur sudah ada beberapa mbak ndalem yang membantu memasak. Kegiatan rutin yang Ifah lakukan bersama mbak ndalem lainnya.
“Nduk, semalam ada seorang pemuda yang ingin melamar mbak ndalem yang setiap sore menyapu teras rumah ini,” ujar Kiai Rahman.
Gadis bergamis itu tersentak. Siapa gerangan pemuda yang dimaksud kiai? Kenapa ucapannya berbeda dengan lamaran sebelum-sebelumnya? Mbak ndalem? Menyapu teras?
“Siapa namanya, Bah?”
“Harun Ar Rosyid.”
Bagai tersengat tegangan tinggi. Ifa membisu dengan mata terbelalak. Seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan kiai.
“Harun Ar Rosyid siapa, Bah?” tanya Ifah meyakinkan. Bisa jadi hanya kesamaan nama saja.
“Dia sering melilatmu menyapu teras setiap sore. Pemuda desa sebelah, lulusan PP Al Hidayah Kudus.”
Kali ini tidak hanya tersentak, tapi Ifah refleks menutup mulutnya yang mengangga karena tak percaya.
‘Ustaz Harun? Jadi … benar Ustaz Harun yang melamarku? Ya Allah … skenario apa lagi yang Engkau rancang untukku?’ batinnya bersua.
“Kamu mengenalnya? Bukankan kalian pernah satu pondok?”
Ifah masih terdiam. Apakah dia harus jujur siapa Harun sebenarnya?
Ifah mengangguk pelan. “Njih, Bah. Saya mengenalnya … tapi tidak banyak, Kadang juga bertemu saat diutus bu nyai nyupiri mobil pas ada acara ke luar,” tutur Ifah apa adanya.
Kiai Rahman hanya mengangguk. Membiarkan Ifah bercerita tentang siapa Harun yang melamarnya. Dia ingin tahu seberapa jauh mereka mengenal.
“Menurut kamu Harun bagaimana orangnya?”
Ifah kembali menunduk. Matanya memejam dan ingatannya terbang ke masa tujuh tahun silam. Mencoba mengingat kembali sosok yang ditanyakan Kiai.
“Setahu saya Uztaz Harun orang yang baik. Banyak yang bilang beliau orang yang dingin. Bicara seperlunya. Namun anggapan itu muncul karena beliau selalu menjaga pandangan dari perempuan. Saat mengajar pun demikian. Beberapa hari yang lalu saat memberi sayuran dan saya yang menerima. Sepertinya … beliau tidak mengenali saya.”
Kembali Kiai Rahman mengangguk. Dia bisa mengambil kesimpulan seperti apa sosok Harun, terutama di mata Ifah.
“Kamu mau menerima lamarannya?”
Ifah kembali menegang. Apa yang harus dia jawab. Harun memang orang baik, tapi dia berhubungan dengan masa lalunya yang sudah susah payah dilupakan. Apa harus, dia hidup di lingkup kenangan selamanya?
Melihat Ifah yang hanya terdiam menunduk tanpa jawaban, Kiai Rahman bisa mengerti keadaan hatinya. Dia orang yang demokratis dan tidak suka memaksa. Apalagi masalah jodoh. Anak-anaknya menikah dengan calon yang dia berikan, bukan berarti harus diterima secara mutlak. Namun mungkin sudah jalan jodoh, mereka langsung klik dengan lelaki yang dicalonkan.
Begitu pula dengan Ifah. Dia tak mau memaksanya menerima Harun. Apalagi Harun pernah satu pondok dengan Ifah yang otomatis akan mengingatkannya dengan kenangan lama saat mondok di sana.
3
“Abah tidak memaksamu menerima lamarannya. Masih ada waktu satu minggu untuk memutuskan. Lakukan ikhtiar batin sesuai syariat! Jumat besok dia akan ke sini lagi. Kalau kamu menolaknya, berikan alasan yang tepat. Namun jika kamu tidak punya alasan menolak, diammu abah anggap persetujuan.”
“Eemm … kenapa Abah memberi waktu hanya seminggu? Bukankah itu terlalu cepat untuk mengambil keputusan. Apalagi ini pekara jodoh. Sekali seumur hidup.”
“Pekara baik jika ditunda terlalu lama, setan yang akan berkuasa.”
Ifah masih tertunduk mencerna ucapan abahnya. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Menerima Harun artinya dia harus membuka kembali kenangan yang sudah ditutup rapat. Untuk menolak? Dia butuh alasan yang tepat agar bisa diterima abahnya.
***
Selama hampir seminggu Ifah mencoba meminta petunjuk Allah di sepertiga akhir malam. Selain ummi, hanya kepada-Nya dia bisa mencurahkan apa yang ada dalam hati.
“Ikuti kata hatimu, Nduk. Umi dan abah hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Percayalah hati tak akan berbohong. Sebesar apa pun kamu mengelak, jika hati kecilmu menerima, itulah yang sejujurnya kamu inginkan.”
Nasihat ummi semalam membuat Ifah semakin tergugu di atas sajadah. Dia memang ingin menolak, tapi kata hatinya seolah tak membenarkan. Berusaha mencari alasan yang tepat pun tak bisa. “Karena tak cinta.” Apa abahnya akan menerima alasan klasik semacam itu? Ah … dia rasa itu tak berguna.
Dalam hening malam, dia ingat dengan sahabatnya di pesantren. Ilmi. Sudah lama mereka tak bersua walau melalui jaringan.
“Ilmi ….” Kata pertama yang keluar setelah salam.
“Masya Allah … Ning sombong yang gak pernah telepon. Mimpi apa pagi-pagi namaku dipanggil. Hehee ….” Suara di seberang menjawab dengan bercanda.
Setelah bertanya kabar dan kangen-kangenan, Ifah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Ibu dua balita itu malah menanggapi dengan bercanda.
“Jadi aku tahu kenapa dulu Ustaz Harun dingin macam kulkas berjalan. Ternyata dia sedang jaga image di depan kamu, Ning.”
“Jaga image bagaimana? Orang pas kami bertemu dia tak mengenaliku, kok. Saat kita kenal dulu memang begitu orangnya. Namun kemarin ketemu itu memang lebih ramah. Sedikit saja.”
“O ya jelas … dia kan ada mau melamar kamu. Kalau masih bersikap dingin aja, ya gak bakal ada yang mau.”
“Ish … kamu ini. Jadi bagaimana? Aku harus kasih jawaban apa sama abah?”
“Gini lho, Ning. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kamu hidup di masa tujuh tahun setelah hatimu porak poranda. Istilahnya anak sekarang, move on gaess. Sambut masa depan yang lebih baik. Jangan mau dikurung belenggu kenangan.
Ustaz Harun dan Gus Amar itu orang yang berbeda. Walau mereka pernah dekat, bukan berarti sifatnya sama. Ikuti saja kata hatimu. Apakah hati kecilmu lebih condong ingin menerima atau menolaknya. Kamu sendiri yang tahu jawabannya. Jujurlah sama hatimu!”
Nasihat panjang lebar yang diberikan Ilmi memberikan efek luar biasa bagi perasaan Ifah. Dia merasa beruntung punya sahabat yang tak pernah jaim dan mau menasihati dengan jujur.
***
Hari yang ditentukan tiba. Sebelum berangkat, Harun berpamitan dan mencium tangan ibu untuk memohon restu. Senyum di wajah wanita tua itu membuatnya merasa tenang.
“Kalau jodoh, akan dimudahkan, Le,” tutur beliau saat Harun berpamitan.
“Njih, Bu. Insya Allah.”
Lelaki itu sengaja datang lebih pagi ke masjid pesantren untuk menderas beberapa lembar ayat suci. Sebelum seorang santri putra mendatangi dan mengatakan bahwa pak kiai menyuruh dia ke ndalem. Dalam hati, Harun sempat bertanya-tanya, ‘Kenapa sekarang? Bukankah beliau bilang ba’da jumatan?’
Mengabaikan beberapa pertanyaan yang menghinggapi, Harun berjalan mengikuti kang santri tersebut. Di ruang tamu, pak kiai sudah duduk menyambutnya. Setelah mengucap salam dan mencium tangan beliau, Harun dipersilakan duduk di depannya.
“Nak Harun, aku mau minta tolong badali khotbah. Badanku agak meriang sejak semalam,” dawuh pak kiai membuat lelaki muda itu terkesiap.
Bagaimana bisa tiba-tiba beliau meminta Harun untuk badali khotbah? Bukankah banyak ustaz pengajar di sini yang bisa badali? Kenapa memintanya yang notabene orang luar? Pertanyaan demi pertanyaan berseliweran membuat Harun merasa bingung.
“Kenapa harus saya, Pak Kiai?”
“Kalau kamu mampu, kenapa harus orang lain?”
“Saya hanya santri biasa, dulu. Ilmunya masih sedikit.”
“Wes lah, gak usah merendah. Sekarang bersiap-siaplah. Nanti ba’da salat, ke sini lagi. Ummi sudah dapat jawaban dari mbak ndalem yang kamu maksud.” Penuturan pak kiai membuat jantung lelaki itu semakin riuh berdetak. Tadinya sudah tenang saat mendapat restu ibu, kini mulai berdebar tak karuan lagi.
#Melamar_Mbak_Ndalem (8)
Mencari pasangan tulang rusuk membutuhkan usaha lahir dan batin. Begitu pula dengan yang sedang dilakukan Harun. Pertemuan sekilas dengan seorang perempuan telah mampu memantapkan hatinya untuk mencari kepastian. Santriwati itukah kiranya pasangan tulang rusuk yang ditakdirkan untuk melengkapi hidupnya?
Roda motor berhenti di pelataran pesantren pada Jumat malam. Dada pemuda itu dag dig dug tak karuan saat kaki mulai melangkah mendekati bangunan di tengah kompleks. Sederhana tetapi cukup asri dengan banyak tanaman yang menghiasi teras.
Dia ingat saat berbicara dengan mbak ndalem di teras ini beberapa waktu yang lalu. Wajah menunduk dengan tangan sedikit gemetar saat menerima pemberiannya. Dari situ Harun bisa menyimpulkan kalau mbak ndalem tersebut jarang berkomunikasi dengan ikhwan.
Seorang lelaki muda yang membukakan pintu. Lelaki bersarung itu mempersilakan masuk dengan ramah setelah Harun mengatakan ingin sowan pada kiai. Sepertinya dia kakang ndalem yang biasa membantu di rumah kiai.
Harun menunggu sekitar lima menit di ruang tamu tanpa sova. Hanya beralas karpet dan sebuah meja kayu pendek ukuran 1x1m yang diletakkan di sudut ruang. Tatanan khas ndalem kiai agar mudah menerima tamu dalam jumlah banyak.
“Sepertinya saya baru kali ini melihatmu,” ucap Kiai Rahman, pria berusia sekitar enam puluh tahunan. Beliau terkenal bijak dan ramah pada sesama.
“Njih, Yai. Maaf karena baru kali ini sowan Panjenengan (bertamu pada Anda),” jawab Harun takzim. Dia berusaha bersikap biasa saja walau dalam hatinya dag dig dug tak karuan.
Kiai Rahman mangangguk pelan dengan senyum simpul di sudut bibirnya. “Ada maksud apa kamu ke mari?”
Mendapat pertanyaan langsung seperti itu, tak ayal membuat pelipis Harun dibanjiri keringat. Padahal tadi dia sudah menyiapkan kalimat agar tidak grogi. Namun apalah kini, kenyataannya melamar anak orang memang membutuhkan persiapan mental yang matang.
“Eemm … pertama, saya ingin silaturahim dengan Panjenengan. Nama saya Harun Ar Rosyid. Warga kampung sebelah, tetapi baru setahun ini tinggal di rumah.
Sebelumnya di Jawa Tengah,” tutur Harun hati-hati lalu melanjutkan, “maksud saya yang kedua … sa-ya … ingin meminta bantuan Pak Kiai untuk … meminang mbak ndalem yang setiap hari menyapu teras ndalem ini,” lanjutnya dengan suara bergetar.
Ini pengalaman pertama bagi Harun melamar seorang perempuan. Sendirian. Pada kiainya. Bukan hal mudah bisa mengeluarkan apa maksud hatinya seperti ini. Butuh keberanian ekstra karena menyangkut masa depan kehidupannya.
Kiai Rahman termenung sejenak, lalu menarik napas dengan kepala mengangguk pelan beberapa kali.
“Jadi mbak ndalem yang setiap hari nyapu teras?” Harun mengangguk. Sang kiai masih memandangnya dengan intens.
“Baiklah, nanti kutanya ummi, siapa orang yang kamu maksud. Di sini ada beberapa santriwati yang membantu ndalem.”
BACA JUGA:
NOVEL DEWASA – PAMER PRIVACY
Rasa deg-degan yang tadi menyergap Harun, menjadi sedikit mencair karena sikap ramah dan terbuka Kiai Rahman menyambut niat baiknya.
“Njih, Pak Kiai. Matur suwun sanget.”
Rasanya sedikit plong hati Harun setelah memberanikan diri mengungkapkan maksud hati pada pria berpeci putih itu.
Suasana hening sejenak. “Kamu mondok di mana sebelumnya?” tanya Kiai Rahman.
“Saya lulusan ponpes Al-Hidayah Kudus. Boyong setahun lalu karena bapak tiada dan tak ada saudara yang menjaga ibu,” jelas Harun sedikit rileks karena sudah melewati masa menegangkan sebelumnya. Obrolan sekarang sudah kembali normal seperti orang bertamu pada umumnya.
TAMAT