Site icon Telahdewasa

Gairah Ibu Kepala Sekolah

Gairah Ibu Kepala Sekolah

Gairah Ibu Kepala Sekolah

Ibu kepala Sekolah Binal

Cerita Dewasa Gairah Ibu Kepala Sekolah – “Sudah dengar gosip dari kampung sebelah?” kata Indra. “Gosip apa’an?” kataku setengah mengantuk. Angin semilir di cuaca panas menggoda kedua mataku untuk menutup.

“Ada anak nyuruh ibunya telanjang di jalan,” kata Indra. Ada-ada saja, pikirku. Tapi berita itu menyegarkan kepalaku. “Buat apa dia nyuruh ibunya telanjang di jalan?”

“Katanya dia memang senang bikin malu ibunya. Ibunya ketangkap waktu jalan cuma pakai sempak doang. Bayangin!”

“Terus?” aku semakin penasaran. “Warga kampung nanya kenapa dia jalan telanjang. Katanya disuruh anaknya. Kebetulan anaknya ada di dekat situ. Jadi dia ditangkap juga.”

Telahdewasa.com “Kok bisa ya? Gimana caranya dia bisa nyuruh ibunya gitu?” Indra mengangkat bahu. “Kalau itu aku gak tahu. Mungkin keduanya memang gila. Udah deh, mendingan kau fokus belajar aja. Kau ‘kan sudah dua kali gak naik kelas. Mau sampai kapan SMA terus?”

Ia terbahak-bahak. Aku mendorongnya karena kesal.

Teng! Teng!

Bel sekolah berbunyi. Kami bergegas masuk ke kelas. Pikiranku masih terbayang gosip dari kampung sebelah.

Pelajaran agama yang dibawa Bu Endang selesai, begitu pula kegiatan sekolah hari ini. Sebelum pulang, aku mampir ke dalam kantor kepala sekolah.”Situs Slot Resmi RajaNaga777

Aku melongok ke dalam ruangan. “Ma?”

“Ya, masuk aja Nak,” ujar Mama dari belakang meja kerjanya. Ia masih sibuk mengetik di depan komputernya.

Kuhempas badanku di atas sofa. Aku suka berada di kantor Mama karena ada AC. Sangat nyaman duduk-duduk lama di ruangannya, terutama di musim panas ini.

“Udah laper belum?” tanya Mama tanpa menoleh.

“Udah laper sih,” jawabku.

“Tunggu bentar ya, Mama dikit lagi selesai,” kata Mama.

Aku menghabiskan waktu sambil membuka Instagram di smartphone. Tiba-tiba terbesit untuk mencari tahu soal kejadian di kampung sebelah. Siapa tahu ada beritanya di internet.

Tidak ada berita apa-apa. Tampaknya kejadian itu tidak viral.

BACA JUGA:

MULAI PUBERTAS DINI

“Mau makan apa nih?” ujar Mama. Komputernya sudah mati dan dia sedang memasukkan berkas-berkas ke tas jinjingnya.

“Soto Makassar aja Ma,” jawabku.

“Soto Makassar di Gang Dua?”

“Di mana lagi yang enak selain di situ?”

“Ya udah, yuk pulang.”

Kami keluar dari kantor kepala sekolah. Mama mengunci pintu dan memastikan jendela juga sudah terkunci.

Kami berjalan di lorong sekolah yang mengarah ke halaman parkir. Sambil jalan, Mama terus bertanya soal kegiatanku di sekolah. Aku jawab pendek-pendek saja karena Mama selalu mengulang pertanyaan yang sama setiap hari.

Mama berjalan di depan, sementara aku di belakang sambil melihat-lihat Instagram. Sesekali aku melirik Mama yang mengenakan seragam cokelat. Meski usianya hampir 45, tapi bentuk tubuhnya masih oke.

Mama rutin berolahraga senam bersama para tetangga setiap sore dan menjaga makan. Memang badannya gemuk, tapi masih menonjolkan bentuk pinggulnya yang melengkung seperti gitar.

Aku tersentak. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan tubuh Mama?

Kami sampai di lapangan parkir. Mama mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombol di kunci. Mobil di depan kamu berbunyi dua kali, lalu Mama membuka pintu depan.

“Mau duduk di depan atau belakang?”

“Di depan aja Ma.”

Mama menyalakan mesin mobil. Aku duduk di sebelahnya. Meski Mama mengenakan jilbab, tapi aku bisa melihat keringat yang mengalir di pipinya.

“Cuaca hari ini ampun dah,” keluh Mama.

Pak Paijo, penjaga sekolah, membuka pintu gerbang sekolah. Mama menurunkan kaca mobil untuk mengucapkan terima kasih, lalu menaikkannya kembali.

Sepanjang pinggiran jalan dipenuhi tukang-tukang yang memperbaiki trotoar. Beberapa kali Mama harus sedikit membelokkan mobil supaya terhindar dari gunungan pasir dan batu. Tampaknya pemerintah lagi gencar membangun fasilitas di desa kami.

“Kayaknya AC mobil Mama perlu diperbaikin deh,” kata Mama sambil menekan tombol di samping kemudi. “AC nyala, tapi masih panas.”

Memang suhu di dalam mobil cukup sejuk, tapi Mama lebih gampang kepanasan daripada aku.

Mama menyampirkan bagian bawah jilbabnya ke leher. Ia melepas empat kancing atas seragamnya, lalu mengipas-ngipasnya.

Aku menelan ludah. Belahan tetek Mama menyembul keluar. Kalau saja ia tidak pakai beha, mungkin teteknya bakal lebih menyembul lagi.

“Nah begini ‘kan lebih enak,” kata Mama sambil terus mengipas.

Meski kedua tanganku sibuk main game smartphone, kedua mataku sibuk melirik ke keringat yang mengalir dari leher Mama ke belahan teteknya.

Celanaku terasa sesak. Masa aku sange sama ibuku sendiri?

Pemandangan itu berjalan sebentar karena kami sudah sampai di warung soto. Mama memasang kembali kancing seragamnya. Aku merasa sedikit kecewa.

Bangku-bangku di warung soto dipenuhi orang-orang yang makan siang. Si pemilik warung mempersilakan kami duduk di area lesehan yang masih banyak kosong.

Mama mendengus kesal. “Mama gak suka lesehan karena Mama pakai rok. Susah duduknya.”

“Tapi kita sudah keburu di sini,” kataku. Tahu-tahu setitik ide melintas di kepalaku.

“Kita duduk di lesehan pojok saja,” kataku sambil menunjuk ke tempat lesehan yang kosong. “Di sana Mama bisa naikin rok Mama biar duduknya lebih enak.”

“Malu dong keliatan orang,” kata Mama.

“Mama duduk di pojok dinding, aku duduk di depan Mama. Jadi Mama gak bakal kelihatan.”

Mama mengipas wajahnya dengan tangan. “Ya sudah biar cepet. Mama kepanasan nih.”

Sesuai saranku, Mama duduk di menempel di dinding dan aku duduk di depannya. Ada meja kecil di tengah kami, jadi bagian bawah tubuh Mama sudah tertutup sebagian.

“Bentar, Mama naikin rok dulu,” kata Mama.

Mama sedikit menaikkan badan. Kedua tangannya bergerak ke bawah. Terdengar suara rok dinaikkan. Ia duduk kembali.

“Nah, nyaman juga,” kata Mama. “Tapi kamu jangan banyak gerak, nanti Mama kelihatan orang.”

“Tenang aja Ma,” kataku.

Mama memesan 2 porsi soto dan dua gelas es teh manis. Sembari menunggu pesanan datang, kami sibuk di depan smartphone masing-masing. Sebulan ini Mama baru mengerti cara main TikTok dan tampaknya ia suka menonton video-video lucu di sana.

Pelayan warung datang sambil membawa baki berisi soto. Aku membantunya menaruh mangkok soto. Ketika mau mengambil gelas es teh, tanganku menyenggol smartphone di atas meja. Benda itu jatuh ke kolong meja.

Aku menundukkan kepala untuk mengambilnya. Begitu kepalaku masuk ke dalam kolong meja, aku melihat sempak Mama yang berwarna putih. Mama duduk bersila sehingga sempaknya terlihat jelas. Belahan memeknya membayang di tengah sempaknya. Beberapa helai jembutnya tampak mencuat keluar dari pinggiran sempak.

“Ngapain kamu, Nak?” tanya Mama.

“Ngambil hape,” jawabku.

Kumajukan sedikit badanku supaya bisa melihat sempak Mama lebih jelas. Aku bisa sedikit menghirup aroma keringat dari memeknya.

“Kok lama bener?” tanya Mama lagi. “Sotonya keburu dingin nih.”

Kuraih smartphone yang tergeletak di depan selangkangan Mama. Kunyalakan kamera, lalu kufoto sempaknya. Gambarnya kurang jelas karena kolong meja lesehan itu cukup gelap, tapi aku tidak berani memakai flashlight.

“Dapat nih,” kataku sambil mengacungkan smartphone.

“Buruan dimakan sebelum dingin,” kata Mama sambil menyendok potongan ayam.

Aku buru-buru makan biar Mama tidak curiga. Selama makan, pikiranku terus mengarah ke selangkangan Mama. Untuk pertama kalinya aku melihat bayangan memek dan jembutnya. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras.

Smartphone Mama berdenting. Mama membaca pesan masuk.

“Papa pulang telat nanti. Ada rapat dadakan,” kata Mama.

“Mama sama Papa sibuk bener,” kataku sambil mengunyah potongan ketupat.

“Kami kerja keras supaya bisa kasih kamu yang terbaik, Sayang,” kata Mama. Tangannya mengelus rambutku. “Nanti kalau kamu sudah dewasa juga bakal sibuk kayak kami.”

Kami makan siang selama setengah jam. Setelah selesai, kami pun bersiap pulang.

Mama berdiri. Kedua tangannya terangkat. “Aduh enaknya. Kaki Mama udah kesemutan.”

Aku terkesiap melihat Mama. Ia lupa menurunkan roknya yang masih terangkat sampai ke atas pantat. Sempaknya agak melorot miring sampai memperlihatkan sebagian memeknya yang berjembut.

Orang-orang di belakangku juga melongo melihat Mama.

Mama menyadari kesalahannya. Ia buru-buru menarik sempaknya, lalu menurunkan roknya.

“Apa kalian lihat-lihat!” bentak Mama. Wajahnya memerah.

Orang-orang itu cekikikan, lalu lanjut makan.

Setelah membayar, kami pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, Mama diam saja. Jelas sekali kalau dia malu tadi.

Kami sampai di rumah. Aku turun duluan supaya bisa memandu Mama memarkir mobil.

“Jangan bilang-bilang Papa soal kejadian tadi,” kata Mama sambil menutup pintu mobil.

“Beres,” kataku.

Kami masuk ke dalam rumah. Sambil mengamati Mama dari belakang, aku membayangkan bagaimana bentuk tubuh Mama kalau telanjang.

Kukunci pintu kamarku agar Mama tidak bisa masuk. Aku segera berganti baju, lalu berbaring di kasur. Kubuka folder di smartphone untuk melihat hasil rekaman tadi.

Foto itu terlihat buram, jadi aku harus mengeditnya supaya lebih cerah. Tampilannya memang jadi lebih jelas, meski ada beberapa titik buram di pinggirannya.

Kuperbesar gambar supaya bisa melihat bayangan memek Mama lebih jelas. Dari bayangannya yang tercetak di sempak, bisa kutebak kalau memek Mama mungkin agak longgar.

Kontolku mengeras lagi. Kali ini aku lebih tenang karena berada di kamarku sendiri. Kukeluarkan kontolku, lalu kukocok pelan-pelan. Kupandangi terus foto sempak Mama. Semakin kupandangi, semakin keras kontolku.

“Uh Mama,” bisikku.

Kubayangkan diriku menindih Mama sampai kontolku masuk ke dalam memeknya yang hangat. Bulu-bulu jembutnya menggelitik batang kontolku. Ujung kepala kontolku menyentuh dinding rahimnya.

Mama mencengkram punggungku. Ia mengerang. “Jahat kamu Nak. Kita gak boleh begini! Kita ibu dan anak!”

Tapi masa bodo dengan ucapannya. Memeknya berdenyut dan memijat kontolku, toh itu tanda Mama menikmatinya.

Seluruh berat badanku kubebankan ke Mama. Kontolku semakin dalam menerobos memeknya. Erangan Mama semakin nyaring. Untung Papa lagi tidak ada di rumah. Jadi aku membiarkan dirinya mengerang sekeras mungkin.

“Jahat kamu! Jahat kamu!” erang Mama saat kupompa pinggulku. Keringat kami mengucur deras. Seprai di bawah Mama sampai basah, membentuk lekuk tubuhnya.

Denyutan memeknya semakin cepat, begitu pula dengan goyanganku. Aku sudah tidak tahan lagi.

“Aku mau keluar Ma!” teriakku.

“Jangan keluarin di dalam. Mama gak mau hamil anak kamu!”

Mama mendorong tubuhku, tapi tenagaku lebih kuat.

“Jangaaaaaan!” teriaknya.

Banyak sekali sperma yang muncrat dari lubang kontolku. Aku terus mengocoknya sampai tidak ada sperma yang tersisa. Begitu berhenti, aku segera mengambil tisu dan membersihkan sperma yang tercecer.

Badanku terasa enteng. Kupandangi kontolku yang loyo. Gila, membayangkan mengentot Mama saja sudah menguras sperma begitu banyak, apalagi kalau mengentotnya betulan?

Kupakai celanaku, lalu aku keluar dari kamar untuk mengambil minum.

Ternyata Mama sedang di dapur. Ia menunduk keranjang pakaian kotor. Tampaknya ia lagi memilah-milah pakaian.

Darahku mendesir karena Mama cuma mengenakan beha dan rok. Kurasakan kontolku mulai bangkit dari tidurnya.

“Kayaknya Mama lupa nyuci seragam yang lain,” kata Mama. “Besok pakai apa dong.”

“Gak usah pakai baju,” kataku. Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku buru-buru menutup mulutku.

Mama menatapku heran. “Apa kamu bilang tadi?”

“Mama ‘kan bisa pakai baju lain. Gak harus seragam ‘kan?” kataku sambil berharap Mama melupakan kata-kataku sebelumnya.

“Ya, bisa sih,” kata Mama. Kedua teteknya yang sebesar pepaya bergoyang pelan saat ia membalik badan. Rasanya ingin sekali melepas beha yang menutupinya.

Aku sudah beberapa kali melihat Mama cuma pakai beha dan rok, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku melihatnya dengan nafsu menggebu.

“Mama gak sesak pakai beha di rumah?” kataku. “Kayaknya beha Mama makin sempit.”

Mama melirik ke behanya. “Iya sih, ini behanya makin sempit. Kayaknya Mama gemukan deh.”

“Dilepas aja kalau di rumah Ma,” kataku. “Gak ada yang lihat.”

“Kamu yang lihat,” kata Mama sambil tertawa.

“Gak tertarik lihat tetek Mama,” kataku.

“Eh jangan salah, tetek Mama masih bagus,” kata Mama. Ia meremas kedua teteknya.

“Mana coba lihat Ma.”

“Tuh ‘kan kamu tertarik.” Mama terbahak-bahak. Kedua teteknya bergoyang naik turun saat dia tertawa.

“Mama mau mandi dulu, abis itu tidur siang,” kata Mama. Ia mengambil handuk yang menggantung di tali jemuran, lalu pergi.

Aku memandangnya kecewa.

BACA JUGA:

PEREMPUAN POLOS BERJIBAB

Mataku menangkap beha hitam kotor yang tergeletak di pinggiran keranjang. Kuambil beha itu, lalu kudekatkan ke hidung. Ada aroma keringat Mama bercampur parfum.

Kalau tidak bisa melihat teteknya, setidaknya aku bisa menghirup aromanya.

Keranjang pakaian kotor itu dipenuhi pakaian Mama. Dia memang sering berganti pakaian. Daster, sempak, dan behanya sampai menumpuk menutupi pakaianku dan pakaian Papa.

Tumpukan itu kubongkar. Tanganku menggenggam selembar sempak hitam Mama yang tipis. Lucu juga membayangkan bagaimana sempak setipis ini bisa menutupi pantat Mama yang tebal.

Kuhirup sempak Mama. Oh, aromanya mirip beha, tapi yang ini lebih banyak aroma keringatnya dan ada sedikit bau pesing.

Kubungkus kontolku yang sudah mengeras lagi. Sambil menghirup beha Mama, kukocok kontolku dengan sempak Mama.

Aduh enaknya, pikirku.

Kali ini aku keluar lebih cepat. Sempak Mama belepotan sperma. Aku segera mencucinya di wastafel, lalu menaruhnya lagi keranjang pakaian.

Tak lama kemudian, Mama keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terbalut handuk dari dada sampai paha.

“Kamu lagi cari apa di dapur?” tanya Mama.

“Mau cari yang seger-seger,” jawabku sambil beralasan membuka kulkas. Kuambil sebotol Fanta, lalu menuang isinya ke gelas.

“Loh kok pakaian Mama berceceran di lantai gitu?” tanya Mama.

DEG! Jantungku berhenti sebentar. Sehelai sempaknya tergeletak di lantai. Mungkin tadi tergeser saat aku membongkar pakaian dan jatuh.

“Kamu ada nyari pakaian apa?” tanya Mama.

“Nya-nyari kaos kemarin,” jawabku.

“Kenapa dicariin?”

“Enak dipakai.”

“Ada-ada saja. Kalau udah di sini gak usah dicariin. Tunggu Mama cuci aja.”

Mama membungkukkan badan untuk mengambil sempak di lantai. Ketika tangannya menyentuh sempak, bagian bawah handuknya tertarik ke atas. Pantatnya jadi menonjol.

Aku ternganga melihat anus Mama meski sekilas. Di belaham pantatnya ada juga bulu-bulu jembut. Tampaknya Mama tidak rutin memotong jembutnya.

“Besok ajalah Mama cuci. Mama masih capek bener,” kata Mama. “Atau kamu aja yang nyuci. Masa Mama melulu. Kamu ngerti pakai mesin cuci ‘kan?”

“Ngerti Ma. Gampang kok. Mama tidur aja, biar aku yang nyuci,” kataku.

“Ya udah kalau gitu. Mama mau tidur dulu.”

Setelah Mama pergi, kumasukkan pakaian-pakaian kotor itu ke mesin cuci. Sebaiknya aku mencuci sekarang supaya Mama senang. Sempak bekas aku pakai coli tadi juga aku masukkan ke mesin cuci. Setidaknya aku bisa menghilangkan barang bukti.

Mesin cuci berderu nyaring saat kunyalakan. Sambil menunggu cucian selesai, aku pergi ke ruang tamu.

Dari arah kamar Mama, terdengar suara dengkuran. Mama sepertinya memang kecapekan. Jarang dia tidur mendengkur kecuali benar-benar capek.

Pikiran nakal kembali menguasai otakku.

Kuintip kamar Mama lewat lubang kunci. Kulihat Mama memunggungi pintu.

Kenop pintu kuputar sepelan mungkin. Terdengar suara klik pelan dan pintu terdorong ke dalam kamar. Begitu terbuka cukup lebar, aku berjalan menghampiri Mama sambil berjingkat.

Mama cuma mengenakan kaus dan sempak. Aku menelan ludah karena melihat bongkahan pantatnya yang terbungkus sempak tipis. Sempak itu seakan-akan tidak sanggup menahan beban berat di belakangnya.

“Kubantu melepaskan beban itu,” bisikku.

Bagian belakang kaus Mama kugeser ke atas pelan-pelan sampai punggungnya yang kecokelatan terlihat. Kuendus punggung Mama. Ah, aromanya lebih kuat daripada sempak dan behanya.

Sekarang bagian tersulit.

Meski sempak Mama tipis dan karetnya agak longgar, aku tetap harus berhati-hati agar mengurangi gesekan di kulitnya.

Ada sedikit celah di antara belahan pantat Mama dan karet sempaknya. Kuselipkan ujung jari telunjukku ke dalam celah itu, lalu kunaikkan sedikit ke atas. Setelah itu, aku tarik karet sempaknya ke bawah sepelan mungkin.

Seperti tirai pembukaan teater, pelan-pelan seluruh bongkahan pantat Mama semakin terlihat. Awalnya cuma bagian tulang ekornya, lalu belahan pantat bagian tengah yang gelap, kemudian seluruh pantatnya menyembul keluar.

Sempak Mama kuturunkan sampai tepat di perbatasan paha dan pantat. Itu sudah lebih dari cukup.

Kudekatkan wajahku ke belahan pantatnya. Anusnya tidak terlihat karena terjepit pantat Mama yang besar.

Apa harus dibuka pakai jari? Bisa saja, tapi ini sangat berisiko karena Mama bisa terbangun.

Beberapa helai bulu jembut Mama mencuat keluar dari belahan pantatnya. Kujulurkan lidahku sampai meyentuh bulu jembutnya. Lidahku terasa geli seperti menyentuh sikat gigi.

Tiba-tiba alarm mesin cuci berdering. Fitur alat itu memang bisa mengeluarkan bunyi alarm ketika selesai menyuci.

Tubuh Mama bergerak-gerak. Tangannya merenggang ke atas.

Sial!

Aku merayap ke gorden terdekat, lalu menelusup masuk ke belakang gorden. Ujung gorden itu menyentuh lantai, jadi seluruh badanku tersembunyi aman.

Kudengar suara Mama menguap, lalu suara kasur berdenyit. Mesin cuci sialan itu terus berdering. Kemudian aku mendengar suara langkah kaki berat yang menjauhi kamar.

Aku mengintip dari pinggir gorden. Mama sudah pergi. Kemungkinan besar dia ke dapur buat mematikan mesin cuci. Ini kesempatanku buat kabur! Telahdewasa.com

Aku lari menuju ruang tamu. Pelan-pelan kubuka pintu menuju teras supaya Mama tidak tahu kalau pintunya baru aku buka. Kemudian aku duduk di bangku kayu teras.

Beberapa menit kemudian, Mama membuka pintu teras. Ia melongok keluar. Aku pura-pura bermain game di smartphone.

“Kamu nyuci baju? Kok gak mesinnya gak dimatiin? Mama sampai terbangun,” kata Mama.

“Wah aku lagi main game. Gak tahu kalau alarmnya bunyi,” kataku.

Mama mengangguk. Wajahnya masih terlihat mengantuk. “Omong-omong kamu tadi masuk ke kamar Mama?”

“Nggak Ma. Aku dari tadi di sini.”

“Aneh bener. Pintunya terbuka, terus sempak Mama melorot,” kata Mama.

“Pintunya lupa ditutup kalik, Ma,” kataku. “Terus Mama kayaknya juga harus beli sempak baru deh. Sempak-sempak Mama yang kotor udah pada longgar karetnya.”

“Mungkin.” Mama menggaruk kepalanya. “Mama mau tidur lagi. Kamu juga jangan main hape melulu. Banyakin belajar.”

“Oke, Ma.”

Mama menutup pintu.

Selutuh ototku terasa lemas. Hampir saja aku ketahuan!

Meski menegangkan, di satu sisi aku kecewa karena kalau bukan karena mesin cuci sialan itu, mungkin aku bisa menikmati pantat Mama lebih lama.

Aku bingung. Kenapa hari ini aku melihat Mama dengan sudut pandang berbeda? Apa karena mendengar gosip dari Indra? Apa wajar bernafsu sama ibu kandung sendiri?

Kepalaku jadi pusing memikirkannya. Kuputuskan untuk tidur siang sebentar.

Bersambung…

“Gimana kabar ibu dan anak di kampung sebelah kemarin?” tanyaku.

“Ibu dan anak yang mana ya?” Indra kebingungan.

“Yang katanya disuruh telanjang di jalan.”

Indra menjentikkan jari. “Oh yang itu. Aku dengar anaknya sudah beberapa kali menyuruh ibunya begitu.”

“Berarti mereka sudah lama melakukannya?”

“Mungkin ya, aku juga belum tahu.”

“Kamu tahu siapa nama mereka?”

Indra menggaruk dagunya. “Kalau gak salah nama ibunya itu Romlah. Kalau anaknya aku gak tahu.”

Nama itu kuingat baik-baik.

BACA JUGA:

MENYETUBUHI IBU KANDUNG

“Kenapa kau tertarik sama gosip itu? Pengen lihat Romlah telanjang?” tanya Indra. Nadanya mengejek.

“Tergantung apa dia semok atau nggak.”

“Katanya sih semok. Teteknya gede juga. Aku belum lihat langsung, tapi gosipnya segede pepaya,” jelas Indra.

Berarti tetek Romlah sama seperti Mama, pikirku.

“Terus mereka dipulangkan begitu saja?”

Indra menghela napas. “Katanya begitu. Kalau Romlah telanjang di kota, pasti mereka sudah viral. Tapi karena di desa, jadi ya aman-aman saja.”

Benar juga, pikirku. Desa sebelah memang lebih sepi daripada desaku. Setidaknya kabar ini cuma tertahan di desa, tidak menyebar di internet.

“Omong-omong kata tetanggaku dia punya rekaman waktu Romlah dan anaknya ketangkap,” kata Indra.

“Kamu punya rekamannya juga?”

Indra menggeleng. “Belum aku minta. Kalau ada, nanti aku kasih tahu kamu.”

Kulihat Mama sedang mengobrol dengan beberapa guru di depan kantor.

“Oh iya, apa sih sebutannya hubungan sedarah?” tanyaku.

“Hubungan sedarah? Incest maksudmu?”

“Oh itu sebutannya.” Kuingat-ingat nama itu.

“Makanya sering-sering nonton bokep biar tahu,” kata Indra.

“Aku curiga anak itu sudah mengentot ibunya,” kataku.

Indra mengangguk. “Kalau dia bisa menyuruh ibunya melakukan apa yang dia mau, pasti dia juga menyuruh ibunya supaya mau dikentot.”

Aku setuju dengannya. Seandainya aku jadi anak itu, aku pasti sudah mengentot ibunya. Tapi aku penasaran bagaimana anak itu bisa membuat ibunya patuh seperti itu.

Kuputuskan sepulang sekolah nanti aku harus mengorek informasi si Romlah ini. Kasus incest ini benar-benar menarik perhatianku. Apalagi bisa dibilang anak itu berhasil memperbudak ibunya.

Bel sekolah berbunyi. Kami masuk kelas seperti biasa.

Ketika pulang sekolah, aku minta izin ke Mama untuk pergi duluan.

“Mau ke mana?” tanya Mama.

“Mau nongkrong sama anak-anak,” kataku. “Palingan sore nanti baru pulang.”

“Gak makan siang dulu?”

“Nanti sekalian makan siang bareng mereka.”

“Ya sudah, hati-hati di jalan dan jangan kesorean,” kata Mama.

Aku keluar dari kantor Mama dan langsung menghampiri Indra yang baru naik ke sepeda motornya.

“Minta tolong anterin aku pulang dong,” kataku.

“Tumben gak sama ibumu?” tanya Indra.

“Gak dulu deh. Lagi sibuk bener dia,” jawabku.

Indra mengantarku sampai ke rumah. Begitu sampai di rumah, aku langsung mengganti pakaian. Setelah itu kubuka garasi mobil, lalu kukeluarkan sepeda motorku. Mesinnya kupanaskan sebentar, kemudian aku melaju ke desa sebelah.

Jarak ke desa sebelah cukup dekat, mungkin sekitar lima kilometer. Jalanannya lebih sepi dan beberapa bagian belum diaspal. Aku harus sedikit hati-hati karena ada jalan yang berlubang.

Aku berhenti di depan sebuah warung kecil. Seorang pria tua melongok waktu aku mengentuk pintunya.

“Mau beli apa?” tanya pria tua itu.

“Maaf, saya gak mau beli. Saya mau tanya alamat rumah,” kataku.

“Rumah siapa ya?”

“Rumah Ibu Romlah,” jawabku cepat.

Pria tua itu menggaruk pipinya. “Ada banyak yang namanya Romlah di sini.”

“Romlah yang kemarin ketahuan telanjang di jalan.”

“Oh Romlah yang itu.” Pria tua itu memicingkan mata ke arahku. “Tapi kamu ada urusan apa ya?”

“Sa-saya wartawan lepas,” jawabku berbohong.

“Wartawan? Semuda kamu?”

“Saya memang masih sekolah sekaligus berlatih jadi wartawan,” kataku.

“Berarti berita itu sudah kesebar,” gumam pria tua itu. “Rumahnya masih jauh dari sini. Kamu lurus saja ikuti jalan ini, nanti kamu ketemu gapura merah. Masuk ke gapura, terus belok kanan di belokan pertama. Terus lagi sampai kamu lihat rumah tembok dicat putih. Itu dia rumahnya.”

Aku mengucap terima kasih, kemudian melanjutkan perjalanan.

Perjalanan jadi semakin sulit karena jalannya semakin sempit dan berbatu. Aku harus memelankan kendaraan dan melihat jalan dengan lebih teliti. Beberapa kali aku tersandung batu besar, tapi aku berhasil menyeimbangkan sepeda motor supaya tidak jatuh.

Setelah perjalanan panjang, aku tiba di rumah putih seperti yang disebut pria tua tadi. Rumah-rumah di sekitar dicat warna-warni dan cuma rumah itu yang dicat putih. Aku yakin sudah di jalur yang tepat.

Kuparkir sepeda motor agak jauh dan tertutup semak-semak tinggi. Rumah itu terlihat sepi. Pintu dan jendelanya tertutup. Kalau saja rumput-rumput di halaman depannya tidak terpotong rapi, siapa pun pasti mengira rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya.

Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Seorang anak seumuran denganku keluar dari rumah. Tubuh anak itu kurus dan pendek. Dia terlihat seperti remaja biasa. Anak itu menundukkan badan di pipa air yang menempel di dinding rumah, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Mungkinkah dia anak yang menyuruh ibunya telanjang di jalan?

Aku mengamati rumah itu selama setengah jam. Untungnya aku bisa melihat lebih leluasa karena ada semak-semak yang menutupiku. Anak itu tidak akan bisa melihatku dari sana.

Tak lama kemudian ada seorang wanita yang mengenakan gamis dan jilbab lewat di samping rumah. Meski wanita itu memakai gamis, aku bisa menebak kalau tubuhnya gemuk seperti Mama. Wajah wanita itu terlihat murung dan langkahnya pelan seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

Wanita itu masuk ke halaman rumah, lalu mengetuk pintu. Pintu terbuka, rupanya anak tadi yang membuka pintu. Wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Pintu ditutup lagi.

Aku memikirkan cara bagaimana bisa bertanya ke anak itu. Haruskah aku bertanya terus terang?

Kuputuskan untuk mendatangi rumah itu. Aku sudah bersusah payah sampai di sini dan aku tidak mau perjalanan ini sia-sia.

Kuketuk pintu rumah itu. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Terdengar suara wanita dari dalam. Pintu terbuka dan wanita bergamis tadi berdiri di balik pintu. “Siapa ya?”

“Saya temannya Tole,” jawabku.

“Tole siapa ya?” Wanita itu kebingungan.

“Maaf Bu, saya keseringan manggil anaknya ibu pakai Tole. Saya sampai lupa namanya.”

“Oh temennya Bagas. Sebentar.” Wanita itu menghilang di belakang ruang tamu. Tampaknya ia sedang memanggil anaknya.

Anak laki-laki bernama Bagas tadi muncul, tapi wanita itu tidak mengikutinya. Wajahnya sama kebingungan seperti wanita itu.

“Siapa ya?” tanya Bagas.

Aku menjulurkan tangan. “Maaf sudah membohongi ibumu. Aku Ehsan. Aku ke sini karena kabar soal ibumu.”

Alis Bagas terangkat. “Kabar apa?”

Aku berdehem. “Kabar kalau ibumu ketahuan telanjang di jalan.”

Raut wajah Bagas berubah. Aku kira dia bakal marah, ternyata dia malah tersenyum. “Wah kabarnya sudah menyebar ya.”

“Tapi gak masuk internet,” kataku menambahkan.

“Terus apa alasanmu ke sini?” tanya Bagas.

“Aku juga menyukai ibuku. Kita punya kesukaan yang sama,” kataku.

Senyum Bagas semakin melebar.

“Coba ceritakan soal ibumu.”​​​​​​​

Kami duduk di bawah pohon mangga berdaun rimbun di dekat rumah Bagas. Seekor kerbau sedang melamun di tengah sawah yang belum ditanami.

“Aku sering mengajak ibuku jalan-jalan di sini,” kata Bagas. “Sambil telanjang. Tentu saja.”

“Gimana caranya ibumu patuh sama kamu?” tanyaku.

“Eits itu nanti dulu,” kata Bagas. “Ceritakan dulu soal ibumu, baru aku cerita soal ibuku.”

“Awalnya aku gak pernah nafsu sama ibuku, tapi beberapa hari ini rasanya beda,” kataku. “Ini semua sejak aku mendengar gosip soal ibumu.”

Bagas tersenyum. “Mungkin kamu baru mendapat ide dari gosip itu.”

“Mungkin. Pokoknya setelah itu aku jadi tertarik melihat tubuh ibuku.”

“Lalu kamu sudah ngapain saja sama ibumu?” tanya Bagas.

“Kemarin aku pelorotin sempaknya waktu dia tidur siang. Wah, tegang sekali!”

“Oh baru ngintip pantatnya diam-diam.” Bagas mengangguk-angguk.

“Jangan bandingkan aku dengan kau,” kataku.

“Yah memang sih, semua dimulai dari hal-hal kecil dulu,” kata Bagas. “Boleh lihat foto ibumu?”

Kuperlihatkan foto Mama. Bagas terkekeh. “Wah badan ibumu oke bener. Pantes kamu jadi nafsu.”

“Mantep ‘kan? Jadi gimana dong supaya ibuku jadi nurut kayak ibumu?”

“Kayaknya ibumu PNS ya?”

Aku mengangguk. “Dia kepala sekolah di sekolahku.”

“Agak repot juga kalau dia dikenal banyak orang. Bedanya sama ibuku, ibuku cuma dikenal tetangga. Jadi gak masalah kalau kami ketahuan. Kalau kamu berhasil bikin ibumu nurut, ini bakal viral dan kalian bisa dikejar polisi.”

Anak ini pintar juga, pikirku.

“Tapi kita sama-sama di desa. Cuma sedikit yang pakai hape canggih. Jadi aku yakin gak bakal viral,” kataku.

“Iya sih, aku cuma mikirin risikonya,” kata Bagas.

“Aku sudah kasih info soal ibuku, sekarang bantu aku bikin dia nurut,” kataku.

Bagas menghela napas. “Sebenarnya caranya sederhana saja.”

“Apa itu?”

“Kamu harus bisa mengancam ibumu,” jawab Bagas.

“Caranya?” Aku semakin penasaran.

“Caranya ada banyak. Kamu bisa ancam bakal sebarin foto bugilnya, bisa sebarin info kalau dia selingkuh, atau banyak lagi. Kamu tinggal pilih yang kamu bisa.”

“Aku ada foto sempaknya,” kataku sambil menunjukkan foto saat aku dan Mama makan di warung soto.

“Ini kurang mengancam. Kamu harus bisa memotretnya telanjang, berikut wajahnya juga.”

“Wah sulit juga.”

“Dulu aku sudah bisa mengancam ibuku pakai foto pantatnya, tapi itu untung-untungan karena ibuku memang penakut. Kalau aku lihat, ibumu jauh lebih pemberani.”

Aku berpikir keras. Bagaimana caranya aku bisa memotret Mama telanjang?

“Ah aku dapat ide!” seru Bagas.

“Ide apa?”

“Ini ide bagus sekali. Aku baru kepikiran dari film-film JAV yang aku tonton.”

“Coba jelasin.” Aku jadi bersemangat.

“Aku pernah nonton film JAV yang mana ada sekelompok cowok menculik cewek yang lagi jalan, terus ceweknya ditelanjangi. Nah, kamu bisa pakai cara itu ke ibumu.”

“Menculik ibuku sendiri? Gila!”

“Risiko gede, hasilnya gede juga,” kata Bagas. “Apa ibumu sering keluar rumah?”

“Jarang sih. Kehidupannya cuma di kantor dan rumah saja.”

“Apa kalian ada rencana keluar berdua?”

“Gak ada deh, tapi-eh, aku ada ide!”

Bagas kaget melihatku mendadak bersemangat.

“Kalau gak salah, sekitar bulan depan bakal ada jalan santai.” Aku mulai menjelaskan. “Biasanya Mama jalan di barisan paling belakang. Itu bisa jadi kesempatanku buat menculiknya.”

“Nah, bener juga. Cuma kamu yang tahu kebiasaan ibumu.”

“Terus habis kuculik, ibuku diapain?”

Bagas menepuk jidat. “Aduh, kamu belum paham. Kamu telanjangi dia, terus kamu foto. Itu bisa kamu pakai buat mengancam ibumu.”

“Oh begitu.” Aku mengangguk paham. Memang terdengar sederhana di atas kertas, tapi praktiknya pasti luar biasa susah!

“Tapi ini berbahaya. Gak usah dilakuin kalau kamu takut,” kata Bagas.

“Jujur saja, memang menakutkan. Tapi aku ingin punya ibu yang menurut seperti ibumu.”

Kerbau di kejauhan mengangguk seolah setuju.

“Kalau berhasil, kujamin kau pasti ketagihan,” kata Bagas.

Pikiranku sudah terbang membayangkan bisa menyuruh Mama telanjang semauku. Membayangkannya saja sudah bikin kontolku tegang.

“Gimana bapakmu waktu tahu hubunganmu sama ibumu?” tanyaku.

“Minggat,” jawabnya singkat. Dia merenung sebentar, lalu melanjutkan. “Yang pasti dia malu. Tapi baguslah, aku jadi lebih bebas menyuruh Mama.”

Bu Romlah keluar dari pintu belakang sambil membawa keranjang pakaian. Tampaknya dia mau menjemur pakaian.

“Mama! Ke sini dong!” seru Bagas.

Wanita itu menurunkan keranjang pakaiannya, lalu berjalan mendekati kami.

“Ada apa, Nak?”

“Kasih lihat tetek Mama ke temanku ini,” kata Bagas. Suaranya terdengar santai, seperti mengobrol biasa.

Aku terkejut melihat Bu Romlah yang langsung membuka kancing atas gamisnya, lalu mengeluarkan salah satu teteknya. Wajah Bu Romlah terlihat risih.

Itu adalah pertama kalinya aku melihat tetek wanita secara langsung. Tetek Bu Romlah mungkin sama ukurannya dengan tetek Mama. Pentilnya cokelat tua dan urat-urat kecil menjalar di sekitar pentilnya.

Kontolku rasanya mau meledak!

“Asik ‘kan punya ibu yang bisa disuruh-suruh begini?” kata Bagas sambil memuntir-muntir pentil ibunya.

Aku menelan ludah melihat pentil Bu Romlah yang semakin mengacung.

“Mau coba pegang? Buat pemanasan sebelum kamu coba ke ibumu sendiri,” kata Bagas. Ia mendorong ibunya supaya mendekatiku.

Pentil Bu Romlah cuma beberapa senti dari wajahku. Aku langsung melahap pentilnya. Rasanya asin dan beraroma sabun mandi.

“Wah beringas juga kau,” kata Bagas sambil tertawa.

Sambil mengenyot pentilnya, kulirik wajah Bu Romlah. Wanita itu meringis kesakitan. Mungkin aku mengenyot terlalu keras. Telahdewasa.com

“Uuuhhh…” erang Bu Romlah.

Kumasukkan tanganku ke dalam kerah gamisnya. Kuremas teteknya yang masih di dalam gamis, lalu kukeluarkan. Wajahku kini dijepit kedua teteknya.

Kuturunkan kepalaku sampai ke perutnya. Meski tertutup gamis, hidungku menyentuh lekukan udelnya.

“Wah jago juga ya kamu,” kata Bagas. Anak itu sepertinya senang melihat ibunya digerayangi orang lain.

Kuraih bagian bawah gamis Bu Romlah, lalu kunaikkan sampai melewati perutnya. Rupanya Bu Romlah tidak memakai sempak. Berbeda dengan memek Mama yang ditumbuhi jembut panjang sampai ke belahan pantat, jembut Bu Romlah pendek seperti dipotong beberapa hari yang lalu.

Lidahku kini menyasar ke memek Bu Romlah. Pahanya menegang saat ujung lidahku menyentuh bibir memeknya. Memeknya beraroma keringat dan sedikit pesing. Aku jadi teringat saat aku mengendus pantat Mama kemarin.

Bibir memek Bu Romlah sedikit terbuka, mungkin karena sering dipakai Bagas. Aku curiga anak itu tidak cuma memasukkan kontol ke memek ibunya, tapi juga benda lain yang lebih besar. Bibir memek itu kubuka dengan jari, lalu bagian dalamnya kujilat. Lidahku menyentuh semacam cairan bening. Kujilat terus memeknya sambil berharap cairan itu tersapu bersih, tapi cairan itu terus mengalir dan keluar semakin banyak.

Paha Bu Romlah semakin menegang. Tiba-tiba saja cairan bening itu menghambur keluar seperti tanggul sungai bocor. Mulutku sampai belepotan dipenuhi cairan memek Bu Romlah.

“Sudah cukup,” kata Bagas. Ia menarik badan ibunya dan meninggalkan lidahku yang masih menjulur. Aku mengelap mulutku supaya bersih dari cairan memek.

“Wow!” Aku takjub dengan kegiatan barusan.

“Selanjutnya silakan sama ibumu sendiri,” kata Bagas. Ia mengelus memek ibunya.

“Oke kalau begitu. Thanks atas sarannya,” kataku sambil bangkit dari tempat duduk. “Kau gak keberatan kalau aku ke sini buat konsultasi?”

“Datang saja kalau kau ada perlu. Aku malah senang karena punya teman sepemikiran,” kata Bagas.

Aku pamit pulang. Bagas melambaikan tangan, sementara tangan satunya masih mengelus memek ibunya.

Di sepanjang jalan, jantungku berdegup keras karena membayangkan apa yang akan aku lakukan ke Mama. Rasanya tidak sabar menjalankan rencana ini.

Bersambung…

Sebelum sampai rumah, aku mampir ke warung makan karena perutku keroncongan. Matahari sudah condong ke barat. Rumah Bagas ternyata lebih jauh dari perkiraanku, tapi aku sama sekali tidak menyesal. Malah aku mendapat pengalaman dan ide yang sangat berharga.

Ketika aku sudah dekat rumah, kulihat banyak anak kecil bergerombol di depan pagar. Mereka tampaknya sedang mengamati sesuatu.

Aku penasaran apa yang sedang mereka lihat. Di halaman depan cuma ada Mama yang sedang mengurus tanaman-tanaman hias.

Bahkan ketika aku berhenti di depan rumah pun, anak-anak itu tetap mengamati halaman rumahku.

Mama menyalakan keran air, lalu menyiram tanaman. Ia memakai daster yang lebih pendek dan ketat dari biasanya.

Tidak ada yang aneh dengan Mama. Namun, begitu Mama jongkok untuk mencabuti rumput, aku baru mengerti kenapa anak-anak itu pada asik memperhatikan Mama.

Daster Mama yang ketat menyulitkannya berjongkok. Jadi Mama menaikkan bagian bawah dasternya sampai ke perut supaya bisa jongkok. Masalahnya, Mama tidak pakai sempak, jadi bagian punggung sampai pantat telanjangnya langsung kelihatan begitu dia jongkok.

“Wih, pantatnya gila,” bisik bocah-bocah ingusan itu.

Mama santai saja diperhatikan mereka. Aku buru-buru masuk ke halaman rumah untuk memberitahu Mama.

“Ma, kok pantatnya kelihatan gitu? Dilihat anak-anak tuh.”

Mama menoleh ke anak-anak di belakangnya. “Gak apa-apa. Lagian mereka masih kecil.”

Kuamati pantat Mama yang berkeringat. Ingin sekali mengelap punggung dan pantatnya dengan kontolku.

“Kamu udah makan? Mama beli nasi goreng pas pulang tadi,” kata Mama.

“Sudah Ma. Tapi nanti aku makan deh biar gak sia-sia,” kataku.

Mama berdiri. Darahku mendesir. Dasternya masih tergulung sehingga sekarang bukan cuma pantatnya saja yang kelihatan, tapi memeknya juga. Benar dugaanku, memek Mama ditumbuhi jembut panjang tebal sampai nyaris menutupi memeknya.

BACA JUGA:

BU GURU NGAJI

Anak-anak di belakang Mama semakin riuh berbisik. Tangan-tangan mereka sampai mencengkram pagar.

“Ma, benerin dulu dasternya. Memek Mama kelihatan,” kataku meski di dalam hati juga menikmatinya.

“Loh cuma mereka sama kamu doang yang lihat,” kata Mama. Ia melempar rumput-rumput liar yang tadi dicabutnya ke pojok halaman.

Wah Mama benar-benar luar biasa, pikirku.

“Mama gak malu ya telanjang di depan umum?” tanyaku.

Mama mengelap keringat di dahinya. “Ya malu kalau banyak orang dewasa. Kalau cuma anak-anak kecil sih gak masalah. Toh mereka bisa apa.”

Aku ingin menjawab “Bisa ngaceng”, tapi aku tahan karena tidak sopan.

Mataku terus menatap ke memek Mama. “Jembut panjang bener.”

“Mama lagi males potong. Nantilah kalau ada waktu,” kata Mama.

Tiba-tiba aku mendapat ide. “Gimana kalau aku yang cukur, Ma?”

Jantungku berdegup keras menunggu jawaban Mama. Tawaran tadi memang nekat, tapi aku harus berani nekat dan mengambil risiko.

“Biasanya Papa yang bantu motongin.” Mama melirik ke memeknya. “Kamu yakin bisa nyukur jembut Mama? Harus hati-hati biar gak luka.”

“Bisa Ma!” jawabku cepat.

“Potong sekarang aja yuk, mumpung Mama belum Mandi,” kata Mama. Ia mencuci tangannya pakai air dari keran, lalu masuk ke rumah. Sepeda motor aku taruh di depan rumah, lalu aku mengikuti Mama.

Wah, hari ini benar-benar hari keberuntunganku!

“Cuci dulu tanganmu biar kuman-kumannya mati,” kata Mama dari kamar. Ia keluar dengan membawa sebotol krim cukur dan pisau silet.

Aku buru-buru mencuci tangan. Rasanya tidak sabar untuk menyentuh memek Mama!

Mama duduk di sofa ruang tamu. Lampu di ruang tamu menyala. Dia bilang biar aku bisa melihat lebih jelas.

“Jadi caranya gimana nih, Ma?” tanyaku.

“Memeknya dibersihin dulu.” Mama mengambil selembar tisu dari atas meja, lalu mengelap memeknya.

Usai mengelap memek, Mama melebarkan kedua pahanya. “Kelihatan jelas gak?”

Aku menelan ludah. “Je-jelas Ma.”

Memek Mama terpampang jelas di depanku. Selangkangannya memang tidak semulus selangkangan wanita-wanita di film bokep. Ada kerutan di sekitar memeknya, tapi aku merasa tidak masalah sama sekali.

“Oles dulu krim cukur ke memek Mama,” kata Mama.

Kukocok botolnya, lalu isinya kutuang ke tangan. Krim itu menggumpal di telapak di tanganku, menunggu digunakan.

“Pelan-pelan gosoknya,” kata Mama.

Kuarahkan tanganku ke memek Mama. Saking tegangnya, tanganku sampai bergetar.

“Loh kenapa bergetar gitu?” tanya Mama.

“Takut salah, Ma,” kataku.

“Udah santai aja,” kata Mama.

Tanganku akhirnya menempel ke memek Mama. Ujung bulu-bulu jembutnya menggelitik telapak tanganku sehingga aku merasa geli. Pelan-pelan kugosok krim itu sampai merata di memek Mama.

“Nah pinter,” puji Mama.

Sambil menggosok memek Mama, diam-diam aku menikmati setiap gesekan di telapak tanganku. Tekstur memek Mama lunak dan agak basah. Aku menahan diri sekuat mungkin untuk tidak mencolok memeknya dengan jari telunjukku.

“Sekarang cukur jembut Mama dari atas ke bawah kayak kamu cukur kumis. Pelan-pelan ya!”

Ini bagian yang paling menegangkan. Aku sering mencukur kontolku dan itu gampang saja karena batang kontolku tidak ada kerutannya. Memek Mama banyak kerutan sehingga bisa terluka kena pisau cukur.

Napasku tertahan saat pisau cukur menyentuh memeknya. Kugerakkan pisau cukur ke bawah sepelan mungkin. Dalam sekali gerakan, puluhan bulu jembut berjatuhan di sofa. Kulit bibir memek Mama langsung terlihat.

Mencukur pinggiran memek Mama ternyata tidak sesulit yang aku kira. Sejauh ini cukuranku rapi dan tidak ada luka. Mama juga terus mengingatkanku agar hati-hati.

Pinggiran memek Mama sudah beres, sekarang bagian tengah memeknya.

Mama membersihkan memeknya dengan tangan supaya potongan bulu jembut yang masih menempel tidak menggangguku. Kemudian dia melebarkan memeknya dengan kedua tangannya.

“Nih, Mama bantu pegangin memek biar kamu gampang cukur tengahnya,” kata Mama.

Badanku panas dingin melihat memek Mama yang menganga. Mama membuka terlalu lebar sampai klitorisnya menonjol.

Kutempel pisau cukur ke bibir memek tengah, lalu kugerakkan dari atas ke bawah. Aku harus ekstra hati-hati karena kulitnya jauh lebih lunak daripada pinggirannya. Pelan tapi pasti, aku bisa memotong jembut tengah Mama sampai bersih.

Ketika mendekati akhir, jari telunjukku terpeleset krim cukur yang licin. Akibatnya jari telunjukku mencoblos memeknya. Mama tersentak kaget, begitu juga aku.

“Waduh!” seru Mama.

Saking paniknya, aku sampai menjatuhkan pisau cukur.

“Mama gak apa-apa?”

“Gak apa-apa sih.” Mama melirik ke bawah. “lepasin dulu jarimu.”

Aku baru menyadari kalau jari telunjukku masih mencoblos memeknya. Aku buru-buru menarik tanganku.

“Sori, Ma!”

“Udah, gak apa-apa,” kata Mama. “Selesaikan dulu cukurannya. Udah nanggung.”

Aku menunduk lagi untuk melanjutkan memotong jembutnya. Dalam sekali gerakan pelan, aku menyelesaikan potonganku. Memek Mama kini bersih dari jembut. Rupanya memek Mama agak hitam, meski bagian dalamnya merah muda.

“Kamu cuci tangan aja, biar Mama bersihin ini,” kata Mama sambil menunjuk ke potongan-potongan jembut di lantai.

Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Tapi sebelum mencuci tangan, kujilat jari telunjukku yang masih basah oleh cairan memek Mama.

Mengingat memek Mama bikin aku ingin coli. Kukeluarkan kontolku yang sudah mau meledak. Kutuang sabun cair ke tangan, lalu kugosok kontolku.

“Oh, Mama,” desahku.

Beberapa detik saja kontolku sudah memuncratkan sperma. Namun, kontolku masih keras. Jelas saja karena aku masih terbayang-bayang memek Mama. Akhirnya aku coli lagi. Kontolku baru tenang setelah muncrat kedua kali.

“Cuci tangan kok lama bener?” tanya Mama dari dapur. Tampaknya ia sudah selesai membersihkan lantai.

Kubuka pintu kamar mandi. Mama sedang duduk di kursi, menungguku keluar.

“Mama juga mau cuci tangan,” katanya sambil masuk ke kamar mandi.

Kuperhatikan belahan Mama yang tercetak di belakang dasternya.

Tunggu saja, pikirku. Sampai aku bisa meremasnya sesukaku.

Besoknya di kantin sekolah, Indra menyodorkan smartphone-nya sambil tersenyum. “Nih, aku punya video waktu Romlah ketahuan warga. Durasinya panjang juga.”

Aku tertawa dalam hati. Dia belum tahu kalau aku sudah mencicipi tetek Romlah kemarin.

Sebelum menyetel videonya, dia mengecilkan volume-nya dulu biar suaranya tidak terdengar yang lain.

Layar smartphone-nya menampilkan sekumpulan bapak-bapak yang berkerumun di depan pos kamling. Jumlahnya mungkin sekitar delapan atau sepuluh orang. Suasananya masih siang hari.

“Hayo, kamu lagi ngapain!” bentak seorang pria yang mengenakan sarung. Tangannya menunjuk ke seorang wanita yang berdiri ketakutan. Wanita itu memakai jilbab dan kaos yang bagian bawahnya tergulung sampai kedua teteknya keluar. Wajah wanita itu ketakutan. Dia adalah Bu Romlah.

“Sama siapa kamu ke sini?” tanya yang lain.

Bu Romlah diam saja. Kedua tangannya bergetar.

“Telanjangin aja!” seru salah satu mereka. Yang lainnya juga menyerukan hal yang sama.

Seorang pria bergerak maju. Bu Romlah melangkah mundur. Pria itu menyergap Bu Romlah. Kedua tangan Bu Romlah dipegang dari belakang. Wanita itu meronta-ronta berusaha membebaskan diri.

“Orang-orang bilang kalau Bu Romlah sering jalan telanjang, ternyata bener,” kata pria bersarung. Tangannya memelintir pentil Bu Romlah. “Wah, keras bener nih pentilnya!”

Bapak-bapak itu bergantian memelintir pentil Bu Romlah. Bu Romlah berteriak minta tolong, tapi jalanan di desa itu memang sepi. Mau berteriak seperti apa pun, tidak bakal ada yang menolong.

Kaos Bu Romlah dirobek, lalu dibuang. Wanita itu cuma mengenakan jilbab dan celana saja.

Setelah memelintir pentilnya, mereka mulai bergantian mengenyot pentilnya. Pentil Bu Romlah basah kuyup terkena liur mereka.

Kamera menyorot ke bawah. Tangan si perekam meraih celana Bu Romlah, lalu memelorotkannya ke bawah. Yang lainnya ikut membantu melepas celana Bu Romlah.

PLAK! PLAK!

Mereka menampar pantat telanjang Bu Romlah. Perutnya juga ikut ditampar sampai memerah.

Pria bersarung tadi menarik jembut Bu Romlah, terus berbicara ke arah kamera. “Ini namanya jembut.”

Salah satu pria mencolok memek Bu Romlah dengan keempat jarinya sekaligus. Kedua kaki Bu Romlah sampai menjinjit karena kaget.

“Ampun!” teriak Bu Romlah.

“Memek lober!” teriak pria itu sambil memutar-mutar jari tangannya.

Tubuh Bu Romlah ditundukkan sampai pantatnya menungging. Belahan pantatnya dibuka lebar-lebar sampai anusnya menganga. Tangan-tangan pria lain langsung rebutan mencolok anus Bu Romlah.

“Lobangnya item bener!” seru mereka sambil tertawa.

Kamera mendekat ke arah anus Bu Romlah yang gelap dan menganga, lalu pindah ke memeknya yang masih dicolok-colok orang lain.

Pria bersarung tadi menurunkan sarungnya. Kontolnya yang hitam berdiri tegak. Ia mengusir tangan-tangan temannya supaya lepas dari memek Bu Romlah.

“Mau kupakai ini lonte!” serunya.

Ia menampar pantat Bu Romlah, lalu mencengkramnya. Dalam sekali gerakan, kontolnya menghujam memek Bu Romlah.

Bu Romlah mengerang nyaring. “Sakit!”

Pinggul pria bersarung bergerak maju mundur. Semakin lama, gerakannya semakin cepat. Badannya mengejang, lalu kembali normal. Ia mencabut kontolnya yang berlumuran sperma dari memek Bu Romlah.

“Masih enak,” komentarnya.

Aku pikir dia selesai sampai di situ. Ternyata dia mengarahkan kontolnya yang masih mengeras ke anus Bu Romlah.

“Ampun pak!” seru Bu Romlah saat pria bersarung itu berusaha menyodomi anusnya.

“Diem!” bentak pria bersarung. Dia tampak kesulitan memasukkan kontolnya ke anus Bu Romlah.

Pria bersarung itu membuka anus Bu Romlah dengan kedua tangannya. Ia tertawa keras saat kepala kontolnya berhasil masuk ke anus Bu Romlah.

Pria-pria lain memegang kedua tangan dan kaki Bu Romlah yang meronta-ronta. Kamera bergerak ke wajah wanita malang itu yang berlinang air mata.

“Makanya jangan pamer tetek sembarangan. Kita jadi pengen ‘kan,” kata kameraman.

“Sempit bener ini pantat,” kata pria bersarung. Suaranya nyaris tidak terdengar karena teman-temannya terlalu berisik.

Tampaknya pria bersarung itu kesusahan menyodomi anus Bu Romlah. Ia mencabut kontolnya. Wajahnya terlihat kecewa.

Teman-temannya langsung menyerbu anus dan memek Bu Romlah lagi. Dua jari telunjuk masuk ke anusnya dan tiga jari telunjuk masuk memeknya. Bu Romlah sudah berhenti minta tolong. Mungkin dia sudah menyadari kalau teriakannya sia-sia.

Seorang pria berdiri di belakang pantat Bu Romlah, menggantikan posisi temannya. Sementara ada pria lain yang berdiri di depan wajah Bu Romlah. Keduanya mengeluarkan kontol masing-masing.

Wajah Bu Romlah terlihat tegang. Sepertinya dia bisa menebak apa yang akan terjadi.

Pria di belakangnya memasukkan kontolnya ke memek Bu Romlah. Kontol pria itu lebih panjang dan besar dari kontol pria bersarung. Baru saja setengah batang kontolnya masuk, tubuh Bu Romlah sudah terdorong ke depan.

Mulut Bu Romlah terbuka dan hendak berteriak lagi, tapi pria di depannya langsung memasukkan kontolnya ke mulut Bu Romlah. Pria itu menampar pipi Bu Romlah dan menyuruhnya membuka mulut lebih lebar. Bu Romlah menurut. Pria itu mendorong kontolnya lebih dalam ke mulut Bu Romlah.

Sambil menunggu giliran, bapak-bapak lainnya meremas kedua tetek Bu Romlah yang menggantung seolah-olah sedang memerah sapi.

“Ah keluar juga,” kata pria di depan Bu Romlah. Ia mengeluarkan kontolnya dari mulut Bu Romlah. Wanita itu meludahkan sperma dari dalam mulutnya. Pria di depannya marah, lalu menamparnya. “Jangan kau buang! Telan!”

Bu Romlah tidak punya pilihan selain menelan sperma yang tersisa. Kamera mengarah ke wajahnya yang terlihat mual. Telahdewasa.com

Pria lainnya menjambak rambut Bu Romlah. “Ayo ngaku kenapa kamu pamer tetek di sini?”

Bu Romlah diam saja. Pria itu menjambak rambutnya lebih keras. “Ayo ngaku!”

“Di-disuruh,” jawab Bu Romlah terbata-bata.

“Disuruh siapa?”

“Anakku.”

“Mana anakmu?” tanya pria lainnya.

Bu Romlah menunjuk ke satu arah. Pria bersarung melihat ke arah yang ditunjuk, lalu pergi bersama kedua temannya.

Video berakhir.

Aku tercengang. Bu Romlah bukan cuma ketahuan, tapi juga diperkosa tetangganya sendiri!

“Wah gila ini,” kataku sambil mengembalikan smartphone itu ke Indra.

“Kasihan ya,” komentar Indra. “Bayangin ibumu diperkosa orang terus direkam.”

Aku jadi membayangkan kalau Mama diperkosa. Anehnya, aku tidak merasa kasihan. Kontolku malah mengeras!

“Menurutmu wajar gak kalau anak nafsu sama ibunya?” tanyaku.

Indra memandangku heran. “Ya gak wajarlah. Menurutku gila sih kalau sampai nafsu sama ibunya sendiri.”

“Kau pernah lihat ibumu telanjang?”

“Gak pernah sih. Palingan cuma lihat dia jalan pakai handuk saja kalau selesai mandi,” jawab Indra. “Kenapa kau nanya gitu?”

Aku berdehem. “Mungkin anaknya sering lihat ibunya telanjang di rumah. Kita tahu sendiri kalau ibu kita suka pakai baju seksi atau seenaknya saja kalau di rumah. Jadi anak itu lama-lama nafsu sama ibunya. Gak tahu deh caranya gimana sampai dia bisa nyuruh-nyuruh ibunya.”

“Mungkin saja. Tapi menurutku tergantung ibunya juga sih, masih oke atau kagak,” kata Indra.

“Bener juga,” kataku. “Romlah masih oke tuh. Semok dan teteknya gede. Kalau kamu jadi anaknya, kamu bakal nafsu sama ibumu gak?”

Indra menggaruk kepalanya. “Mungkin ya. Romlah seksi bener sih.”

Bel masuk kelas berbunyi.

Aku minta tolong Indra untuk mengirim video itu ke smartphone-ku. Asik juga melihat Romlah diperkosa. Aku berharap Mama bernasib sama sepertinya.

Bersambung…

Hari ini Bu Susi, guru Geografi, tidak mengajar karena sakit flu. Jadi pelajaran di jam terakhir kosong. Teman-temanku menghabiskan waktu dengan mengobrol dan tidur di meja. Aku memilih mampir ke kantor Mama. Dia pasti tidak keberatan.

Pintu kantor Mama tidak terkunci. Aku masuk ke ruangannya.

Ya ampun, ruangannya terasa pengap! Jendela di belakang Mama terbuka. Lampu ruangan dimatikan. Mama sedang menulis dengan dibantu sinar matahari yang masuk lewat jendela.

“Ma, kok panas bener di sini?” tanyaku.

“AC-nya rusak,” jawab Mama. “Kemarin AC mobil rusak, sekarang AC kantor yang rusak. Kenapa harus rusak pas musim panas gini sih?”

“Sudah panggil tukang servis AC?”

“Mama mau panggil besok aja. Lagian ini sudah mau jam pulang. Mama gak mau nungguin sampai sore,” kata Mama. Ia menyibak jilbabnya sampai leher, lalu mengipasnya dengan gulungan koran.

“Mama gak panas pakai seragam itu?” tanyaku.

“Panas banget ini bahannya. Mana tebal pula,” jawab Mama. “Punggung sama kaki Mama keringetan.”

“Kenapa gak buka baju aja Ma. Toh gak ada yang lihat di sini,” kataku.

“Kalau ada guru masuk ke sini gimana dong,” kata Mama.

“Mereka ngetuk pintu dulu ‘kan? Mama bisa pakai baju lagi.”

“Bener juga sih.” Mama tampak berpikir. “Oke Mama mau lepas baju. Kamu jaga-jaga kalau ada yang mau ke sini.”

“Beres Ma,” kataku sambil mengacungkan jempol.

Mama melepas beberapa kancing bagian atas kemejanya. Kedua teteknya yang terbalut beha hitam menyembul keluar. Ia mengipasi belahan teteknya.

“Ah adem bener,” kata Mama.

Ia lanjut melepas semua kancing kemejanya. Aku bisa melihat perutnya yang ada lipatan lemaknya. Udelnya sedikit berkilau karena bulir-bulir keringat yang terkumpul di sekitar udel. Mama mengipasi perutnya yang kini telanjang.

Posisi dudukku mulai terasa tidak nyaman karena kontolku mengeras. Ritsleting celanaku sampai menonjol.

“Bu-buka aja sekalian Ma,” kataku.

“Bentar, Mama mau nulis dulu,” kata Mama.

Ia menulis selama beberapa menit sambil mengipasi perutnya. Kertas-kertas yang sudah ditulisi diratakannya, lalu ditaruh di kotak berkas.

Mama bangkit dari kursinya. Ia melepas kemejanya, lalu disampirkan ke sandaran kursi. Mama berdiri di depanku cuma mengenakan jilbab, beha, dan rok panjang.

“Ternyata enak juga. Kayak lagi di rumah,” kata Mama.

Kulipat kakiku agar Mama tidak melihat tonjolan di ritsletingku. “Mama gak pernah begini di rumah,” kataku.

“Kamu tidur siang terus sih, jadi gak pernah lihat,” sahut Mama.

Kalau begitu aku gak bakal tidur siang lagi, pikirku.

Mama berdiri memunggungiku. “Nak, minta tolong kipasin punggung Mama dong.”

Aku mengambil koran dari tangannya, lalu mengipasi punggungnya. Bulir-bulir keringat mengalir dari pundak ke punggungnya. Bulir-bulir itu tertahan di tali beha Mama sampai tali behanya basah.

“Mama gak sesak pakai beha setiap hari? Kayaknya beha Mama kekecilan,” kataku.

“Sebenernya udah sesek sih. Mama pengen beli beha sama sempak baru. Kalau kekecilan, punggung sama pinggang Mama jadi gatel,” keluhnya.

“Mendingan Mama cepet-cepet beli deh daripada jadi biang keringat,” kataku. “Tapi Mama seksi juga pakai beha ketat begini.”

“Yang bener kamu. Mama udah berumur gini,” kata Mama sambil tertawa.

“Beneran Ma. Mama masih cantik dan seksi kok,” kataku.

“Mama dulu lebih cantik lagi, makanya Papa sampai naksir Mama,” kata Mama.

“Omong-omong tali beha Mama basah nih. Mama gak mau lepas beha aja?”

“Nanti kamu lihat tetek Mama dong,” ujar Mama.

“Kemarin Mama santai aja aku cukur jembutnya, masa Mama malu kalau teteknya aku lihat.”

“Soalnya tetek Mama udah kendor. Mama jadi gak percaya diri,” keluhnya.

“Kendor dari mananya? Masih kenceng gitu.”

Mama terkekeh. “Ini ‘kan karena tertekan beha, makanya kayak kenceng.”

“Udah Mama gak usah malu. Mama mau sekendor apa pun tetep cantik kok,” kataku.

“Kamu muji Mama melulu. Mau minta uang jajan ya?” tanya Mama.

“Mama kok curigaan gitu? Nggak, Ma. Beneran ini.”

“Oke, Mama lepas beha deh,” kata Mama. Kedua tangannya berusaha meraih kait beha di punggungnya, tapi tidak sampai. “Kayaknya Mama tambah gemuk deh. Minta tolong lepasin dong.”

Aku menerimanya dengan senang hati. Kuraih kait beha Mama, lalu kulepas.

TEK!

Beha hitam itu melorot ke perut Mama, tapi Mama segera menahannya sebelum jatuh ke lantai.

“Haaaaah, Mama bisa bernapas lega,” kata Mama sambil merenggangkan badan. “Udah deh kipasinnya. Mama mau lanjut kerja.”

Mama membalikkan badan. Kedua teteknya bergoyang mengikut gerakannya. Aku tercengang melihat teteknya yang menggantung seperti pepaya matang. Ukurannya sedikit lebih besar dari tetek Romlah, agak kendur, dan berurat. Lebih menakjubkan lagi adalah pentilnya yang berwarna cokelat tua.

“Kamu sehat?” Mama menatapku bingung. “Kok diem gitu?”

Aku mengerjapkan mata. “Sehat Ma. Cuma takjub ngelihat tetek Mama.”

“Kenapa? Jelek ya?” Wajahnya terlihat sedih.

“Oh, nggak Ma. Masih bagus kok!”

“Masa sih? Ini udah kendor kayak tetek sapi,” kata Mama sambil meremas kedua teteknya. Kontolku semakin memberontak. Gila!

“Mama mau kerja dulu,” kata Mama sambil duduk di kursi kerjanya. Ia kembali menulis berkas-berkas yang belum selesai.

Itu adalah hari terindah dalam hidupku. Melihat Mama yang lagi bekerja, tanpa memakai kemeja, dan kedua teteknya yang telanjang bergelantungan di luar. Ditambah paparan sinar matahari membuat kulit Mama yang kecokelatan terlihat semakin eksotis.

“Pulang sekolah nanti kita mampir ke pasar dulu yuk. Mama mau beli beha sama sempak baru,” kata Mama tanpa menoleh.

“O-oke Ma!” jawabku cepat.

Aku hampir lupa, ini dia momen yang tepat!

Kukeluarkan smartphone-ku, lalu kunyalakan kameranya. Kuarahkan kamera ke Mama. Posisinya cocok, wajah dan teteknya ada dalam satu frame.

CEKREK!

Astaga, aku lupa mematikan suara kamera!

Mama menoleh. “Kamu motoin Mama?”

“Ng-nggak Ma. Aku lagi selfie,” kataku. Aku buru-buru mematikan suara kamera dan melakukan selfie.

“Mama jangan difoto, nanti kalau kesebar gimana.”

“Nggak Ma. Beneran deh.” Kutunjukkan hasil foto selfi barusan.

Aku menghela napas lega. Fitur kamera aku ganti ke video. Aku pun merekam Mama. Kamera aku arahkan bergantian ke wajah dan teteknya, lalu aku perbesar. Wow, ini bakal jadi rekaman paling berharga!

Tidak terasa setengah jam berlalu. Bel pulang sekolah berbunyi. Mama langsung mengenakan beha dan kemejanya kembali. Aku pamit buat mengambil ransel di kelas, tapi nanti balik lagi ke kantor Mama.

“Inget ya, Mama jangan difoto,” kata Mama.

“Gak ada Ma. Mama gak percaya sama aku?”

“Habisnya tadi kok kameranya mengarah ke Mama.”

“Tapi aku pakai kamera depan, gak pakai kamera belakang. Mama gak usah takut,” kataku.

Mama menopang dagunya. “Ya sudah, nanti balik lagi ke sini. Habis itu kita pulang.”

Aku nyaris teriak kegirangan waktu keluar dari kantor Mama. Akhirnya aku mendapat rekaman video dan foto Mama lagi pamer tetek!

Otakku sudah dipenuhi bayangan-bayangan aku sedang mengentot Mama. Tapi aku pikir sebaiknya berkonsultasi ke Bagas dulu sebelum melangkah lebih jauh.

Sebelum masuk kelas, aku belok ke toilet untuk coli. Dari tadi kontolku terasa mau meledak. Aku harus menenangkan diri supaya bisa berpikir jernih.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah kembali ke kantor Mama dengan membawa ransel. Mama sudah mengemas berkas-berkasnya ke dalam tas jinjing.

“Udah lapar? Kalau udah, kita mampir cari makan dulu. Kalau belum, kita langsung ke pasar,” kata Mama.

“Belum laper sih Ma. Mendingan kita ke pasar dulu deh,” kataku.

“Oke, yuk kita ke pasar.”

Aku dan Mama berjalan menuju lapangan parkir. Mama terus bertanya soal pelajaran-pelajaran yang aku terima hari ini, tapi aku tidak fokus menjawab karena terus memikirkan betapa enaknya kalau bisa mengentot Mama.​​​​​​​

Mobil bergerak keluar dari lapangan parkir sekolah. Sesuai kebiasaan, Mama menurunkan kaca untuk mengucapkan terima kasih ke Pak Paijo. Begitu ban menyentuh aspal jalan besar, Mama langsung tancap gas. Mobil melesat meninggalkan sekolah.

Bagian dalam mobil terasa sejuk. Rupanya Mama sudah memperbaiki AC mobil. Aku agak kecewa karena sebenarnya aku mau meminta Mama membuka kancing seragamnya lagi kalau dia kepanasan.

Perjalanan ke pasar cukup jauh dan Mama tidak bisa terus melaju karena beberapa kali harus berhenti karena ada bebek atau sapi menyeberang jalan. Sebagian jalan belum diaspal sehingga mobil terguncang-guncang karena menginjak bebatuan.

Setelah melewati banyak hambatan, akhirnya kami sampai di pasar. Tempat itu satu-satunya tempat teramai di desaku. Semua orang, baik dari desa lain maupun kota, datang ke sana untuk berbelanja karena barang-barangnya lebih lengkap dan harganya murah.

Seorang tukang parkir membantu Mama mengarahkan mobil ke tempat parkir. Setelah berhasil memarkir mobil, Mama mematikan mesinnya. Kami keluar dari mobil bersamaan.

Begitu di luar, Mama membenahi jilbabnya agar wajahnya tidak terkena sinar matahari. Ia cepat-cepat berlindung ke sebuah bangunan kecil. Mama memang tidak suka kepanasan.

Dari bangunan itu, kami berjalan lurus dan belok ke kanan. Kami tiba di deretan ruko yang menjual berbagai macam peralatan dapur, handphone, peralatan tani, dan pakaian.

Kami masuk ke salah satu toko pakaian. Lantai bawah toko itu menjual berbagai macam pakaian pria, wanita, dan anak. Pakaian dalam wanita diletakkan di bagian belakang, berdekatan dengan ruang ganti. Mungkin biar pembeli tidak repot-repot membawa pakaian dalam untuk dicoba.

Mama melihat-lihat pakaian dalam wanita yang dipajang. Ia mengambil sehelai sempak berwarna putih tebal, lalu menunjukkannya kepadaku.

“Menurutmu gimana?” tanya Mama.

“Modelnya kuno,” kataku.

“Mama gak pentingin model, yang penting pas,” kata Mama.

“Sesekali pakai yang modelnya kekinian dong, biar Papa juga senang lihatnya,” kataku.

Mama menyibak sempak-sempak wanita yang di gantungan pakaian. Ia mengambil sehelai sempak yang lebih tipis dari sebelumnya, tapi lingkar pinggangnya lebar.

Aku mengacungkan jempol. “Nah itu keren!”

Mama mengambil tiga sempak yang modelnya sama, tapi berbeda warna. Sekarang ia mencari beha yang sesuai.

Aku membantunya memilih beha. Dasar Mama yang memang kuno, semua beha yang dia pilih modelnya kuno semua. Aku memilih beha yang bahannya tipis, bahkan ada yang transparan. Mama menerimanya tanpa banyak tanya.

Mama membawa beha dan sempak pilihanku ke kamar ganti. Ia menggeser gorden sampai tertutup. Aku menunggunya di depan kamar ganti sambil membaca Facebook.

“Gimana Ma, cocok gak?” tanyaku.

“Gak tahu nih, Mama baru pertama kali pakai beginian,” sahut Mama dari dalam ruang ganti.

Aku mendapat ide.

“Gordennya buka aja Ma, biar aku lihat,” kataku.

Gorden bergeser ke samping, memperlihatkan Mama yang cuma memakai kemeja dan sempak baru. Sempak itu begitu tipis sehingga aku bisa melihat belahan memeknya yang menerawang.

“Gimana menurutmu?” tanya Mama.

“Coba Mama berbalik,” kataku.

Mama berbalik. Sempak itu nyaris tenggelam di belahan pantatnya yang besar dan padat.

“Gimana?”

“Oke kok Ma,” kataku. Tanganku bergetar karena menahan keinginan untuk meremas pantatnya.

“Mama mau ganti yang lain,” kata Mama. Tangannya bergerak hendak menutup gorden.

Aku buru-buru mencegahnya. “Ma, mendingan gordennya tetep dibuka aja. Jadi aku bisa nilai Mama.”

Mama melirik ke pelayan toko yang berdiri agak jauh. Pelayan itu sedang mengobrol dengan pelayan lainnya.

“Nanti kelihatan mereka,” kata Mama.

“Terus kenapa? Mereka sama-sama cewek. Kalau Mama takut, nanti aku kasih tahu kalau mereka mendekat.”

“Oke deh. Beneran awasin mereka ya,” kata Mama.

Mama menghadap cermin lebar di ruang ganti. Ia berusaha meraih kait behanya, tapi kedua tangannya tidak sampai. Ia menatapku malu-malu. “Boleh minta tolong lagi?”

Aku dengan senang hati membantu Mama. Kulepas kait behanya, lalu kucantolkan di tiang luar. “Beha Mama biar aku yang pegang. Mama gak usah pakai beha ini dulu, biar gampang pakai yang lain.”

Mama mengambil beha lain, lalu memasangnya di teteknya. Aku bersiul pelan saat melihat kedua teteknya di pantulan cermin. Mau dilihat dari sisi mana pun, tetek Mama tetap bikin nafsu.

“Tolong pasangin dong,” pinta Mama.

Kedua tanganku maju untuk mengaitkan behanya. Mama mengangguk puas. “Yang ini Mama ambil deh. Ukurannya pas.”

Ia berlama-lama bercermin sambil bergaya. Beha itu bahannya transparan sehingga pentilnya membayang. Ritsleting celanaku menonjol lagi.

Kubantu ia melepas beha lagi. Saat kait terlepas, beha itu meluncur ke depan. Tanganku refleks bergerak menahannya dari belakang. Namun, aku kalah cepat sehingga beha itu jatuh ke lantai, sementara tanganku malah menyenggol pentil Mama.

“Eh!” Aku dan Mama tersentak kaget.

“Sorry Ma!” Aku buru-buru minta maaf.

“Gak apa-apa,” kata Mama.

Walau cuma sekilas, gumpalan kenyal yang menempel di tanganku tadi masih membayangi pikiranku.

Mama mencoba beha lainnya, kali ini yang modelnya sports bra. Aku sengaja memilihkan yang lebih ketat supaya kedua teteknya semakin menonjol.

Ia menggelengkan kepala. “Ini bahannya nyaman, tapi terlalu ketat.”

“Ini memang harus ketat. Kalau longgar bakal jelek dilihat,” jelasku.

“Menurutmu dari depan gimana?” Mama membalikkan badan ke arahku. Kedua teteknya yang terbungkus sports bra berada tepat di depan wajahku.

“Ini oke banget Ma, tapi ada cara pakainya biar lebih oke,” kataku.

Mama memandangku heran. “Kok kamu tahu banyak soal pakaian dalam cewek?”

Aku tersipu malu. “Aku ‘kan udah gede Ma. Kadang-kadang lewat informasinya di Youtube atau Facebook.”

Mama menoyorku. “Kamu yang sengaja nyari kalik. Terus gimana cara pakainya biar lebih oke?”

“Begini caranya.” Kutarik bagian depan sports bra itu ke bawah. Kedua tetek Mama langsung menyembul keluar.

“Masa pentilnya harus kelihatan begini?” tanya Mama.

“Yang penting bagian bawah tetek Mama tertahan beha. Pentil yang kelihatan justru bagus karena kulit Mama bisa bernapas,” kataku. Tentu aku cuma mengasal saja. Mataku menatap kedua pentilnya yang mengacung di depan wajahku.

Mama menggaruk-garuk kepalanya. “Kayaknya Mama harus banyak belajar dari kamu deh.”

“Ma, aku boleh minta sesuatu gak?” tanyaku.

“Apa itu, Nak?”

“Aku boleh selfie sama Mama?” Permintaanku memang terdengar kurang ajar, tapi ini sudah kepalang tanggung. Jarang-jarang dapat kesempatan seperti ini.

“Nanti ya kalau udah selesai belanja,” kata Mama.

“Bukan nanti Ma, tapi sekarang. Mama seksi bener kalau teteknya kelihatan, jadi pengen selfie di sebelah tetek Mama.”

Mama terdiam sebentar. “Ada-ada aja permintaanmu.”

“Boleh gak, Ma?”

Mama menghela napas panjang. “Ya boleh. Sebagai tanda terima kasih karena sudah menemani Mama belanja dan ngasih saran.”

Seluruh tulangku rasanya mau copot karena lega Mama tidak marah.

Kupeluk Mama dari samping. Tangan kiriku memegang pinggangnya yang lunak. Kutempel pipiku di samping tetek kanan Mama. Pentilnya cuma berjarak beberapa milimeter dari mulutku. Betapa dekatnya surga! Tapi aku belum berani asal mengenyot pentilnya.

Kuarahkan kamera smartphone ke wajahku dan Mama. Tetek Mama saking besarnya sampai nyaris memenuhi layar smartphone. Aku dan Mama tersenyum ke kamera, lalu CEKREK! Aku mengambil sebelas foto selfie.

“Aseli, Mama cantik bener. Berasa foto bareng artis,” kataku sambil melihat-lihat hasil foto.

“Kamu makin jago ngerayu aja,” kata Mama sambil menoyorku lagi. “Yuk terusin lagi coba-coba pakaiannya nih biar gak terlalu sore. Mama udah laper.”

Mama mencoba-coba beberapa pakaian dalam lainnya. Dia mengambil sempak dan beha yang modelnya serupa dengan yang aku pilih. Setelah yakin dengan pilihannya, ia pun membayar ke kasir.

Kami keluar dan ruko, lalu berjalan menuju lapangan parkir. Di tengah jalan, Mama berbelok menuju toilet umum.

“Mama mau kencing dulu,” kata Mama.

Aku juga mau kencing, jadi aku mengikuti Mama.

Meski jaraknya dekat, kami harus bersusah payah melewati kerumunan orang di depan deretan ruko. Kemeja Mama sampai basah kuyup, terutama di punggung dan ketiaknya.

Toilet umum berada di sudut terdalam pasar. Lorong-lorongnya agak sepi karena pedagang memilih berjualan di ruko atau di depan ruko yang banyak orang daripada di dalam pasar. Di lorong itu cuma ada beberapa pedagang sayur dan ikan.

Seorang bapak berbadan gemuk sedang duduk sambil menghitung uang di depan toilet umum. Di sebelahnya ada meja kecil yang di atasnya ada kaleng berisi uang receh dan kertas bertuliskan:

KENCING 1000

BOKER 2000

MANDI 5000

Ada lima bilik toilet dan tidak dibeda-bedakan antara pria dan wanita. Ventilasi toilet begitu lebar sampai suara di setiap bilik terdengar. Baik pria dan wanita bebas mau pakai toilet yang mana. Mama memilih toilet di ujung dan aku di toilet sebelahnya.

Lagi enak-enak kencing, Mama memanggilku dari sebelah.

“Nak, bantuin Mama dong.”

Aku buru-buru mengancingkan celana. “Bantuin apa Ma?”

“Mama jadi kebelet boker. Di sini gak ada cantolannya. Bantuin pegangin rok sama sempak Mama. Roknya jangan ditaruh sembarangan, nanti kotor.”

Aku keluar dari toilet. Pintu toilet Mama terbuka sedikit, Tangan Mama yang memegang rok dan sempak keluar dari balik pintu. Aku menerimanya. Pintu toilet tertutup lagi. Telahdewasa.com

Di dinding luar toilet, ada cantolan bersih. Rok dan sempak Mama kucantolkan di situ. Sambil menunggu Mama, aku bermain game di smartphone.

Selintas ide nakal lewat di kepalaku. Ide nakal yang cukup berani, tapi sangat berisiko.

Kuambil rok dan sempak Mama dari cantolan, lalu kugulung. Di belakang toilet umum, ada tembok yang memisahkan wilayah pasar dengan jalan raya. Aku mencari pijakan supaya bisa mengintip ke balik tembok.

Sesuai harapanku, banyak sampah bertebaran di bawahnya. Kumasukkan tangan ke saku roknya. Ada uang Rp200.000 dan kunci mobil yang langsung kuambil. Seingatku dompet Mama ditaruh di mobil dan dia membawa uang secukupnya saja.

Setelah selesai memeriksa rok Mama, rok dan sempaknya kulempar ke tumpukan sampah.

Kuintip bapak penjaga toilet dari tepi dinding. Bapak itu masih menghitung uang. Setelah uang di tangannya selesai dihitung, ia menaruhnya ke laci meja dan menguncinya. Kemudian ia bangkit dari kursinya, lalu pergi.

Semua berjalan sesuai rencana. Aku segera masuk kembali ke toilet di sebelah Mama. Pintu sengaja aku banting biar Mama mendengarnya.

“Nak, kok ke toilet lagi?” tanya Mama dari sebelah.

“Kebelet boker,” jawabku.

“Rok sama sempak Mama gimana?”

“Ada di cantolan depan.”

Terdengar suara guyuran air.

“Mama udah selesai nih. Minta tolong ambilin rok sama sempak Mama dong,” sahut Mama.

“Aku belum selesai Ma. Ambil sendiri aja di depan. Sepi kok,” kataku.

Terdengar suara pintu terbuka.

“Nak, rok sama sempak Mama kok gak ada?”

“Masa sih?” Aku berusaha terdengar kaget.

Kuguyur kakus agar Mama mengira aku sudah selesai buang air besar. Aku keluar dari bilik toilet. Kepala Mama menyembul dari bilik toiletnya. Wajahnya panik.

“Waduh kok hilang?”

“Kamu yakin tadi gak ada orang?” tanya Mama.

“Yakin banget Ma.”

“Coba tanyain penjaga toilet dong,” kata Mama.

Aku menoleh ke tempat penjaga toilet. Orang itu belum balik dari urusannya.

“Gak ada orang Ma,” kataku.

“Yah gimana ini. Mana jam tiga nanti Mama mau rapat di Zoom,” keluh Mama.

“Ah aku tahu caranya,” kataku.

Bersambung…

“Gimana caranya?” tanya Mama.

“Kita menyelinap sampai ke parkiran,” kataku.

“Gak mau ah. Masa Mama keluar gak pakai celana begini? Oh, kamu pergi belikan Mama celana aja di tempat tadi. Nih, pakai uang Mama.” Mama menepuk keningnya. “Aduh, uang Mama ada di rok. Kamu gak ada uang?”

Kuambil dompetku, lalu kuperlihatkan isinya ke Mama. “Cuma ada Rp10.000 doang. Gak cukup buat beli celana.”

“Oke kita menyelinap keluar. Tapi kamu jalan paling depan buat lihat-lihat keadaan,” kata Mama. “Kamu tahu jalan keluarnya?”

“Kayaknya sih tahu Ma,” jawabku. Meski cuma beberapa kali ke pasar, aku tahu lorong-lorong menuju parkiran.

“Yuk sebelum Mama telat.” Mama keluar dari bilik toiletnya. Ia cuma mengenakan jilbab dan kemeja. Memeknya masih basah karena habis dicebok.

“Mama harus jalan cepat ya,” kataku.

Aku jalan di depan, sementara Mama memegang bajuku di belakang. Selagi penjaga toilet itu belum kembali, kami cepat-cepat keluar dari area toilet umum.

Kami tiba di lorong luas dengan bilik-bilik kosong berderet. Bilik-bilik itu saling berhadapan dan seharusnya digunakan untuk berdagang, tapi para pedagang tidak suka berjualan di tempat sepi. Jadi cuma ada beberapa bilik saja yang terpakai buat berjualan sayur dan ikan.

Lima meter di depan ada penjual sayur. Kepalanya bersandar di dinding dan kedua matanya tertutup. Tampaknya dia tertidur.

“Mama jalan cepet, tapi jangan berisik ya,” bisikku. Mama mengangguk.

Kami berjalan sambil menunduk. Lantai di area itu masih berupa tanah sehingga suara langkah kami nyaris tidak terdengar.

Semakin mendekati penjual sayur, pegangan tangan Mama semakin kuat. Aku merasa tegang, apalagi Mama.

Begitu dekat, kami langsung mempercepat langkah. Penjual sayur itu masih memejamkan mata dan tidak menyadari kehadiran kami.

“Ugh lewat juga,” bisik Mama saat kami tiba di bilik selanjutnya.

Di ujung kiri dan kanan, ada dua pintu besar yang mengarah ke lorong luas lainnya. Tapi bukan itu tujuanku, melainkan ke pintu kecil yang berada di tengah ruangan. Pintu kecil itu nyaris tidak terlihat karena bagian atasnya sedikit tertutup terpal. Pintu itu biasanya dipakai untuk membawa barang dagangan dari luar lebih cepat karena jarang dilewati orang.

Kami masuk ke pintu tersebut dan tiba di lorong sempit yang panjang. Pintu itu tidak bisa dikunci, jadi aku cuma bisa menutupnya saja. Meski sempit, aku dan Mama bisa jalan bersebelahan. Ini cukup membantu karena kami bisa jalan lebih cepat berbarengan.

Sambil jalan, sesekali aku melirik ke pantat Mama di sebelahku. Cuaca panas mengeringkan pantat dan memeknya yang tadi basah. Bagian bawah kemejanya tidak mampu menutupi pantatnya yang besar dan padat. Pantat Mama terlihat mengilap karena keringat.

“Mama malu bener. Jalan di pasar gak pakai celana begini,” kata Mama. “Mama penasaran, siapa yang ngambil rok Mama.”

Ada pintu kecil lainnya di ujung lorong. Aku bisa mendengar riuhnya suara orang ngobrol di kejauhan.

Ketika kami hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba pintu terbuka. Segerombolan anak kecil masuk sambil membawa layangan. Aku dan Mama terpaku. Mama refleks menutup memeknya dengan tangan.

Anak-anak itu tercengang melihat Mama. Mata mereka bergerak dari bawah ke atas, memandangi kaki sampai paha Mama.

“Ih dia gak pakai celana,” bisik salah satu anak.

Lorong itu cuma bisa dilewati dua orang dewasa bersamaan. Jika terlalu banyak orang lewat, maka salah satu orang harus mengalah.

Jadi itulah yang aku dan Mama lakukan. Kami memepet ke dinding supaya anak-anak itu bisa lewat. Mama bersandar ke dinding sambil menutupi memeknya dengan tangan.

Anak-anak itu lewat sambil menoleh ke Mama. Salah satu anak tahu-tahu menarik tangan Mama sampai memeknya terbuka.

“Wih ada memek!” serunya sambil mencubit memek Mama. Anak-anak lain balik mengerumuni Mama, lalu ikut mencubiti memek Mama.

Aku langsung mengusir anak-anak itu. Mereka lari sambil tertawa.

Mama terduduk lemas. Cubitan anak-anak itu membekas di memeknya.

“Ma, sebentar lagi sampai kok,” kataku sambil menarik tangannya supaya ia berdiri.

“Mama gak kuat lagi,” keluh Mama. Kejadian itu pasti membuatnya terkejut.

“Ayo bangun Ma, sebelum ada orang lewat lagi. Untung mereka cuma anak kecil, gimana kalau orang gede?”

Mama bangkit dari duduknya. Ia membersihkan pantat dan pahanya yang kotor. Wajahnya lemas, tapi matanya bersemangat kembali. “Semua gara-gara toilet sialan itu,” katanya marah.

“Sabar Ma. Selama kita di area sepi, Mama bakal baik-baik saja,” kataku menenangkan.

Kami melangkah mendekati pintu keluar. Kubuka pintu, sementara Mama bersembunyi di belakangku. Begitu pintu terbuka, aku dan Mama kembali terpaku. Di depan kami ada bilik-bilik yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Bedanya, bilik-bilik itu sebagian besar diisi pedagang. Bahkan bilik di sebelah kiriku dihuni pedagang ikan.

“Ikan tongkol murah nih, Bang,” seru ibu-ibu pedagang ikan saat melihatku berdiri di depannya. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Gimana?” bisik Mama.

“Terlalu banyak orang. Di sebelahku ada orang pula,” balasku.

Mama mencengkeram pundakku kuat-kuat. “Jadi gimana ini?”

“Mau gak mau kita harus lari secepat mungkin sampai pintu keluar di sana,” kataku sambil menunjuk pintu keluar di ujung deretan bilik.

Mama terisak. “Gak ada cara lain? Masa memek Mama kelihatan banyak orang. Mama malu.”

“Gak ada cara lain, Ma. Cuma itu satu-satunya jalan.”

Mama menghapus air matanya. “Oke, tapi kamu jangan tinggalin Mama ya.”

Kuremas tangan Mama kuat-kuat. “Gak bakal Ma. Aku janji.”

Aku mengamati sekeliling, lalu berbisik ke Mama. “Aku kasih aba-aba ya. Hitungan ketiga, kita lari ke pintu keluar.”

Mama mengangguk. Wajahnya menegang.

“Satu….”

Tangan Mama semakin kuat mencengkeram pundakku.

“Dua….”

Otot kedua kakiku menegang, siap melesat kapan saja.

“Tiga!”

Aku melesat ke depan. Mama agak ketinggalan di belakang, tapi aku masih bisa mendengar napasnya yang memburu.

Orang-orang terkejut melihat kami. Mereka yang berdiri di tengah jalan langsung menyingkir. Beberapa orang sampai terjatuh karena kaget.

Pintu keluar semakin dekat. Kumajukan tanganku untuk mendorong pintu. Saat tanganku menyentuh pintu, aku mendengar suara keras di belakang.

Mama menabrak orang!

Keduanya terjatuh ke tanah. Orang yang ditabrak Mama ternyata seorang wanita tua yang telat menyadari kedatangan Mama. Wanita itu terjatuh ke samping, sementara Mama tersungkur ke depan. Pantatnya menungging ke atas.

“Kalau jalan lihat-lihat dong!” bentak wanita itu. Ia tercengang melihat Mama yang tidak memakai celana. “Da-dasar wanita murahan! Di pasar kok gak pakai celana!”

Orang-orang mulai mengerumuni Mama. Beberapa tertawa sambil menunjuk anus Mama yang merekah. Aku segera mendekatinya sebelum situasi semakin kacau.

“Mama gak apa-apa?” tanyaku sambil menarik badannya supaya bangun.

Wajah Mama belepotan tanah. “Ma-mama gak apa-apa.”

“Hayooo kalian abis ngapain tuh,” komentar salah satu pedagang.

Mama buru-buru bangkit. Ia langsung menutupi memeknya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menutupi pantatnya.

“Ayo kita keluar dari sini,” kataku sambil menarik tangan Mama.

Kami cepat-cepat melangkah ke pintu keluar.

Pintu yang kami lewati mengarah ke tanah lapang tempat para pedagang memarkir gerobak-gerobak. Agak jauh di sebelah kiri kami ada banyak tumpukan gerobak yang sudah tidak terpakai. Kutarik lengan Mama untuk mengikutiku berlari ke tumpukan gerobak itu. Aku khawatir orang-orang akan mengejar kami.

Kami berjongkok di sebelah tumpukan gerobak. Aku mengintip melalui celah. Beberapa orang ternyata memang mengikuti kami.

“Cari ibu-ibu tadi,” kata salah satu dari mereka. Mereka pun berpencar.

“Amankah?” tanya Mama.

“Mereka nyari kita,” jawabku.

Mama terisak. “Mama takut banget.”

“Udah, Mama tenang aja. Di sini banyak sampah gerobak. Mereka pasti susah nyari kita,” kataku.

Orang-orang itu tidak terlihat lagi. Namun, aku tebak mereka pasti sudah menduga kami bersembunyi di salah satu tumpukan gerobak.

“Mama tunggu di sini ya, aku mau cari jalan keluar yang aman,” kataku.

Mama mencengkeram pundakku. “Jangan tinggalin Mama di sini!”

“Selama Mama diam di sini, Mama pasti aman. Mama gak bakal kelihatan dari luar,” kataku menenangkan.

“Tapi kami cepat kembali ya,” pinta Mama penuh harap.

Aku mengangguk. “Pasti Ma.”

Mama melepas cengkeramannya. Aku bergegas berlari menuju tumpukan lainnya.

Begitu yakin Mama tidak melihatku, aku berbalik dan mengintip Mama. Kulihat Mama celingkukan ke kiri dan kanan. Wajahnya terlihat waspada.

Aku mencari tempat bersembunyi lain yang lebih aman dan bisa memantau Mama lebih jelas. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada tumpukan rongsok yang agak cekung. Aku pindah ke cekungan itu karena tempatnya lebih tersembunyi. Mama juga terlihat lebih jelas karena jarak kami cuma beberapa meter saja.

Mama berjongkok sambil terus mengawasi sekeliling. Kedua tangannya menangkup. Tampaknya ia sedang berdoa.

Di kejauhan, aku melihat dua orang yang mengejar kami sedang berjalan mendekati Mama. Tampaknya mereka tidak menyadari Mama, begitu pula sebaliknya.

Seharusnya Mama bakal selamat kalau saja tidak banyak bergerak. Lengannya menyentuh sudut tumpukan yang rapuh. Akibatnya tumpukan itu bergoyang pelan dan kayu-kayu di atasnya berjatuhan.

Kedua orang itu berhenti dan menyaksikan kayu yang jatuh itu. Mereka menundukkan badan, lalu melangkah mendekati tempat persembunyian Mama sepelan mungkin.

Kunyalakan kamera smartphone. Momen ini tidak boleh disia-siakan.

Mama menjerit saat lengannya dipegang salah satu pria itu. Rekannya bersiul nyaring memanggil temannya yang lain. Beberapa menit kemudian, ada lima pria datang dan mengerumuni Mama.

“Ketangkep juga ini ibu,” seru salah satu dari mereka.

“Ampun pak! Ampun pak!” jerit Mama.

Mama ditarik keluar dari tempat persembunyiannya. Aku merasa kasihan, tegang, sekaligus penasaran melihatnya. Kamera smartphone-ku terus mengarah ke mereka.

“Kamu kenapa gak pakai celana?”

Mama menjelaskan alasannya dengan suara serak dan patah-patah. Para penangkapnya tampak tidak percaya.

“Mana ada maling di sini. Jangan sembarangan nuduh kamu!”

“Sumpah Pak, saya gak bohong,” kata Mama dengan suara serak.

“Mana anakmu?”

“Dia pergi cari jalan keluar,” jawab Mama.

“Kamu gak ngentot sama anakmu ‘kan?”

Mama menggeleng. “Astagfirulloh. Kami gak ngapa-ngapain Pak.”

“Buka memekmu. Kita periksa ada pejuhnya gak. Kalau ada, berarti kamu main gila sama anakmu.”

Mama berlutut di depan orang-orang itu. “Ampun Pak. Saya gak bohong.”

“Ayo buka!” bentak orang itu.

Dua orang di belakang Mama menarik kemejanya sampai robek, lalu mengangkat tubuh Mam yang kini cuma memakai beha supaya berdiri. Mama meronta-ronta, tapi tenaga kedua orang itu lebih kuat. Akhirnya ia terpaksa berdiri.

“Buka memekmu lebar-lebar!” bentak orang itu lagi.

Mama memasukkan kelima jari tangannya ke memek, lalu membuka memeknya lebar-lebar. Mereka tertawa cekikikan.

“Kita belum tahu kalau belum disentuh,” kata orang yang membentaknya tadi. Ia meludahi memek Mama, kemudian mencoloknya dengan jari telunjuk.

“Ampun Pak! Ampun Pak!” erang Mama.

Orang itu tidak menggubris Mama. Ia terus saja mencolok lebih dalam sampai seluruh jari telunjuknya tenggelam di memek Mama.

“Kok basah nih? Kamu ngompol ya?” tanya orang itu.

“Sa-saya tadi abis kencing,” kata Mama.

“Oke, gak ada pejuh nempel di dalam,” kata orang itu sambil mencabut jarinya dari dalam memek Mama.

Ia memandang Mama sebentar. “Buka anusmu. Siapa tahu dia pakai pantatmu,” perintahnya.

Kedua temannya yang berjaga di belakang Mama langsung memutar tubuh Mama. Mama meraih belahan pantatnya, lalu membuka lebar pantatnya. Meski di kejauhan, aku bisa melihat anusnya menganga.

Orang itu mencolok jarinya ke dalam anus Mama, seperti yang ia lakukan ke memeknya.

“Aduh!” jerit Mama saat jari orang itu masuk semakin dalam ke anusnya.

“Lebih sempit yang ini,” komentar orang itu yang diikuti tawa teman-temannya.

Adegan itu memang menyedihkan, tapi entah mengapa aku sangat menikmatinya. Kukeluarkan kontolku yang sudah mengeras dari tadi, lalu kukocok sambil terus mengamati mereka.

Setelah puas mengobok-obok anus Mama, orang itu mencabut jarinya. Ia menunjuk ke beha Mama.

“Lepas juga behamu,” katanya. “Siapa tahu ada bekas cupangan.”

“Ampun Pak. Sudah cukup memek saya kelihatan,” isak Mama. Wajahnya basah karena air mata.

“Kelamaan kamu!” bentak orang itu. Ia mencengkeram beha Mama, lalu menyentaknya. Dalam sekali sentakan, beha itu terlepas, diikuti jeritan Mama.

Mama menutup teteknya dengan kedua tangannya. Ia jelas sangat ketakutan karena kakinya bergetar hebat.

“Kasih lihat tetekmu!” Seru orang itu. Ia menarik tangan Mama, tapi Mama melawan balik. Salah satu rekannya ikut menarik tangan Mama. Dua orang lawan satu orang. Mama jelas kalah. Tangannya pun terbuka, memperlihatkan tetek telanjang yang tadi disembunyikan.

Semua orang bersiul melihat kedua tetek Mama yang ranum.

“Punya istriku aja gak segede itu,” komentar salah satu dari mereka.

“Pentilnya gede amat,” komentar yang lain.

“Wih uratnya sampai kelihatan.”

Orang-orang mulai ribut mengomentari tetek Mama.

Orang yang membentak tadi meraih salah satu tetek Mama, lalu meremasnya. Mama melenguh kesakitan.

“Bagus bener ini tetek, gedenya kayak tetek sapi,” komentar orang itu. Ia memilin pentil Mama, kemudian menariknya. Tetek Mama jadi memanjang. Orang itu melepas jepitannya dan tetek Mama terpental ke posisi semula seperti karet. Ia melakukan hal yang sama ke tetek Mama satunya.

“Gantian dong pegangnya,” keluh salah satu temannya.

“Pegang dah buat bahan ngocok,” kata orang itu sambil melangkah mundur supaya temannya bisa ikut meraba-raba Mama.

Dua orang di belakang Mama ikut meremas tetek Mama dari belakang. Tangan mereka juga bergantian menelusup di anus dan memek Mama.

Kejadian itu begitu luar biasa sampai aku memuncratkan pejuh dua kali. Anehnya, kontolku masih keras.

“Aduh aku gak tahan!” seru salah satu dari mereka. Ia menurunkan celana dan memperlihatkan kontolnya ke Mama. Telahdewasa.com

“Kamu isep ini!” serunya sambil menarik jilbab Mama sampai kepala Mama menunduk. Wajah Mama menempel di kontol orang itu.

Aku buru-buru mematikan kamera, lalu berlari ke arah mereka.

“Stop! Stop!” teriakku.

Ujung kepala kontol orang itu sudah menyentuh bibir Mama dan hampir saja masuk kalau aku tidak segera menariknya menjauh dari Mama.

“Itu anaknya,” bisik salah satu dari mereka.

“Tahu darimana?”

“Lihat aja mukanya mirip.”

Aku berdiri di depan Mama, membatasinya dari mereka.

“Kalian apain ibuku!” bentakku. Meski badanku lebih kecil dari mereka, tapi mereka terlihat ketakutan.

“Kami cuma nanya kenapa dia gak pakai celana di pasar,” jawab orang yang memaksa Mama menghisap kontolnya tadi. Kontolnya masih menjuntai keluar.

Aku menoleh ke Mama yang terisak. “Mama sudah jelasin ke mereka?”

Mama mengangguk. “Mama udah jelasin, tapi mereka gak percaya.”

“Kulaporin polisi biar keok kalian!” bentakku. Orang-orang itu semakin mundur.

“Kalian pulang ajalah,” kata salah satu dari mereka. Setelah berkata begitu, mereka lari masuk ke lorong pasar.

Mama terduduk di tanah. Napas tersenggal-senggal. Pundaknya turun seperti orang kehabisan tenaga.

Aku menepuk pundaknya. “Mama gak usah takut lagi. Mereka udah pergi.”

“Terima kasih Nak,” ujar Mama sambil mengusap air mata dengan jilbab. “Dikit lagi, Mama bakal diperkosa sama mereka.”

“Yuk kita pulang,” kataku. Kubantu Mama berdiri. Sambil membantunya berdiri, kuremas pantat Mama. Bongkahan pantatnya lebih padat dari yang aku kira. Mama tidak menyadari remasanku karena terlalu sedih memikirkan kejadian yang menimpanya.

Mama kubopong sampai keluar dari area tumpukan gerobak. Mobil kami terlihat dari kejauhan.

“Dikit lagi sampai Ma,” kataku menenangkan

Mama diam saja. Kedua matanya terpejam. Kalau saja aku tidak mendengar napasnya yang tersenggal, mungkin aku sudah mengiranya pingsan.

“Ku-kunci mobil?” tanya Mama. Suaranya nyaris tidak terdengar.

“Ada sama aku,” jawabku sambil memperlihatkan kunci mobi. “Biar aku aja yang bawa mobilnya. Mama istirahat aja.”

“Emang kamu bisa?”

“Bisa dikit Ma. Kan bulan kemarin Mama ngajarin aku bawa mobil.”

Kubawa Mama menyeberang jalan. Mumpung Mama masih syok, kuselipkan jari telunjukku ke dalam belahan pantatnya, lalu kulebarkan anusnya. Lumayan cicip-cicip.

Sebuah sepeda motor lewat di sebelah kami. Pengemudinya menoleh ke arah Mama sampai hampir menabrak ayam yang lewat.

Tukang parkir terkejut melihat Mama.

“Ibunya gak apa-apa?” tanya tukang parkir.

“Gak apa-apa. Sakit dikit,” kataku sambil membuka pintu mobil. Mama kududukkan ke kursi penumpang di depan dan aku duduk di kursi kemudi. Jilbab Mama kulepas supaya dia bisa lebih bebas bernapas.

Kuputar kunci mobil. Mesin mobil berderu. Kuinjak pedal gas dan mobil bergerak ke jalan raya.

Bersambung…

Meski AC mobil menyala, tubuh Mama berkeringat. Aku mengelap kening dan lehernya dengan tisu.

“Ma-mama takut sekali,” kata Mama.

“Mama udah aman sekarang,” kataku. Aku menepuk pundak Mama supaya dia lebih tenang. “Mama mau langsung pulang atau kita mampir beli makan dulu?”

“Langsung pulang aja. Mama gak nafsu makan,” jawab Mama.

“Ini masih jauh, mendingan Mama tidur bentar. Nanti aku bangunin kalau udah mau sampai,” kataku.

Mama memejamkan mata. Napasnya mulai teratur dan keringatnya perlahan-lahan berhenti. Kepalanya tersandar di kaca jendela mobil.

Kamera smartphone kunyalakan lagi. Kuarahkan ke wajah Mama, lalu turun ke kakinya. Begitu berulang-ulang sampai aku mendapat lima video Mama. Cukup sulit juga karena aku cuma bisa pakai tangan kiriku untuk merekam Mama, sementara tangan kananku memegang kemudi.

Sulit untuk fokus melihat jalan karena aku sesekali menoleh ke Mama. Tetek dan memeknya terlalu menggoda untuk dilewatkan.

Ketika lagi memegang persneling, aku sengaja menempelkan siku tangan kiriku ke tetek Mama. Rasanya seperti menempel di bantalan karet. Kontolku semakin keras karena menyadari pentil Mama terjepit siku tanganku.

Sepertinya Mama tidak menggubris kenakalan tanganku. Kedua matanya masih terpejam.

Kami tiba di rumah. Aku bersyukur bisa sampai dengan selamat karena aku kurang jago mengendarai mobil.

Setelah memarkir mobil, aku turun untuk membuka pintu Mama.

“Gak ada tetangga ‘kan?” tanya Mama.

Aku menoleh ke kiri dan kanan. Rumah tetangga sebelah terlihat kosong.

“Gak ada. Aman deh,” kataku.

Kupapah Mama sampai masuk ke rumah.

Mama langsung merebahkan diri di sofa. Sepertinya ia sudah merasa jauh lebih baik.

“Mama mau teh? Kopi?” tanyaku.

“Teh aja,” jawabnya.

Aku pergi ke dapur untuk merebus air. Sebentar kemudian, Mama masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar suara tangisannya.

Malang bener Mama! Tapi aku dapat banyak keuntungan dari kejadian tadi.

Suara tangisan Mama berhenti, lalu tergantikan suara guyuran air. Sepertinya Mama sedang Mandi.

Kutaruh gelas teh panas ke atas meja dapur.

“Teh Mama aku taruh di meja ya! Aku mau ganti baju dulu,” kataku sambil berjalan ke kamar.

Sampai di kamar, aku langsung membuka hasil rekaman di smartphone. Meski kamera sempat goyang beberapa kali, tapi hasilnya cukup jelas. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Bagas melihat ini!

Aku mengganti pakaian, lalu ke dapur.

Mama sedang duduk di kursi sambil melamun. Ia sudah berganti pakaian. Teh buatanku belum berkurang, pertanda belum disentuhnya.

“Mama udah enakan?” tanyaku.

Ia menggeleng. Air matanya kembali bercucuran. “Mama masih trauma gara-gara kejadian tadi. Kehormatan Mama hancur sudah.”

“Maaf, aku tadi kelamaan mencari jalan keluar sampai Mama dikerjain mereka. Coba kalau aku datang lebih cepat,” kataku dengan nada menyesal yang kubuat-buat.

Mama mengelus rambutku. “Ini bukan salah kamu. Mama justru berterima kasih karena kamu sudah gagah berani ngebela Mama.”

“Mama mendingan istirahat sekarang,” kataku.

“Badan Mama pegel-pegel. Kamu bisa mijetin Mama sebentar?”

Kesempatan memegang tubuh Mama lagi? Tentu saja aku langsung mengiyakan!

“Mama mau dipijet di kamar atau di ruang tamu?” tanyaku.

“Di kamar aja deh biar Mama langsung tidur,” jawab Mama.

Kami pindah ke kamar Mama. Ia langsung tidur tengkurap di kasur.

“Pakai minyak kayu putih di meja,” ujar Mama.

Aku mencari botol minyak kayu putih di antara botol-botol skincare Mama. Setelah dapat, aku naik ke kasur mendekati Mama.

“Daster Mama dinaikin aja,” kata Mama. Ia sedikit menaikan badannya supaya aku lebih mudah menyibak dasternya.

Sesuai kemauan Mama, dasternya kunaikan sampai melewati punggungnya. Ia tidak memakai beha, tapi masih memakai sempak.

Celanaku terasa sempit lagi.

Kubalurkan minyak kayu putih ke punggungnya yang cokelat. Kutekan jempolku pelan-pelan di punggungnya.

“Gimana Ma?” tanyaku.

“Enak banget. Kamu jago mijet kayak Papa,” kata Mama sambil memejamkan mata.

Setelah semua area punggungnya kupijat, aku pindah ke pundak Mama. Pundak Mama terasa keras. Mama sering cerita kalau di masa kecil dan remajanya, ia sudah membantu orangtuanya bekerja di ladang.

“Sakit gak?” tanyaku saat menekan pundaknya.

Mama membisu. Tak lama kemudian, ia mendengkur. Badannya sampai bergetar setiap kali ia mendengkur.

Hari ini benar-benar hari keberuntunganku!

Pijatanku bergerak turun ke pantatnya. Aku merasa kasihan melihat sempak Mama yang kecil dan sempit harus menahan bongkahan pantat Mama yang setebal bantal. Kupegang karet sempaknya, lalu kutarik turun sampai seluruh pantatnya keluar.

Aku menggosok tanganku karena tegang. Jika Mama terbangun, aku bisa beralasan memijat pantatnya.

Agar tidak mengganggu, sempak Mama kuturunkan sampai melewati ujung kakinya. Sempak itu kutaruh di kursi.

Pelan-pelan kedua paha Mama kulebarkan. Belahan pantatnya ikut melebar mengikuti pahanya.

Kudekatkan hidungku ke belahan pantatnya. Ah, aku rindu aroma keringat bercampur pesing ini.

Mama menggumam saat belahan pantatnya kubuka sedikit, lalu lanjut mendengkur. Pelan-pelan tapi pasti, anusnya mulai terlihat. Belahan pantatnya terus kulebarkan sampai aku bisa melihat rongga anusnya yang gelap.

Lidahku terjulur keluar mendekati anusnya. Rasa asin menjalar saat ujung lidahku menyentuh pinggiran anus Mama.

Anus Mama kujilati sampai pinggiran anusnya basah terkena air ludahku. Jilatanku turun ke belahan memeknya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu jembut kecil.

Sayangnya aku cuma bisa menjilati ujung belakang memek Mama. Kalau saja posisi Mama terlentang, aku bisa saja menjilati seluruh memeknya.

“Ahmmmmm…,” gumam Mama.

Jilatanku berhenti. Keringat dingin membasahi keningku. Pantat Mama bergerak sebentar, lalu diam. Mungkin ia agak terganggu jilatanku.

Aku tidak tahan lagi. Kontolku perlu ditenangkan. Kukeluarkan kontolku. Kepala kontolku memerah dan siap meledak kapan saja.

Anus Mama tetap kubuka dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku sibuk mengocok kontol yang bergerak menuju anus Mama.

Ketika ujung kepala kontolku menyentuh anus Mama, rasanya sulit dijelaskan. Belahan pantatnya begitu hangat. Pantat Mama begitu besar sehingga kontolku terjepit di belahannya.

Pikiranku melayang. Mataku terpejam. Akhirnya aku bisa mencicipi pantatnya!

Kepala kontolku bergerak maju mundur menyentuh anus Mama. Ingin sekali menyodok anusnya sampai dalam, tapi Mama jelas bakal terbangun.

Kontolku semakin membesar. Aku buru-buru mencabut kontolku dari pantat Mama, lalu kukocok di bongkahan pantatnya.

Sebentar saja, kontolku menyemburkan banyak sekali pejuh. Cairah putih itu memenuhi pantat Mama.

“Nak?” Mama membuka matanya.

Aku buru-buru memijat pantat Mama. Kupakai pejuhku sebagai pengganti minyak kayu putih.

“Mama gak keberatan kalau pantatnya kupijat ‘kan?” tanyaku sambil memijat pantatnya. Pantatnya berkilauan karena dilumuri pejuh.

Mama menggeleng. “Enak gini kenapa harus keberatan? Eh, jarimu jangan diselipin di situ. Geli.”

“Bercanda aja Ma,” kataku sambil mencabut jariku dari belahan pantatnya. “Bagian depan Mama dipijet juga?”

“Gak usah. Kasihan kamu capek.”

“Gak masalah Ma. Yang penting Mama senang.”

Mama membalikkan badan. Punggung dan pantatnya kini tergantikan tetek dan memeknya. Aku menahan napas melihat tetek Mama yang bergerak naik turun mengikuti napas Mama.

Kugosok perut Mama dengan minyak kayu putih. Telapak tanganku meluncur santai di permukaan kulitnya yang halus.

Kuputar tanganku di sekitar udel Mama. Ia tersenyum saat jariku menyentuh udelnya. “Geli.”

“Tetek Mama mau kupijat juga?”

“Pijet aja. Kenapa harus minta izin?”

“Nanti Mama marah kalau teteknya kusentuh,” kataku sambil menuang minyak kayu putih di belahan teteknya.

“Cuma pijet doang. Kecuali kamu orang asing, baru Mama marah.”

Kuremas kedua tetek Mama. Meski sudah agak turun, tapi tetek Mama masih kencang. Kontolku yang tadinya sudah tenang, kini menegang kembali.

“Aduh, pelan-pelan.,” Mama mengernyitkan dahi. Jariku menyentuh memar bekas remasan orang-orang di pasar. Aku langsung memijat area yang lain.

“Apa Papa perlu tahu soal ini?” tanyaku.

Mama menggeleng. “Gak perlu. Mama gak mau ngerepotin Papa. Dia bakal lapor polisi dan Mama gak mau kasus ini jadi makin panjang. Apalagi Mama konyol karena gak pakai celana di pasar.”

Aku menundukkan kepala supaya terlihat sedih. “Itu semua salahku. Aku yang ngusulin itu ke Mama.”

“Udah, bukan salah kamu kok. Mama gak pernah salahin anak Mama,” katanya lembut sambil mengelus rambutku.

“Moga-moga beritanya gak nyebar,” kataku.

“Iya, reputasi Mama bisa hancur nanti. Eh jangan tetek Mama melulu yang dipijet. Bagian lain juga dong.”

“Oke, Ma.” Aku langsung memijat perut Mama.

“Omong-omong celana kamu kenapa tuh?” Mama menunjuk ke tengah celanaku yang menonjol.

“Penisku lagi tegang Ma,” jawabku gelagapan.

“Tegang kenapa?” Mama melirik ke teteknya. “Tegang karena lihat tetek Mama?”

“Abisnya Mama seksi banget,” jawabku seadanya.

Mama menatap tonjolan di celanaku. “Apa iya segede itu?”

“Gede apanya Ma?”

“Penis kamu.”

“Gede dong,” jawabku sombong. “Mama boleh lihat kalau gak percaya.”

“Coba Mama lihat,” kata Mama.

Jantungku seolah berhenti mendengar jawaban tak terduga itu.

“Li-lihat apa?”

“Lihat penismu.”

“Bo-boleh Ma.”

Mama tercengang saat kukeluarkan kontolku yang berdiri tegak.

“Gede bener!” serunya.

Ia memintaku memasukkan kembali kontolku ke celana. Aku kecewa karena aku ingin menunjukkan kontolku lebih lama.

Kami lanjut mengobrol sampai tiba waktunya Mama rapat di Zoom. Mama mengganti pakaiannya dengan kemeja dan rambutnya ditutupi jilbab. Sekejap saja ia sudah berubah jadi Mama si Kepala Sekolah.

Aku kagum melihat Mama berusaha tampil normal, padahal baru saja nyaris diperkosa banyak orang.

Selagi Mama bersiap rapat di Zoom, aku balik ke kamarku untuk menonton ulang rekaman-rekaman yang kubuat.

Kontolku menegang lagi. Sial!

Di sekolah, Mama tampil normal seperti biasa. Ia mengobrol dengan para guru, memarahi siswa-siswa yang tertangkap bolos sekolah, dan meminta tolong aku untuk membawakan berkas-berkasnya. Seolah-olah kemarin tidak terjadi apa-apa.

Aku dan Mama sepakat untuk tidak menceritakan kejadian kemarin ke Papa. Biarlah cuma orang-orang pasar yang tahu.

Sepulang sekolah, aku bilang ke Mama untuk pulang duluan karena mau nongkrong sampai sore. Indra mengantarku sampai ke rumah, lalu aku naik sepeda motorku sendiri ke rumah Bagas. Aku ingin minta pendapatnya soal kejadian kemarin.

Sampai di rumah Bagas, aku tidak menemukan siapa-siapa. Aku mengetuk pintunya beberapa kali dan menunggu, tapi tetap tidak ada yang datang.

Aku mengelilingi halaman rumahnya. Di bagian belakang rumahnya terdapat pagar tembok yang rusak. Pagar itu sepertinya sudah ada di situ jauh lebih dulu daripada rumah Bagas. Pagar tembok itu terbentang cukup panjang di pinggir jalan dan ujungnya tertutup semak belukar. Di seberang pagar juga terdapat semak belukar yang sama tingginya dengan di ujung pagar.

Ketika aku hendak menyeberang jalan, semak-semak di depanku bergoyang. Aku melangkah mundur karena khawatir ada biawak atau hewan buas lainnya yang bersembunyi di balik semak-semak.

Terdengar suara bisikan dari arah semak-semak. “Sssst… cepat ke sini.”

Aku mengenalnya sebagai suara Bagas.

“Kamu ngapain di situ?” tanyaku.

“Nanti kamu tahu sendiri. Cepet ke sini,” bisik Bagas.

Kusibak semak-semak itu. Bagas sedang duduk di belakang pohon. Matanya bergerak ke arah lain.

“Ada apa sih?” tanyaku penasaran.

“Lihat itu.” Bagas menunjuk ke ujung pagar tembok.

Di dekat ujung pagar yang tertutup semak, ada bagian pagar yang berlubang besar di tengah. Aku kaget melihat ada pantat dan kaki telanjang manusia yang menyembul di lubang itu.

“Ibumu?”

“Siapa lagi,” ujar Bagas dengan nada bangga. “Aku suruh dia menjepitkan diri ke lubang itu. Kita lihat reaksi orang-orang yang lewat.”

Aku memandang posisi Romlah yang menungging di lubang pagar. Bagas memang rada gila, tapi aku pun sama gilanya.

Tok! Tok! Tok!

Di kejauhan, terdengar suara tongkat kayu dipukul berkali-kali. Aku menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih jelas. Sekitar sepuluh meter dari kami, ada gerobak yang didorong.

“Ah penjual bakso yang beruntung,” kata Bagas. “Nah, ayo kita lihat apa yang akan terjadi.”

Suara gerobak semakin mendekat. Perasaan tegang, cemas, dan penasaran menguasai pikiranku. Bagas mungkin merasakan hal yang sama, tapi wajahnya terlihat tenang.

Gerobak bakso itu berhenti sebentar. Penjual bakso melongok ke Romlah. Ia memarkir gerobaknya ke samping jalan, lalu berjalan mendekati Romlah.

Penjual bakso itu tampak tertegun melihat pantat Romlah. Ia melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang melihat. Kemudian ia menampar pantat Romlah keras-keras.

PLAK!

Di sebelah pagar satunya terdengar suara Romlah mengerang kesakitan. Kedua kakinya bergerak-gerak.

PLAK! PLAK! PLAK!

Penjual bakso itu menampar berulang kali. Pantat Romlah sampai memerah.

Setelah puas, penjual bakso itu berjongkok tepat di belakang Romlah. Ia membuka belahan pantat Romlah, lalu membenamkan wajahnya ke belahan pantat. Aku bisa mendengar suara napas si penjual bakso yang memburu.

Penjual bakso itu berdiri. Ia melirik ke kiri dan kanan lagi. Tangannya masuk ke dalam celana, lalu ia mengeluarkan kontolnya yang sudah berdiri.

Pantat Romlah dibuka lebar-lebar, lalu anus dan memeknya diludahi.

“Aduh!” jerit Romlah saat kontol penjual bakso itu menerobos memeknya.

Pinggang si penjual bakso bergerak maju mundur. Ia menekan pinggangnya dalam-dalam sampai seluruh kontolnya masuk ke memek Romlah.

“Punya ibu yang serba nurut memang seru,” bisik Bagas sambil cekikikan.

Penjual bakso itu mencengkeram pantat Romlah. Kedua kakinya mengejang, lalu lemas. Ia mencabut kontolnya dari memek Romlah. Pejuhnya berhamburan keluar dari dalam memek Romlah. Ia memijat batang kontolnya sampai sisa-sisa pejuhnya keluar dan menetes di pantat Romlah.

Setelah pejuhnya habis, penjual bakso itu memakai celananya kembali. Ia balik ke gerobaknya, lalu cepat-cepat menjauhi Romlah.

Begitu penjual bakso menjauh, aku dan Bagas keluar dari persembunyian.

“Gimana? Keren gak?” tanya Bagas.

“Keren banget! Tapi kamu gak sakit hati ngelihat ibumu dikentot orang lain?”

Bagas menggeleng. “Nggak sama sekali. Aku malah senang lihat dia dikentot banyak orang.”

Kupandangi pantat Romlah yang masih menungging. Pejuh si penjual bakso masih berceceran di pantatnya.

Bagas menepuk pantat ibunya. “Mau coba ibuku?”

“Sekarang?”

Bagas mengangguk. “Iya sekarang.”

“Di sini?”

Ia mengangguk lagi.

“Kalau ada orang lewat gimana?” tanyaku.

“Kalau cowok, kita ajak dia ikut mengentot ibuku. Kalau cewek, biarin saja dia nonton,” jawab Bagas. Ia menampar pantat ibunya. “Yuk, cepetan kentot ibuku. Abis itu kita ngobrol-ngobrol.”

Di satu sisi, aku kasihan melihat Romlah. Tapi di sisi lain, aku ingin mencicipi tubuhnya yang montok.

“Tapi aku masih perjaka,” aku mengakui.

“Lalu?” Bagas memandangku heran. “Kalau gitu biarkan ibuku jadi wanita pertama yang kamu cicipi.”

Kupandangi pantat Romlah yang berkeringat karena terpapar sinar matahari. Celanaku mulai menyempit.

“Oke,” kataku sambil berdiri di belakang Romlah. “Kau gak ikut?”

Bagas mengangkat bahu. “Aku sudah bosan mengentotnya. Aku mau nonton saja.”

Pantat Romlah mengeras saat aku mencengkeram pantatnya. Bekas-bekas tamparan si penjual bakso masih tampak jelas. Rasanya pasti menyakitkan.

Celanaku melorot begitu ikat pinggangnya kulepas. Batang kontolku tegak berdiri menantang pantat Romlah di depannya. Belahan pantatnya kubuka, lalu kugesek batang kontolku di antara belahan pantatnya. Belahan pantatnya terasa licin karena terlumasi keringat. Rasanya seperti mengocok kontol pakai sabun.

Setelah puas pemanasan, kuarahkan kontolku ke memeknya. Rupanya melakukan gaya doggy style tidak semudah di film-film bokep. Pantat Romlah begitu besar sehingga kontolku sulit mencapai memeknya. Aku harus menekan kontolku semaksimal mungkin sampai kepala kontolku berhasil masuk ke memeknya.

Romlah menjerit pelan saat kontolku bergerak maju mundur di memeknya. Akhirnya aku lepas perjaka juga meskipun di memek ibu orang lain.

Punggung Romlah penuh lecet karena tergesek pinggiran lubang tembok yang tajam. AKu usap punggungnya supaya bersih dari debu-debu tembok. Aku baru menyadari kalau Romlah dan Mama punya banyak kemiripan. Tetek mereka sebesar pepaya, tubuh gempal, ukuran pantat sebesar bantal, dan kulit mereka sama-sama berwarna cokelat. Aku merasa seperti mengentot Mama.

“Oh Mama,” desahku.

Memek Romlah semakin licin sehingga kontolku lebih mudah bergerak. Suara gesekan kontolku terdengar seperti suara kaki yang menginjak lumpur.

Kontolku semakin mengeras, diikuti memek Romlah yang semakin menjepit. Pikiranku melayang. Jari-jari tanganku semakin keras mencengkeram pantat Romlah. Gerakan pinggulku semakin cepat.

Detik kemudian, kontolku memompa pejuh ke dalam memek Romlah.

“Enaknya!” jeritku.

Setelah pengiriman pejuh berhasil, kucabut kontolku dari memeknya. Pejuhku merembes keluar dari dalam memek Romlah. Kuambil pejuh yang merembes itu dengan jari telunjuk, lalu aku oles ke anus Romlah.

Bagas bertepuk tangan. “Wah gila! Kamu baru pertama kali mengentot, tapi sudah liar begitu.”

Kupakai celanaku. “Jujur saja, rasanya luar biasa.”

“Sekarang bantu aku mengeluarkan ibuku dari lubang ini,” kata Bagas. Ia memanjat pagar tembok itu dan turun di sisi lainnya. “Aku dorong ibuku dari sini, kamu tarik dia dari sana ya.”

Bagas memberi aba-aba supaya aku bersiap. Di hitungan ketiga, kutarik pinggang Romlah. Lubang itu cukup sempit sehingga agak sulit mengeluarkan Romlah. Setelah beberapa menit, kami berhasil mengeluarkan Romlah dari lubang.

Romlah cuma memakai kaos, sementara seluruh bagian bawah tubuhnya telanjang. Ia menepuk paha dan perutnya untuk mengusir debu. Bagas ikut membersihkan punggung ibunya. Ia menyuruh ibunya mandi. Romlah menuruti perkataan anaknya tanpa bertanya.

“Ibumu benar-benar seperti robot,” komentarku sambil memandang Romlah yang berbelok ke arah rumahnya. “Apa dia gak pernah menolak?”

“Awalnya sih dia sering nolak, tapi lama-lama pasrah juga,” kata Bagas. “Dia malu kasih lihat teteknya ke orang lain karena dia gak pernah begitu. Tapi karena sering kusuruh kasih lihat teteknya, dia jadi terbiasa. Katanya sih dia masih malu, tapi gak malu-malu banget kayak dulu.”

“Jadi ini cuma soal kebiasaan,” kataku.

Kami berjalan di pinggir sawah. Seekor kerbau mengamati kami seolah-olah kami adalah makhluk asing.

“Gimana perkembanganmu sama ibumu?” tanya Bagas.

Aku menepuk jidat. Nyaris saja aku lupa tujuanku ke sini. Kuceritakan pengalaman-pengalamanku ke Bagas. Ia menatapku dengan takjub.

“Seriusan? Kamu suka melihat ibumu digrepe-grepe banyak orang?”

Aku mengangguk.

“Berarti kita punya banyak kesamaan,” ujar Bagas. “Coba lihat rekamannya?”

Kuberikan smartphone-ku ke Bagas. Kami menonton rekaman kejadian-kejadian kemarin. Bagas bersiul. “Luar biasa. Ini keren bener!” Telahdewasa.com

“Jadi gimana? Apa ini sudah cukup buat mengancam ibuku?” tanyaku.

Bagas mengangguk. “Ini sudah lebih dari cukup! Kamu gak perlu menjalankan rencanamu saat jalan santai nanti. Pakai saja video-video ini buat ngancam ibumu.”

“Terus menurutmu enaknya gimana cara ngancem ibuku?”

“Aku cuma bisa memikirkan dua cara,” kata Bagas. “Kamu bisa menunjukkannya ke ibumu langsung seperti caraku. Bisa juga kamu menyamar jadi orang lain, terus kamu ancam bakal mengirim video-video ini ke saudara-saudaramu.

Cara pertama bakal mengundang kemarahan ibumu, tapi dia bisa langsung nurut saat itu juga. Cara kedua lebih aman karena dia gak tahu kalau kamu pelakunya, tapi kamu harus menjaga identitasmu biar gak ketahuan ibumu.”

Aku berpikir keras. Kedua-duanya butuh keberanian besar untuk dilakukan.

“Aku mau coba cara pertama,” kataku. “Aku mau terang-terangan memperbudak ibuku.”

Kerbau di depan kami melenguh seolah setuju denganku.

“Ya terserah kamu, tapi inget risikonya,” kata Bagas. “Jadi kamu mau langsung tunjukin video itu ke ibumu atau gimana?”

Sebuah ide terlintas di benakku. Kukatakan ide itu ke Bagas. Matanya berbinar-binar.

“Wah kamu memang keren. Aku kira kamu mau pakai cara yang sama sepertiku,” ia memujiku.

“Aku ingin menikmati reaksi ibuku ketika tahu kelakuan anaknya,” kataku. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras lagi.

“Oke, berarti kita coret rencanamu sebelumnya. Cara baru ini lebih keren. Aku gak kepikiran ada cara ini, meski agak ribet,” kata Bagas. “Kapan kamu mau lakukan?”

“Secepatnya,” jawabku.

Aku pamit pulang. Di sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan rencana yang bakal aku lakukan besok. Entah hasilnya bagaimana, tapi aku sudah terlanjur masuk sejauh ini.

Tunggu saja, pikirku.

Bersambung…

Tidak terasa hari sudah sore saat aku sampai di rumah. Ada dua mobil terparkir di depan rumah. Papa dan Mama sudah pulang.

Kuparkir sepeda motor di sebelah mobil, lalu aku masuk ke rumah. Papa sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menonton Youtube di Smartphone. Kacamatanya melorot saat melihatku lewat di depannya.

“Sore bener pulangnya,” kata Papa. “Udah makan? Mama tadi beli nasi padang buat kamu. Dia khawatir kamu belum makan.”

Perutku berbunyi. Aku belum makan apa-apa dari siang.

“Aku belum makan, Pa. Tadi nongkrong asik bener,” kataku.

“Ya sudah, makan dulu sana. Cuci tangan dan kaki dulu.” Papa lanjut menonton Youtube. Sebelum era smartphone, ia rutin menonton acara berita di televisi atau membaca koran. Sekarang ia mendapat asupan berita dari Twitter, Facebook, dan Youtube. Bedanya dengan Mama, Papa membenci TikTok karena ia tidak mengerti candaan orang-orang di TikTok.

Selesai mencuci tangan dan kaki, aku pergi ke dapur. Ada Mama yang sedang merebus air buat bikin teh.

“Mama beli nasi padang tuh buat kamu,” kata Mama sambil menunjuk ke tudung saji di atas meja. “Mama tahu kamu belum makan siang.”

“Ah Mama tahu aja,” kataku sambil membuka tudung saji.

Mama pergi ke ruang tamu untuk mengantar teh panas untuk Papa. Ia lalu balik lagi ke dapur.

“Mau bikin jamu,” komentarnya tanpa ditanya. “Harga jahe mahal bener. Gimana Mama mau jaga stamina kalau semua harga bahan jamu naik semua?”

Aku makan dengan lahap sambil mendengar keluhan-keluhan Mama. Mataku terus bergerak mengamati Mama yang cuma memakai daster sempit. Saking sempitnya, sampai-sampai aku bisa melihat sebagian pantatnya setiap kali ia menunduk. Sepertinya ia tidak memakai sempak karena aku bisa melihat belahan memeknya yang membayang di balik dasternya.

“Sejauh ini aman?” bisikku.

Mama langsung mengerti yang kumaksud. “Aman sih. Papa gak pernah bertanya. Kita berdoa aja semoga Papa tidak tahu selamanya.”

“Aku harap gak ada orang yang merekam Mama kemarin,” kataku. “Bahaya bener kalau sampai ada yang ngerekam, terus videonya viral. Kalau itu terjadi, Papa pasti tahu.”

Wajah Mama memucat. “Mama gak lihat ada yang bawa hape kemarin.”

“Aku juga gak lihat sih. Semoga saja mereka gak punya hape,” kataku.

Selesai makan, aku pergi ke kamar. Kunyalakan lampu kamar, komputer, dan mesin printer. Aku merenggangkan badan. Saatnya bekerja keras.

Semua video rekaman kemarin aku upload ke Google Drive lewat smartphone. Proses upload-nya cukup lama karena jaringan internet di desa sering macet. Proses itu baru selesai satu jam kemudian.

Setelah yakin semua file selesai ter-upload, aku buka Google Drive lewat komputer. File video di Google Drive aku download. Proses ini juga memakan waktu sekitar satu jam karena ukuran file-nya cukup besar. Selesai men-download semua, video-video itu aku pindah ke hardisk komputer.

Kuputar semua video itu satu per satu sampai selesai. Ketika ada adegan yang seru, misalnya saat Mama berdiri telanjang di depan orang-orang pasar, aku screenshot adegan itu. Beberapa adegan aku putar ulang supaya dapat screenshot yang bagus. Dalam satu video, aku mendapat belasan screenshot. Semua screenshot itu aku masukkan ke folder terpisah, baik di hardisk komputer maupun di Google Drive buat cadangan.

“Lagi apa kamu?” tanya Papa. Ia melongok ke dalam kamar.

Tanganku refleks menekan tombol CTRL+W. Layar komputerku langsung menampilkan wallpaper.

“Mau main game,” jawabku cepat.

“Terus kapan belajarnya?”

“Habis main game.”

Papa menggeleng. “Kalau nilaimu tahun ini jeblok. Papa bawa komputer itu ke kantor.” Ia menutup pintu, lalu membukanya lagi. “Kamu juga harus uninstall semua game di Smartphone.” Ia menutup pintu. Kali ini Papa benar-benar pergi.

Kedua kakiku lemas. Hampir saja ketahuan!

Aku melongok ke ruang tamu untuk memastikan kalau Papa sudah pergi. Pintu kututup, lalu kukunci. Jangan sampai Papa atau Mama melongok saat aku bekerja.

Kumasukkan beberapa lembar kertas ke mesin printer. Mesin itu berderik-derik saat mencetak gambar-gambar hasil screenshot. Hasil cetakan kubentangkan lebar-lebar. Yah, meskipun hasilnya agak buram karena pakai kertas biasa, tapi ini sudah cukup untuk menjalankan rencana selanjutnya.

Sekarang tinggal mencari selotip dan gunting. Aku menemukan gunting di meja belajarku, tapi tidak ada selotip. Aku keluar dari kamar dan mencarinya di ruang tamu. Tidak ada juga.

“Mama dan Papa lihat selotip gak?” tanyaku ke Mama dan Papa yang lagi ngobrol di ruang tamu.

“Selotip kita habis. Kamu lagi bikin apa?” tanya Mama.

“Mau benerin buku yang rusak,” jawabku sekadarnya.

“Beli di warung aja deh. Ambil uang Mama di dompet,” kata Mama.

Mama selalu menaruh dompetnya di meja rias. Aku mengambil selembar Rp100,000 dari dompet Mama, lalu bergegas keluar menuju warung.

“Uang kembaliannya jangan diambil!” seru Mama dari ruang tamu.

Warung kelontong jaraknya cuma beberapa meter dari rumah. Aku membeli dua gulungan selotip ukuran besar, lalu balik ke rumah. Di perjalanan pulang, aku berpapasan dengan Indra yang sedang mengendarai sepeda motor.

“Hoi, belanja apa?” tanya Indra sambil mematikan mesin sepeda motornya.

“Cuma beli selotip,” jawabku sambil mengangkat bungkusan berisi selotip.

“Memangnya kita ada tugas prakarya?”

“Gak ada. Ini buat benerin buku,” jawabku. “Kau mau ke mana?”

“Mau mancing,” jawabnya. “Bosen di rumah. Setiap hari rasanya ngebosenin. Kau dari kemarin terlihat senang melulu. Lagi ada sesuatu yang menarik?”

Aku mengangguk. “Ada dong.”

“Pacar baru? Situs bokep baru? Game baru?” Ia menebak.

“Bukan. Ini lebih hebat dari itu,” kataku.

Wajahnya terlihat kebingungan. “Jadi apa dong?”

“Aku lagi mengerjakan sesuatu yang hebat. Kalau ini berhasil, tempat ini gak bakal ngebosenin lagi.”

“Wah, kamu kok main rahasia-rahasiaan. Aku kira kamu sudah anggap aku sebagai sahabat,” ujarnya dengan nada kecewa.

“Pokoknya ini keren deh,” kataku. “Ya udah, aku mau pulang dulu. Kau hati-hati di jalan.”

Indra menghela napas, lalu menyalakan sepeda motornya. Sekejap saja ia sudah menghilang dari pandangan.

Kamu pun akan menikmatinya nanti, pikirku.

Sampai di rumah, aku langsung memberikan uang kembalian ke Mama. Sambil menghitung uang, ia mengangguk-angguk puas. “Tumben jumlahnya bener. Biasanya kurang Rp20,000.”

“Aku masih ada uang,” kataku jengkel.

“Simpen uang jajanmu baik-baik. Jangan buat beli game melulu,” komentar Papa. “Dulu waktu Papa masih seusiamu, Papa gak pernah minta uang jajan ke orangtua. Papa cari uang sendiri dengan jualan kue di sekolah.”

Aku buru-buru masuk kamar sebelum mendapat khotbah tambahan.

Selotip, gunting, dan puluhan kertas berisi cetakan screenshot. Barang-barang penunjang rencanaku lengkap sudah. Sekarang aku tinggal menunggu malam tiba.

Jam sembilan malam, aku beralasan keluar untuk membeli gorengan. Aku membawa ransel berisi peralatan penunjang rencana dan gulungan kertas. Mama sempat bertanya untuk apa aku membawa ransel. Aku bilang sekalian mengembalikan buku-buku yang aku pinjam dari Indra.

“Memangnya Indra suka baca buku?” tanya Mama.

“Suka, selama itu komik,” kataku sambil ngeloyor pergi sebelum Mama bertanya lebih lanjut.

Satu jam kemudian, aku sudah balik ke rumah. Ranselku terasa lebih ringan karena gulungan-gulungan kertas itu sudah tidak ada.

Aku merebahkan diri ke kasur, sambil berusaha memejamkan mata. Aku bertanya-tanya, kenapa aku mau capek-capek melakukan ini? Bagaimana kalau cara ini tidak berhasil? Bagaimana hubunganku dengan Mama setelah ini?

Aku merenung selama berjam-jam. Pikiran-pikiran itu membuatku gelisah. Aku duduk, mondar-mandir, lalu berbaring lagi. Menonton Youtube dan TikTok pun tidak membantu mengusir kegelisahanku.

Ayam berkokok di kejauhan. Jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Suka tidak suka, aku sudah terlanjur melakukan rencana ini. Mustahil mundur sekarang.

Hari ini adalah penentuannya.

Aroma telur ceplok sayup-sayup tercium di udara. Mama memang selalu bangun pagi untuk bikin sarapan, sedangkan Papa selalu bangun siangan karena jam masuk kantornya sekitar jam sembilan.

Tidak lama kemudian, pintu kamarku diketuk.

“Nak, bangun. Mama sudah bikinin sarapan,” ujar Mama dari balik pintu.

“Oke Ma,” jawabku dengan suara kubuat seserak mungkin. Dia bakal ngomel kalau tahu aku begadang semalaman.

Meski lapar, aku tidak nafsu makan karena terlalu tegang. Nasi goreng buatan Mama enaknya bukan main, tapi aku cuma mengambil sedikit dan makan sesendok-sesendok.

“Kamu sakit?” tanya Mama dengan nada khawatir.

“Nggak Ma. Cuma lagi gak laper aja,” jawabku.

“Kalau gak enak badan, mendingan istirahat di rumah aja. Biar Mama kasih tahu Bu Endang, wali kelas kamu.”

“Gak perlu, Ma. Beneran deh,” kataku bersungguh-sungguh.

“Oke deh,” kata Mama. “Kamu harus bersyukur Mama adalah kepala sekolahmu. Jadi gampang mau izin kalau sakit.”

Aku makan sambil memerhatikan Mama yang sudah memakai seragam lengkap. Seragam itu terlihat kekecilan karena berat badan Mama naik. Meski penampilannya sopan, seragam itu tidak bisa menyembunyikan lekuk pantat dan teteknya.

Sebentar lagi badan itu akan jadi milikku, pikirku. Kalau rencanaku berhasil. Memang harus berhasil.

Usai sarapan, aku mandi dan berganti pakaian. Terdengar suara deru mesin mobil yang sedang dipanaskan Mama. Ia memang wanita yang suka melakukan semuanya sendiri dan gesit.

Aku masuk ke dalam mobil, sementara Mama mengunci pintu rumah. Ia berdiri sebentar di depan rak sepatu untuk memilih sepatu apa yang cocok dikenakan hari ini. Ujung-ujungnya dia memilih sepatu yang dia pakai kemarin.

“Kayaknya Mama juga perlu sepatu baru,” ujar Mama sambil masuk ke mobil.

Yang aku suka dari desaku adalah suasana pagi yang temaram. Jalanan masih sepi dan sesekali dilewati sepeda motor yang membawa sayur-sayuran. Kadang ada bebek, ayam, atau sapi yang menyeberang jalan sehingga Mama harus memelankan laju mobil. Aspalnya basah karena embun dan bisa licin kalau semalam turun hujan. Kondisi desaku memang jauh lebih baik dari desa Bagas yang dua kali lipat lebih sepi dan jalannya belum diaspal.

Jalur yang kami lewati lurus-lurus saja sampai akhirnya kami tiba di jalan bercabang. Kedua jalan itu sama-sama mengarah ke sekolah, tapi yang kanan jaraknya lebih jauh untuk sampai ke sekolah.

Aku meminta Mama untuk mengambil jalan yang kanan.

“Kenapa? Bukannya lebih cepet yang kiri?” tanya Mama.

“Jalannya ditutup karena ada perbaikan. Mobil gak bisa lewat,” kataku.

Mama pun mengambil jalan kanan.

Jantungku berdebar tidak karuan. Sebentar lagi kami akan tiba di lokasi yang sudah aku rencanakan.

Selain jauh sampai ke sekolah, jalan yang Mama ambil lebih sepi dari yang kiri karena masih banyak pohon-pohoh lebat yang tumbuh di pinggir jalan. Rumah-rumah pun sedikit dan ada beberapa pagar yang dibangun warga untuk mencegah sapi dan ayam melintas. Beberapa bagian jalan masih belum diaspal dan berlubang, sehingga warga lebih memilih lewat jalan kiri ketimbang jalan kanan.

Di kejauhan, aku melihat pagar bambu di pinggir jalan. Jantungku berdebar kencang. Ini saatnya beraksi.

“Pelanin mobilnya dong Ma. Di sini banyak ayam lewat, takutnya nanti ketabrak,” kataku.

Mama memelankan mobilnya.

Ketika melintasi area berpagar, Mama menoleh ke kiri dan kanan. Wajahnya tampak kebingungan.

“Kok banyak poster ditempel sembarangan di sini?” tanya Mama.

Memang ada banyak poster yang menempel di sepanjang pagar. Itu adalah hasil pekerjaanku semalam.

“Lihat posternya yuk Ma,” kataku.

“Buat apa? Gak usah deh,” sahut Mama sambil terus mengamati poster-poster itu.

“Kayaknya gambar di poster itu mirip Mama deh.”

“Apa kamu bilang!”

Kata-kata itu berhasil membujuk Mama untuk menginjak pedal rem. Kami keluar dari mobil. Aku melepas salah satu poster itu dari pagar, lalu menunjukkannya ke Mama.

“Tuh, mirip Mama ‘kan?”

“Astagfirulloh!” jerit Mama melihat foto dirinya yang lagi telanjang di depan orang-orang pasar. Ia menatap belasan poster lainnya di pagar. Air matanya mengalir.

“Si-siapa yang melakukan ini!”

Jeritannya terhenti ketika ia menangkap salah satu poster. Mama melepas poster itu dari pagar, lalu mengamatinya dalam-dalam. Ia menggulung poster itu, kemudian melemparnya ke arahku.

“Itu foto di mobil kemarin!” teriaknya. “Kamu diam-diam merekam Mama! Anak kurang ajar!”

“Aku ada file mentahnya kalau Mama mau,” kataku dengan nada tenang. Aku sendiri heran karena bisa setenang itu di situasi menegangkan tersebut.

“Apa mau kamu Nak? Kenapa kamu mempermalukan Mama seperti ini?” isak Mama.

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini dia saatnya. “Aku mau Mama menuruti semua keinginanku.”

“Kalau cuma mainan atau game baru, Mama pasti belikan. Kamu gak perlu mempermalukan Mama seperti ini,” ujar Mama. Air matanya berleleran di pipinya.

“Ini bukan soal mainan atau game baru,” kataku.

Mama mengusap air matanya. “Jadi kamu mau apa?”

Kuraih salah satu tetek Mama, lalu kuremas pelan. “Aku mau ini.”

Mama mundur selangkah sambil menyilangkan kedua tangannya di depan teteknya. “Apa maksud kamu?”

“Aku mau Mama melayaniku.”

Mama menggeleng. “Ka-kamu anak kurang ajar.”

“Mama gak bisa nolak karena aku punya banyak gambar beginian,” kataku sambil menunjuk ke poster itu satu-satu. “Yah, kita gak tahu poster-poster ini bakal nempel di mana aja. Mungkin di pagar rumah orang lain, mungkin juga di pos kamling, atau di sekolah.”

“Mama bakal lapor kelakuanmu ke Papa!” jeritnya.

“Silakan aja Ma. Kita lihat gimana reaksi Papa kalau tahu Mama ke pasar gak pakai celana.”

Mama terdiam. Air matanya semakin bercucuran.

“Jangan kasih tahu siapa-siapa. Mama mohon,” isaknya.

“Selama Mama nurut, foto ini gak bakal nyebar,” kataku. “Gimana? Mama nerima tawaranku?”

Mama tertunduk dan terdiam cukup lama. Ia mendongak dan menatapku dengan pandangan sedih bercampur marah. Akhirnya ia menjawab. “Oke, Mama bakal nurut sama kamu.”

Aku menghela napas lega. “Kalau gitu Mama harus buktikan.”

Kulonggarkan ikat pinggangku, lalu kuturunkan celanaku. Mama tertegun melihat kontolku yang tegak berdiri.

“Isep ini,” kataku sambil menunjuk ke kontolku.

Mama menggeleng.

“Kalau Mama gak mau, maka poster ini bakal menempel di dinding sekolah,” kataku. “Ayo isep!”

Mama melangkah maju. Ia berjongkok di depanku. Kepala kontolku kini berada tepat di depan bibirnya.

“Cepetan Ma, sebelum ada orang lewat,” kataku.

Bibir Mama bergetar saat mendekati kepala kontolku. Ia membuka mulutnya, lalu kontolku pun tenggelam ke dalam mulutnya.

Badanku ikut bergetar karena keenakan. Kurasakan lidah Mama bergerak melingkar di batang kontolku. Hangat dan basah. Telahdewasa.com

Aku jadi tidak sabaran. Kudorong kepala Mama supaya seluruh batang kontolku masuk ke mulutnya.

“Hmmph!” erang Mama tertahan karena mulutnya harus menelan kontolku yang besar. Kedua matanya sampai melotot.

Kepala Mama kugerakkan maju mundur dengan cepat. Rasanya agak menyakitkan karena batang kontolku sedikit tergores gigi Mama, tapi aku sudah terlalu bernafsu.

“Hmph! Hmph! Hmph!” Semakin cepat kudorong kepala Mama, semakin nyaring pula jerit tertahannya.

Kontolku semakin mengeras dan memanjang. Aku sampai bisa merasakan rongga tenggorokan Mama di ujung kepala kontolku.

“Ouh, Mama!” Aku mengerang keenakan saat kontolku memuncratkan pejuh. Kepala Mama kutekan dalam-dalam sampai kontolku selesai memompa seluruh pejuh yang dikandungnya.

Pipi Mama menggelembung. Ia hendak memuntahkan pejuh di mulutnya, tapi segera aku cegah.

“Telan!” kataku.

Mama menelan pejuhku sambil menangis. Ia kemudian membuka mulutnya yang sudah kosong.

Kutepuk pundak Mama. “Bagus. Sekarang bantu aku melepas poster ini. Kecuali Mama memang mau gosipnya nyebar.”

Aku dan Mama melepas poster-poster di dinding. Poster itu kami remas, lalu aku lempar ke tempat pembakaran sampah di sebelah pagar.

Setelah beres, kami masuk ke mobil. Mama mengelap bibirnya yang masih belepotan pejuh dengan tisu. Ia sudah tidak menangis lagi.

“Aku mau Mama mengocok kontolku sampai di sekolah,” kataku sambil melirik ke kontolku yang masih keluar dari celana.

“Apa! Jangan main-main kamu!” seru Mama. Ia tercengang melihat kontolku yang masih tegak.

Kuraih tangan kiri Mama, lalu kutempelkan ke kontolku. Jari-jarinya bergerak otomatis menggenggam batang kontolku.

“Nah, gampang ‘kan? Mama kocokin sambil nyetir ya,” kataku.

Mama menginjak pedal gas dengan kasar. Mobil pun melesat pergi.

Bersambung…

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Mama tidak berani lebih cepat lagi karena tangan kirinya bergantian memegang tongkat persneling dan kontolku.

Aku tersenyum-senyum kecil melihat Mama yang kadang keliru mau mengganti persneling, tapi malah memegang kontolku. Kadang juga ia mau mengocok kontolku, tapi malah mengocok tongkat persneling.

“Kok lama banget ini keluarnya?” komentar Mama.

“Aku butuh rangsangan,” kataku. Kuraih bagian bawah rok panjang Mama, lalu kutarik sampai ke atas. Badan Mama bergerak-gerak pelan saat tanganku mengelus pahanya.

“Aduh, jangan bikin Mama geli,” keluhnya sambil berkonsentrasi melihat jalan.

Tanganku bergerak menelusuri selangkangannya. Kusentuh sempak Mama. Rupanya ia memakai sempak yang kami beli di pasar.

“Gimana bahannya? Nyaman ‘kan?” kataku sambil menyelipkan jari ke pinggiran sempaknya. Mama menggerak-gerakan pantatnya saat jariku menyentuh bibir memeknya.

“Jangan bikin Mama geli!” seru Mama. “Mama jadi susah konsentrasi nih.”

“Mama harus belajar menahan geli,” kataku. Jariku bergerak masuk ke dalam memeknya yang hangat. Telapak tanganku agak geli karena bergesekan dengan bulu-bulu jembut Mama yang tumbuh kecil-kecil.

“Sejak kapan kamu merencanakan ini ke Mama?” tanya Mama.

“Baru beberapa hari yang lalu,” kataku sambil terus menggesek memeknya.

“Mama gak nyangka sudah melahirkan anak durhaka,” kata Mama.

“Aku gak peduli Ma. Salah Mama kenapa sering berpakaian seksi di rumah. Mama tahu sendiri kalau cowok mana pun pasti suka melihat cewek seksi.”

“Tapi aku ibumu. Harusnya kamu gak nafsu sama ibumu sendiri,” Mama mulai menangis lagi.

“Tetep aja nafsu karena Mama cantik dan semok,” jawabku. “Lain cerita kalau Mama udah terlalu tua, aku pasti gak nafsu sama Mama.”

Mama menggigit bibirnya saat jariku semakin cepat mengocok memeknya. Tangannya pun semakin cepat mengocok kontolku. Mobil sempat berbelok mendadak dan hampir menabrak pagar rumah, tapi Mama berhasil membawanya ke jalur yang tepat.

“Oooh Mama!” Aku berseru kegirangan saat kontolku memuncratkan pejuh. Saking banyaknya pejuh yang keluar, sampai-sampai berceceran di celana dan di tangan kiri Mama.

Di saat yang hampir bersamaan, memek Mama juga semakin basah. Mama tersentak kaget saat kumasukkan keempat jariku ke memeknya.

“Ke-kebanyakan jari yang masuk!” Mama meringis. Entah meringis kesakitan atau meringis doyan.

Detik kemudian, ada cairan kental yang merembes dari memek Mama dan melewati jari-jari tanganku. Kucabut tanganku dari memek Mama, lalu kutunjukkan ke Mama.

“Tuh Mama sampai becek gini. Berarti Mama senang juga,” kataku.

Mama diam saja. Wajahnya terlihat kesal, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Kami tiba di sekolah ketika matahari sudah naik. Beberapa siswa berlarian masuk ke gerbang sekolah karena takut telat. Pintu gerbang ditutup tepat ketika mobil kami masuk ke lapangan parkir.

Pak Paijo yang baru saja menutup pintu gerbang, menatap kami dengan keheranan.

“Tumben telat Bu,” ujarnya ramah.

“Lagi ada urusan,” jawab Mama ketus. Ia langsung melangkah cepat-cepat menuju kantor. Pak Paijo menggaruk-garuk kepalanya yang beruban. Mungkin dia bertanya-tanya dengan perubahan sikap Mama yang biasanya ramah.

Mama masuk ke kantor. Ia kaget saat menyadari aku mengikutinya.

“Kamu ngapain ikutin Mama? Ini sudah mau jam masuk sekolah,” kata Mama.

“Gak apa-apa sesekali bolos,” kataku sambil duduk di sofa. “Aku mau lihat Mama bekerja.”

Mama membanting berkas-berkasnya ke meja. Ia duduk sambil menyalakan komputer. Kursi kerjanya berdenyit saat diduduki.

“Jangan ganggu Mama kerja,” kata Mama. Tangannya mulai mengetik atas keyboard.

“Ah tadi Mama juga bilang begitu, tapi Mama becek juga,” kataku. “Kapan terakhir kali Papa ngentot Mama?”

“Pertanyaan macam apa itu!”

“Ayo jawab Ma. Kapan terakhir kali Papa ngentot Mama?”

“Sekitar dua tahun yang lalu,” jawab Mama. “Gimana? Puas kamu?”

“Oh pantesan Mama menikmati waktu memeknya kukocok,” kataku. “Jauh di lubuk hati Mama pasti kangen dikentot.”

Aku bangkit dari sofa, lalu mendekati Mama. Mama menatapku ketakutan.

“Udah Mama bilang jangan ganggu Mama atau Mama teriak minta tolong.”

“Silakan teriak Ma,” kataku. “Terus kalau ada yang datang, Mama mau ngomong apa? Ngomong mau diperkosa anak sendiri?”

Melihat wajah Mama yang ketakutan membuat kontolku mengeras lagi. Kubuka ritsleting celanaku. Kontolku langsung menyembul keluar dari dalam celana.

Mama terbelalak melihat kontolku. “Masih berdiri?”

“Cuma memikirkan Mama saja sudah bikin kontolku berdiri,” kataku sambil mengocok kontol. “Gak tahu deh sudah berapa banyak pejuh yang keluar cuma karena memikirkan Mama.”

Kepala kontolku menempel ke pipi Mama. Kuayunkan kontolku sampai menampar-nampar pipinya. Mama berusaha mengelak, tapi aku pegang pundaknya biar dia tidak bisa bergerak.

“Mama sudah ngisep kontolmu. Mama sudah ngocokin kontolmu. Apalagi yang kamu mau?”

“Memek Mama,” jawabku singkat.

Wajahnya memucat. “Sudah cukup Nak. Mama gak bisa ngasih permintaan yang aneh-aneh.”

“Jadi Mama lebih suka foto Mama menyebar? Baiklah,” kataku sambil memasukkan kontolku ke celana. “Besok Mama bakal lihat foto Mama menempel di pintu kantor Mama.”

“Jangan!” pekik Mama.

“Jadi gimana?” Aku tersenyum. “Mama gak ada pilihan buat nolak. Foto itu aman selama Mama nurut. Simple ‘kan?”

Mama menunduk. “Oke, kamu boleh ngentot Mama,” ujarnya pelan.

“Jadilah ibu yang baik ke anaknya,” kataku sambil mengelus kepala Mama yang tertutup jilbab. “Sekarang buka baju Mama.”

Mama melepas kancing seragamnya. Kedua teteknya yang terbungkus beha bergelayut keluar.

“Mama gak butuh ini.” Kuambil gunting di atas meja, lalu kupotong bagian tengah beha Mama. Beha itu putus dan memperlihatkan kedua tetek telanjang Mama. “Tetek Mama jauh lebih indah kalau gak ditutup apa-apa.”

Kutarik beha yang sudah putus itu, lalu kulempar ke tong sampah di sebelah meja Mama. Mama cuma bisa melihat beha itu bercampur dengan sampah lain.

“Ini juga lepas,” kataku sambil menarik kemeja Mama. Kali ini Mama tidak banyak bertanya. Ia langsung melepas kemejanya.

“Aku mau Mama kocokin kontolku pakai tetek Mama,” kataku. Batang kontolku kugesek-gesek di belahan teteknya biar dia mengerti.

Kedua tangan Mama menekan teteknya sampai kontolku terjepit di belahannya. Sepertinya ia sudah mengerti apa yang aku mau.

“Nah, kalau nurut gitu ‘kan enak,” kataku.

Kugesek kontolku yang terjepit di belahan teteknya. Sebelumnya aku cuma bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau kontolku dikocok pakai belahan tetek seperti di film-film bokep, sekarang aku bisa merasakannya langsung!

Tetek Mama yang agak berkeringat bikin kontolku bergerak naik turun dengan lancar. Rasanya seperti mengocok kontol pakai sabun, cuma ini lebih sempit daripada pakai tangan sendiri.

Semakin cepat kontolku menggesek tetek Mama, semakin besar dan panjang pula ukurannya. Kepala kontolku sampai membentur dagu Mama.

“Aku mau keluar,” kataku. “Jepit lagi yang kenceng!”

Mama menekan teteknya kuat-kuat sampai celah di belahan teteknya menyempit. Kontolku jadi susah bergerak, tapi justru membuatnya semakin keras.

“Ugh Mama!”

Kontolku memuncratkan pejuh kencang sekali sampai-sampai mengenai dagu, leher, dan tetek Mama.

Mama mengambil tisu di meja, lalu membersihkan ceceran pejuh di lehernya. Selagi dia bersih-bersih, aku memijat kontolku untuk mengeluarkan sisa-sisa pejuh.

“Sudah ya,” kata Mama. Ia hendak mengambil kemejanya, tapi aku keburu mencegahnya.

“Belum Ma. Itu baru pemanasan,” kataku.

Mama melotot. “Tapi kamu udah keluar banyak sekali.”

“Kontolku masih tegang nih,” kataku sambil menunjuk ke kontolku yang belum loyo.

“Gila kamu!” seru Mama.

“Sekarang ayo nungging,” perintahku.

Mama membalikkan badan. Ia berpegangan di pinggir meja, sedangkan pantatnya dinaikkan.

Kutarik rok panjangnya sampai terlepas, begitu pula dengan sempaknya. Pantat Mama berkilauan di depanku.

Kulumasi batang kontolku dengan sisa-sisa pejuh yang masih berlumuran di kepala kontol. Pantat Mama kupegang, lalu kuarahkah kontolku ke memeknya.

“Siap ya,” kataku memberi ancang-ancang.

“Aduh!” jerit Mama saat kontolku menancap di memeknya. Aku menghela napas penuh kemenangan. Akhirnya aku berhasil menguasai memek Mama!

Berbeda dengan memek Romlah, memek Mama ternyata lebih longgar. Tapi memek Mama lebih berdenyut sehingga kontolku seperti dipijat.

Sambil memompa Mama, pantatnya kutampar sampai suaranya menggema di seluruh ruangan. Mama menjerit kesakitan setiap kali kutampar. Pantat Mama yang tadinya kecokelatan kini memerah.

Denyutan di memek Mama tambah mengeras, begitu pula kontolku. Aku tahu sebentar lagi kami akan orgasme berbarengan.

“Aku crot di dalam ya,” kataku.

“Eh jangan! Jangan Nak!” seru Mama. Ia berusaha membalikkan badan, tapi pundaknya langsung kutahan.

“Terlambat Ma,” kataku.

Kontolku menyemprot pejuh banyak sekali. Memeknya tambah menyedot seolah menerima benih yang dikirimkan.

“Mama sudah jadi punyaku seutuhnya,” kataku sambil mengusap-usap punggungnya.

“Kejam sekali kamu ke ibumu sendiri,” isak Mama. “Kalau Mama hamil gimana?”

“Mama tinggal ngentot sama Papa, terus bilang kalau itu anak Papa,” kataku.

Memek Mama masih menyedot ketika aku mencabut kontolku dari memeknya. Kutepuk-tepuk pantatnya dengan sayang.

Smartphone Mama berbunyi. Mama membaca pesan di layarnya.

“Mama harus ke UKS. Kata Bu Fatimah, peralatan UKS sudah sampai, jadi Mama harus ngecek.”

Ia menaikkan roknya dan memakai kemejanya kembali. Aku juga memakai celanaku.

“Ah aku ada ide!” kataku.

Wajah Mama kembali ketakutan.

“Mama mau istirahat dulu. Mama udah capek,” keluhnya.

Aku tersenyum. “Tenang, kita gak ngentot lagi kok.”

Mama menghela napas lega.

“Turunin rok Mama sampai setengah pantat,” perintahku.

“Tapi Mama mau ketemu Bu Siti,” ujar Mama pelan.

“Udah turunin aja. Mama kok rewel bener?”

Mama menurutiku. Ia menurunkan roknya sampai sebagian pantatnya kelihatan.

“Sempaknya juga,” perintahku lagi.

“Tapi memek Mama kelihatan dong?”

“Memang itu tujuannya. Ayo cepet turunin.”

Mama menurunkan sempaknya. Kini memeknya juga terlihat sebagian.

Aku mengacungkan jempol. “Bagus. Nanti Mama ke UKS begitu ya.”

Mama tertegun. “Tapi Mama harus jalan ke UKS. Kalau dilihat orang-orang gimana?”

“Sekarang masih sepi karena udah masuk jam belajar. Selama Mama hati-hati, Mama gak bakal ketemu orang lain deh,” kataku. “Oh iya, aku juga ikut Mama. Awas aja kalau Mama naikin rok.”

Mata Mama sembab saat kudorong ia ke lorong sekolah.

Dibandingkan sekolah-sekolah lain di desa, sekolahku cukup luas dan fasilitasnya oke. Bangunannya memang belum bertingkat seperti sekolah di kota, tapi bangunannya kokoh dan bersih. Paijo selalu mencabuti rumput-rumput liar di halaman sekolah, mengecat dinding yang mulai kusam, dan memperbaiki dinding atau atap yang rusak.

Gedung guru dibangun terpisah dengan gedung sekolah. Ruangan di gedung guru cuma ada 4: ruangan kepala sekolah, ruangan semua guru, gudang penyimpanan alat-alat mengajar, dan toilet. Sedangkan gedung sekolah cuma berisi 3 kelas: X, XI, dan XII. Kelas terdekat dengan gedung guru adalah X dan ruangan paling ujung adalah XII.

Di depan gedung sekolah terdapat lapangan upacara yang juga dipakai untuk senam di setiap hari Jumat. Agak jauh di belakang sekolah ada gedung kecil yang digunakan sebagai kantin. Melangkah lebih jauh lagi, ada satu lapangan yang basket yang juga bisa digunakan sebagai lapangan voli.

Ruang UKS terletak di pojok deretan kelas XII. Tidak ada cara lain menuju UKS selain Mama harus berjalan melewati teras kelas.

Toilet siswa berada di bangunan terpisah dan letaknya cukup jauh di belakang gedung sekolah. Tidak masalah kalau mau ke toilet saat cuaca cerah, tapi jadi masalah besar kalau hujan deras karena harus berlari-lari melintasi jalan setapak yang mengarah ke toilet.

Mama berdiri di teras kelas yang sepi karena kegiatan belajar sudah dimulai. Kakinya gemetaran. Ia mengamati sekelilingnya dengan waspada. Sejauh ini cuma ada seekor kucing yang melintas di halaman sekolah. Paijo mungkin masih memotong rumput di lapangan parkir, guru-guru lagi mengajar, dan murid-murid jelas lagi fokus belajar.

“Mama jangan kelamaan berdiri di sini. Keburu ada yang lihat,” kataku.

Ia menarik napas panjang, lalu melangkah maju. Kelas yang harus dilewati pertama adalah kelas X.

Mama melangkah cepat-cepat. Pintu kelas dalam keadaan tertutup, tapi jendela-jendelanya terbuka. Murid-murid di dalam bisa melongok keluar.

Mama menarik bagian bawah kemejanya agar menutupi sebagian memeknya. Langkahnya memang cepat, tapi terkadang kakinya goyah karena Mama mengenakan sepatu high heels. Setelah susah payah, akhirnya ia bisa melewati kelas X.

Aku mengikuti Mama sambil tersenyum. Masih ada sisa dua kelas lagi untuk dilewati.

Pintu kelas XI juga tertutup, cuma terdengar suara berisik dari dalam. Dari suaranya, kelas itu sedang diajar Bu Sartika yang memang lembut ke murid-murid. Jadi murid-murid suka ribut kalau diajar beliau.

Mama terus melangkah dengan kecepatan tinggi. Saat hampir melewati kelas XI, ujung sepatu Mama tergesek lantai. Ia hampir kehilangan keseimbangan kalau saja tidak berpegangan dinding.

Walau terhambat beberapa detik, murid-murid yang duduk di dekat jendela jadi menoleh ke Mama. Mereka melongo melihat Mama.

“Itu Bu Kepala Sekolah. Tapi kok ada yang aneh,” bisik mereka. “Kayaknya roknya melorot deh.”

“Masa sih?” timpal yang lain sambil ikut-ikutan melongok ke jendela.

Mama mempercepat langkahnya. Ia pasti panik! Aku sampai bisa melihat keringat merembes di punggung kemejanya.

“Wuih bener roknya melorot!” seru seorang murid. “Tuh lihat pantatnya keliatan!”

Mama sudah mencapai kelas XII sebelum murid-murid di belakangnya tambah ramai. Napasnya tersenggal.

“Gimana Ma? Seru?” tanyaku sambil menepuk pundaknya. “UKS masih jauh tuh.”

“Anak kurang ajar kamu!” jerit Mama. Sadar kalau dirinya lagi di teras sekolah, ia memelankan suaranya. “Ini lebih memalukan daripada di pasar.”

“Ayo jalan lagi.” Kutampar pantatnya. “Kecuali Mama mau pantat Mama dilihat murid lain.”

“Mama mau ambil napas dulu,” kata Mama. Keningnya berkeringat.

“Lumayan ‘kan sekalian olahraga,” kataku.

Setelah napasnya mulai teratur, Mama lanjut melangkah. Kelas terakhir tinggal beberapa langkah di depan.

Saat hampir mencapai kelas XII, tiba-tiba pintu terbuka. Bu Ramadhan, guru bahasa inggris, keluar dari kelas. Ia menutup hidungnya dengan sapu tangan dan bersin-bersin. Ia menatap Mama yang berdiri di depannya. “Aduh Bu, kebetulan sekali ketemu Ibu di sini. Saya mau izin pulang duluan karena badan saya lagi gak sehat.”

Mama menggangguk. “Oke, Bu Ramadhan boleh istirahat di rumah.” Telahdewasa.com

Bu Ramadhan mengamati Mama dengam pandangan heran. “Kayaknya ibu juga tidak enak badan seperti saya.”

Mama terbatuk-batuk kecil. “Be-benar, saya juga lagi gak enak badan.”

Mama menarik bagian bawah kemejanya untuk menyembunyikan memeknya dari Bu Ramadhan.

“Saya ada urusan penting,” kata Mama sambil melewati Bu Ramadhan.

“Bu Kepala Sekolah, tunggu dulu!” seru Bu Ramadhan.

Mama berhenti, ia membalik badan. “Ya, ada apa lagi Bu?”

Bu Ramadhan membenarkan posisi kacamatanya. “Rok Ibu melorot sampai pantatnya menongol begitu. Sebaiknya Ibu benarkan dulu rok Ibu sebelum dilihat orang lain.”

“Ups, maaf saya gak perhatikan. Kancing rok saya rusak dan saya gak sadar kalau udah melorot,” ujar Mama berpura-pura kaget. Ia menaikkan roknya sampai menutupi pantat. “Terima kasih sudah diberitahu.”

“Sama-sama Bu. Hati-hati jangan sampai kelihatan anak-anak sini.”

Bu Ramadhan tersenyum saat berpapasan denganku. “Ingetin ibunya kalau celananya melorot lagi,” katanya.

Begitu Bu Ramadhan menghilang dari pandangan, kucubit pantat Mama. “Siapa yang suruh Mama naikin rok? Ayo turunin lagi.”

Mama menurunkan roknya lagi.

“Turunin lagi sampai lutut Mama,” kataku.

“Apa! Ini udah cukup! Jantung Mama udah mau copot tadi!” seru Mama.

“Jadi Mama menolak?” Aku menantangnya.

Mama membungkuk. “Oke kalau itu mau kamu.”

Ia menurunkan rok dan sempaknya sampai ke lutut. Ikat pinggangnya dikencangkan di lutut supaya roknya tidak jatuh.

“Puas kamu?” ujar Mama. Kedua matanya sembab.

Aku mengacungkan jempol. “Begini ‘kan enak dilihat.”

Mama mengetuk pintu UKS. Tak beberapa lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Fatimah kaget melihat Mama.

“Waduh, kok roknya melorot begitu Bu? Ayo cepet masuk!” seru Bu Fatimah.

Sayangnya pintu langsung tertutup saat Mama melangkah masuk. Aku cuma bisa menguping pembicaraan di dalam UKS.

“Bu Kepala Sekolah kenapa penampilannya begitu?” suara Bu Fatimah terdengar marah.

“Ta-tadi pagi perut saya gatal. Jadi saya oles krim biar gatalnya reda,” suara Mama terbata-bata.

“Tetep gak pantes dilihat murid-murid lain. Untung aja lagi pada belajar. Kalau ada yang lihat gimana?”

“Saya tadi cepet-cepet jalan biar gak ada yang lihat.”

“Ibu memang kepala sekolah di sini dan saya sangat menghormati ibu. Saya tidak mau nama ibu dan sekolah ini tercoreng cuma karena krim gatal.”

“Maafkan saya. Saya janji gak bakal mengulanginya lagi,”ujar Mama. “Omong-omong dimana peralatannya?”

“Ibu benerin dulu roknya, baru kita bicarain peralatan yang udah datang.”

Terdengar suara ritsleting yang dinaikkan.

“Ini peralatannya,” ujar Bu Fatimah.

Mereka kemudian membicarakan peralatan kelengkapan UKS. Aku berhenti menguping karena topiknya membosankan.

Aku tersenyum-senyum mengingat wajah Mama yang panik saat “pameran berjalan” tadi. Itu baru pameran memek, belum pameran yang lain.

Begitu Mama keluar dari ruangan nanti, petualangan lain segera menanti.

Bersambung…

Sekitar satu jam kemudian, pintu UKS terbuka. Bu Ramadhan keluar bersama Mama. Rok Mama sudah dipasang di tempat yang benar. Mereka masih membicarakan soal peralatan UKS.

“Loh anaknya kok nunggu di sini? Gak ikut belajar?” tanya Bu Ramadhan saat melihatku.

“Dia lagi gak enak badan, jadi saya suruh istirahat dulu,” jawab Mama.

“UKS bisa dipakai kalau mau rebahan di dalam,” ujar Bu Ramadhan. Ia menempelkan tangannya ke keningku. “Gak panas kok. Kamu udah merasa enakan?”

“Alhamdulilah udah Bu,” jawabku. “Tadi agak demam dikit, jadi aku minta izin buat istirahat. Kebetulan ketemu Mama, jadi kami barengan ke sini.”

“Semoga cepat sembuh. Saya mau ke kantor dulu,” ujar Bu Ramadhan. Ia pergi meninggalkan aku dan Mama.

Mama bersandar ke dinding. “Astagfirulloh. Badan Mama lemes banget.”

Kutampar pipi Mama.

“Mama itu gimana sih? Udah aku bilang memeknya jangan ditutup!” bentakku.

Mama memegang pipinya. “Maaf, abisnya Mama bingung harus berbuat apa.”

Kutarik Mama ke ruang UKS. Pintunya kututup, lalu kugerendel. Di dalam cuma ada satu ruangan yang diisi dua ranjang dan meja-meja yang dipenuhi obat-obatan. Mama kudorong sampai terjatuh di salah satu ranjang.

“Mau apa kamu Nak?”

“Mau ngentot Mama lagi,” kataku sambil melonggarkan ikat pinggang. Kontolku sudah tegak kembali, siap menyerang wanita yang pernah melahirkanku.

“Lagi? Bukannya kamu sudah banyak keluar tadi?”

“Sudah kubilang kalau membayangkan Mama saja sudah bikin aku sange,” kataku.

Ikat pinggang Mama kulonggarkan, kemudian rok dan sempaknya kulepas. Kedua pahanya kulebarkan. Memeknya itu merekah mengikuti pahanya.

Kuludahi memek Mama, lalu aku oles biar rata. Tangan kiriku mengocok kontol supaya lebih keras, sementara tangan kananku menahan pahanya.

“Ough!” jerit Mama ketika kontolku menusuk memeknya.

“Tahan suara Mama,” kataku.

Kontolku bergerak semakin dalam ke memeknya yang licin dan hangat. Bulu-bulu jembutnya yang kecil menggelitik batang kontolku.

Ranjang UKS berdenyit nyaring saat aku memompa memek Mama.

“Mama harus beli ranjang yang kualitasnya bagus,” kataku sambil terus memompa memek Mama. “Bayangin kalau ranjang ini patah saat ada murid yang tidur di atasnya. Nama Mama bakal jelek.”

“Ah! Ah! Ah!” Erangan Mama seirama dengan denyitan ranjang. Cairan memeknya melumasi kontolku.

“Mama becek lagi. Jujur aja deh, Ma sebenernya menikmati juga ‘kan?”

Di UKS tidak ada AC sehingga aku dan Mama cepat berkeringat. Keringat Mama merembes di seprai UKS yang putih.

Memek Mama berdenyut. Aku tahu sebentar lagi ia akan orgasme, jadi kutekan kontolku dalam-dalam ke memeknya.

Kedua tangan Mama mencengkeram punggungku kuat-kuat. Matanya terpejam. Mulutnya terbuka lebar. Aku semakin cepat memompa memeknya.

“Aaaaaaah!” jerit Mama.

Pejuh menyembur dari kontolku. Kedua kaki Mama menjepit pinggangku. Aku tahu ia juga orgasme.

Kucabut kontolku yang masih menyemburkan pejuh dari dalam memeknya. Pejuhku berceceran di udel Mama.

Mama terengah-engah dengan mulut terbuka. Kucium bibirnya. Lidahku terjulur, berusaha masuk ke mulutnya. Ia memalingkan muka, tapi aku langsung memegang kepalanya agar tetap menghadap ke wajahku. Lidahku akhirnya bisa menembus mulutnya. Lidah kami pun saling bertautan.

Kami berciuman sampai lonceng pergantian mata pelajaran berbunyi. Kupandang Mama yang kelelahan. Napasnya sudah lebih tenang.

“Gila kamu,” ujar Mama. Ia mengelap keringat di keningnya dengan tangan.

“Ini belum selesai,” kataku. “Nungging dong.”

“Kamu mau apa?” Mama memandangku cemas.

“Nungging!” bentakku.

Mama membalikkan badannya. Pantatnya dinaikkan.

“Begini?”

“Buka pantat Mama.”

Ia melebarkan belahan pantatny dengan tangan. Anus Mama yang kecokelatan merekah sampai rongganya terlihat.

“Ih geli!” pekik Mama ketika anusnya kujilat. Anusnya basah oleh air liurku.

“Buka lebih lebar lagi kalau Mama gak masu sakit,” kataku.

“Kamu mau apa?”

“Udah nurut aja.”

Mama membuka belahan pantatnya lebih lebar lagi. Anusnya semakin merekah.

Kubimbing kontolku ke anus Mama. Ia memekik tertahan saat kepala kontolku yang besar masuk ke anusnya.

Anus Mama jauh lebih sempit dibanding memeknya. Aku harus menekan kontolku lebih kuat, itu pun cuma masuk sampai setengah saja.

“Pelan-pelan, nanti lecet,” kata Mama sambil meringis kesakitan. Wajahnya basah oleh air mata.

Kontolku kesulitan bergerak, jadi aku cuma bisa menggeseknya pelan-pelan. Anus Mama ternyata juga berdenyut seperti memeknya, tapi itu malah bikin anusnya tambah sempit. Kontolku seperti diikat ratusan karet gelang.

“Papa pasti gak pernah pakai pantat Mama,” kataku sambil terus berusaha memompa anus Mama.

“Aduh! Aduh!” Mama mengerang setiap kali aku bergerak. Pantatnya bergetar hebat.

Detik kemudian pejuh menyembur dari kontolku. Anus Mama yang sempit justru bikin kontolku cepat orgasme. Sebagian pejuh meluber keluar dari anus Mama ketika aku mengeluarkan kontolku.

Kontolku menjuntai lemas. Kali ini aku benar-benar kelelahan karena sudah orgasme berulang kali dalam waktu singkat.

Kukenakan celanaku kembali. Mama juga memakai roknya. Kemeja Mama yang tadi rapi, kini kusut. Seprai yang kami duduki juga kusut dan dipenuhi bekas keringat.

“Mama hebat bener hari ini,” kataku tulus. “Baru hari pertama aja sudah berani pamer memek.”

“Kapan ini berakhir Nak? Mama gak kuat kalau nanggung ini kelamaan,” ujar Mama.

“Mama pasti kuat kok. Buktinya Mama aja kuat bawa tetek segede ini ke mana-mana, pasti Mama kuat nanggung ini,” kataku sambil meremas teteknya.

“Mama harus segera ke kantor. Banyak kerjaan,” kata Mama sambil bangkit dari ranjang. “Aduh, badan Mama lemes banget. Mau tiduran saja rasanya.”

Kubiarkan Mama pergi ke kantor sendirian. Aku terlalu capek untuk memberinya perintah lagi.

Bu Anna yang seharusnya mengajar Sosiologi di jam kedua di kelasku, ternyata belum masuk. Aku bisa menyelinap masuk ke kelas tanpa kena marah.

“Dari mana aja kamu? Kirain gak masuk,” kata Indra yang duduk di sebelahku. Ia menatapku heran. “Pucat bener. Lagi sakit?”

“Nggak, lagi capek aja,” kataku. Kubuka kancing kemeja atasku supaya sejuk.

“Tadi kayaknya aku lihat kamu dan ibumu lewat,” kata Indra. “Ibumu jalannya cepet bener kayak ngejar maling.”

Dari tempat duduk kami memang bisa melihat teras sekolah lewat jendela. Tapi dia tidak bisa melihat bagian bawah tubuh Mama.

“Dia lagi ada urusan tadi. Entah urusan apa. Aku cuma ngikut aja di belakang,” kataku.

“Oh ya, kemarin aku lihat kamu lagi naik motor ke jalur menuju desa sebelah. Jangan bilang kamu mau lihat Romlah beraksi,” kata Indra.

“Cuma mau ke rumah sodara aja,” kataku. Aku tertawa dalam hati. Dia belum tahu kalau aku sudah melakukan hal yang lebih baik daripada sekadar melihat Romlah.

Kami terus mengobrol sampai Bu Anna masuk ke kelas. Di sepanjang pelajaran, aku sulit konsentrasi karena terus-terusan membayangkan Mama.

Memikirkannya saja sudah membuat kontolku berdenyut lagi.

Lonceng istirahat berbunyi. Teman-temanku langsung berlarian keluar untuk makan siang di kantin, bermain basket, atau sekadar ngobrol di teras. Tidak ada yang betah berlama-lama di dalam ruang kelas yang panas.

“Tadi aku lihat Bu Kepala sekolah roknya melorot sampai pantatnya kelihatan,” ujar salah satu murid kelas sebelah.

“Yang bener?” timpal yang lain.

“Iya bener. Coba tanya ke mereka yang duduk di dekat jendela.

Mereka sibuk membicarakan Mama. Ada yang berusaha meyakinkan, ada juga yang tidak percaya.

“Asik bener kalau lihat. Dia semok gitu,” komentar yang lain.

Hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Semua orang memang harus menikmati tubuh indah Mama.

Aku mendatangi Mama di kantornya. Ia masih sibuk mengetik. Sikapnya tak acuh saat aku membuka pintu.

“Mau apalagi kamu?” tanya Mama tanpa menoleh.

“Mama gak makan siang?”

“Mama gak lapar,” jawabnya. “Gara-gara kamu, kerjaan Mama jadi numpuk.”

“Jalan-jalan ke kantin dulu yuk,” kataku.

Ia menatap curiga. “Mama gak mau aneh-aneh di depan murid.”

“Mama inget ‘kan akibatnya kalau nolak,” kataku sambil memijat pundaknya. “Lagian ini cepet juga kok. Gak bakal lama kayak tadi.”

“Kaki Mama masih lemes,” kata Mama. Ia memijat betisnya.

“Cuma keliling sekolah doang Ma. Gak keliling desa,” kataku.

“Jadi kamu mau Mama gimana?”

“Sederhana aja,” kataku sambil mengedipkan mata ke Mama. “Temenin aku makan di kantin.”

“Pasti aku merencanakan aneh-aneh,” kata Mama.

“Nanti Mama tahu deh. Yuk ke kantin sebelum jam istirahat habis.”

Murid-murid yang tadi membicarakan Mama langsung terdiam saat kami lewat. Mereka berbisik-bisik sambil memperhatikan Mama.

Seperti biasanya, kantin dipenuhi murid-murid makan siang. Beberapa teman sekelasku juga makan di sana. Mereka duduk di bangku panjang yang disediakan sekolah agar menghemat tempat.

Murid-murid yang tadinya berisik, langsung terdiam saat kami tiba. Mereka memperhatikan Mama dengan wajah was-was.

Ada tiga gerai makanan di kantin. Meski dijaga orang berbeda, tapi menu makanannya sama. Ada soto, ayam goreng, ikan goreng, ayam bakar, ikan bakar, tempe bakar, tempe goreng, oseng-oseng kangkung, gado-gado, pecel sayur, mie rebus, dan sebagainya. Begitu pula dengan minumannya. Aku memilih gerai di ujung kiri karena di sebelahnya ada pohon mangga yang rimbun sehingga cukup sejuk.

Seorang murid langsung menggeser duduknya saat Mama duduk di sebelahnya. Aku duduk di ujung kursi panjang, sedangkan Mama duduk di antara aku dan murid itu.

“Pesen nasi goreng dong,” kataku ke Bu Darsinah, penjual di kantin.

“Tumben Bu Kepala Sekolah nemenin anaknya makan,” ujar Bu Darsinah sambil memasukkan nasi putih ke wajan.

“Iya, sesekali mau lihat keadaan di kantin,” kata Mama.

“Mau pakai telor apa?” tanya Bu Darsinah.

“Telor burung onta,” jawabku.

“Yang bener kamu.”

“Telor dadar aja deh,” kataku.

Beberapa menit kemudian, nasi goreng sudah siap. Aku minta sebuah timun utuh.

“Gak mau dipotong-potong?”

“Gak usah Bu. Utuh gitu aja.”

Mama memesan teh panas. Ia dan Bu Darsinah asik mengobrol, sementara aku sibuk makan nasi goreng.

Selagi pandangan Bu Darsinah ke Mama, cepat-cepat kujatuhkan timun utuh tadi ke bawah. Aku beralasan mengambilnya di lantai, padahal timun itu jatuh ke pangkuanku.

Dari bawah, kunaikkan bagian bawah rok Mama sampai melewati dengkulnya, lalu berhenti tepat di depan sempaknya. Kutarik sempak Mama sampai lewat di ujung kedua kakinya. Sempak itu kugulung, kemudian aku masukkan ke saku celanaku.

Kuluruskan badan kembali agar Bu Darsinah tidak curiga.

“Mau apa kamu?” bisik Mama saat Bu Darsinah melayani murid lain.

“Mama bersikap biasa aja,” bisikku. Tangan kananku menyelipkan timun ke selangkangannya.

“Aduh!” pekik Mama.

Bu Darsinah dan murid-murid di kantin melihat ke Mama.

“Ibu kenapa?” tanya Bu Darsinah dengan nada cemas.

“Gak apa-apa, cuma pegel di betis,” kata Mama.

Timun itu menancap sebagian ke memek Mama. Memeknya masih kering, jadi agak susah dimasukkan. Kuputar timun itu untuk merangsang cairan memeknya keluar.

“Hmmmpphhh!” Mama menggigit bibir bawahnya agar tidak menjerit. Posisi duduknya bergeser ke sana kemarin. Jelas ia merasa tidak nyaman.

Murid di sebelah Mama juga merasa tidak nyaman. Ia meminta teman di sebelahnya untuk menggeser duduknya supaya dia bisa lebih jauh dari Mama.

“Ibu beneran gak apa-apa?” tanya Bu Darsinah lagi.

“Bener Bu. Saya sehat-sehat aja kok,” jawab Mama. Tangannya bergetar saat memegang gelas teh. “Boleh tambah teh panasnya?”

Memeknya sudah becek. Timun itu kudorong lebih dalam sampai sisa ujungnya saja yang menyembul di bibir memeknya. Kurasakan kedua pahanya juga ikut bergetar seperti tangannya. Telahdewasa.com

“Jadi Ibu ada rencana apalagi buat sekolah ini?” tanya Bu Darsinah sambil membuat teh panas.

“Saya ada rencana membangun kantin yang lebih besar,” ujar Mama. Suaranya dibuat sewajar mungkin meskipun pahanya bergetar hebat.

“Ah akhirnya kantin ini diperbesar juga! Murid-murid sering ngeluh kepanasan karena tempatnya terlalu sempit. Kalau kantinnya luas, saya juga bisa bawa kulkas saya ke sini, jadi saya gak perlu repot-repot pulang kalau bahan makanannya habis,” ujar Bu Darsinah penuh semangat. “Oh iya, kalau bisa saya juga mau ada kipas ditaruh di sini. Biar adem.”

“Gampang itu Bu. Nanti saya belikan kipas yang besar.” Mama tersenyum, tapi sudut bibirnya bergetar pelan. Ia pasti menahan geli setengah mati.

“Kalau kulkas apa juga akan dibelikan?” tanya Bu Darsinah penuh harap. “Bukan buat saya loh. Tapi buat murid-murid di sini.”

“Bi-bisa diatur,” jawab Mama. Bulir-bulir keringat berjatuhan dari keningnya.

“Kayaknya Ibu harus istirahat,” kata Bu Darsinah sambil mengerutkan kening.

“Saya memang lagi gak enak badan, tapi Bu Darsinah gak usah khawatir.”

Mama berusaha mengambil timun di memeknya, tapi aku segera menyenggolnya.

“Awas aja kalau Mama cabut,” bisikku.

Lonceng masuk kelas berbunyi. Sebagian murid bergegas menuju ruang kelas, sebagian lagi masih berpindah tempat duduk di teras sekolah. Mereka baru masuk ruangan ketika guru mereka muncul.

Tinggal aku dan Mama yang tersisa di kantin.

“Loh anaknya gak masuk kelas?” tanya Bu Darsinah.

“Nanti aja masuknya. Aku juga lagi gak enak badan,” jawabku.

“Mungkin masuk angin,” tebak Bu Darsinah. “Akhir-akhir ini panas banget, terus hujan deras. Cuacanya gak enak di badan.”

“Saya pamit dulu Bu. Masih banyak kerjaan di kantor,” kata Mama. Ia membayar es teh dan makananku. Sebelum berdiri, Mama membetulkan kembali roknya ke posisi semula. Timun itu masih menancap di memeknya. Akibatnya kedua kaki Mama agak mengangkang saat melangkah.

“Kayaknya betis ibumu sakit banget,” kata Bu Darsinah. “Bantuin tuh ibumu.”

Aku mendekati Mama yang sudah sampai di gedung sekolah.

“Mama butuh bantuan?” kataku menggoda.

“Kapan Mama boleh cabut ini timun?” tanya Mama. “Rasanya gak nyaman banget.”

“Tunggu aku suruh. Yang pasti bukan sekarang,” kataku.

Setelah melangkah tertatih-tatih, akhirnya kami sampai di kantor Mama. Ia duduk perlahan-perlahan di kursinya agar timun di memeknya tidak menusuk lebih dalam. Mama langsung bekerja begitu komputernya menyala.

Aku berdiri di dekat jendela sambil mengamati tanaman-tanaman hias di luar. Terlihat Paijo sedang menyiram tanaman. Meski ramah, wajah Paijo tampak suram kalau lagi sendirian.

Ah, dia pasti butuh hiburan, pikirku sambil melirik Mama.

Bersambung…

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua. satu setengah jam lagi lonceng pulang sekolah berbunyi. Mama masih mengetik di komputer, sementara aku mengamati Paijo dari balik jendela.

“Mama sudah selesai?” tanyaku.

“Belum. Kerjaan Mama masih numpuk,” sahut Mama. Sesekali ia mengurut keningnya.

“Mama mendingan istirahat sebentar,” kataku. “Kasihan juga Paijo, dia kerja dari pagi sampai sore. Dia perlu istirahat seperti Mama.”

“Kenapa kamu tiba-tiba ngomongin Paijo?”

“Karena aku ada ide,” kataku. “Bagaimana kalau Mama sesekali menghibur Paijo.”

“Apa maksud kamu?”

Kubisikkan rencanaku ke Mama. Kedua matanya melotot begitu mendengar rencanaku.

“Gila kamu!” jeritnya. “Gimana kalau terjadi apa-apa ke Mama?”

“Selama murid-murid masih di kelas, Mama bakal baik-baik aja,” kataku meyakinkan. “Paijo juga kayaknya bukan jenis orang yang suka bocorin rahasia. Aku gak pernah lihat dia ngobrol sama orang-orang di sekolah, kecuali sama Mama.”

“Tapi ini risikonya gede bener!”

“Tenang, aku bakal mengawasi Mama dari kejauhan. Kalau ada yang lewat, aku langsung kasih peringatan,” kataku.

Lima menit kemudian, kami sudah berada di taman sekolah yang bersebelahan dengan gedung kantor guru. Aku sudah memastikan kalau semua guru sedang mengajar di kelas, jadi tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar kami.

Mama berjalan mendekati Paijo yang masih menyiram tanaman, sedangkan aku mengawasi dari tepi dinding. Mama agak kesulitan melangkah karena masih ada timun yang bersarang di memeknya. Tangan kirinya menggenggam sesuatu.

Paijo menoleh kaget saat pundaknya disentuh Mama.

“Waduh maaf Bu, saya gak lihat kalau Ibu ada di sini,” kata Paijo sambil mengelap tangannya yang kotor ke celana. “Ibu lagi ada perlu apa ya?”

“Saya cuma mau minta tolong,” kata Mama. Suaranya merendah.

“Minta tolong apa ya? Saya pasti bantu sebisanya.”

Mama mengeluarkan gulungan sempak yang tadi digenggamnya. “Saya mau minta tolong Pak Paijo buat nyuci celana dalam saya.”

Pak Paijo memandang gulungan sempak itu. “Ibu yakin minta tolong saya buat nyuci ini?”

Mama mengangguk. “Cuma Pak Paijo yang bisa saya minta tolong. Celana dalam saya kotor karena saya keringetan terus dan saya gak bawa gantinya. Mau pulang kok nanggung karena mau ada rapat nanti.”

Tangan Pak Paijo bergetar saat menerima sempak itu. “Oke, saya cuci di kamar mandi. Kebetulan saya ada detergen di gudang. Tunggu sebentar.” Ia melesat ke arah gudang yang letaknya di belakang gedung sekolah.

Mama langsung terduduk lemas di rumput.

“Keren, Mama mulai berani,” kataku sambil bertepuk tangan.

“Ampun Nak, Mama sudah gak kuat lagi.”

“Yuk kita ikutin Pak Paijo,” kataku.

Untuk sampai di gudang, kami harus melewati jalan setapak yang nyaris tidak terlihat karena tertutup rerumputan tebal. Di ujung jalan setapak itu terdapat bangunan kecil seperti gubuk yang berfungsi sebagai tempat Pak Paijo menyimpan peralatan kerjanya.

“Kita stop di sini,” kataku ke Mama yang mengikutiku. Kami bersembunyi di balik pohon besar.

Pak Paijo terlihat sedang jongkok di depan keran air yang menyala. Ia melebarkan sempak Mama, mengamati setiap sisinya dengan seksama. Tampaknya ia belum menyuci sempak itu.

“Kita ngapain lihat dia nyuci sempak?” bisik Mama.

“Sssst… tunggu sebentar. Nah, itu dia,” kataku.

Penjaga sekolah itu menempelkan sempak Mama ke wajahnya. Kedua matanya tertutup seakan-akan menikmati aroma dari sempak Mama.

Mama melihat kelakuan Pak Paijo dengan jijik. “Cukup sudah, Mama mau pergi,” katanya gusar.

“Tunggu sebentar lagi,” kataku sambil menahan Mama.

Sambil terus menghirup sempak Mama, Pak Paijo menurunkan celananya. Kontolnya yang siap tempur menyembul dari balik celananya. Ia melepas sempak Mama dari wajahnya, kemudian menempelkannya ke kontol.

“Ugh!” erang Pak Paijo sambil menggosok kontolnya dengan sempak Mama.

“Lihat? Pak Paijo saja nafsu sama Mama,” bisikku.

Sebentar saja, kontol Pak Paijo sudah menyemburkan pejuh. Ia tersenyum sambil melihat ceceran pejuhnya di sempak Mama. Sebelum pejuh itu mengering, ia langsung membilas sempak itu dengan air mengalir.

“Mau sampai kapan kita di sini?” gerutu Mama.

“Kita balik sekarang,” kataku. Kami pun kembali ke kantor Mama. Di perjalanan menuju kantor, Mama terus melindungi wajahnya dengan tangan karena matahari bersinar terik.

Sesampai di kantor, Mama meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Ia beberapa kali menanyakan soal timun di memeknya karena bikin posisi duduknya tidak nyaman.

“Timun itu baru boleh dicabut sesuai rencanaku,” jawabku setiap kali Mama bertanya.

Sekitar satu jam kemudian, terdengar ketukan di pintu. Aku mengintip dari balik jendela di samping pintu. Pak Paijo sedang berdiri dengan sempak Mama di tangannya.

“Pak Paijo datang,” bisikku. “Aku mau sembunyi di gorden. Mama buka pintu, terus lakukan yang aku bilang tadi.”

Kututupi diriku dengan gorden tebal dan panjang di belakang kursi kerja Mama. Bagian tengah gorden kusibak sedikit agar aku bisa mengintip.

“Celana dalam Ibu sudah saya cuci dan jemur. Kebetulan hari ini panas banget, jadi celana dalam Ibu cepat kering,” kata Pak Paijo saat Mama membuka pintu.

“Wah terima kasih banyak. Bapak mendingan masuk dulu daripada berdiri kepanasan di sini,” kata Mama.

“Gak usah Bu. Saya masih banyak kerjaan.”

“Saya memaksa loh,” kata Mama.

Pak Paijo menatap Mama dengan ragu, tapi kemudian ia melangkah masuk. Mama langsung menutup pintu.

“Saya sebenarnya mau minta tolong lagi ke Bapak,” ujar Mama.

“Minta tolong apalagi Bu?”

Mama menarik bagian bawah rok panjangnya sampai memeknya kelihatan. “Pergelangan tangan saya pegal karena kebanyakan mengetik. Saya gak bisa pakai sempak itu karena terlalu ketat, jadi tangan saya gak kuat kalau mau pakai sendiri.”

Kedua mata Pak Paijo terbelalak melihat memek Mama di depannya, ditambah ada timun yang menyembul di dalamnya. Aku menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan Paijo saat ini.

“Yang bener Bu?” suara Paijo terbata-bata.

“Bener. Tapi jangan bilang siapa-siapa,” kata Mama.

“Lalu kenapa ada timun di, maafkan saya, vagina Ibu?”

“Aduh, sebenernya saya malu menceritakan ini. Saya butuh hiburan karena saya kebanyakan bekerja. Jadi saya masukin timun ke vagian saya buat hiburan, lalu saya lupa kalau tangan saya sakit dan saya gak bisa mencabutnya. Minta tolong buat cabutin timun itu sekalian ya Pak,” kata Mama sambil merenggangkan kedua pahanya.

“Baik Bu,” ujar Paijo.

Ia jongkok di depan Mama. Kedua tangannya bergerak mendekati memek Mama. Timun itu ditariknya perlahan-lahan.

“Aduh,” erang Mama.

“Ibu gak apa-apa?” tanya Paijo cemas.

“Teruskan Pak,” kata Mama.

Paijo meneruskan tugasnya. Pelan tapi pasti, timun itu berhasil dikeluarkan dari memek Mama. Ia memandang timun di tangannya yang belepotan lendir bening, kemudian menaruhnya di meja.

“Sekarang pakaikan sempak saya,” kata Mama.

Paijo melebarkan sempak Mama yang sudah kering agar kaki Mama bisa masuk. Begitu kedua kaki Mama sudah masuk ke sempak, Paijo menaikkan sempak itu ke atas. Aku bisa melihat leher Paijo yang bergerak naik turun. Orang tua itu jelas sedang menahan diri.

Sempak itu berhenti di paha Mama karena ukuran pahanya terlalu besar, jadi Paijo harus menariknya pelan-pelan agar sempaknya tidak robek. Setelah berjuang susah payah, akhirnya sempak itu terpasang di tempat yang tepat.

“Terima kasih banyak ya Pak,” kata Mama sambil menurunkan roknya.

“Bu, saya….”

“Ya ada apa Pak?”

Paijo menggeleng. “Gak apa-apa Bu. Saya pamit izin dulu.”

“Baik Pak. Ingat, jangan bilang ke siapa-siapa soal ini ya.”

“Baik Bu. Saya jamin gak ada orang yang tahu soal ini,” ujar Paijo. Ia membuka pintu, lalu pergi.

Aku keluar dari tempat persembunyian.

“Wah Mama luar biasa!”

Wajah Mama memerah, entah karena malu atau menahan marah.

“Semoga kamu masuk neraka,” geramnya.

“Eits, ibu macam apa yang menyumpahi anaknya begitu?” Aku tertawa. “Pokoknya Mama hari ini hebat banget! Gak nyangka Mama bisa seberani itu. Jangan-jangan Mama pada dasarnya memang nakal?”

Mama memalingkan muka.

“Sebentar lagi pulang sekolah,” kataku sambil melirik ke jam dinding, “sebaiknya Mama bersiap-siap karena hari ini bakal lebih panjang.”

Murid-murid berhamburan keluar saat lonceng pulang sekolah berbunyi. Beberapa pulang naik sepeda motor, menumpang temannya yang bawa sepeda motor, naik angkot, atau jalan kaki. Sebagian besar mereka adalah anak petani, jadi mereka harus segera pulang untuk membantu orangtuanya di kebun.

Guru-guru balik ke kantor dan duduk di meja masing-masing untuk membuat laporan. Biasanya mereka baru pulang sore hari. Mama juga biasanya pulang sampai sore, kecuali pekerjaannya sudah selesai semua.

Sambil menunggu Mama yang sedang rapat lewat Zoom dengan orang-orang dari dinas pendidikan, aku membaca berita-berita yang lewat di Twitter. Ada satu berita dari Jepang yang menarik perhatianku.

Dua hari yang lalu, kepolisian Jepang menangkap seorang wanita bernama Akako Hagiwara karena beberapa kali terlihat di jalan-jalan Tokyo sambil telanjang bulat. Meski wanita itu mengaku melakukannya atas kemauannya sendiri, tapi pihak kepolisian tidak percaya begitu saja. Mereka yakin Akako Hagiwara terlibat dalam tren incest yang menyebar di sebagian besar wilayah Jepang. Di halaman depan situs berita itu terdapat foto Akako Hagiwara yang sedang berdiri telanjang di tengah dua orang polisi. Wajah, tetek, dan memeknya disensor mozaik, tapi model rambut dan bentuk tubuhnya masih terlihat.

Kepolisian Jepang juga tengah menyelidiki forum gelap di internet yang mendorong anak-anak untuk melakukan incest. Forum tersebut menjanjikan hadiah jutaan yen bagi siapa saja berhasil memperbudak ibu kandungnya sendiri. Sejauh ini forum tersebut memiliki member sebanyak sepuluh ribu orang.

Berita tersebut menarik karena dua hal: pertama, tertangkapnya Akako Hagiwara peris seperti Romlah, cuma Romlah lebih menyedihkan karena sampai ditelanjangi warga. Kedua, aku baru tahu kalau memperbudak ibu kandung sedang tren di Jepang, bahkan sampai ada forum khusus yang memberi hadiah jutaan.

Aku penasaran dengan Akako Hagiwara, jadi aku ketik namanya di Google. Hasilnya, banyak orang-orang bernama Akako Hagiwara, tapi mereka tidak sesuai foto di berita tadi. Aku terus mencari sampai ke halaman-halaman belakang Google. Di halaman kedua puluh, aku menemukan website bokep yang tampak asing. Di sana ada sekitar sepuluh video dengan judul Akako Hagiwara

Sebenarnya aku ingin mengulik lebih lanjut, tapi mataku sudah berat. Kebetulan Mama baru selesai rapat, jadi aku bisa mengajaknya pulang.

“Bungkus makanan buat di rumah ajalah,” kata Mama. “Mau makan apa kamu?”

“Sop kambing aja. Kayaknya seger,” jawabku.

Beberapa guru masih mengobrol di teras saat kami berjalan menuju mobil. Mama menyempatkan mengobrol sebentar dengan guru-guru lain. Dari luar, Mama memang terlihat sebagai kepala sekolah yang baik dan ramah. Mereka belum tahu kelakuannya di luar.

Tempat makan siang yang kami tuju sebenarnya adalah warung sate yang juga menyediakan sop kambing dan sapi. Harganya tergolong mahal, tapi sate dan sop kambingnya adalah yang terbaik di desa. Biasanya tempat itu ramai pengunjung, tapi sekarang sepi. Barangkali karena orang-orang belum gajian.

Sebelum Mama membuka pintu, aku menahan pundaknya.

“Pakai masker ini,” kataku sambil menyodorkan sehelai masker. Benda itu tadinya tersimpan rapi di sebelah dashboard.

“Buat apa?” Mama menatapku tajam.

“Udah deh pakai aja.”

Ia mengenakan masker itu, lalu beranjak keluar. Aku menahan pundaknya lagi.

“Mau apa lagi?”

“Lepas baju Mama.”

“Tapi mereka kenal Mama!”

“Mama pakai masker. Mereka gak bakal kenal Mama.”

Mama melepas baju dan behanya. Aku ikut membantunya melepas baju biar dia tidak kesulitan. Rok dan sempaknya diturunkan sampai setengah paha, jadi memeknya kelihatan.

Aku memandangnya takjub. Meski sudah orgasme berkali-kali, kontolku masih bereaksi melihat Mama berpakaian seksi.

“Tunggu sepi dulu,” kataku. Ada beberapa sepeda motor yang lewat. Terlalu berbahaya bagi Mama kalau keluar sekarang.

“Pokoknya kalau terjadi apa-apa, Mama langsung lari saja ke mobil.”

Tidak ada sepeda motor berkeliaran. Mama segera membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.

Kuarahkan kamera smartphone ke Mama. Sebentar lagi pasti terjadi hal menarik!

Mama berdiri di pinggir jalan sambil celingukan. Jalanan sepi, jadi Mama buru-buru menyeberang jalan.

Seorang remaja laki-laki yang duduk di belakang meja kasir langsung berdiri menyambut Mama. Wajahnya tercengang melihat Mama kedua tetek Mama yang terlihat jelas. Ia lebih terkejut lagi saat melirik ke bagian bawah tubuh Mama.

Dari jendela mobil yang sedikit terbuka, aku bisa mendengar sedikit pembicaraan mereka.

“Se-selamat siang Bu, ada yang bisa saya bantu?” tanya remaja itu.

“Sop kambingnya dua eh tiga bungkus,” jawab Mama. Suaranya terdengar kaku.

“Sop saja atau pakai nasi?”

“Pakai nasi juga.”

Remaja itu berbalik ke meja sajian yang dipenuhi deretan panci besar. Ia membuka salah satu panci, menyendok sop di dalamnya, lalu menuangnya ke dalam plastik. Sambil menyendok, ia melirik ke Mama. Mama berusaha berdiri tegak meski kedua kakinya bergoyang-goyang. Jelas sekali kalau Mama ingin cepat-cepat keluar dari sana.

Selesai mengisi tiga plastik dengan sop, remaja itu mengambil sebuah kantong plastik yang lebih besar, lalu menaruh ketiga plastik sop tadi ke dalamnya. Ia menyerahkannya ke Mama. “Semuanya Rp60.000,” ujarnya.

Mama membuka dompet yang dijepitnya di ketiak dan mengambil selembar uang Rp100.000. Remaja itu mengambil uang dari tangan Mama dan memasukkannya ke laci meja kasir. Dari laci yang sama, ia mengeluarkan dua lembar Rp20.000.

“Terima kasih,” ujar Mama saat mengambil uang kembalian tersebut beserta kantong plastik berisi sop kambing. Ia buru-buru menjauh dari warung. Telahdewasa.com

Remaja laki-laki tadi terus memerhatikan Mama. Aku tertawa cekikikan melihat ekspresinya.

Jalanan masih sepi saat Mama hendak menyeberang. Namun, suara sepeda motor melaju dari kejauhan dan terdengar semakin dekat. Mama yang tadinya mau menyeberang jalan, jadi berhenti melangkah.

Benar saja. Dua sepeda motor mendekat dalam kecepatan tinggi. Ketika melihat Mama, dua pengendaranya melambatkan sepeda motornya. Mereka menaikkan kaca helm supaya bisa melihat Mama lebih jelas.

“Wih ada lonte!” seru salah satu pengendara sepeda motor itu.

Mereka melintas melewati Mama, tapi kemudian berhenti, lalu berbalik arah ke Mama.

Mama cepat-cepat menyeberang jalan, tapi salah satu pengendara sepeda motor itu rupanya sudah turun dari sepeda motor dan mengejar Mama. Ia berhasil menangkap perut Mama.

“Nah, kamu mau ke mana Sayang?” ujar pengendara sepeda motor itu.

“Lepasin!” Mama meronta-ronta. Kantong plastik berisi sop yang dipegangnya terjatuh dan isinya berhamburan di jalan.

“Tarji, jangan bengong aja. Bantuin!” seru pengendara sepeda motor itu.

Rekannya yang dipanggil Tarji itu ikut memegang Mama. Sepeda motornya dibiarkan diparkir di pinggir jalan.

Aku tertegun melihat kejadian tidak terduga itu. Jantungku berdebar keras. Apa yang bakal mereka lakukan ke Mama?

Remaja laki-laki di warung sop kambing cuma menonton dari kejauhan. Ia tetap duduk di belakang meja kasir sambil melongok keluar.

“Bawa ke kebun sono,” kata laki-laki yang menyergap Mama. “Ini pasti orang gila. Tapi badannya bagus bener. Sayang kalau disia-siain.”

Tarji dan rekannya membawa Mama ke kebun di samping warung sop. Remaja laki-laki di warung sop menguntit di belakang mereka.

Aku menunggu mereka menghilang di balik kebun, lalu cepat-cepat keluar dari mobil. Meski mereka cepat masuk ke dalam kebun, aku bisa mengikuti mereka dari suara erangan Mama.

Sekilas aku bisa melihat jaket yang dikenakan Tarji. Jarak kami cuma beberapa meter. Tampaknya kedua pengendara sepeda motor itu berhenti. Aku bersembunyi di balik batang pohon besar selagi mereka tidak melihatku.

Tarji dan temannya membawa Mama ke pinggir kebun yang masih penuh pepohonan. Mama bersandar di sebuah pohon. Wajahnya ketakutan.

“Kebetulan aku lagi sange, eh ada daging empuk lewat,” kata teman Tarji.

“Eh Rusman, kau yakin mau pakai ini cewek?” tanya Tarji. “Kita gak tahu dia penyakitan atau nggak.”

“Bodo amat dah. Bodinya semok gini,” sahut Rusman. “Kamu mau ikut ngentot atau cuma mau liatin doang?”

Tarji menggaruk kepalanya. “Boleh juga sih. Aku gak yakin dia ini orang gila. Badannya bersih gini.”

Kedua tangan Mama diikat dengan ikat pinggang. Maskernya sudah dibuang. Tarji menekan pundak Mama sampai Mama terduduk di tanah. “Buka mulutmu. Awas kalau kamu teriak,” ancam Tarji.

Mama membuka mulut. Tampaknya ia sudah pasrah. Kedua matanya berlinangan air mata.

Tarji menurunkan celananya. Kontolnya yang besar dan berwarna cokelat gelap berdiri tegak. Mama tercengang melihat kontol sebesar itu. Ukurannya jauh lebih besar dari kontolku.

“Kenapa? Kaget ya baru lihat kontol jagoan ini?” Tarji menepuk-nepuk kontolnya dengan bangga. “Buka mulutmu lebih lebar lagi.”

Ia menarik rahang Mama supaya mulut Mama terbuka lebih lebar. Mama melenguh saat kepala kontol Tarji bergerak masuk ke mulutnya.

Rusman melihat sekeliling dengan cemas. “Yakin gak ada orang di sini?”

“Udah gak usah khawatir. Lagi enak gini,” ujar Tarji sambil terus mendorong kontolnya masuk ke mulut Mama. “Aduh enak bener ini. Kamu harus coba.”

Ia menarik jilbab Mama sampai terlepas, lalu melemparnya ke samping. Rok dan sempaknya juga ditarik sampai robek. Ia menarik rambut Mama sampai kepala Mama mendongak. “Nah begini lebih enak dilihat.”

Napas Mama terdengar memburu. Tampaknya ia kesulitan bernapas.

“Hhngggghhh!” erang Mama saat batang kontol Tarji sudah masuk setengah di mulutnya.

Pinggang Tarji bergerak maju mundur. Kedua matanya terpejam. Jelas ia sedang menikmati sensasi di kontolnya.

Rusman menggaruk-garuk selangkangannya. Pemandangan itu pasti membuat gairahnya meroket.

“Jangan bengong aja. Remas-remas teteknya kalau kau mau. Macam gak pernah ngentot saja kau,” ujar Tarji.

Rusman tersenyum malu-malu. Ia berjongkok sambil mengulurkan tangannya ke arah tetek Mama. Begitu menyentuh tetek Mama, ia meremasnya kuat-kuat. “Gila, empuk banget teteknya!” serunya takjub.

“Bentar lagi keluar nih,” kata Tarji. Ia menekan pinggangnya sampai menempel di wajah Mama. Kedua kakinya mengejang, begitu pula wajah Mama.

“Ugh!” Tarji mengerang. Ia menarik pinggangnya sampai kontolnya keluar dari mulut Mama. Kontolnya kuyup oleh sperma yang bercampur air liur Mama.

“Wah gila enak banget. Kau harus coba mulutnya,” ujar Tarji sambil menepuk-nepuk kepala Mama.

“Ngapain aku pakai mulut bekas kontol kau,” timpal Rusman. “Aku mau pakai memeknya.”

Tarji terbahak. “Ya sudah kau pakai duluan. Aku nyusul.”

Mereka melebarkan kedua paha Mama. Rusman mengusap air liurnya yang menetes saat melihat memek Mama yang merekah. “Sudah berapa kontol yang masuk ke sini? Heh?” ejeknya.

Rusman mengeluarkan batang kontolnya yang lebih kecil dari Tarji. Ia menggesek-gesek kepala kontolnya di paha Mama.

“Siap ya,” ujar Rusman. Ia mendekatkan pinggangnya ke pinggang Mama. Kepala kontolnya bergerak mantap menuju memek Mama.

Angin bertiup kencang dan membuat dedaunan menghalangi pandangan. Kumajukan badanku supaya bisa melihat lebih jelas. Aku tidak tahu kalau kakiku menginjak timbunan ranting yang rapuh. Sialnya, ranting-ranting itu patah begitu terinjak dan mengeluarkan bunyi nyaring.

KRAAAAK!

Tarji dan Rusman langsung bersiaga. Kontol Rusman berhenti tepat di depan memek Mama.

“Siapa di sana!” seru Tarji penuh kemarahan.

Bersambung…

Tubuhku seolah membeku.

Kedua laki-laki itu melihat sekeliling dengan waspada.

“Coba periksa,” ujar Tarji.

Rusman menatap bingung. “Kenapa harus aku?”

“Karena aku lebih tua dari kau. Ayo periksa.”

Rusman berdiri dengan wajah kesal. Ia menaikkan celananya, lalu pergi.

Aku buru-buru kembali bersembunyi di tempat semula. Rusman pergi ke arah berlawanan. Tampaknya mereka belum yakin dengan sumber suaranya.

Tarji bersiul-siul sambil merokok. Kontolnya menjuntai lemas. Kaki kanannya menginjak perut Mama supaya Mama tidak bisa kabur.

Mama belum bergerak dari posisinya. Kedua matanya melotot dan napasnya tersenggal-senggal. Aku bisa membayangkan ketakutan yang dirasakannya.

Tak lama kemudian, terdengar suara marah-marah di kejauhan. Semak-semak tersibak, tanda ada orang yang berjalan terburu-buru.

Rupanya Rusman, tapi ia tidak datang sendirian. Kedua tangannya memegang pundak seorang remaja laki-laki yang tadi melayani Mama di warung sop kambing.

Rusman mendorong remaja ke depan Tarji.

“Kau mengintip kami?” tanya Tarji.

“I-iya Bang,” jawab remaja itu tergagap.

“Siapa nama kamu?” tanya Rusman.

“Ja-Janu.”

“Yang jelas!”

“Janu!” seru remaja laki-laki itu.

Tarji mengangguk. “Berapa umurmu?”

“Dua puluh,” jawab Janu.

“Ibu ini kayaknya dari warung kamu. Kamu kenal ibu ini?” tanya Tarji.

Janu menatap wajah Mama yang kini tidak mengenakan masker. “Dia pelanggan warung, tapi aku gak tahu namanya.”

Kening Rusman mengernyit. “Apa dia sering telanjang begini?”

Janu menggeleng. “Nggak pernah. Baru kali ini dia begini. Aku juga kaget.”

Tarji menatap Mama. “Kayaknya dia baru-baru ini gila.”

“Kau sudah pernah ngentot?” tanya Tarji lagi.

Janu menggeleng. “Belum Bang.”

“Kalau gitu ini kesempatanmu buat ngentot,” kata Tarji.

“Tapi tadi giliranku ngentot,” protes Rusman.

“Udah deh, ngalah aja dulu. Kita bantu Janu melepas perjaka,” jawab Tarji santai. Ia menepuk pundak Janu. “Nah Janu, Keluarin kontolmu di depan ibu ini. Kamu pasti sange ‘kan saat melihat ibu ini tadi?”

Janu menatap Mama, lalu mengangguk. “Dia boleh kukentot Bang?”

Tarji mengangguk. “Silakan saja. Tapi jangan bilang siapa-siapa.”

Janu membuka baju dan celananya. Kontolnya sudah berdiri tegak menantang langit.

Mama meronta-ronta pelan saat Janu mencium-cium lehernya. Sekarang kesempatannya untuk melarikan diri semakin kecil karena lawannya bertambah satu orang.

“Kamu bawa hape?” tanya Tarji ke Rusman.

“Baterai hapeku habis di pemancingan tadi,” jawab Rusman.

“Wah sayang sekali. Padahal aku mau merekam ini,” kata Tarji kecewa.

Ciuman Janu bergerak turun sampai ke tetek Mama. Ia menghisap pentil Mama, sementara tangan kirinya meremas-remas tetek satunya. Aku bisa mendengar napasnya yang memburu.

Jari tangan Janu bergerak memelintir pentil Mama. Mama menjerit kesakitan. Jeritan itu tidak menghentikan kebuasan remaja itu, justru ia malah menarik pentil Mama sampai memanjang.

“Awas pentilnya putus,” ejek Rusman. “Dasar perjaka.”

Ciuman Janu semakin bergerak turun dan kini mendekati perut Mama. Ia menjilat udel Mama. Badan Mama bergerak-gerak. Mungkin Mama kegelian.

“Cepetan woy! Aku juga mau,” seru Rusman.

Janu menegakkan badan. Ia mengocok kontolnya supaya semakin keras, lalu mengarahkannya ke memek Mama.

Mama mengerang pelan saat kontol Janu menerobos masuk ke memeknya. Badannya berguncang saat pinggang Janu bergerak maju mundur.

“Sudah lepas perjaka deh,” ujar Tarji. Ia menonton sambil merokok. Rusman juga merokok di sebelahnya.

Gerakan Janu semakin cepat. Napasnya semakin memburu, diikuti napas Mama. Batang kontolnya terlihat timbul tenggelam di memek Mama.

Tak lama kemudian, ia mengerang sambil menekan pinggangnya kuat-kuat. Daun-daun kering di bawah Mama sampai berbunyi gemirisik.

Tubuh Janu melemas, begitu pula Mama. Ia memundurkan pinggangnya. Kontolnya yang lemas ikut keluar dari memek Mama.

“Gile keluar di dalam,” decak Tarji.

Mama mengelap air matanya. Pejuh Janu berceceran di memek dan perutnya.

Rusman menarik Janu. “Gantian dong. Aku gak jadi ngentot gara-gara kau.”

Janu mengocok kontolnya yang loyo. Sepertinya ia masih ingin mengentot Mama, tapi mustahil ia bisa melawan Rusman.

Rusman menindih Mama. Tubuhnya pendek dan gempal, sangat kontras dengan Mama yang bertubuh tinggi. Sekilas seperti melihat bocah bermain kuda-kudaan.

“Awas jangan teriak,” ancam Rusman. Ia membersihkan sperma yang berceceran di memek Mama. “Dasar bocah. Mainnya gak bersih,” gumamnya.

Laki-laki pendek itu mengocok kontolnya, lalu mengarahkannya ke memek Mama. “Coba kita lihat seberapa enak memek ibu gila ini.”

Badan Mama mengejang saat kontol Rusman masuk ke memeknya. Kedua tangannya mencengkeram rerumputan di sampingnya.

“Aduh enak bener ini!” seru Rusman.

Tubuhnya yang gempal bergerak naik turun di atas Mama. Lidahnya bergerak liar di sekitar pentil Mama. Cuaca yang panas membuat tubuh keduanya mengkilap karena keringat.

“Ough!” erang Mama. Punggungnya lecet-lecet tergores dedaunan kering.

Rusman menampar tetek Mama. “Ayo mengerang lebih kencang!”

“Aduh!” pekik Mama. Kedua teteknya terhempas ke kiri dan kanan, mengikuti tamparan Rusman. Kulitnya memerah.

Semakin nyaring erangan Mama, Rusman semakin bersemangat. Gerakannya semakin cepat. Ia terus menampar tetek Mama sambil bergerak maju mundur.

Tiba-tiba ia berhenti menampar. Tangannya mencengkeram tetek Mama. Kedua pahanya menjepit kencang pinggul Mama.

Tak lama kemudian, ia mencabut kontolnya keluar dari memek Mama. Seluruh batang kontolnya berlumur pejuh.

“Wah agak longgar, tapi mantep,” komentarnya. Ia mengurut kontolnya. Sisa-sisa pejuhnya menetes di perut Mama.

Tarji menginjak puntung rokoknya. “Sekarang giliranku.”

Kontol Tarji yang tadinya loyo, sekarang sudah tegak berdiri lagi.

Mama berbaring lemas. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku bisa mendengar suara tangisnya.

“Kontol mereka gak ada apa-apanya. Ini baru kontol jagoan,” kata Tarji sambil mencebloskan kontolnya ke memek Mama.

Mama tersentak kaget. Ia meringis kesakitan. Tangannya memegang batang pohon di belakangnya.

“Enak toh? Ini belum seberapa,” kata Tarji.

Kontol Tarji menerobos memek Mama pelan-pelan. Mama menjerit kesakitan. Semakin kontolnya masuk, semakin nyaring jeritan Mama.

“Cepetan ngentotnya. Nanti kedengeran orang lain,” ujar Rusman cemas.

“Aman,” sahut Tarji. Ia membekap mulut Mama dengan tangan.

“Hmph! Hmph!” Mama mengerang tertahan.

Pinggul Tarji bergerak naik turun dengan cepat. Setiap gerakan selalu diiringi erangan Mama.

“Dikit lagi,” ujar Tarji.

Gerakannya semakin cepat. Dedaunan kering di bawah Mama bergemirisik tidak karuan.

Tarji mengangkat badan Mama, kemudian memeluknya erat-erat. Ia mencium pipi Mama. Otot pinggulnya mengencang, semakin mengencang, kemudian melemas.

Detik berikutnya, Tarji mendorong badan Mama. Ia berdiri mengangkangi Mama. Pejuh menetes dari lubang kontolnya.

“Enak juga memeknya ibu edan ini,” komentarnya. Ia melirik ke kedua rekannya yang menonton di belakang. “Kalian mau pakai dia lagi?”

Rusman menyahut penuh semangat. Janu mengangguk malu-malu.

“Enaknya diapain lagi ya?” Rusman menggaruk-garuk dagunya. Ia berjongkok, lalu menyingkirkan dedaunan yang berserakan di sekitar pantat Mama. Jari tangannya menelusup ke belahan pantat Mama. “Mau coba pantatnya ah. Siapa tahu enak.”

Mereka mengangkat tubuh Mama yang terkulai lemas dan menyuruhnya berdiri. Mama berdiri dengan kaki gemetar. Tarji menekan pundak Mama sampai Mama agak menungging. Kedua tangan Mama berpegangan di batang pohon.

“Ini posisi paling enak buat ngentot pantat,” komentar Tarji. Ia membuka anus Mama dengan kedua tangannya. “Siapa nih yang mau duluan? Aku masih capek.”

Janu mengangkat tangannya. “Aku mau.”

“Aku juga mau,” kata Rusman.

“Kalian gantian lagi dah. Lubangnya cuma satu,” ujar Tarji.

Rusman menjentikkan jari. “Kau pakai mulutnya, aku pakai anusnya.”

“Tapi….” Janu mau protes.

“Udah gak usah protes. Eh kau, pegang anak itu,” perintah Rusman.

Mama melepas pegangannya di pohon dan ganti memegang Janu. Ia masih dalam keadaan setengah menungging. Pantatnya dipegang oleh Rusman, sementara wajahnya dipegang oleh Janu.

Rusman menundukkan badan, kemudian menjilati bongkahan pantat Mama. Setelah puas, ia membenamkan wajahnya ke belahan pantat Mama. Kontolnya tegak kembali.

“Anget bener pantatnya!” seru Rusman kegirangan.

Ia menegakkan badan sambil mengusap-usap pantat Mama. Kedua tangannya mencengkeram belahan pantat Mama, lalu melebarkannya.

“Aduh!” jerit Mama saat kontol Rusman menembus anusnya.

“Gila sempit banget!” seru Rusman. Meski begitu, ia memompa anus Mama dengan penuh semangat.

Mama tampak kesakitan. Ia memegang badan Janu kuat-kuat. Ia hendak menjerit lagi, tapi mulutnya tiba-tiba disumpal oleh kontol Janu yang sudah mengeras kembali.

Remaja itu menyodorkan kontolnya ke mulut Mama dengan paksa. Ia menarik rahang Mama supaya mulut Mama terbuka lebar. Begitu terbuka, ia langsung memajukan pinggul sampai seluruh batang kontolnya masuk ke mulut Mama.

Tidak cuma kontol mereka berdua saja yang mengeras, kontolku juga ikut mengeras. Pemandangan itu memang menakutkan, tapi membakar libidoku yang sempat redup.

Tunggu dulu!

Mereka berdua?

Kemana Tarji?

Pundakku terasa nyeri. Sebuah tangan kekar mencengkeram pundakku. Aku refleks menoleh.

Tarji berdiri di belakangku.

“Wah ada penonton lain rupanya,” ujar Tarji. “Sejak kapan kamu ngintip?”

“Baru saja,” jawabku. Tubuhnya yang tinggi besar cukup mengintimdiasi. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang.

“Kau mau ikut pesta?” tanya Tarji.

Aku tersenyum kecut. Yang kalian kentot itu ibuku, harusnya aku yang bilang begitu.

“Boleh saja,” jawabku.

Kami berjalan menuju “pesta”, yang dia maksud. Rusman masih asik menyodomi anus Mama, begitu pula Janu yang sibuk memainkan kontolnya di mulut Mama.

“Kita kedatangan tamu lain,” kata Tarji. “Dia juga mau bersenang-senang.”

Kedua rekannya melirikku sebentar, lalu sibuk kembali.

“Nanti dulu, masih asik nih,” kata Rusman. Ia menampar pantat Mama berulang kali sampai pantat Mama memerah.

Aku tidak bisa menyalahkannya. Anus Mama memang enak dikentot. Bahkan, semua lubang di tubuhnya enak dikentot.

“Ah keluar deh,” Rusman mengeluarkan kontolnya yang menancap di anus Mama. Kontol itu masih memuncratkan pejuh saat dicabut. “Main di pantat memang paling enak. Begitu ditancap, malah makin menjepit.”

Sementara itu Janu masih menekan kepala Mama kuat-kuat sampai seluruh kontolnya terbenam di mulut Mama. Wajahnya terlihat sedang berkonsentrasi penuh. Otot-otot tangannya mengencang, lalu mengendur. Ia mencabut kontolnya dari dalam mulut Mama. Sama seperti kontol Rusman, kontol Janu juga masih memuncratkan pejuh saat dicabut.

“Beruntung bener ya kamu hari ini,” kata Tarji ke Janu. Ia menepuk pundakku. “Nah sekarang gantian kamu deh.”

Tanpa diperintah pun aku sudah memegang tubuh Mama. Kontolku sudah mengeras dari tadi. Sekarang saatnya menebar benih ke memek Mama untuk ke sekian kalinya.

Mata Mama melotot begitu melihatku. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi aku buru-buru menangkup mulutnya dengan tangan.

Janu menatap kami berdua. Ia terlihat sedang berpikir keras. Mungkinkah ia mengenalku?

“Pelan-pelan,” rintih Mama saat kontolku bergerak masuk ke memeknya. Ia masih setengah menungging, hanya saja kini ia sambil berpegangan batang pohon.

Pejuh mereka masih memenuhi memek Mama sehingga kontolku lebih mudah masuk. Kontolku membesar dua kali lipat begitu seluruh batang kontolku masuk ke memek Mama.

“Ugh!” erang Mama.

Memek Mama terasa berdenyut. Kontolku seolah dipijat olehnya. Meski licin, memek Mama masih sanggup menggenggam kontolku. Saking enaknya, pikiranku sampai terbang ke mana-mana. Kugerakkan pinggulku lebih cepat.

“Hebat juga kau,” ujar Tarji. “Pasti udah sering ngentot nih.”

Setiap gesekan di kontolku membuat nafsuku semakin memuncak. Pantat Mama kucengkeram kuat-kuat. Mama melenguh pelan.

“Ah,” desahku. Pejuhku berhamburan di dalam memek Mama. Walau hari ini sudah klimaks beberapa kali, kontolku masih sanggup memuntahkan banyak pejuh.

Pantat Mama bergetar seakan-akan menerima benih yang baru kutanam. Memeknya terasa lebih becek. Kusadari kalau kami klimaks bersamaan. Telahdewasa.com

Kubiarkan kontolku menancap lebih lama sampai pejuhnya benar-benar habis. Setelah tidak ada lagi pejuh yang keluar, kucabut kontolku dari memeknya. Kontolku benar-benar lemas sekarang!

Begitu kontolku keluar dari memeknya, Mama terkulai lemas. Ia terlentang di atas dedaunan kering. Aku sempat mengiranya pingsan, tapi matanya masih terbuka dan bergerak-gerak.

“Wah dia gak apa-apa tuh?” tanya Rusman. Wajahnya terlihat cemas, begitu pula Tarji dan Janu.

Aku berjongkok untuk memeriksa Mama. Dada Mama naik turun dengan cepat. Tampaknya ia mengalami trauma.

“Mungkin trauma. Tapi kayaknya gak apa-apa deh,” kataku.

“Siapa nih yang mau ngurusin? Masa kita tinggal begini?” tanya Rusman.

Ah dasar, habis pakai langsung dibuang! Meski kesal, tapi ini kesempatanku untuk bisa memulangkan Mama. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku dan Mama kemari dengan membawa mobil.

“Biar aku saja yang mengurus,” jawabku cepat.

Ketiga orang itu menatapku heran.

“Kenapa kamu mau repot-repot mengurusnya?” tanya Tarji.

“Sebenarnya aku kenal ibu ini. Dia tetanggaku,” kataku.

“Emangnya dia suka telanjang di jalan begini?” tanya Tarji lagi.

“Akhir-akhir ini dia ada sering bertengkar sama suaminya sampai dia stress berat. Mungkin itu yang bikin dia telanjang di jalan,” jawabku.

“Kamu yakin mau ngurus dia sendirian?” Rusman menatapku penuh harap. “Kalau begitu, kami mau pergi.”

“Gampang. Kalian pergi saja. Biar dia kuantar pulang,” kataku.

Rusman beranjak pergi, tapi Tarji masih berdiri di sebelahnya.

“Sebenarnya aku masih mau ngentot dia, tapi ya sudahlah begini saja,” kata Tarji sambil mengocok kontolnya. “Kalian gak mau ikut ngocok?”

Rusman termenung sebentar, lalu balik lagi. Kontolnya dikeluarkan lagi dari celana. “Barang bagus begini susah didapat,” katanya.

Janu yang tadi ikut jongkok di sebelahku juga berdiri. Ia mengocok kontolnya yang lemas sampai mengeras kembali.

“Kau gak ikut?” tanya Tarji kepadaku. “Belum tentu besok kamu bisa mengentot tetanggamu ini.”

“Boleh juga,” kataku sambil bangkit.

Kami berempat berdiri sambil mengocok kontol masing-masing. Mama terlentang di bawah kami. Tubuhnya yang kotor dan berkeringat siap menerima hujan pejuh.

Meski kontolku lemas, kupaksa ia untuk tegak kembali. Kukocok batang kontolku pelan-pelah supaya tidak lecet.

“Ayo berdirilah!” seruku dalam hati. Setelah ini aku mau istirahat seharian.

Setelah beberapa menit, kontolku yang lemas mulai menegak dan berurat kembali. Pembuluh darah di kontolku berkumpul sehingga kepala kontolku memerah.

Tarji muncrat duluan. Ia berdiri di dekat kepala Mama sehingga pejuhnya berceceran di wajah Mama. Rusman menyusul. Pejuhnya membasahi perut Mama. Pejuh Janu juga muncrat di sektar perut Mama.

Sementara mereka sudah memakai celana, aku masih sibuk mengocok.

Rusman memandangku heran. “Belum muncrat lagi?”

“Dikit lagi,” kataku sambil terus mengocok kontol.

“Gak usah dipaksa. Nanti sakit kontolmu,” kata Rusman. Ia menyibak dedaunan dan bergerak menuju jalan besar. Sekejap saja ia sudah menghilang di kejauhan.

“Kalau kamu takut, mending tinggalin dia deh,” kata Tarji yang sudah berpakaian lengkap. Mulutnya menjepit rokok yang belum dinyalakan.

Aku menggeleng. Tarji mengucap selamat tinggal, lalu pergi menyusul temannya.

Janu diam saja, kemudian pergi ke arah warungnya. Tinggal aku dan Mama.

Aku terus mengocok kontolku sambil membayangkan hal-hal yang akan aku lakukan ke Mama nanti. Pelan tapi pasti, kontolku mulai mengeras, dan semakin mengeras.

Detik kemudian aku berhasil memuncratkan pejuh ke Mama. Pejuhku menghujani wajah Mama, bercampur dengan pejuh Tarji yang sudah ada sebelumnya.

Aku terduduk lemas. Seluruh ototku terasa mau lepas. Kupandangi Mama yang terlentang kehabisan tenaga. Badannya kotor sekali karena keringat, debu, dan pejuh orang-orang. Ia harus dibersihkan sebelum dibawa ke mobil.

Jika kuingat-ingat, seharusnya ada sungai kecil di dekat situ. Kubopong tubuh Mama. Ia merintih kesakitan saat mencoba berdiri. Kami berjalan bersama-sama menuju sungai. Rok dan sempak Mama sudah rusak parah karena ditarik paksa oleh Tarji, jadi aku cuma bisa membawa jilbab Mama.

Beberapa meter di depan, aku bisa mendengar suara air mengalir. Dugaanku benar, memang ada sungai kecil di sana. Untungnya lagi, tidak ada orang di sekitar situ.

Kutaruh Mama di atas batu besar di pinggir sungai. Jilbabnya kurendam di air sungai, lalu kuperas. Kubersihkan tubuh Mama yang kotor dengan jilbabnya yang basah.

Selagi badannnya kubersihkan, Mama menatapku sambil membisu. Sorot matanya memancarkan kebencian, tapi juga kepasrahan.

“Mama udah kayak lonte,” ujarnya.

“Memang itu yang aku mau,” kataku sambil menggosok kakinya. “Habis kejadian ini, Mama seharusnya udah gak malu lagi dong.”

Kugosok kedua tetek Mama yang memar-memar. Aku jadi kepikiran apa yang terjadi kalau Ayah melihat memar-memar ini. Bisa-bisa rahasia kami terbongkar.

Akhirnya seluruh tubuh Mama bersih dari kotoran. Jilbabnya kubuang saja karena sudah rusak. Kuputuskan untuk cepat-cepat pulang sebelum terlalu sore.

Kami berjalan melintasi pepohonan dan semak belukar. Mama berjalan sambil bersandar di pundakku. Dia bilang kakinya terlalu lemas untuk berdiri. Tubuh telanjangnya lecet-lecet kecil karena tersayat ranting tajam.

Sampai di jalan besar, aku buru-buru menarik Mama supaya cepat sampai di mobil. Kubuka pintu depan dan Mama kududukkan ke bangku penumpang. Kondisinya jelas tidak memungkinkan untuk menyetir, jadi harus aku yang menyetir mobil.

Kunyalakan mesin mobil, lalu kuinjak pedal gas. Kami pun melesat meninggalkan tempat itu.

Bersambung…

Kejadian itu sungguh membekas sampai Mama nyaris tidak mau berbicara denganku selama berhari-hari. Ia cuma berbicara padaku di depan Ayah saja.

Setiap hari ia mengenakan pakaian panjang untuk menutupi luka-luka di badannya. Ia beralasan demam ketika Ayah menanyakan pakaiannya.

“Gak mau periksa?” tanya Ayah.

Mama menggeleng. “Gak usah. Cuma demam biasa kok.”

Yang aku kagumi dari Mama adalah dia mampu bersikap normal di depan Ayah. Padahal aku yakin pikirannya mengalami trauma berat.

Aku harus menahan godaan mengerjai Mama supaya ia tetap waras. Aku tidak mau Mama menjadi gila karena kelakuanku.

Kuputuskan untuk menemui Bagas. Aku ingin berbagi banyak cerita seru dengannya. Siapa tahu dia punya pandangan lain yang bisa aku pelajari.

Meski langit mendung, aku tetap memacu sepeda motorku ke rumahnya. Semoga saja aku tidak kehujanan di jalan.

Bagas sedang berada di rumahnya saat aku sampai. Ibunya menyiapkan teh di dapur, sementara Bagas mengajakku ngobrol di ruang tamu.

Saat masuk ke ruang tamu, aku sempat melihat sebuah foto keluarga di atas meja. Rupanya foto keluarga yang memperlihatkan Bagas dan sekeluarga sedang liburan di Bali. Bagas terlihat masih kecil, mungkin usianya sekitar enam atau tujuh tahun. Kedua orangtuanya berjongkok sambil menghadap ke kamar dan Bagas berdiri di tengah mereka. Wajah Bagas tersenyum lebar karena tetek Romlah menyentuh pipinya.

“Dasar cabul dari kecil,” batinku.

Aku menceritakan semua pengalamanku dengan Mama. Bagas mendengarkan dengan seksama. Kedua matanya terbelalak takjub.

“Luar biasa,” katanya setelah aku selesai bercerita. Ia berdecak kagum setelah aku menunjukkan foto-foto Mama. “Jujur saja. Kau jelas lebih jago dari aku. Aku saja gak berani senekat ini.”

“Jantungku mau copot rasanya setiap Mama ketahuan,” kataku.

“Tapi di situ sensasinya.” Bagas terbahak. “Asik ‘kan melihat ibu kita dikerjai orang lain?”

Aku mengangguk setuju. “Membayangkannya saja sudah bikin kontolku keras.”

Romlah datang dan menyuguhkan teh. Bagas menampar pantat ibunya saat Romlah membungkuk untuk menaruh cangkir teh. Setelah itu Romlah buru-buru pergi.

“Kau ada memamerkan ibu lagi?” tanya Bagas.

“Sementara ini gak dulu deh. Aku takut mentalnya kena. Dia pasti trauma gara-gara diperkosa di hutan,” jawabku.

Bagas mengangguk setuju. “Bahaya kalau sampai ibumu gila. Gak bisa dikerjain lagi.”

“Hebat juga sih dia. Kalau ngobrol sama bapakku, sikapnya biasa-biasa saja,” kataku. Suatu pikiran melintas di benakku. “Apa jangan-jangan dia menikmati dikerjain orang lain?”

Bagas mengangkat bahu. “Mungkin saja. Kita tidak tahu kalau dia cuma diam saja.”

“Ibumu, apa dia menikmatinya?” tanyaku.

“Dia tidak pernah bilang, tapi kupikir dia menikmatinya,” ujar Bagas sambil tersenyum. “Buktinya dia tidak pernah mengeluh.”

Ia melihat ke jam dinding, lalu menatapku. “Sore-sore begini asiknya menonton sepak bola. Biasanya banyak yang main sepak bola di lapangan dekat sini.”

“Aku gak suka sepak bola,” kataku sambil menyeruput teh panas.

“Yang ini beda. Kamu pasti suka,” kata Bagas. “Habiskan tehmu. Terus kita nonton sepak bola.”

Beberapa menit kemudian, kami sudah di atas sepeda motor masing-masing. Bagas membonceng ibunya dan berjalan di depan, sementara aku mengekor di belakang. Kami melaju di jalanan desa yang sepi dan berdebu.

Lapangan sepak bola yang dimaksud Bagas ternyata cukup jauh dari rumahnya. Letaknya berada di perbatasan desa. Banyak remaja seusia kami yang bermain sepak bola di lapangan, bermain layangan di pinggir lapangan, atau sekadar duduk-duduk mengobrol.

Kami turun dari sepeda motor dan memarkirnya dekat lapangan. Bagas memerhatikan kondisi lapangan. Ia mengusap-usap tangannya, tanda puas dengan apa yang dia lihat.

“Lebih rame dari biasanya,” kata Bagas. “Nah, Ibu buka baju di sini.”

Romlah menatap anaknya dengan pandangan ketakutan. Tampaknya ia bisa menebak keinginan anaknya. “Tapi ini terlalu banyak orang,” ujarnya.

“Buka baju sekarang,” perintah Bagas dengan nada tinggi.

Tanpa disuruh lagi, Romlah melepas jilbab, baju, dan celananya. Wanita malang itu berdiri di depan kami dalam keadaan telanjang bulat.

“Sekarang Ibu harus main sepak bola dengan mereka,” ujar Bagas. “Jangan lari karena kami awasi dari sini.”

Romlah mengangguk. Ia melangkah pelan-pelan menuju lapangan. Aku dan Bagas mengamatinya sambil duduk di atas sepeda motor masing-masing.

Awalnya orang-orang itu tidak menyadari kedatangan Romlah, sampai salah satu dari mereka yang sedang duduk-duduk menepuk pundak temannya sambil menunjuk ke Romlah. “Widih! Lihat tuh!”

Sekejap saja orang-orang menoleh ke Romlah yang semakin mendekat. Waktu seolah berhenti karena mereka berhenti bergerak dan fokus menatap Romlah.

Sadar dirinya jadi tontonan, Romlah berjalan dengan wajah menunduk. Tangan kanannya menutupi teteknya, sementara tangan kirinya menutupi memeknya.

Orang-orang bersiul saat Romlah melewati mereka. Beberapa tertawa cekikikan sambil menunjuk ke pantat Romlah yang telanjang.

“Lonte, godain kita dong!” seru mereka bergantian.

Beberapa orang mengikuti Romlah. Mereka mencubiti lengan, pinggang, paha, dan Pantat Romlah. Wanita itu berusaha menepis tangan-tangan usil itu seperti menepis nyamuk. Tentu saja usaha itu sia-sia karena mereka semakin gencar mencubiti tubuhnya.

Romlah terus berjalan sampai ke tengah lapangan. Orang-orang yang bermain sepak bola langsung menghentikan permainan. Mereka menatap heran ke Romlah.

“Saya mau main bola sama kalian,” kata Romlah ke orang-orang yang bermain sepak bola.

Para pemain sepak bola saling berpandangan. Mereka jelas bingung dengan permintaan Romlah.

“Mungkin dia orang gila,” ujar salah satu dari mereka.

“Tapi badannya oke,” sahut yang lain. “Gimana nih? Jarang bener ada ibu-ibu semok ngajak main bola bareng kita. Sambil telanjang lagi!”

“Ajak main aja!” seru yang lain.

Karena semua setuju, akhirnya Romlah diperbolehkan main sepak bola bersama mereka. Ia diposisikan di dekat kiper. Aku tidak mengerti posisi pemain sepak bola, tapi itu tidak penting karena ini permainan sepak bola kampung.

Bola pun bergulir.

Para pemain saling berebutan bola. Romlah yang jelas tidak paham permainan sepak bola, cuma berdiri sambil memandang ke arah bola. Kiper di belakangnya bersiap menyambut bola yang datang.

Permainan berjalan lambat karena para pemain tidak fokus mengejar bola, tapi fokus melihat Romlah yang berdiri telanjang. Kadang seseorang sengaja menendang bola keras-keras ke pantat Romlah dan bola itu memantul di pantatnya. Romlah menggosok-gosok pantatnya sambil meringis kesakitan. Orang-orang bersorak-sorak melihat pantat Romlah yang memerah.

Lama-lama mereka tidak menendang bola ke gawang, tapi menendang ke arah Romlah. Bola itu melesat mengenai pantat dan punggungnya. Tahu dirinya terancam bahaya, Romlah menutupi bagian depan tubuhnya dengan kedua tangan. Setidaknya bagian punggung jauh lebih tahan sakit daripada bagian depan tubuh.

“Eits, udahan deh. Kasihan dia!” seru salah satu pemain. Pemain lain juga merasakan hal yang sama. Permainan pun berhenti. Mereka kini mengelilingi Romlah yang tubuhnya memar karena terkena bola.

“Ibu gak apa-apa?” tanya salag satu pemain.

“Gak apa-apa,” jawab Romlah sambil memaksa tersenyum.

“Hei dia gila, mana tahu badannya sakit atau tidak,” sahut yang lain.

Semakin banyak orang yang mengerumuni Romlah sampai aku sulit melihat Romlah. Aku cuma bisa melihat wajahnya yang ketakutan.

“Wih jembutnya gondrong!” seru seseorang.

“Iket aja di tiang gawang!” seru yang lain.

Entah siapa yang melempar ide itu, tapi yang lain langsung mengiyakan.

Kerumunan itu mendorong Romlah sampai mepet ke tiang gawang. Anehnya, Romlah sama sekali tidak berteriak minta tolong. Wajahnya memang ketakutan, tapi ia tetap bungkam dan melihat orang-orang dengan waspada.

Jika Mama di posisi itu, pasti dia sudah berteriak histeris! Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada orang-orang yang pernah mengerjai Mama.

Kedua tangan Romlah disilangkan ke tiang gawang, lalu diikat dengan tali rafia yang entah dari mana mereka dapat. Tangan-tangan mereka semakin liar mencubiti tetek, perut, dan paha Romlah. Mereka berebutan menarik pentil Romlah sampai memanjang. Beberapa orang berjongkok dan menarik jembut Romlah. Jembut yang tadinya gondrong kini menipis dan meninggalkan bercak merak di sekitar memek Romlah.

Salah satu dari mereka terlihat tidak tahan menahan nafsunya. Ia menurunkan celana kolornya dan mengeluarkan batang kontolnya yang mengeras. Laki-laki itu mengocok kontolnya sambil meremas tetek Romlah. Sebentar saja, pejuh pria itu muncrat ke paha Romlah.

Aksi itu memicu orang-orang buat melakukan hal yang sama. Mereka menurunkan celana dan mengocok kontol masing-masing. Romlah menjerit karena cubitan di badannya semakin kasar.

Sekejap saja tubuh Romlah berkilauan terkena hujan pejuh. Melihat Romlah mengingatkanku pada Mama.

Beberapa orang melebarkan kedua kaki Romlah sehingga memeknya menganga. Orang-orang langsung mencoblos jari mereka ke memek Romlah.

“Becek bener!” seru mereka.

Peristiwa menakjubkan itu terjadi beberapa menit saja karena tiba-tiba hujan deras mengguyur tempat itu. Orang-orang membubarkan diri. Sekitar sepuluh orang masih memutar-mutar jari mereka di memek Romlah. Bagas memberitahuku kalau lapangan itu rawan banjir karena berada di sebelah sungai, jadi orang-orang memilih menyelamatkan diri.

Aku dan Bagas berteduh di bawah pohon berdaun lebat. Memang badan kami masih basah terkena hujan, tapi kami bisa memantau Romlah dengan lebih nyaman. Sepeda motor kami basah kuyup.

Sayup-sayup aku mendengar orang-orang itu berteriak. Mereka sedang berdebat untuk melepas Romlah atau tidak.

“Udah tinggalin aja! Daripada ngerepotin kita,” seru mereka. “Toh banjirnya gak dalam-dalam banget.”

Mereka berlari meninggalkan Romlah. Wanita malang itu meronta sendirian di lapangan.

Benar kata Bagas. Baru beberapa menit saja air sudah menutupi sebagian lapangan. Kalau hujan lebih lama, aku yakin airnya bisa sampai sepinggang Romlah.

“Yuk bantu aku melepas lonte itu,” ujar Bagas. Ia berlari menembus hujan. Aku mengikutinya di belakang.

Di lapangan, Kami terpaksa berjalan dengan cara menyeret kaki karena air sudah menggenang sampai mata kaki. Bagas yang sampai di tempat Romlah lebih dulu langsung membuka ikatan di tangan ibunya. Romlah meregangkan badan sambil mengibas-ibaskan kedua tangannya.

“Ada yang luka?” tanya Bagas.

Romlah menggeleng. “Cuma tetekku sakit banget.”

Bagas mengusap tetek ibunya yang basah. “Gak ada luka. Mungkin cuma memar di dalam.”

Kami bertiga bersusah payah menyeberang lapangan. Sepeda motor kami basah kuyup dan perlu diengkol beberapa kali sampai mesinnya menyala. Romlah duduk di belakang Bagas masih dalam keadaan telanjang bulat. Bajunya ditinggal.

“Sekalian pamer keliling kampung,” ujar Bagas sambil tersenyum licik. “Tapi kayaknya gak bakal ada yang lihat. Hujannya terlalu lebat.”

“Aku mau pulang sekalian,” kataku. “Bahaya kalau kesorean. Gelap banget di sini.”

“Okelah kalau begitu. Sampai jumpa nanti.”

Kami pun berpisah di pertigaan jalan. Entah Bagas mau membawa ibunya ke mana.

Aku mengendarai sepeda motorku menembus hujan. Sudah kupikirkan rencana selanjutnya untuk Mama.

“Ayah pergi dulu. Kamu jaga Mama baik-baik ya. Assalamualaikum,” ujar Ayah sambil membuka pintu ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar suara ban mobil berdecit. Aku memandang mobil Ayah yang bergerak menjauhi rumah.

Tadi malam Ayah bilang kepadaku kalau ia ada urusan di kota sampai seminggu. Saat Ayah bilang begitu, Mama berkali-kali melirikku dengan tatapan ketakutan. Aku yakin ia pasti takut kalau aku bertindak macam-macam selama Ayah pergi.

Tapi memang benar. Aku punya banyak rencana selama Ayah pergi.

Ayah pergi dengan membawa satu koper besar dan satu tas laptop. Meski dia bilang seminggu, mungkin dia berpikir dia bakal lebih lama di kota sehingga ia membawa pakaian lebih banyak.

Aku tersenyum membayangkan hari-hari menyenangkan setelah kepergiannya. Seminggu saja sudah cukup, apalagi lebih dari itu.

Sudah sebulan berlalu sejak insiden di kebun. Lecet-lecet di tubuh Mama sudah sembuh dan kulitnya normal kembali. Mama sudah mengajakku ngobrol, meski nadanya masih kaku. Ia tidak pernah membahas kejadian itu denganku.

Aku yakin Mama sudah sehat kembali. Seharusnya dia sudah bisa dilatih lagi.

Hari ini sekolah mengadakan jalan santai. Seharusnya hari ini adalah hari menjadikan Mama budak seperti yang aku dan Bagas rencanakan, tapi rupanya Mama sudah menjadi budak jauh sebelum hari ini tiba.

Bagus malah. Hari ini aku mau merencanakan hal lain.

Aku dan Mama tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Khusus hari ini, kami mengenakan pakaian olahraga. Aku memakai pakaian olahraga sekolah, sedangkan Mama memakai pakaian olahraga yang dia beli di pasar. Pakaiannya terdiri dari kaos lengan panjang berwarna putih, celana panjang legging hitam, dan jilbab putih.

Para guru dan murid juga tiba di sekolah lebih pagi. Teman-temanku masih menguap di halaman sekolah. Beberapa murid malah terlalu bersemangat sampai berlari keliling lapangan buat pemanasan.

“Aduh ngantuk banget!” seru Indra. Ia menguap lebar sampai aku bisa melihat seluruh deretan giginya. “Kenapa harus ada jalan santai sih? Membantu orangtua di kebun juga sudah olahraga kok.” Telahdewasa.com

Aku pun sebenarnya juga mengantuk dan bisa saja membolos. Tapi hari ini kuputuskan untuk melatih Mama lagi ke tingkat yang lebih tinggi.

Kalau Bagas saja bisa memperbudak ibunya sampai sedemikian patuhnya, maka aku seharusnya bisa. Bahkan jauh lebih hebat darinya.

Kulihat Mama sedang mengobrol dengan Bu Endang dan Bu Ramadhan di teras kantor. Tampaknya ia belum menyadari bahaya yang aku rencanakan beberapa saat lagi. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras.

Bel sekolah berdenting. Para murid berkumpul di lapangan dan berbaris. Beberapa murid berjalan gontai karena masih mengantuk, sementara yang lain berjalan sambil mengobrol. Sudah menjadi tradisi kalau sebelum acara jalan santai dimulai, beberapa guru harus memberikan arahan ke para murid.

“Cih arahan apanya. Jalurnya masih sama aja seperti kemarin,” keluh Indra. Kami masih berdiri di teras depan kelas sambil mengamati teman-teman kami yang berjalan ke lapangan. “Tanpa diarahkan pun kita sudah sering lewat jalur itu setiap hari.”

Jalur yang dimaksud adalah jalan setapak sepanjang lima kilometer di belakang sekolah. Jalan itu melintasi sawah dan hutan. Meski tidak ada rumah yang dibangun di pinggir jalan itu, banyak jalan kecil lainnya yang bersambung ke jalan tersebut.

Jalan-jalan kecil itu mengarah ke pemukiman warga dan kondisinya cukup menyedihkan karena sering berlumpur di musim hujan seperti sekarang. Meski begitu, murid-murid banyak menggunakan jalan itu sebagai jalan pintas daripada harus memutar ke jalan besar.

“Kau ke lapangan duluan, aku nyusul,” kataku sambil beranjak pergi. Ini saatnya menjalankan rencana.

“Mau ke mana?”

“Mau kencing dulu.”

Aku bergegas ke kantor Mama. Guru-guru sudah berjalan menuju ke lapangan, kecuali Mama yang sedang mengencangkan tali sepatunya. Aku berdiri di belakang Mama untuk menikmati bongkahan pantatnya yang membentuk di celana legging ketat yang ia pakai.

“Loh kamu ngapain di sini. Ikut ngumpul sana,” kata Mama saat menyadari kedatanganku.

“Mama nanti yang maju buat pidato arahan?” tanyaku.

Mama mengangguk. “Kenapa memangnya?”

Kupandangi bagian dada Mama yang gembung. Ia tidak perlu membusungkan dada karena dadanya sendiri sudah membusung. Beha putihnya membayang dibalik kaus putihnya yang agak tipis.

“Aku mau ini kelihatan,” kataku sambil menutul dadanya.

Wajah Mama langsung panik. “Ta-tapi ini di sekolah.”

“Apa bedanya sama tempat lain? Toh Mama sudah sering telanjang, jadi harusnya Mama gak terlalu malu lagi,” kataku. Kuremas teteknya yang masih terbungkus kaus. “Mama adalah budakku. Apa pun yang aku minta, Mama harus menurut.”

Ia menundukkan wajah.

Aku tahu ia mengerti kekalahannya. Kunaikkan kaus Mama sampai melewati dadanya. Beha putihnya kulepas, lalu kubuang ke ember sampah di dekat situ. Kedua tetek telanjangnya bergelayutan. Karet celana legging-nya kuturunkan sedikit sampai udel Mama terlihat.

“Nah, begini dong baru seksi,” kataku sambil berdecak kagum. “Hari ini adalah hari besar Mama. Satu sekolah bakal tahu kalau Mama itu nakal.”

Mama mendengus kesal sambil menggigit bibir bawahnya, tapi ia tidak menangis. Mungkinkah ia sudah terbiasa dilecehkan seperti Romlah?

“Ibu Kepala Sekolah, dimohon kehadirannya untuk memberi pidato arahan di depan para murid,” ujar Bu Ramadhan lewat pengeras suara. “Ibu Kepala Sekolah?” ulangnya lagi.

“Mama dipanggil tuh,” kataku. “Yuk kita ke lapangan.”

Aku dan Mama berjalan menuju lapangan sekolah.

Ini adalah penampilan perdana Mama di depan semua orang.

Bersambung…

Waktu terasa berjalan lambat. Aku tahu kalau Mama pasti merasa gugup, begitu juga aku. Jantungku berdegup tidak karuan. Meski sudah beberapa kali melihat Mama telanjang di tempat umum, aku masih tegang memikirkan apa yang terjadi kalau orang-orang melihat Mama telanjang di depan mereka.

Aku membiarkan Mama berjalan di depan, lalu aku buru-buru menyelinap ke teras sekolah sambil berlari. Dari teras, aku lanjut berjalan ke lapangan. rasa tegang membuat keringatku bercucuran.

“Hampir saja kami tinggal,” ujar Indra saat melihatku datang. Ia menatapku heran. “Kenapa kamu keringetan begitu? Kontolmu perih pas kencing?”

“Lagi pemanasan sebentar tadi,” kataku sambil mengatur napas. Beberapa detik kemudian, napasku mulai normal kembali. Aku bisa berpikir lebih tenang, meski jantungku masih berdegup kencang.

“Ibumu lama bener,” keluh Indra. “Keburu siang nih, bisa-bisa… WADUH!”

Kusadari semua orang menoleh ke satu arah. Mama berjalan mendekati lapangan. Kedua teteknya bergelayutan setiap kali ia melangkah. Wajahnya menatap lurus menatap ke depan. Ia tampak tegar.

“Astagfirulloh! Ibu Kepala Sekolah!” seru Bu Ramadhan. Ia berlari menuju ke Mama. Kedua tangannya berusaha menutupi tetek Mama supaya tidak terlihat yang lain. “Kenapa payudaranya dibiarkan terbuka begitu?”

“Tidak apa-apa Bu. Saya kemarin periksa ke dokter karena kulit saya meradang. Kata dokter, saya harus mendapat asupan vitamin D yang cukup,” ujar Mama.

Penjelasan sulit diterima akal sehat itu jelas membuat Bu Ramadhan menggeleng. “Tapi Bu, masa Ibu harus memperlihatkan tetek Ibu di depan mereka?”

“Me-mereka pasti tahu kesusahan saya. Saya pikir mereka bisa menerima ini,” kata Mama.

Bu Ramadhan berusaha menarik kaus Mama ke bawah supaya tetek Mama tertutupi, tapi Mama menahannya. “Bu, biarkan saja terbuka. Saya akui saya malu, tapi ini demi kebaikan saya sendiri.”

Akhirnya Bu Ramadhan menyerah. “Baiklah. Tapi saya gak ikut-ikutan kalau ada kabar gak sedap dari sekolah ini. Murid-murid pasti bakal bilang ini ke orangtuanya dan Ibu yang harus bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa.”

Mama mengangguk. “Saya siap bertanggung jawab dengan semua konsekuensinya.”

Bu Ramadhan balik ke tempatnya semula, sementara Mama berdiri di depan para murid. Para guru berbisik-bisik sambil menunjuk ke Mama. Para murid, khususnya yang laki-laki, memandang Mama yang dengan takjub.

“Gile ibumu kenapa tuh?” tanya Indra tanpa menoleh. Kedua matanya melotot seakan-akan mau lepas.

“Katanya sih sakit kulit. Jadi dia harus kena sinar matahari yang banyak,” jawabku setelah mencuri potongan-potongan obrolan Mama dengan Bu Ramadhan.

“Sakit kulit apaan emang? Separah itukah?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi kayaknya parah banget deh sampai Mama rela malu di depan kita.”

Mama terbatuk-batuk kecil, lalu berkata lantang. “Assalamualaikum. Selamat pagi semua!”

Hampir tidak ada yang menjawab, kecuali para murid perempuan. Itu pun jawabannya pelan sekali.

“Assalamualaikum. Selamat pagi semua!” ulang Mama dengan lebih lantang.

“Walaikumsalam!” seru murid-murid serempak.

Mama batuk-batuk lagi, kemudian melanjutkan. “Ibu tahu kalian pasti bertanya-tanya kenapa Ibu berpenampilan begini. Beberapa hari yang lalu, Ibu berobat ke rumah sakit di kota dan Ibu didiagnosa penyakit kulit langka. Kata dokter, kulit Ibu harus terkena sinar matahari yang cukup. Kalau tidak, bisa-bisa kulit Ibu meradang dan infeksi.”

Murid-murid berbisik-bisik.

“Ibu harap kalian tidak terganggu depan penampilan Ibu ini,” lanjut Mama.

“Gak apa-apa Bu, malah enak dilihatnya,” celetuk seorang murid laki-laki di barisan depan.

“Akbar!” seru Bu Ramadhan. Murid yang dipanggil Akbar itu langsung menutup mulutnya. Ia masih tersenyum-senyum.

Mama tersenyum. “Dengan ini jalan santai dimulai!”

Murid-murid bersorak, tapi sorakannya lebih diarahkan ke Mama. Mama bergabung ke barisan para guru. Matanya terlihat waspada.

Guru-guru memalingkan muka dari Mama. Beberapa langsung bergabung ke kerumunan murid dan mengarahkan mereka ke jalur jalan santai. Beberapa guru masih berdiri di tempat mereka tanpa berbicara.

“Gila tetek ibumu!” seru Indra saat kami berjalan menuju lokasi. ”

“Kamu doyan sama tetek begitu?” tanyaku.

“Jelas doyanlah! Teteknya gede banget!” Indra nyaris berteriak. “Enak banget kalau jadi anaknya. Bisa lihat tetek segede itu setiap hari.”

Jangankan melihat, aku sudah bisa menyuruh Mama melakukan apa pun yang aku mau.

Murid-murid lain berjalan sambil mendiskusikan Mama. Wajah mereka terlihat bahagia.

“Wih gak nyangka bisa lihat tetek Ibu Kepala Sekolah,” ujar murid di sebelahku. “Selama ini aku cuma bayangin doang. Wah bisa jadi bahan coli tiap malam nih!”

“Pentilnya item ya,” ujar murid lain sambil tertawa. “Persis kayak pentil ibuku.”

“Jadi kamu pernah lihat pentil ibumu?” tanya yang lain.

“Sering malah. Kenapa nggak? Ngapain jauh-jauh ke warnet buat lihat cewek telanjang kalau di rumah ada yang lebih mantep.”

Aku tersenyum mendengarnya. Sudah kuduga kalau banyak orang orang sebenarnya menyukai ibu kandungnya sendiri, bukan cuma aku dan Bagas.

Rombongan kami berjalan menuju jalur jalan santai. Beberapa guru mengarahkan jalan di depan. Murid-murid berjalan sambil terus membicarakan Mama. Semakin cabul omongan mereka, hatiku semakin berbunga-bunga.

“Coba aja pantatnya juga kelihatan, pasti asik banget tuh,” sahut murid lain.

“Aku penasaran sama memeknya.”

“Rasa pentilnya gimana ya?”

“Memeknya udah lober gak ya?”

“Anusnya pasti item banget, hahahaha!”

Mendengarnya saja sudah bikin kontolku mengeras.

Aku menoleh ke belakang. Mama berjalan sendirian di belakang, sementara guru-guru lain berjalan di depannya. Mama memalingkan wajah saat tahu aku memerhatikannya.

Murid-murid tidak fokus memerhatikan jalan di depan. Merek sesekali menoleh ke Mama, lalu tertawa cekikikan.

“Hei kalian, jangan lihat ke belakang melulu. Awas lumpur di depan!” seru Bu Ramadhan.

Aku menyelinap medekati Mama. Murid-murid memerhatikanku. Mungkin mereka penasaran apa yang akan kamu lakukan ke Mama.

“Mama baik-baik saja?” tanyaku sambil tersenyum.

“Menurut kamu?” Suaranya terdengar geram. “Gak perlu kamu ancam lagi karena semua orang sudah tahu kelakuan Mama.”

“Jadi Mama gak keberatan dong kalau lebih seksi lagi dari ini?” Aku menggodanya.

“Mau kamu apain lagi?”

“Lihat aja nanti.” Aku mendorongnya supaya berjalan lebih cepat. “Sekarang aku mau Mama berjalan di tengah murid-murid. Jangan sendirian di sini.”

Para murid laki-laki bersiul saat Mama muncul di tengah mereka. Sebagian dari mereka agak menyingkir dari Mama.

“Eh ada Ibu Kepala Sekolah,” kata salah satu dari mereka.

“Gimana pelajaran kalian?” tanya Mama basa-basi.

“Oke-oke aja Bu,” jawab murid itu. Matanya melirik ke pentil Mama yang mengacung. “Lebih oke lagi kalau Ibu yang ngajar.”

“Ibu malu gak sih teteknya kelihatan begitu?” tanya murid di sebelahnya.

“Jelas aja malu. Tapi mau gimana ya, lagi sakit gini,” jawab Mama.

Murid lain yang lebih berani, berusaha berjalan di sebelah Mama. Rupanya ia yang tadi kena tegur Bu Ramadhan di lapangan, si Akbar. Lengannya sengaja dipepetin ke Mama sampai menyentuh teteknya. Ekspresi Mama risih, tapi ia tetap melangkah seperti biasa.

“Omong-omong Ibu keberatan gak kalau teteknya dipegang?” tanya Akbar.

Mama melirikku. Ia menanti jawabanku. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.

“I-ibu gak keberatan dipegang,” jawab Mama.

“Wah, jadi kami boleh pegang dong?”

“Boleh saja,” jawab Mama.

Akbar langsung menarik pentil Mama. Tarikan mendadak itu membuat Mama memekik. Murid lain langsung menoleh ke Mama.

“Maaf,” ujar Mama malu-malu. Akbar sudah melepas tarikannya. Ia juga menunduk malu.

“Kamu yakin ibumu aman di tengah mereka?” tanya Indra yang jalan di sebelahku. “Kita itu lagi di masa pubertas loh.”

“Yakin deh aman. Ada guru lain yang berjaga-jaga,” kataku. “Kamu suka juga ‘kan lihat ibuku? Jalan aja di sebelahnya.”

“Suka sih, tapi yakin nih dia gak marah?” tanya Indra ragu-ragu.

“Dia gak bakal marah. Percaya aja.”

Indra mendekati Mama. Ternyata murid lain juga banyak yang mendekati Mama. Kelihatannya keberanian mereka mulai muncul.

Aku mengusap-usap telapak tangan sambil membayangkan apa yang kira-kira bakal terjadi.

Murid-murid mulai saling mendorong supaya temannya maju duluan.

“Katanya boleh pegang teteknya tuh.”

“Siapa bilang?”

“Bu Kepala Sekolah sendiri.”

“Kamu aja yang pegang.”

“Kamu aja duluan. Aku takut.”

“Loh katanya dia bilang boleh?”

Meski banyak yang takut, mereka semakin menempel ke Mama. Aku yang jalan agak berjauhan jadi sulit mengamati Mama.

“Ayo jangan terlalu nempel di sana!” seru Bu Ramadhan dari depan. “Hei! Jangan senggol-senggol payudara Bu Kepala Sekolah. Beliau lagi sakit!”

Murid-murid itu mengambil jarak. Kupakai kesempatan itu untuk mendekati Mama dari belakang. Dengan begini aku bisa terus mengamatinya.

Dua orang petani lewat dari arah berlawanan. Mereka tampaknya sepasang suami istri.

“Oh rombongan SMA di dekat sini,” ujar si istri. “Mereka memang rutin jalan santai… Astagfirulloh!”

Saking terkejutnya, topi caping yang dipegangnya sampai terjatuh. Ia buru-buru mengambil topinya, lalu menutup pandangan suaminya dengan topi itu.

“Jangan dilihat!” seru si istri.

Suaminya yang tidak sempat melihat jadi keheranan. “Ada apa sih?”

“Pokoknya jangan dilihat. Awas aja kalau noleh.”

Si istri melihat Mama dengan tajam. Mama cuma menoleh sebentar ke mereka, lalu balik menatap ke depan. Tangan Mama gemetar pelan.

“Kami jalan di depan Ibu aja deh biar Ibu gak dilihat orang-orang,” ujar salah satu murid perempuan. “Kasihan Ibu. Pasti malu banget.”

“Eh gak usah. Kalian jalan kayak biasa aja,” kata Mama.

Jalanan masih sedikit berlumpur karena hujan semalam. Murid-murid saling berpegangan tangan supaya tidak jatuh. Yang lainnya menginjak-nginjak tanah di depannya untuk mencari pijakan yang padat.

“Aduh!” seru seorang murid. Kakinya terpeleset. Tubuhnya terhentak ke belakang. Tangan kanannya mendarat di tetek Mama. Ia berpegangan pada tetek Mama, lalu menyeimbangkan badan.

“Terima kasih Bu,” ujarnya sambil tersenyum licik.

Mama tidak menjawab. Pasti ia kesal karena murid itu tampaknya pura-pura terjatuh.

“Mama pegangan sama aku aja,” kataku sambil mengulurkan tangan. Mama menangkap tanganku. Kakinya meraba-raba tanah berlumpur di depan. Setelah menemukan pijakan yang padat, ia melangkah maju. Begitu terus sampai akhirnya kami melewati tanah berlumpur dan sampai di area yang tanahnya lebih padat.

Kali ini ada empat petani yang lewat. Mereka tersenyum ke guru-guru yang berjalan di depan. Senyuman mereka langsung berubah begitu melihat Mama.

“Waduh lihat tuh,” kata salah satu petani. “Itu bukannya kepala sekolah ya?”

“Iya tuh dia kepala sekolahnya. Kenapa teteknya kelihatan gitu ya? Sambil jalan sama muridnya lagi.”

“Jadi pengen sekolah lagi dah.”

Kucolek pantat Mama. “Senyum ke mereka,” bisikku.

Mama menoleh dan tersenyum ke empat petani tersebut. Petani-petani itu membalas senyuman Mama dengan kikuk.

Kutempel badan Mama dari belakang. “Terus jalan,” bisikku. Mama patuh mendengarkan.

Sambil jalan, kuselipkan jari-jari tanganku ke karet celana legging Mama. Kutarik celana itu sampai melorot. Sempaknya juga ikut melorot sehingga sebagian belahan pantatnya kelihatan.

“Nah begini lebih seru,” kataku sambil melepas pegangan. “Awas kalau Mama tutupin.”

Begitu aku mundur, murid-murid di sekelilingku terbelalak melihat Mama.

“Eh belahan pantatnya keliatan tuh.”

“Loh emangnya celananya melorot? Ketat begitu, mana bisa melorot.”

“Memang dipelorotin kalik.”

Seorang murid perempuan yang melihat pantat Mama, langsung melaporkannya ke Mama. “Bu, celananya Ibu melorot. Yang lainnya pada ngelihat pantat Ibu.”

“Oh itu memang Ibu sengaja biar pantat Ibu kena sinar matahari,” jawab Mama. “Udah, kamu gak usah khawatir. Ibu tahu risikonya.”

Murid itu mengamati Mama dengan tatapan kasihan. Ia tetap berjalan di sebelah Mama. Mungkin ia berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu ke Mama.

Semakin banyak murid laki-laki yang jalan di sekeliling Mama, sehingga barisan depan cuma diisi murid perempuan. Guru-guru yang tadinya berjaga di belakang juga bergerak maju sehingga barisan belakang kosong tanpa pengawasan. Aku tidak tahu alasannya apa. Barangkali mereka terlalu risih dengan kelakuan Mama.

“Aduh aku gak tahan lagi,” kata Indra.

“Mau kencing?” tanyaku.

“Mau coli. Ibumu seksi bener!” bisiknya.

“Coli dah di hutan,” kataku sambil menunjuk ke pepohonan lebat di samping jalan.

Indra mengeluarkan smartphone-nya. “Boleh aku foto gak? Biar colinya lancar.”

“Boleh aja. Cepetan mumpung masih kelihatan,” kataku.

Indra mengarahkan kamera smartphone-nya ke pantat Mama. Ia mengambil beberapa foto pantat Mama. Setelah itu ia berbisik kepadaku. “Mau foto teteknya tapi takut dimarahin.”

“Foto aja dari pinggir jalan, terus kamu zoom dari jauh,” saranku. “Tenang, dia gak gampang marah.”

“Kok kamu yakin bener ibumu gak marah?” Indra memandangku curiga.

“Iyalah karena aku anaknya. Cepetan woy mumpung kita masih di jalan.”

Indra buru-buru menghilang. Kulihat ia muncul di pinggir jalan sambil mengangkat smartphone-nya. Kelihatannya ia berhasil mengambil beberapa foto karena ia segera pergi ke pepohonan lebat di pinggir jalan.

“Nikmatilah pemandangan indah ini,” batinku.

Matahari semakin terik. Banyak murid yang menutupi wajahnya dengan ujung topi agar sinar matahari tidak menampar wajah mereka. Mama juga menutupi wajahnya dengan tangan. Bagian depan jilbabnya tidak cukup menutupi wajahnya.

“Ah akhirnya ada sinar matahari juga. Ibu harusnya lega karena kena sinar matahari,” komentar salah satu murid perempuan.

“Hehehe iya,” sahut Mama.

Aku berbisik ke Mama. “Turunin celana Mama lagi sampai ke pantat.”

Badan Mama bergetar pelan. “Tapi kalau diturunin lagi, memek Mama bisa kelihatan.”

“Mama mau turunin sendiri atau aku yang turunin? Mama gak bisa kabur lagi.”

“Mama aja yang turuinin,” kata Mama pasrah.

“Mama pinter.” Aku mundur lagi.

Mama memegang karet celana legging-nya yang sudah turun sedikit, lalu diturunkan lebih ke bawah. Pantatnya yang sebesar bantal menyembul keluar. Kali ini, bagian depan celananya ikut melorot sampai sempaknya terlihat. Karet sempaknya ikut tergeser ke bawah sehingga sebagian memeknya terlihat. Beberapa bulu jembutnya mencuat keluar.

“Anjir, dia makin nurunin sampai ke pantat cuy!” seru murid laki-laki di belakang Mama kegirangan. “Jembutnya juga kelihatan!”

“Bu haruskah sampai segitunya!” seru Bu Ramadhan. Aku kaget juga melihatnya tahu-tahu sudah berdiri di sebelah Mama. Aku terlalu sibuk memerhatikan Mama sampai tidak menyadari kehadiran Bu Ramadhan.

“Supaya kulit saya kena sinar matahari semua,” sahut Mama. Aku tahu ia ketakutan bercampur malu, tapi suaranya terdengar tegar.

“Saya sebenarnya sudah risih sejak Ibu memperlihatkan payudara Ibu. Sekarang Ibu juga memperlihatkan pantat? Dan vagina Ibu juga?” kata Bu Ramadhan. Matanya menatap marah ke memek Mama.

“Ibu tidak usah khawatir. Anak-anak mengerti keadaan saya. Saya sudah bilang ke mereka,” jelas Mama.

“Bukan itu masalahnya,” ujar Bu Ramadhan. “Saya tidak melihat kalau Ibu mengalami sakit keras. Kulit Ibu tampak baik-baik saja di mata saya. Murid-murid juga pasti berpikiran yang sama. Mereka mengerti karena mereka suka melihat tubuh Ibu yang telanjang.”

“Bu Ramadhan silakan percaya atau tidak, tapi saya benar-benar sakit keras. Coba saja tanya anak saya,” kata Mama.

Aku maju mendekati Mama. “Betul Bu. Mama saya memang sakit keras. Kulitnya harus kena sinar matahari. Saya menemaninya ke rumah sakit.”

“Oke kalau begitu.” Bu Ramadhan mengetuk-ngetuk dagunya. “Besok berikan surat pernyataan dari rumah sakit kalau Bu Kepala Sekolah memang sakit keras. Kalau tidak, saya akan lapor kejadian ini ke polisi atas perbuatan tidak senonoh.

Mama melirikku, berharap aku tahu solusinya.

“Oke, saya akan berikan surat itu besok,” jawabku. “Setelah itu, saya mau ibu saya bebas telanjang di area sekolah untuk mendapat asupan sinar matahari.”

Bu Ramadhan menatapku tajam. “Oke. Tapi ingat kalau ternyata surat itu tidak ada. Saya akan bertindak sebagaimana seorang guru yang semestinya.” Telahdewasa.com

Ia melangkah cepat-cepat untuk menyusul barisan terdepan.

“Gimana dong ini?” tanya Mama.

Kejadian itu memang membuatku kaget, tapi aku sudah tahu solusinya.

“Udah deh, Mama tenang saja. Nikmatin saja hari ini,” kataku.

Kami lanjut berjalan. Murid-murid mengikuti kami seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Mereka menikmati bongkahan pantat telanjang Mama yang terpampang di depan mereka. Yang lainnya berjalan di sebelah Mama supaya bisa melihat tetek Mama lebih jelas.

“Ah jadi bingung mau lihat yang mana,” keluh salah satu murid. “Loh ke mana yang lain?”

Aku baru sadar kalau murid-murid itu tinggal sebagian. Ke mana mereka?

Terdengar celetukan di belakangku. “Woy jangan coli di hutan nanti kesurupan.” Rupanya seorang murid sedang menertawakan temannya yang bersembunyi di balik pohon.

“Jangan noleh sini woy, nanti banyak yang lihat,” ujar temannya. Tangan kanannya sedang mengocok kontolnya yang mengeras. “Mumpung ada tontonan gratis.”

Aku terbahak-bahak. Ternyata dia sedang mengocok kontol sambil mengamati Mama. Murid laki-laki lainnya pasti melakukan hal yang sama.

Murid-murid yang selesai coli balik ke jalan dan masih mengikuti Mama. Dasar masih muda, meskipun sudah coli pun mereka masih melihat pantat Mama dengan tatapan cabul.

Jalan setapak itu semakin menanjak. Untungnya permukaan tanahnya lebih padat daripada tanah berlumpur sebelumnya. Memang lebih mudah, tapi cukup melelahkan juga untuk sampai ke atas.

Jalan yang menanjak membuat pantat Mama semakin mengencang. Celana legging-nya semakin turun, sampai anusnya membayang di belahan pantatnya yang gelap.

“Dikit lagi anusnya kelihatan,” ujar Akbar yang dari tadi paling semangat mengikuti Mama. Ia berjalan di belakang Mama dengan badan sedikit membungkuk supaya bisa melihat anus Mama. Teman-temannya juga mengikuti caranya berjalan.

“Ugh pengen banget nancepin kontol ke anusnya,” ujar teman Akbar. “Baru aja coli, masa harus coli lagi?”

“Duh gak tahan deh!” seru Akbar. Ia mempercepat langkah. Begitu tepat di belakang Mama, ia menundukkan wajahnya sampai sejajar dengan pantat Mama. Dengan sekali hentakan, ia memajukan kepalanya sampai terbenam di belahan pantat Mama.

“Eeeeeeh!” pekik Mama kaget. Ia nyaris terjatuh kalau saja aku tidak memegang tangannya.

Akbar melangkah mundur sambil tersenyum puas. “Wangi bener!” serunya kegirangan.

Mama mengusap pantatnya. Kelopak matanya bengkak seperti menahan tangis. Aku memegang tangannya supaya Mama tidak terjatuh.

Akhirnya kami sampai di ujung tanjakan. Beberapa meter di depan kami ada deretan gubuk kecil yang biasa digunakan petani untuk istirahat. Gubuk itu kini dijadikan titik istirahat para murid.

Murid dan guru yang sampai duluan sedang duduk-duduk sambil minum dari botol air. Mereka mengamati Mama yang melintas.

“Gile sekarang pantatnya juga kelihatan,” seru temanku yang baru melihat Mama. “Tadi cuma teteknya doang.”

Aku dan Mama duduk di salah satu gubuk yang paling ujung dan jauh dari guru yang lain. Murid-murid yang tadi mengikuti, termasuk Akbar, juga duduk agak jauh dari Mama. Mereka memilih duduk bersila di bebatuan daripada ikut duduk di dalam gubuk.

Usai minum air, aku menyenggol Mama. “Mama gak pengen kencing?”

Mama menggeleng. “Nggak.”

Aku menatapnya dalam-dalam. “Mama harus kencing sekarang.”

Bersambung…

Mama tampaknya mengerti maksudku. “Jadi kamu mau Mama kencing sekarang?”

Aku menggangguk. “Iya. Di depan murid-murid.”

Mama bangkit dari duduk. Ia memandang sekelilingnya. Guru-guru berada jauh di pondok ujung satunya. Seharusnya mereka tidak terlalu melihat Mama.

Murid-murid yang duduk di dekat situ memandang Mama heran. “Ibu Kepala Sekolah mau ngapain?”

Mereka terbelalak melihat Mama menurunkan celana legging-nya. Lebih melotot lagi saat Mama juga menurunkan sempaknya. Memek Mama yang berjembut kini terpampang di depan mereka.

“Wiiiih!” seru mereka nyaris bersamaan.

Mama menurunkan celana dan sempaknya sampai ke lutut. Ia kemudian jongkok di tanah.

“Maaf ya, Ibu udah kebelet,” kata Mama. Pelan-pelan memeknya mengeluarkan air yang sedikit kekuningan.

Murid-murid ikut berjongkok di depan Mama. Mereka mengamati proses kencing itu sampai memek Mama berhenti mengeluarkan air.

“Lega rasanya,” kata Mama sambil menaikkan celananya kembali. Ia balik duduk di sebelahku. Murid-murid itu tetap melongo memandang Mama.

“Udah,” kata Mama.

“Mama tahu salahnya di mana?” tanyaku.

Mama mengerjapkan mata. “Apa maksudmu?”

“Mama tahu kesalahan Mama?” ulangku.

“Mama kencing di depan mereka sesuai yang kamu mau. Apa salah Mama?”

“Ini salah Mama,” kataku sambil menarik karet celana legging Mama. “Siapa yang nyuruh Mama pakai celana ini? Bukannya tadi aku suruh pelorotin?”

“Tapi Mama gak sengaja,” kata Mama.

“Sengaja gak sengaja, Mama tetap melanggar perintah,” kataku. “Mama harus dihukum.”

Mama menundukkan kepala. “Tapi Mama sudah melakukan yang kamu mau.”

“Bodo amat. Buka celana Mama,” perintahku. “Ayo cepat.”

Mama menurunkan celananya sampai ke mata kaki.

“Apa-apaan ini? Lepas semuanya. Termasuk sempak Mama,” kataku.

Mama melepas celana dan sempaknya. Kuambil kedua benda itu, lalu kubuang ke belakang gubuk.

“Sekarang Mama harus begitu seharian. Salahin diri Mama kenapa melanggar perintah,” kataku.

Mama mengusap air matanya. Ia menegakkan kepala. “Terserah kamu, Nak. Mama sudah gak ada harganya lagi.”

Terdengar suara botol yang diketuk-ketuk. Rupanya Bu Endang sedang menarik perhatian para murid yang beristirahat.

“Oke istirahatnya sudah cukup! Kita berkumpul dulu sebelum lanjut jalan!” serunya.

Semua orang berdiri dari tempat duduknya, begitu pula aku dan Mama.

“Wah kok semakin seksi Bu?” tanya seorang murid yang menyadari penampilan baru Mama. Yang lainnya juga terkejut melihat Mama.

“Hari sudah semakin siang, semakin bagus kalau sinarnya merata kena kulit saya,” jawab Mama.

Aku bergabung di kerumunan murid, sedangkan Mama ke barisan guru. Semua mata terpaku melihat Mama, termasuk para guru. Bu Ramadhan melihat Mama dengan tatapan jengkel. Ia membuang muka begitu Mama berdiri di sebelahnya.

“Gimana istirahatnya?” tanya Mama ke para murid.

Mereka lagi-lagi tidak menjawab Mama, tapi saling berbisik satu sama lain. Para murid laki-laki tertawa cekikikan melihat memek Mama yang terlapisi jembut tebal.

Mama mengulang pertanyaannya. “Anak-anakku, gimana istirahatnya?”

“Oke Bu!” seru mereka nyaris serempak.

“Kalau begitu kita lanjut jalan. Awas jangan sampai ada barang yang ketinggalan,” kata Mama.

Rombongan sekolahku pun bergerak melanjutkan jalan santai. Kali ini aku meminta Mama untuk berjalan di depan.

“Kepala sekolah itu yang memimpin sekolah, jadi Mama harus memimpin di depan,” kataku.

“Jujur saja, Mama sudah bodo amat sama apa yang bakal terjadi,” kata Mama. “Biarin satu kampung tahu. Biarin ayahmu tahu. Biarin semua tahu.”

“Wah jadi Mama sudah gak malu dong?” ejekku. “Coba kita tes apa Mama benar-benar bodo amat atau nggak.”

Mama diam saja. Ia terus berjalan sambil mengarahkan murid-murid di belakangnya.

Karena Mama sekarang berada di depan, semua murid laki-laki kini mendominasi barisan depan. Murid perempuan jauh tertinggal di belakang. Sesekali Mama menyuruh untuk memperlambat langkah supaya murid-murid perempuan bisa menyusul mereka.

“Bu Kepala Sekolah.” Bu Endang bergegas mendekati Mama. “Ibu yakin masih mau berpenampilan begitu? Saya mengerti keadaan Ibu, tapi jalan setapak ini sebentar lagi berakhir dan di ujung sana ada beberapa rumah murid.”

“Yakin Bu. Saya masih mau begini,” jawab Mama. Walau sekilas jawabannya terdengar tegas, aku bisa mengenali sedikit keraguan dari nadanya.

“Ibu pasti sudah tahu risikonya ‘kan?” tanya Bu Endang.

Mama mengangguk. “Saya sudah pikirkan itu dari kemarin.”

“Kalau terjadi apa-apa, pihak sekolah tidak bertanggung jawab. Ini semua murni karena penampilan Ibu,” ujar Bu Endang.

Jalan setapak yang kami lewati penuh kerikil yang diratakan oleh tenaga manusia. Itu menunjukkan kalau area itu sering dilewati orang daripada area sebelumnya. Langkah kami jadi lebih santai karena kami tidak perlu khawatir terpeleset.

Hampir semua murid laki-laki berkerumun di dekat Mama. Mereka mengajak Mama ngobrol, meski tatapan mereka terfokus ke pentil Mama. Mama tetap berperan sebagai kepala sekolah yang baik. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya dengan santai, meski pertanyaan-pertanyaan itu agak cabul.

“Apa Ibu gak malu dilihat anak Ibu sendiri?”

“Nggak. Dia sudah biasa lihat Ibu begini,” jawab Mama.

“Suami Ibu gimana ya kalau lihat Ibu jalan begini di kampung?”

“Dia kesal pastinya.” Mama termenung sebentar. “Dia pasti juga sedih. Tapi mau gimana. Ini demi kebaikan Ibu sendiri.”

“Ibu gak pernah cukur memek sampai jembutnya tebel begitu?”

Mama menatap tajam ke murid yang bertanya di sebelahnya. “Saya sering cukur, tapi jembut saya memang cepat tumbuhnya. Saya cukur seminggu sekali.”

“Gimana rasanya Bu telanjang di jalan?”

“Biasa-biasa aja. Malah rasanya lebih bebas. Ya malu sih, tapi lama-lama saya terbiasa juga,” jawab Mama.

“Kalau berhubungan seks, Ibu lebih suka dicoblos memeknya atau di anus?”

Mama habis kesabarannya. Ia hendak membentak murid yang bertanya, tapi murid itu sudah lari duluan.

Jalan setapak itu membelok ke kiri. Kami berada di area sawah lainnya. Karena hari sudah semakin siang, sudah banyak petani yang bekerja di sawah. Mereka tersenyum melihat rombongan kami lewat.

Tiba-tiba Mama berhenti. Pandangannya menatap kaku ke depan.

Di kejauhan, terlihat seorang ibu-ibu yang bersepeda dari arah berlawanan dengan membawa dua karung berisi rumput untuk pakan ternak. Ketika ibu itu semakin mendekat, aku jadi sadar kenapa Mama terdiam melihatnya.

Ibu itu adalah Bu Markonah. Dia tetangga kami.

Bu Markonah mengucap permisi saat mau melewati kami. Genjotan sepedanya berhenti saat melihat Mama yang berdiri terpaku di depannya.

“Astagfirulloh!” serunya. “Ibu kenapa penampilannya begitu? Di depan murid-murid lagi!”

Mama menjelaskan situasinya dengan suara terbata-bata. Supaya prosesnya lebih cepat, aku mendukung semua penjelasan Mama.

“Tapi itu seharusnya bukan alasan buat telanjang di jalan,” ujar Bu Markonah. “Ibu harusnya malu. Malu banget.”

“Iya saya tahu, tapi kondisi saya memang mengharuskan saya begini,” kata Mama.

“Gimana kalau suami Ibu tahu kelakuan Ibu?” tanya Bu Markonah lagi.

“Ayah saya sudah tahu,” jawabku cepat. “Ibu Markonah gak usah khawatir.”

“Mana ada suami yang rela melihat istrinya telanjang dilihatin orang-orang begini. Saya gak percaya,” ujar Bu Markonah ketus. Ia menggenjot sepedanya pergi meninggalkan kami.

“Gimana kalau dia ngomong ke tetangga yang lain?” tanya Mama cemas.

“Kita gak bisa larang juga sih, tapi bukannya itu bagus kalau tetangga lain tahu? Jadi Mama gak usah malu-malu lagi,” jawabku. “Soal penjelasan ke mereka. Biar nanti aku pikirin.”

Mama menghela napas. “Kamu yang mulai ini semua. Mama gak mau tahu.”

“Omong-omong. Kita sana yuk,” kataku sambil menunjuk ke semak belukar di seberang jalan.

“Mau ngapain?” tanya Mama.

Kuselipkan jari telunjukku ke anus Mama. “Mau pakai ini pantat.”

“Tapi di sini banyak orang,” kata Mama gelisah. “Bisa-bisa ketahuan.”

“Tenang, aman kok,” kataku. “Ayo Ma.”

Kami memisahkan diri dari rombongan. Beberapa murid mengikuti kami, tapi Mama membentak mereka. “Jangan ikutin kami!”

Mereka langsung diam dan cuma mengamati kepergian kami.

Aku dan Mama menyibak semak belukar yang tumbuh tinggi. Mama agak kesulitan bergerak karena kulitnya lecet-lecet tergesek daun ilalang. Aku terpaksa membantunya menyingkirkan daun-daun tajam biar Mama bisa jalan lebih cepat.

“Mau di sini?” tanya Mama ketika kamu sudah agak menjauh dari rombongan.

“Di sini gak enak. Lebih enak di sana.” Aku menunjuk ke sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Rumah itu berada beberapa meter di depan kami. “Itu rumah Faizal, teman sekelasku.”

“Jangan gila kamu! Masa kita ngentot di dalam rumah orang!” seru Mama.

“Siapa bilang di dalamnya? Kita main di halamannya saja.”

Kudorong Mama sampai berada di halaman belakang rumah Faizal yang cuma dibatasi oleh pagar bambu pendek. Tidak ada pintu di pagar, jadi kami bisa masuk ke dalam halamannya. Beberapa ekor ayam berkotek-kotek saat melihat kami masuk ke halaman rumahnya.

“Kalau ada orang gimana dong?” tanya Mama cemas.

“Kayaknya gak ada deh,” kataku sambil mengamati sekeliling. “Ayo ke depan rumahnya.”

Bagian depan rumah Faizal terlihat sepi. Pintu rumahnya tertutup. Namun, ada sebuah sepeda motor terparkir di halaman depannya.

“Tuh ada orang di sini,” bisik Mama.

“Justru itu sensasinya. Aku mau Mama nungging di pintu depan situ,” kataku sambil menampar pantatnya supaya dia bergerak maju.

Mama menunggingkan pantatnya. Kedua tangannya berpegangan daun pintu. Dari dalam rumah terdengar suara televisi. Pasti ada orang di dalamnya.

“Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Mama.

“Tentu saja yakin. Udah jangan cerewet. Nikmatin aja.”

Kubuka belahan pantatnya dengan kedua tanganku. Anus Mama menganga lebar. Kuludahi anusnya, kemudian kuratakan dengan jari tangan. Anus Mama siap digunakan.

“Awas jangan berisik,” kataku.

Daun pintu berdenyit saat kontolku menerobos anus Mama. Dalam hati, aku berharap pintu itu cukup kuat menahan berat badan Mama.

Yang aku suka dari anus Mama adalah anusnya semakin menjepit erat setiap kali kontolku bergerak masuk. Memang kontolku jadi lebih sulit masuk, tapi jepitan itu justru membuat otakku semakin terangsang. Berbeda dengan memek yang meskipun bisa menjepit, tapi jepitannya kurang erat.

“Uh! Uh! Uh!” erang Mama.

“Sssst pelan-pelan Ma,” bisikku. “Atau Mama memang suka ketahuan biar dilihat orang-orang?”

Kontolku semakin membesar dan anus Mama semakin sempit. Kuku jari tangan Mama mencakar dinding pintu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk mencegah supaya tidak teriak.

“Aku mau Mama bilang ‘aku budak anakku’,” bisikku.

“Aku budak anakku,” ujar Mama. Suaranya agak tercekat, mungkin karena menahan sakit.

“Bilang ‘aku patuhi semua keinginan anakku’,” kataku lagi.

“Aku patuhi semua keinginan anakku. Uh!” Mama mengerang karena kontolku menggesek lubang anusnya.

“Bilang ‘aku lonte semua orang’,” kataku sambil menampar pantat Mama.

“Aku lonte semua orang. Aduh!” Mama mengelus pantatnya yang memerah.

“Tahan suaramu,” bisikku. “Apa kamu mau dihukum lebih parah dari ini?”

Kontolku berdenyut. Aku sudah tidak tahan lagi. Kusemprot pejuhku ke dalam anus Mama. Saking banyaknya, pejuhku sampai berceceran di sela-sela anusnya.

“Aaaaaah!” Mama mendesah nyaring.

“Siapa itu!”

Aku tersentak kaget. Kucabut kontolku dari dalam anus Mama, lalu Mama buru-buru kutarik ke samping.

Terdengar suara langkah kaki berat dari dalam rumah, lalu suara pintu terbanting ke dalam.

Aku dan Mama berdiri di samping rumah. Mulut Mama kututup dengan tanganku.

“Kayak ada suara orang tadi,” komentar suara laki-laki. Sepertinya itu bapak Faizal.

“Bukan hewan?” Kali ini suara perempuan. Kutebak itu ibu Faizal.

“Bukan deh. Aku yakin itu suara orang,” ujar Pak Faizal.

“Jangan-jangan itu hantu,” ujar Bu Faizal.

“Mana ada hantu di siang bolong. Apa itu kelakuan anak-anak sini?”

“Mungkin saja itu temen-temennya Faizal. Mereka suka ngobrol keras-keras kalau pulang sekolah.”

“Tapi ini ‘kan belum jam pulang sekolah. Ah, mungkin itu memang kelakuan anak-anak iseng.”

Napas Mama terasa hangat di telapak tanganku. Teteknya kembang kempis karena napasnya memburu.

“Eh pak apa ini?!” seru Bu Faizal. “Ada bekas cakaran di pintu!”

“Wah kayak bekas cakaran manusia,” komentar Pak Faizal.

“Masuk rumah aja yuk pak. Serem ih.”

“Kamu aja yang masuk. Aku mau ambil parang di dapur dulu, terus periksa halaman. Takutnya ada maling atau apalah.”

Terdengar pintu dibanting lagi.

Kuturunkan tanganku yang menutup mulut Mama. Ia menghela napas.

“Kita harus cepet-cepet pergi dari sini,” kataku sambil menarik tangan Mama.

Kami bergegas kembali ke semak belukar tempat kami datang. Baru beberapa meter menjauh dari rumah Faizal, kulihat bayangan seseorang keluar dari bagian depan rumah Faizal.

Itu Pak Faizal! Parahnya lagi, ia juga membawa parang! Telahdewasa.com

Aku segera menubruk Mama ke tanah agar kami terhalang rerumputan tinggi. Untunglah di bawah kami ada rerumputan tebal sehingga kami nyaris bersuara.

“Ada apa?” bisik Mama.

“Pak Faizal keluar dari rumah. Kayaknya ia mau memeriksa sekitar,” jawabku.

Aku melongok keluar. Pak Faizal menyibak rerumputan di sekitar halaman rumahnya dengan parang.

“Uh,” desah Mama.

“Kenapa Mama?” Aku menyadari ternyata kontolku agak masuk ke memek Mama saat aku menubruknya.

“Minggirkan badanmu,” bisik Mama. “Mama gak tahan buat teriak kalau kontolmu masuk.”

“Oh begitu? Bagaimana kalau begini.” Kugesek kepala kontolku ke bibir memek Mama.

“Uuuugh,” desah Mama sedikit lebih keras. “Jangan Nak. Nanti kita ketahuan.”

Kugesek kepala kontolku ke memeknya lebih cepat. Sebentar saja, kepala kontolku sudah basah oleh cairan memek Mama.

“Mama suka juga ‘kan?” tanyaku. “Mama suka sensasi ini ‘kan?”

Mama memalingkan muka.

Memeknya semakin basah. Kupikir inilah saatnya. Kepala kontolku menelusup ke dalam memek Mama. Ia hendak menjerit, tapi aku segera menutup mulutnya dengan tangan.

Sambil menggerakkan pinggulku, aku mengamati Pak Faizal yang berpatroli. Sialnya, ia semakin mendekat. Jika kami lari sekarang, jelas ia akan melihat kami.

“Uh. Uh. Uh.” Desahan Mama terputus-putus.

Aku menundukkan badan sampai terhalang sepenuhnya oleh rerumputan. Wajahku bertatapan dengan wajah Mama.

Kulumat bibir Mama. Aku kaget karena Mama menerima ciumanku. Lidah kami saling gantian bertautan di dalam mulut masing-masing.

“Mama adalah budakku,” kataku. “Mama adalah lonte semua orang.”

Kontolku semakin mengeras dan siap menyemprot benih kehidupan. Kutekan pinggulku dalam-dalam. Kedua tangan Mama merangkul leherku. Kedua kakinya menyilang di pinggangku dan menjepitku kencang. Ia pasti dalam perjalanan menuju klimaks.

“Oh Mama,” bisikku.

Memek Mama semakin basah sehingga kontolku semakin leluasa bergerak. Rumput tinggi di sekeliling kami ikut bergoyang karena tersenggol badan kami. Aku harap Pak Faizal tidak melihat rumput-rumput yang bergoyang ini.

“Oh Mama.”

Kontolku semakin mengeras sampai terasa sakit. Jepitan memek Mama juga semakin mengencang.

Pejuhku mengalir lancar dari batang kontolku ke memek Mama. Memek Mama berdenyut tidak karuan. Kupeluk ia sambil terus memompa cairan putih itu ke tubuhnya. Pikiranku terasa enteng. Ancaman Pak Faizal rasanya tidak berarti apa-apa.

Kutarik kontolku sampai keluar dari memek Mama. Batang kontolku terlumuri oleh pejuhku dan cairan memek Mama.

Napas Mama tersenggal-senggal. Perutnya basah oleh keringat. Cairan pejuhku meluber di memeknta.

Aku melongok lagi. Pak Faizal berdiri di halaman rumahnya sambil menggaruk-garuk kepala. Ia menyarungkan parang itu ke wadahnya yang tersampir di pinggang, lalu beranjak pergi.

Bahaya sudah berlalu. Sekarang saatnya balik ke rombongan sekolah.

Sebelum pergi, kupijat kontolku sampai sisa-sisa pejuh keluar lalu menetes di wajah dan tetek Mama. Meski sudah muncrat, sisa-sisa pejuh dari kontolku ternyata masih banyak. Wajah dan tetek Mama kini terlumuri pejuhku.

“Ingat ya, jangan dihapus,” kataku. “Pakai alasan apa pun yang ada di kepala Mama. Aku mau Mama belajar bikin alasan sendiri.”

Kami berjalan sambil menundukkan badan. Pak Faizal memang sudah pergi, tapi ada kemungkinan dia bisa melihat kami.

Rombongan sekolah sudah berjalan cukup jauh. Kami terpaksa cepat-cepat melangkah untuk menyusul mereka.

“Wah kalian dari mana?” tanya Indra saat melihat kedatangan kamu.

“Lihat pemandangan sebentar,” jawabku.

“Wajah Ibu kenapa?” tanya Indra ke Mama. Pandangannya turun ke tetek Mama yang berlumuran pejuh.

“Obat kulit,” jawab Mama singkat.

“Oh gitu. Tapi gak merata ya,” kata Indra.

“Ah untung kamu ingetin.” Mama meratakan pejuh di wajah dan teteknya. Gumpalan-gumpalan putih di wajahnya kini menghilang. Wajah dan teteknya jadi berkilau.

Kucubit pantat Mama.

Ah dia semakin pintar bikin alasan. Perjalanan ini bakal jadi lebih mudah.

Bersambung…

Tubuh Mama terlihat kecokelatan karena terpapar sinar matahari. Ia sesekali berjalan di bawah bayangan-bayangan pohon untuk supaya kulitnya tidak menggosong, lalu balik lagi ke rombongan agar yang lain tidak curiga.

Jalan setapak di depan terlihat bercabang. Rombongan kami mengambil jalur kiri yang akan membawa kami kembali ke sekolah.

“Ibu pakai krim apa ini?” tanya salah satu murid perempuan.

“Krim racikan dokter,” jawab Mama.

“Baunya aneh ya. Kayak amis-amis gimana gitu,” komentar murid perempuan lain.

“Namanya juga obat. Gak ada pewanginya,” kata Mama.

Aku tersenyum mendengar penjelasan Mama. Ia benar-benar jago beralasan.

Murid perempuan lain datang tergopoh-gopoh ke Mama.

“Bu, tadi saya lihat ada rombongan anak kecil di sana. Ibu sebaiknya tutup aja deh biar gak bikin pengaruh buruk ke mereka,” jelas murid itu.

“Gak usah, mereka juga belum ngerti apa-apa,” kata Mama.

Benar saja. Kami berpapasan dengan rombongan bocah laki-laki berjumlah empat orang. Mereka membawa layangan dan kantong plastik berisi kelereng.

“Wih ada ibu-ibu telanjang,” seru salah satu bocah itu. Mereka terpaku menyaksikan kami lewat.

Mendadak aku mendapat ide cemerlang.

“Ma, beri mereka hiburan dong,” kataku.

“Hiburan apa?”

“Jelasin bagian tubuh Mama ke mereka,” kataku. “Tapi tunggu rombongan ini menjauh dulu biar guru-guru gak curiga. Ita berhenti saja sekarang.”

Kami berhenti mengikuti rombongan. Murid-murid mengamati kami, berbisik-bisik, lalu meninggalkan kami.

“Mungkin mereka mau ciuman kalik.” Aku mendengar salah satu dari mereka berkata begitu. “Siapa tahan lihat cewek teteknya gede gitu. Kalau itu ibu kandungku, pasti sudah aku sikat.”

Setelah rombongan sekolah cukup menjauh, aku menoleh ke Mama. “Yuk beri mereka pelajaran biologi.”

Anak-anak itu bingung menatap Mama.

“Assalamualaikum anak-anak,” sapa Mama dengan nada ramah.

“Walaikumsalam,” sahut anak-anak itu bersamaan.

“Kalian tahu saya siapa?” tanya Mama.

Hampir semua anak menggeleng, kecuali satu anak.

“Ibu bukannya kepala sekolah SMA deket sini?” tanya anak itu.

“Pinter. Kok kamu tahu?”

“Kakakku sekolah di situ,” jawab anak itu.

“Siapa namamu?” tanya Mama sambil mengelus rambut anak itu.

“Iqbal,” jawab anak itu lagi.

“Nah Iqbal, sebagai kepala sekolah, saya harus mendidik kalian supaya tahu bagian-bagian tubuh perempuan. Jadi kalian gak kaget kalau sudah besar nanti,” ujar Mama.

Anak-anak itu mengangguk mendengar Mama. Mata mereka terus menatap tetek dan memek Mama.

Mama duduk di sebuah batu besar.

“Kalian tahu ini namanya?” Mama menunjuk ke pentilnya.

“Tetek!” seru mereka.

“Nah pinter. Tapi nama aslinya payudara. Ukurannya bisa lebih besar kalau saya lagi hamil karena payudara ini penuh berisi susu,” jelas Mama.

“Memangnya Ibu lagi hamil?” tanya Iqbal. “Teteknya udah gede gitu.”

Mama tersenyum. “Saya gak hamil dan ukuran payudara saya memang besar.”

“Tetek ibuku juga besar, tapi gak segede itu,” kata salah satu anak.

“Ukuran payudara memang beda-beda. Gak bisa disamakan,” jelas Mama.

“Omong-omong, apa aku boleh pegang tetek Ibu?” tanya Iqbal malu-malu. “Kok teteknya lucu.”

Mama menatapku. Aku mengangguk.

“Boleh saja. Kalian boleh gantian memegang payudara Ibu,” kata Mama.

Iqbal yang pertama memegang tetek Mama. Awalnya ia ragu-ragu mau menyentuh, lalu ia mengusap tetek Mama. Wajahnya terlihat senang.

“Kenyal kayak adonan tiwul,” ujarnya.

Anak-anak lain bergantian memegang tetek Mama. Mereka setuju dengan penilaian Iqbal. “Bener, kayak adonan tiwul.”

“Ini kalau ditarik sakit gak?” tanya Iqbal. Jari telunjuknya menutul pentil Mama.

“Bo-boleh saja,” ujar Mama.

Jari telunjuk dan jempol Iqbal menjepit pentil Mama, kemudian menariknya.

“Aduh!” pekik Mama tertahan.

Iqbal melepas jepitannya. Wajahnya ketakutan. “Ibu gak apa-apa?”

“Gak apa-apa. Tapi pelan-pelan nariknya ya,” kata Mama.

Iqbal mengulangi tindakannya. Kali ini ia menarik pentil Mama pelan-pelan. Aku tertawa dalam hati melihat pentil Mama yang memanjang.

“Kayak karet,” komentar Iqbal. Jari-jarinya kini bergerak memelintir pentil Mama.

“Ugh!” desah Mama.

“Eh Ibu senang diginiin?” tanya Iqbal. Pelintirannya semakin cepat.

“Cuma geli,” ujar Mama. Kedua matanya setengah terpejam.

“Gantian dong!” protes yang lain.

Iqbal pun mundur supaya teman-temannya bisa ikut memegang pentil Mama.

“Pertama kalinya aku megang pentil cewek,” ujar temannya. “Asik juga ternyata.”

Mama memejamkan mata saat anak-anak itu menarik pentilnya. Tampaknya ia mulai menikmati sensasi yang diberikan anak-anak polos itu.

Tanpa disuruh, Iqbal melebarkan kedua telapak tangannya, lalu menempelnya ke kedua tetek Mama. Ia meremas tetek Mama. Gerakannya lembut. Rupanya ia berinovasi sendiri.

“Aduh enak banget,” desah Mama. Perutnya kembang kempis.

“Ajarin ini dong Bu,” kata Iqbal. Ia menunjuk ke memek Mama. Teman-temannya mengiyakan.

“Ini namanya vagina,” kata Mama. Ia melebarkan memeknya sampai rongganya yang merah muda terlihat. Anak-anak itu memandang takjub keindahan di depan mereka.

“Selain untuk buang air kecil, ini juga untuk melahirkan,” lanjut Mama.

“Kalau itu sih aku juga tahu,” sahut seorang anak yang berbadan paling besar. “Itu juga tempat buat anak.”

Anak-anak lain memandangnya kagum. “Wah Ojan pinter juga.”

“Itu aman gak kalau dimasukin jari?” tanya Iqbal penasaran.

“Aman selama jari kalian bersih,” jawab Mama.

Anak-anak itu memandangi tangan mereka masing-masing.

“Tangan kami bersih. Boleh pegang memek Ibu juga gak?” tanya yang lain.

“Bo-boleh. Ini buat pelajaran kalian,” kata Mama.

“Buka lebar lagi dong biar bisa lihat lebih jelas,” pinta Ojan.

Kedua tangan Mama membuka memeknya lebih lebar lagi. Mama sampai meringis. “Nih, udah jelas belum?”

“Udah Bu. Mantap deh,” ujar anak lain.

“Aku mau pegang duluan,” kata Ojan. Anak itu menjulurkan tangannya ke memek Mama. Ia menempel telapak tangannya, lalu mengelus bibir memek Mama.

“Agak basah ya. Ini air kencing?” tanya Ojan.

“Bu-bukan. Vagina memang selalu basah biar biar lubangnya gak kering,” jawab Mama. Napasnya mulai memburu.

“Dalamnya kayak apa ya.” Ojan memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke memek Mama. Otot perut Mama langsung mengejang.

“Pelan-pelan,” rintih Mama.

Ojan memandang Mama dengan takut. “Beneran gak apa-apa nih?”

“Gak apa-apa asal pelan-pelan.”

Anak itu memasukkan jarinya lebih dalam ke memek Mama. Kedua kaki Mama mengejang. Tangannya mencengkeram batu yang didudukinya.

“Wih keren, jariku bisa dijepit!” seru Ojan kegirangan.

“Aku juga mau coba!” seru anak lain. Ia berusaha menarik tangan Ojan, tapi Ojan langsung menepisnya. “Yang sabar dong Abdul. Gantian kayak yang lain.”

Anak yang dipanggil Abdul itu memasang muka cemberut. “Tapi jangan lama-lama. Penasaran nih.”

Ojan memutar jarinya. Mama melenguh nyaring. Kening Mama bercucuran keringat.

“Hihihihi perutnya naik turun,” komentar Iqbal. Anak itu mengusap-usap udel Mama. “Aku sering mainan udel ibuku di rumah. Gak tahu kenapa kok rasanya asik.”

“Kalau aku sih sering ngintip ibuku mandi,” kata anak satunya yang berbadan paling kurus. “Burungku langsung gede kalau abis lihat ibuku mandi.”

“Oh jadi kau juga suka ngintip ibumu mandi, Amir? Aku juga suka sih,”, sahut Abdul.

Amir mengangguk. “Yang ngintip gak cuma aku. Kakakku juga suka ngintip ibuku.”

Aku kagum memerhatikan obrolan keempat anak itu. Mereka sudah punya bibit-bibit incest. Tinggal dipoles, pasti mereka bisa lebih hebat dariku atau Bagas.

“Bu, burungku jadi bengkak nih,” kata Ojan sambil menunjuk ke celananya. “Rasanya sakit sekali.”

“Iya, burungku juga jadi bengkak.” Iqbal mengintip ke sela-sela celananya. “Selalu begini setiap lihat ibu-ibu.”

Kedua anak lain juga menyuarakan keluhan yang sama.

“Oke, kalau gitu buka celana kalian,” kataku. “Kita akan belajar cara berkembang biak.”

“Wow, di sekolah gak diajarin nih!” seru Ojan.

“Makanya belajar di sini biar kalian lebih pinter dibanding teman-teman sekelas kalian,” kataku.

Anak-anak itu membuka celana mereka. Kontol mereka yang berukuran sejempol tangan dan belum sunat mengacung ke atas.

“Hahahahaha, punyaku paling gede daripada punya kalian,” ejek Amir.

Teman-temannya menatap kontol masing-masing dengan lesu. Mereka cepat menerima kekalahan.

“Apa ini normal?” tanya Abdul.

“Normal. Kalian masih bisa bikin anak lewat burung kalian.” Mama berusaha membesarkan hati mereka.

“Jadi burung ini bisa buat anak? Wow!” Ojan memandang takjub ke kontolnya. “Eh tapi aku gak pengen punya anak dulu! Masih pengen main!”

“Tenang, Ibu ini gak bakal hamil. Ada caranya biar dia gak hamil. Tapi itu dibahas nanti kalau kalian udah gede,” kataku. “Burung kalian udah siap? Bagus sekarang pelajaran pertama.”

Mereka siap-siap mendengar instruksi dariku.

“Masukkan burung kalian ke vagina Ibu ini.”

Anak-anak itu terbelalak.

“Hah? Memangnya bisa?” tanya Iqbal.

Aku mengangguk. “Udah deh. Masukkin aja dulu biar kalian lebih mengerti.”

Mereka hompimpa untuk menentukan siapa yang maju duluan. Iqbal yang menang.

“Kalian nonton aja dulu ya,” ejeknya.

Iqbal berdiri di antara kedua kaki Mama yang duduk mengangkang. Ia mengusap-usap telapak tangannya.

“Masukin kepala burungmu ke vagina pelan-pelan,” kataku.

Iqbal mendorong pinggulnya. Kontol kecil pelan-pelan menerobos masuk ke memek Mama. Meski ukurannya masih kecil, Mama tetap saja mendesah begitu seluruh kontol itu masuk ke memeknya.

“Burungku hilang!” pekik Iqbal.

“Nggak. Burungmu aman,” kataku menenangkan. “Gimana rasanya?”

“Burungku rasanya anget sama licin,” ujar Iqbal. “Susah jelasinnya, tapi enak banget!”

“Coba kamu gerakin pinggulmu maju mundur,” kataku.

Iqbal menggerakkan pinggulnya. Matanya mengerjap-ngerjap. “Wiiiiih lebih enak!”

“Cepetan dong!” seru Ojan kesal. “Kami tunggu nih.”

“Bentar,” sahut Iqbal.

Gerakan pinggulnya semakin cepat. Mama melenguh. Badannya ikut bergoyang seirama goyangan Iqbal.

“Bu-burungku mau meledak!” seru Iqbal.

“Jangan ditahan!” kataku. “Lepasin semua.”

Iqbal mengerang. Kakinya menjinjit. Ia mencengkeram pinggang Mama.

“Toloooong!” seru Iqbal.

Ia mencabut kontolnya dari memek Mama. Ujung kontolnya yang masih berkuncup dipenuhi pejuh.

Iqbal menangis. Aku berjongkok sambil menepuk pundaknya. “Gak apa-apa itu. Burung kamu sedang memberikan benih ke Ibu ini. Dalam keadaan normal, Ibu ini akan melahirkan anak kamu di bulan kesembilan dari sekarang.”

Anak itu mengusap air matanya. “Benarkah?”

Aku mengangguk. “Bener. Nah siapa yang mau gantian?”

Giliran Amir yang berdiri di depan selangkangan Mama. Wajahnya terlihat gugup.

“Santai dan masukin burungmu ke vaginanya,” kataku.

Amir mengangguk patuh. Ia mendorong pinggulnya sampai seluruh batang kontolnya tenggelam di memek Mama.

“Wow!” Ia terkejut. “Memang susah jelasinnya, tapi enak bener!”

Tanpa disuruh, ia menggerakkan pinggulnya maju mundur seperti yang dilakukan Iqbal.

“Wah gila ini enaknya!” Ia memekik kegirangan.

Sambil bergerak maju mundur, ia memelintir pentil Mama. Barangkali ia melakukan itu karena insting berkembang biaknya muncul sendiri.

“Pelan-pelan Sayang,” ujar Mama. Tangan kirinya berpegangan pada batu di bawah, sementara tangan kanannya mengelus rambut Amir.

“Burungku bengkak!” seru Amir.

“Eits, jangan panik. Atur napasmu, terus lepaskan tekanan di burungmu,” kataku.

Sebentar kemudian, kaki Amir dan kaki Mama mengejang. Amir menekan pinggulnya dalam-dalam.

“Aaaaaaah!” serunya.

Ia menarik kontolnya keluar dari memek Mama yang basah. Memek Mama dipenuhi cairan lengket.

“Wuih kepala jadi enteng,” kata Amir. Ia mundur sambil mengocok kontolnya. “Dikocok begini enak juga,” katanya.

Berbeda dengan kedua temannya, Abdul terlihat santai. Barangkali karena ia sudah melihat contoh dari Iqbal dan Amir, jadi dia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tertawa cekikikan saat kepala kontolnya masuk ke memek Mama.

“Jadi gini caranya bikin anak,” komentar Abdul sambil menggoyang pinggulnya. “Mau deh bikin anak tiap hari.”

Ia memajukan badan sampai wajahnya terjepit di antara belahan tetek Mama. Lidahnya bergerak menjilati pentil Mama.

“Ssssssh,” desah Mama. Tangannya menekan kepala Abdul sehingga wajah anak itu nyaris tenggelam di belahan teteknya.

Kedua tangan Abdul melingkar di pinggang Mama. Goyangannya tambah cepat. Wajah Mama menengadah ke langit. Keduanya pasti sedang berada di puncak kenikmatan.

“Aaaaaah!” desah panjang Abdul menandakan dia orgasme. Aku membayangkan pejuh ketiga anak itu memenuhi memek Mama.

“Mantap!” seru Abdul sambil mengoles paha Mama dengan kepala kontolnya. “Kapan-kapan mau coba lagi deh.”

Tinggal giliran Ojan. Bocah besar itu juga terlihat santai.

Ojan mengamati memek Mama dari dekat. Ia membuka memek Mama, lalu mengamati rongganya.

“Lagi apa?” tanyaku.

“Lagi cek mesin,” kata Ojan sambil mendekatkan pandangannya ke memek Mama. “Ih jorok, banyak lendirnya.

“Gimana? Mau belajar bikin anak gak?” Aku menepuk pundaknya.

Ojan menyentuh anus Mama dengan jari telujuknya. “Burungku bisa masuk sini gak?”

“Bisa saja. Tapi itu gak bikin Ibu ini hamil,” jelasku.

“Gak apa-apa deh. Aku gak pengen ada yang hamil,” kata Ojan. Ia menegakkan badan. Dirangkulnya pinggang Mama, lalu ia menjejalkan kontolnya ke lubang anus Mama.

“Aduh sempit banget,” keluh Ojan. Ia membuka anus Mama dengan kedua tangannya, kemudian memaksa kepala kontolnya masuk. Anus Mama berdenyut pelan.

“Oh enak!” pekiknya. Ia menggoyang pinggulnya. Goyangannya agak kaku karena ia kesulitan menggesek batang kontolnya di anus Mama yang sempit.

Jari-jari tangan Ojan menari di perut Mama. Ia mengelus udel Mama, kemudian naik ke tetek Mama. Tetek Mama mengencang. Urat-urat teteknya sampai menonjol. Telahdewasa.com

“Wow bisa juga ya kayak gitu,” ujar Amir kagum.

Goyangan Ojan bertambah cepat. Pentil Mama dipelintir dan ditarik. Sesekali ia menyedot pentil itu sampai terdengar bunyinya.

“Udah mau meledak kayak yang lain nih!” seru Ojan.

Kedua tangan Mama mencengkeram pundak Ojan. Anak itu mencium leher Mama dan menjilati lehernya. Sebentar lagi, mereka pasti mencapai klimaks.

“Uh!” erang Ojan dan Mama bersamaan. Kontol Ojan berdenyut-denyut memompa pejuh ke anus Mama. Ia menunggu kontolnya berhenti bedenyut, lalu mencabut kontolnya. Anus Mama langsung menutup rapat.

“Weh gila. Lega banget,” ujarnya. “Capek, tapi lega.”

Keempat anak itu tertawa senang. Mereka baru saja belajar sesuatu yang menyenangkan.

Mama terlihat kelelahan. Ia mengelap pejuh yang berceceran di memek dan anusnya.

Kulihat kontol anak-anak itu masih berdiri tegak.

“Masih mau lagi gak?” tanyaku ke anak-anak itu.

“Mau! Mau! Mau!” jawab mereka serempak.

“Kalau gitu, kalian berempat langsung saja pakai Ibu ini sekalian,” kataku. “Terserah kalian mau masukin burung kalian ke mana.”

“Enaknya gimana posisinya, Kak?” tanya Abdul.

Aku menyuruh Abdul terlentang di tanah.

“Begini?” tanya Abdul. Ia memejamkan mata karena silau.

“Bagus, sekarang ayo Bu duduk di atas burung anak itu,” perintahku.

Mama langsung mengerti apa yang aku mau. Ia jongkok di atas kontol Abdul. Tangannya memegang kontol Abdul, lalu dimasukkan ke memeknya.

“Terus yang lain gimana dong?” Iqbal memandang iri temannya.

“Iqbal berdiri di sebelah Ibu ini. Ayo Amir, kamu berdiri di sebelah kanan ya,” kataku.

Kedua anak itu menurut. Mereka berdiri di sebelah Mama. Mama segera menggenggam kontol mereka.

“Terus aku gak kebagian dong?” Ojan terlihat kecewa.

“Kamu berdiri di depan Ibu ini,” kataku. “Arahin burungmu ke mulut Ibu ini. Nah pinter!”

Mama mengulum kontol Ojan. Anak itu memejamkan matanya. Pasti ia keenakan.

“Nah, ayo dimulai proses berkembang biaknya,” kataku sambil mengelus jilbab Mama.

Mama bergerak naik turun di atas Abdul. Kedua tangannya mengocok kontol Iqbal dan Amir. Sedangkan mulutnya sibuk mengulum kontol Ojan.

“Wah gilaaaaaa!” seru Ojan. Ia memegang kepala Mama, lalu ditekannya kuat-kuat sampai wajah Mama menempel di perutnya.

Amir dan Iqbal mengerang keenakan. Mereka berdiri sambil berkacak pinggang, sembari menikmati kontol mereka dikocok Mama.

“Tangannya enak juga ya,” komentar Amir.

“Lagi! Lagi! Lagi!” Abdul menyemangati Mama yang memompa kontolnya dari atas. “Posisi begini lebih enak!”

“Burungku meledak lagi!” teriak Ojan. Ia menekan kepala Mama dalam-dalam. Mata Mama melotot. Lehernya bergerak seolah sedang menelan sesuatu.

Ojan mencabut kontolnya dari mulut Mama. Kepala kontolnya berlumuran pejuh yang bercampur air liur Mama.

Mama menutup mulutnya, lalu menelan pejuh Ojan. Kuelus kepala Mama dengan bangga. “Nah begitu dong.”

“Burungku juga mau meledak!” teriak Iqbal. “Ugh!”

Kocokan Mama bertambah cepat. Kedua anak itu sampai berjinjit.

Kontol Iqbal memuncratkan pejuh. Di saat hampir bersamaan, Amir juga klimaks. Pejuh mereka muncrat dan mengenai wajah Mama.

“Aku juga nih!” seru Abdul dari bawah. Pinggulnya terangkat. Tak berapa lama kemudian, pejuhnya berleleran di memek Mama.

Mama berdiri, lalu duduk di atas batu sebelumnya. Napasnya masih memburu. Ia terlihat lelah sekali.

Keempat anak itu terkapar di atas tanah. Mereka saling berpandangan, lalu tertawa bersama.

“Wah pengalaman yang menyenangkan,” ujar Amir.

“Sekarang kalian lebih berpengalaman dari teman-teman kalian di sekolah. Mereka mungkin baru belajar ini ketika sudah SMA,” kataku.

Aku memandang Mama yang sedang membetulkan posisi jilbabnya. “Yuk Ma, bersihkan dulu badan Mama. Abis itu kita balik ke rombongan.”

Mama membasuh tangan dan wajahnya dengan air minum yang kubawa. Pejuh anak-anak itu ikut larut bersama air. Setelah membersihkan diri, wajah Mama jadi lebih segar.

Rombongan sekolah kami sudah tidak terlihat. Pastinya mereka sudah sampai di pertengahan jalan balik ke sekolah.

Sebelum pergi, kupandangi anak-anak beruntung yang masih terkapar itu. Ah, andai saja aku sudah seberuntung mereka dari dulu.

Kutampar pantat Mama supaya langkahnya lebih cepat. Kami pun bergerak menyusul rombongan sekolah.

Bersambung…

Langkah Mama agak sempoyongan. Ia bilang kedua kakinya lemas sekali. Aku sampai harus membopongnya agar ia bisa berdiri tegak. Sambil menyangga badannya, sesekali aku mencubit pantat telanjangnya karena gemas.

Meski langkah kami melambat, tapi aku bisa melihat barisan belakang rombongan sekolahku. Langkah mereka pun melambat. Tampaknya mereka sudah kelelahan.

Orang pertama yang melihat kami adalah Indra. Ia menghampiri kami. “Kemana saja kamu. Aku kira kau pulang duluan,” tanya Indra. Ia menatap Mama heran. “Loh, ibu kamu kenapa?”

“Kecapekan doang,” jawabku singkat. “Bantuin bopong dong.”

Indra kelabakan. “Mau sih bantuin. Tapi nanti badan ibumu terpegang.”

Mama mengangguk. “Bantuin aja. Gak apa-apa kok.”

Wajah Indra berubah ceria. “Oke kalau begitu. Aku bantu pegangin di mana?”

Indra akhirnya membantu membopong Mama di sebelah kiri, sedangkan aku di sebelah kanan. Tangan kami saling mengapit Mama supaya Mama bisa berdiri.

Selama membantu Mama berjalan, wajah Indra tampak tegang. Aku melihat kedua matanya melirik ke tetek Mama yang hampir menempel wajahnya. Meski ia berusaha menjauhkan wajahnya dari tetek Mama, tapi tetap saja ia memonyongkan bibir setiap kali pentil Mama mendekati wajahnya.

“Gimana perjalanannya?” tanya Mama ke Indra.

“Ah perjalanan ya.” Indra langsung menegakkan badan. “Perjalanannya asik-asik aja Bu. Tapi jujur saja agak membosankan karena rutenya ini-ini melulu. Saran saya, jalan santai berikutnya kita coba rute lain.”

“Yah jalan desa cuma ini-ini doang,” sahut Mama. “Mungkin nanti kita jalan-jalan di desa lain saja.”

“Ya boleh juga,” kata Indra. Keringat bercucuran di keningnya. Aku tertawa dalam hati karena tahu penyebab ia berkeringat. Tangannya melorot ke bawah dan hampir menyentuh pantat Mama. Entah dia sengaja menurunkan tangannya atau karena punggung Mama yang licin karena keringat.

“Kayaknya susah juga nih nahan punggung Mama. Licin banget sih,” kataku. “Kami tahan pantat Mama aja ya? Pasti lebih gampang pegangnya deh.”

“Pa-pantat!” Indra terkejut sampai lupa mengerem mulutnya. “Pegang punggung Ibu gak apa-apa kok. Saya masih bisa tahan punggung Ibu.”

Aku menepuk jidat. Entah karena saking malunya atau dia keterlaluan polos, sampai-sampai tidak mau mengambil kesempatan yang kuberikan. Kulirik Mama, lalu kuanggukkan kepala. Mama balas mengangguk. Ia mengerti maksudku.

“Indra pegang pantat saya saja. Gak apa-apa kok,” ujar Mama. “Lagian pantat saya memang lebih berat daripada yang lain.”

“Yang benar Bu?” Indra tidak percaya dengan kata-kata Mama. “Saya takut dianggap tidak sopan kalau memegang pantat Ibu.”

“Tidak sopan kalau kamu tidak izin. Ini ‘kan saya kasih izin kamu,” ujar Mama.

“Baiklah kalau begitu.” Indra menurunkan tangannya sampai ke pantat Mama. Telapak tangannya memegang bongkahan pantat Mama. Meski telapak tangan Indra tergolong lebar, tapi terlihat kecil jika dibandingkan dengan ukuran pantat Mama.

“Ka-kalau Ibu merasa tidak nyaman, tinggal bilang saja ya,” ujar Indra.

Aku juga ikut memegang pantat Mama. Sama seperti punggungnya, pantat Mama juga licin karena keringat.

“Kalau susah megangnya, masukin saja jari-jarimu ke belahan pantatnya biar lebih gampang,” kataku.

Indra melotot ke arahku. “Ini saja sudah menegangkan. Aku masih bisa pegang kok.”

Mama membenarkan ucapanku. “Dia benar. Kalau kamu susah megang, selipkan saja jari-jarimu ke pantat saya.”

“Tapi Bu….”

“Udah deh. Selipkan saja,” ujar Mama.

Indra menuruti perintah Mama. Jari-jari tangannya bergerak masuk ke dalam belahan pantat Mama. Pantat itu refleks menjepit begitu ada benda asing masuk.

“Aduh!” seru Indra.

“Kenapa?” tanyaku dan Mama hampir bersamaan.

“Gak apa-apa. Cuma kaget saja jariku dijepit pantat.”

Selama perjalanan, wajah Indra perlahan-lahan berubah jadi lebih santai. Jari-jari tangannya masih dijepit pantat Mama. Mulutnya komat-kamit seperti hendak mengucap sesuatu, tapi ia tidak bersuara. Aku yakin pikirannya pasti sedang melayang-layang membayangkan sedang melakukan sesuatu yang nakal ke Mama.

Tiba-tiba Mama berhenti melangkah. Kedua matanya terpejam. Otot pantatnya mengejang.

“Mama kenapa?” tanyaku.

Belum sempat Mama menjawab, Indra melepas pegangannya. Wajahnya cemas.

“Aduh maaf Bu. Jari-jari saya tidak sengaja masuk lebih dalam,” kata Indra.

“Ti-tidak apa-apa. Saya cuma geli sedikit,” jawab Mama.

“Mama yakin gak apa-apa?” tanyaku sambil mengelus punggung Mama. “Mungkin jari Indra terlalu dalam masuk ke pantat Mama. Siapa tahu pantat Mama terluka.”

“Gak mungkin! Aku cuma masuk sedikit lebih dalam!” seru Indra.

“Mendingan dicek dulu,” kataku sambil mengedipkan mata ke Mama. “Coba Mama nungging. Biar kita bisa periksa.”

Mama mencodongkan badan ke depan. Pantatnya diangkat tinggi. “Coba kalian periksa,” ujar Mama.

Indra terpaku melihat pemandangan di depannya. Matanya bergerak mengikuti lekukan punggung Mama dan berhenti di pantat Mama yang menantang langit.

Aku berjongkok sambil mengamati belahan pantat Mama. “Terlalu gelap Ma. Coba dibuka lebih lebar biar kelihatan.”

Mama memegang pinggiran belahan pantatnya, lalu membukanya lebar-lebar. Lubang anus yang tadi gelap kini merekah.

Indra masih terpaku di samping Mama. Ia tidak berani melihat Mama lebih jauh.

“Eh kamu ngapain berdiri di situ? Bantuin periksa pantat ibuku yuk,” kataku.

“Kamu saja yang periksa,” sahut Indra. “Aku bukan anaknya, jadi gak berhak lihat-lihat yang lain.”

“Indra tolong bantu anak saya,” ujar Mama. “Siapa tahu mata kamu lebih tajam daripada mata anak saya.”

“Tapi….”

“Kamu itu banyak tapinya. Mau bantu periksa gak?” tanyaku. Lama-lama anak ini bikin jengkel juga.

Akhirnya ia mengiyakan ajakanku. Ia ikut jongkok di sebelahku.

“Anusnya sempit banget. Coba masukin jarimu biar lubangnya agak lebar,” kataku.

Kali ini Indra tidak menolak. Ia mencolok anus Mama dengan jari telunjuknya. Anus Mama langsung menjepit benda asing yang masuk ke dalamnya.

“Wow!” Indra takjub melihat jari telunjuknya ditelan anus Mama.

“Ada lukanya gak?” tanyaku.

Indra mengamati pinggiran lubang Mama. “Kayaknya sih gak ada. Dicolok gini makin sempit, jadi makin gak kelihatan.”

“Kalau gitu coba dibuka lebar pakai tanganmu,” kataku.

Indra mengeluarkan jarinya dari anus Mama. Kedua tangannya memegang pinggiran belahan pantat Mama, kemudian ia membukanya lebar-lebar. Bagian yang gelap itu kini jelas terlihat.

Leher Indra bergerak naik turun. Matanya menatap lurus ke anus Mama yang merekah.

“Sudah kelihatan nih,” ujar Indra.

“Udah dicek belum?” tanyaku.

“Kayaknya sih gak apa-apa,” ujar Indra sambil mengamati anus Mama.

“Coba lihat lebih dekat, siapa tahu ada luka kecil yang gak kelihatan,” kataku.

“Dari sini udah kelihatan semua kok.”

“Coba dulu deh,” kataku setengah memaksa. Anak ini kayaknya perlu didorong supaya mau beraksi.

Indra memajukan kepalanya. Wajahnya cuma beberapa centimeter mendekati anus Mama.

“Se-sejauh ini sih baik-baik aja,” ujarnya.

Kudorong kepala Indra sampai wajahnya menempel ke pantat Mama. Ia terhenyak dan langsung menjauhkan wajahnya.

“Waduh maaf Bu. Itu tadi bukan saya!” Ia menatapku. Aku tak kuasa menahan tawa.

“Gimana rasanya?” tanyaku. Indra diam saja.

“Udah deh gak apa-apa kok,” kata Mama sambil menegakkan badan. “Memang dia suka usil begitu.”

Indra memegang selangkangannya. “Maaf Bu, saya mau buang air kecil dulu.”

Aku tahu dia berbohong. “Yang bener mau kencing?”

“Beneran!” serunya.

“Mau kencing atau mau coli?” tanyaku lagi.

“Kuhajar kau nanti,” ujar Indra geram.

“Kalau mau coli, lakukan di sini aja. Biar ibuku yang bantu,” kataku sambil melirik ke Mama. “Iya ‘kan Ma?”

“Yang bener aja kamu, masa aku coli di sini?” Indra menatapku kesal. Tangannya terkepal.

“Mumpung ada tontonan yang asik,” kataku sambil menepuk pantat Mama. “Kamu pasti sange lihat ibuku.”

“Ya nggaklah!” seru Indra.

“Mulutmu beda sama kontolmu.” Kutunjuk tonjolan besar di selangkangan Indra. Ia melihat ke bawah, lalu menutupi tonjolan itu dengan kedua tangannya.

“Ini wajar saja karena aku cowok,” kata Indra.

“Daripada coli sambil ngayal, mending coli depan ibuku,” kataku. “Gimana Ma?”

Mama menundukkan kepala. “Boleh saja. Mama tahu di usia kalian pasti hasratnya meledak-ledak. Gak ada salahnya masturbasi.”

Kedua kaki Indra merapat. “Ta-tapi apa bener saya boleh coli di depan Ibu?”

Mama mengangguk. “Sekalian buat kamu belajar anatomi tubuh wanita.”

Tahu-tahu celana Indra sudah melorot. Napasnya mendengus-dengus. Kedua matanya menatap tajam ke Mama. Kontolnya menjulang kaku, siap membuahi siapa saja di depannya.

“Saya udah gak tahan lagi!” serunya. Ia menggenggam batang kontolnya yang mengeras, lalu mengocoknya cepat-cepat.

“Uh, Bu Kepala Sekolah seksi banget!” serunya sambil terus mengocok.

Tanpa diperintah, Mama duduk di atas tanah. Kedua kakinya terkangkang. Bibir memeknya ikut melebar.

Aku tersenyum bangga. Pelan tapi pasti, wanita mana pun pasti akan nakal kalau dikasih kesempatan.

Pemandangan seksi di depannya membuat kontol Indra semakin memerah. Urat-urat di batang kontolnya mengejang. Kocokannya semakin cepat. Sebentar saja, pejuhnya bermuncratan keluar.

“Aduh enaknya!” erang Indra.

Aku mengipas-ngipas memek Mama dengan tangan. “Udahan? Gak mau coba memek ibuku?” tanyaku ke Indra.

Indra mengurut kontolnya yang masih keras. “Yang bener?”

“Sekali-sekali gak apa-apalah,” kataku. “Jarang loh ada kesempatan kayak gini.”

“Tapi itu ibu kamu,” ujar Indra. Matanya menatap lurus ke memek Mama yang berwarna kecokelatan.

“Seks bagus buat melatih kedewasan. Iya ‘kan Ma?” ujarku sambil melirik ke Mama.

Mama mengangguk. Kedua pahanya terkangkang lebih lebar. “Gimana Indra? Mau melatih kedewasaan kamu?”

Kontol Indra yang tadinya sudah agak loyo mulai mengeras lagi. Ia bolak-balik menatap aku dan Mama.

“Mau!” serunya.

Kena juga dia akhirnya, pikirku.

Indra mendekati Mama sambil mengocok kontolnya. Begitu dekat, Mama meraih kontol Indra lalu mengocoknya.

“Gimana? Enak?” tanya Mama.

Indra memalingkan muka. Tampaknya ia malu-malu. “Enak banget Bu.”

Tangan kanan Mama mengocok kontol Indra, sementara tangan kirinya mengusap-usap buah zakar yang bergelantungan di bawah kontol Indra.

“Aduh, aduh.” Indra mendesah dengan mata tertutup. Pikiran anak itu pasti sudah terbang tinggi melintasi cakrawala.

Mama mengecup kepala kontol Indra. Ia membuka mulut, kemudian memasukkan batal kontol remaja tanggung itu ke mulutnya.

“Ah enak banget Bu!” seru Indra. Ia memegang kepala Mama kuat-kuat sampai jilbab Mama tertarik ke atas.

Kepala Mama bergerak maju mundur. Batang kontol Indra basah oleh liur Mama. Lidah Mama bergelayut di batang kontol Indra yang berurat.

“Saya mau keluar lagi!” erang Indra. Ia menekan kepala Mama sampai seluruh batang kontolnya tenggelam di mulut Mama. Otot-otot badannya mengejang. Tak lama kemudian, otot-otot badannya melemas. Ia mencabut batang kontolnya dari mulut Mama. Kepala kontolnya berlumuran pejuh. Sebagian pejuh itu berceceran di bibir Mama.

Mama mendongak. Lehernya bergerak menelan pejuh di mulutnya.

Kutepuk-tepuk kepala Mama. “Mama pinter,” pujiku.

Indra terduduk lemas di atas tanah. Kontolnya menggelantung sampai ujungnya menyentuh tanah. Kedua matanya masih terpejam. Ia masih menikmati sensasi yang baru saja ia rasakan.

“Wah gila,” komentarnya setelah setengah sadar.

“Gimana? Masih mau?” tanyaku sambil menepuk memek Mama.

“Mau istirahat dulu deh. Capek bener,” ujar Indra.

“Lemah amat. Baru juga disepong,” ejekku. “Cobain nih memeknya. Lebih enak daripada mulut.”

Kubuka memek Mama lebar-lebar dengan jari tanganku. “Masih basah dan hangat. Rugi kalau gak dicoba sekarang.” Telahdewasa.com

“Tapi capek banget nih,” keluh Indra.

“Ma, bangkitin lagi dong semangatnya,” kataku.

Mama menghela napas panjang, kemudian merangkak mendekati Indra.

“Loh Bu Kepala Sekolah mau apa?” Indra kebingungan.

“Udah kamu santai saja,” kata Mama sambil memegang batang kontol Indra yang terkulai lemas.

Mama melangkahi Indra, lalu duduk di atas kontolnya. Memeknya digesek-gesek ke kontol Indra. Jembut mereka saling bersatu padu.

“Ugh!” erang Indra. Ia memegang pinggang Mama. Kontol yang tadinya lemas, pelan-pelan mulai merangkak naik.

Mama menggesek memeknya maju mundur. Mungkin karena sudah insting alamiah manusia, pinggul Indra ikut bergerak maju mundur meski gerakannya terbatas karena ia dalam posisi duduk.

Aku ikut berjongkok sambil menyaksikan mereka. Kontolku ikut mengeras karena melihat goyangan pinggul Mama yang meliuk-liuk menggairahkan. Rasanya ingin bergabung sama mereka, tapi khusus hari ini aku membiarkan sahabatku menikmati Mama seorang diri.

Sekitar sepuluh menit kemudian, kontol Indra sudah menemukan semangat hidup kembali. Meski tidak sekeras sebelumnya, tapi kadar kekerasan kontol itu sudah cukup buat menerobos memek.

Mama sedikit menaikkan pinggulnya sampai melewati kontol di bawahnya. Memek Mama terbuka, siap mencaplok kepala kontol di bawahnya. Pelan tapi pasti, Mama menurunkan pantatnya. Kontol Indra tertelan memek Mama.

“Ah ini lebih enak,” ujar Indra. Napasnya terengah-engah lagi.

Mama bergerak naik turun. Pantatnya yang tebal menimpa kedua paha Indra. Gesekan antara kulit dan keringat mereka menciptakan suara seperti kaki yang menginjak lumpur. Ceprat, ceprot, ceprat, ceprot.

Mama memeluk kepala Indra sampai kepala remaja itu terbenam di antara kedua teteknya. Indra balas memeluk pinggang Mama. Keduanya saling memeluk erat satu sama lain.

“Bu, saya mau keluar lagi,” ujar Indra. Suaranya nyaris tidak terdengar karena seluruh wajahnya tertutup tetek Mama.

“Keluarkan saja, jangan ditahan,” balas Mama.

“Tapi kalau Ibu hamil gimana dong?”

“Udah, itu kita pikirin nanti,” kata Mama sambil melirikku.

Goyangan pinggul Mama semakin cepat, begitu pula gerakan pinggul Indra. Kaki Indra menjulur ke depan, mengejang sebentar, kemudian perlahan-lahan mengendur.

Indra menarik wajahnya keluar dari belahan tetek Mama. Seluruh wajahnya terlumuri keringat dari tetek Mama.

“Wah enak banget!” serunya.

Mama berdiri. Kontol Indra yang langsung tercabut keluar. Pejuh Indra merembes keluar dari sela-sela bibir memek Mama.

Indra merebahkan badan di atas tanah. Matanya terpejam dan bibirnya tersenyum. Dia baru saja menikmati rasanya jadi pria dewasa.

“Ibumu luar biasa,” ujar Indra.

Aku menyiram memek Mama dengan air botol untuk membersihkan pejuh yang menempel. Walau sudah banyak mengentot hari ini, tampaknya Mama masih kuat berjalan.

“Kami mau lanjut nih. Kamu mau ikut gak?” tanyaku.

“Kalian duluan aja deh. Aku mau istirahat dulu. Asli, kakiku gak kuat lagi,” ujar Indra. Ia menguap lebar, kemudian tertidur.

“Yah masih muda sudah lemah,” kataku. “Ya sudah kami duluan dulu. Sampai ketemu di sekolah.”

Karena harus melayani Indra, kami jadi jauh lagi dari rombongan.

Bersambung…

Setelah berjalan kaki sekitar dua puluh menit, aku sudah bisa melihat area sekolah dari kejauhan. Rombongan sekolahku juga terlihat dan mereka sudah hampir mendekati gerbang sekolah.

Teriknya matahari membuat kulit Mama semakin kecokelatan. Aku mengajak Mama berjalan di bawah bayang-bayang pepohonan yang teduh.

“Gimana perasaan Mama?” tanyaku. “Masih malu atau biasa aja?”

Mama menunduk. “Malu tapi gak semalu kemarin.”

“Bagus. Berarti Mama sudah terbiasa,” kataku sambil menepuk pantatnya. “Mama hebat sudah ngentotin banyak orang hari ini. Nanti kita coba yang lebih seru.”

Rombongan sekolah sudah menghilang di balik gerbang. Aku dan Mama mempercepat langkah karena sudah lelah.

Sesampainya di gerbang, kami bertemu Pak Paijo yang sedang meminyaki engsel pintu gerbang. Bapak itu langsung berdiri tegap saat melihat Mama lewat di belakangnya.

“Siang Bu!” serunya. Matanya menatap lurus ke pentil Mama yang mengacung ke arahnya.

“Siang Pak Paijo,” jawab Mama. Kami terus berjalan meninggalkan Pak Paijo yang masih memandangi Mama.

Aku dan Mama mendinginkan diri di kantor. Aku duduk di sofa, sementara Mama membilas kaki dan tangannya di toilet kantor. Ia keluar dari toilet sambil mengelap sekujur tubuhnya dengan handuk. Tubuh Mama yang tadi kotor dan berkeringat, kini bersih kembali.

Mama melepas jilbabnya, kemudian menggantungnya di dinding. Rambutnya yang panjang sepinggang tergerai. Aku berdecak kagum. Alangkah beruntungnya aku bisa memiliki dan memperbudak wanita secantik Mama!

“Baju Mama bau banget,” katanya sambil melepas pakaiannya. Ia berdiri di depanku dalam keadaan telanjang bulat. “Mana Mama gak bawa baju ganti pula.”

“Solusinya gampang,” kataku sambil tersenyum. “Mama gak usah pakai baju sekalian.”

“Tapi Mama harus kasih pidato dulu buat bubarin acara ini,” kata Mama.

“Apa bedanya? Toh mereka sudah lihat tetek dan memek Mama. Beberapa juga sudah nyicip memek Mama,” kataku. “Sudahlah. Sekalian melatih keberanian Mama buat tugas-tugas yang lebih besar nanti.”

Aku bangkit dari sofa. Kuambil baju Mama yang tergeletak di lantai, lalu kupotong-potong dengan gunting besar dari meja kerja Mama. Mama memandangi potongan-potongan kain kecil yang berjatuhan.

“Oh iya, jilbab Mama juga bau pastinya. Hari ini Mama gak usah pakai jilbab dulu. Lagian Mama lebih cantik kalau rambutnya terurai begitu,” kataku.

Murid-murid dan para guru sudah menunggu kehadiran Mama di lapangan sekolah. Wajah mereka tampak cemberut karena harus berpanas-panasan.

Mama melangkah ke lapangan. Aku mengikutinya dari belakang, tapi aku buru-buru lewat ke samping dan berlari ke barisan belakang murid. Aku ingin melihat ekspresi Mama dari sudut pandang para murid.

Guru-guru dan para murid menoleh ke Mama yang sudah masuk ke lapangan. Para guru berbisik-bisik dengan pandangan mengejek. Teman-temanku juga berbisik, tapi sambil cekikikan.

“Gile beruntung banget kita hari ini,” ujar murid dari kelas sebelah. “Sayang si Angga bolos sekolah. Pasti dia gak percaya ini.”

Mama berdiri di depan barisan murid. Guru-guru tidak ada yang berani menatap Mama. Aku duga mereka pasti malu membayangkan diri mereka berada di posisi Mama.

Mama terbatuk-batuk sebentar. “Gimana rasanya habis olahraga?” tanya Mama ke barisan murid. “Seger? Laper? Haus? Atau malah ngantuk?”

“Seger karena ngelihat Ibu!” seru salah satu murid. Yang lainnya tertawa.

Mama tidak menggubris. Ia meneruskan pidato. “Ibu tahu kalian suka melihat Ibu sekarang, terutama yang cowok-cowok. Tapi Ibu janji nanti kalau Ibu sudah sembuh dari penyakit ini, Ibu bakal berpakaian normal lagi.”

“Santai aja Bu, kami seneng kok!” seru murid lainnya. Yang lain lagi-lagi tertawa.

Mama terbatuk-batuk lagi. “Oke, Ibu lihat kalian sudah capek. Jadi Ibu tutup acara jalan santai ini. Selamat istirahat. Assalamualikum warrahmatullahi wabarakatuh.”

Murid-murid perempuan langsung membubarkan diri, sedangkan murid laki-laki masih berdiri di lapangan sambil memerhatikan Mama.

“Bayangin, telanjang bulat di depan kita!” seru murid di belakangku.

“Wah gila sih ini. Harusnya ada yang punya hape buat merekam,” timpal yang lain.

“Kita miskin sih, jadi pada gak punya hape,” ujar yang lain.

Aku tertawa dalam hati. Enaknya berada di desa pedalaman adalah smartphone masih jadi barang mahal sehingga berita ini tidak cepat menyebar keluar. Setidaknya kondisi masih terkendali.

“Eh, aku gak nyangka Ibu kamu jadi senakal itu,” ujar suara di sebelahku. Rupanya Indra sudah memulihkan diri dan muncul di saat terakhir. “Pasti ada yang gak beres di antara kalian nih.”

“Ah itu cuma pikiranmu saja. Biasa-biasa aja kok. Dia memang suka mengajari anak-anak jadi dewasa,” kataku.

“Masih gak masuk akal. Aku yakin ada yang gak beres. Tapi gak apa-apa sih. Ibumu binal sekali,” ujar Indra. Ia menepuk-nepuk selangkangannya. “Baru kali ini aku ngerasain memek cewek. Rasanya lega banget.”

“Mau coba lagi?” tanyaku.

“Mau! Mau! Mau!” seru Indra. “Kapan?”

“Yah kapan-kapan,” jawabku sambil terkekeh. “Kalau sudah nyobain memek, coli jadi gak enak lagi.”

Indra memegang pundakku, lalu berbisik. “Aku curiga kamu sudah ngentot ibumu sendiri.”

Aku tersenyum. “Memang kenapa?”

“Jadi kamu beneran sudah ngentot ibumu sendiri?”

“Aku belum jawab loh,” kataku. “Aku cuma tanya, memangnya kenapa?”

“Ah kamu malah nanya balik. Aku cuma tanya kamu sudah ngentot ibumu atau tidak?” Nada suaranya jengkel.

“Baiklah aku jujur sama kamu. Iya, aku sudah ngentot ibuku,” bisikku. “Tapi ini cuma rahasia kita.”

“Wah gila bener.” Indra menggelengkan kepala. “Kita sudah lama berteman dan nakal bersama, tapi kali ini kamu bener-bener gak waras.”

Aku mengajak Indra pergi ke lorong di samping kelas yang sepi. Murid-murid menatapku sambil berbisik-bisik. Anehnya, aku tidak merasa malu, malah bangga!

“Tapi bagaimana bisa kamu mengentot ibumu sendiri? Dan sejak kapan?” tanya Indra.

“Memang dia yang binal, aku cuma nurutin apa yang dia mau,” kataku berbohong. “Baru-baru ini menunjukkan kebinalannya. Padahal sebelumnya dia biasa-biasa saja. Aku juga gak nyangka ibuku bisa seperti itu.”

“Lalu soal penyakit kulitnya itu?”

“Itu cuma karangannya biar bisa telanjang di jalan,” jelasku.

“Jadi ibu kamu memang nakal,” gumam Indra sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau begitu, apa aku boleh main sama ibumu lagi?”

Kutatap mata sahabatku itu. “Kamu memang sahabatku, tapi dia ibuku dan dia milikku. Kamu boleh main sama dia, tapi cuma kalau aku izinkan.”

Yah, padahal aku mau main sama ibumu lagi.” Indra mendengus kecewa. “Memang bener katamu. Ngentot sama cewek jauh lebih enak daripada coli.”

“Gak kepikiran mau main sama ibumu?” tanyaku.

“Ya nggaklah. Aku masih waras ya!” seru Indra.

“Sebenernya ibumu gak jelek-jelek amat. Memang dia gak sesemok ibuku, tapi badannya masih lumayan. Coba sesekali godain ibumu. Kalau hoki, mungkin kamu bisa kentot ibumu. Kamu gak perlu coli lagi,” kataku.

Indra menggeleng. “Gak. Itu gak bakal terjadi. Aku suka ibumu, tapi aku bakal mau kayak kalian.”

Ah mau sampai kapan kamu ngotot begitu, pikirku.

Karena jalan santai sudah berakhir, maka berakhir pula kegiatan sekolah. Mama cuma menyelesaikan beberapa berkas laporan, lalu mengajakku pulang.

Di sepanjang perjalanan pulang, aku melamunkan apa saja kegiatan-kegiatan asik yang harus dilakukan Mama.

Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras lagi.

Sore menjelang magrib, aku membonceng Mama naik sepeda motor ke desa sebelah untuk menjalankan rencana yang aku pikirkan siang tadi. Desa yang akan kami datangi ini berbeda dengan desa tempat tinggal Bagas, meski sama-sama berada di pelosok. Tapi desa ini jauh lebih ramai daripada desa Bagas karena berdekatan dengan jalur distribusi barang.

Siang tadi Mama sudah seberani itu untuk telanjang di sekolah, bahkan di jalan. Aku harus terus mengasah keberaniannya supaya dia tidak merasa malu lagi tubuhnya dilihat orang-orang. Pulang dari sekolah tadi, aku membuat daftar desa-desa yang bakal kami datangi.

Untuk sementara ini, aku perlu membatasi kegiatan telanjang Mama di desaku supaya berita kebinalan Mama tidak terlalu menyebar. Pokoknya jangan sampai Ayah tahu kelakuan kami.

“Masih jauh?” tanya Mama. Suaranya kurang jelas terdengar karena ia memakai masker medis. Ia tidak tahu ke mana tujuan kami. Telahdewasa.com

“Sebentar lagi sampai,” jawabku. Sepeda motor kami melaju lancar karena jalan tanah di wilayah itu kering dan padat. Satu-satunya masalah di situ jangan sampai hujan deras saja.

Sebuah gapura kecil terlihat di kejauhan. Gapura itu yang membatasi desa yang kami lewati dengan desa yang kami tuju.

Aku injak rem sepeda motor. Kami berhenti beberapa meter dari gapura.

“Kenapa berhenti di sini?” tanya Mama. Ia melihat ke gapura di depannya. “Oh Mama sudah lama sekali gak ke sini.”

“Lepas celana Mama,” perintahku.

“Mama sudah duga kamu bakal nakalin Mama di sini,” kata Mama. Meski wajahnya cemberut, ia tetap melepas celananya.

“Gulung baju Mama sampai tetek Mama kelihatan,” perintahku lagi.

Mama menurut. Ia meraih bagian bawah bajunya, kemudian menggulungnya ke atas sampai kedua teteknya menyembul keluar. Bajunya cuma menggantung di pundaknya.

“Di dalam sana rame loh,” kata Mama sambil menunjuk ke gapura.

“Justru di situ serunya,” kataku sambil menggulung celana Mama supaya muat dimasukkan ke kantong plastik yang sudah aku siapkan. “Mama harus terbiasa dilihat orang banyak. Semakin banyak, semakin bagus.”

Aku menyuruh Mama naik ke sepeda motor lagi. Sebelum menyalakan mesin sepeda motor, aku minta Mama untuk membuka anus lebar-lebar.

“Aku tahu jalan di sekitar sini. Kita mulai dari jalan yang agak sepi dulu. Mama gak usah khawatir,” kataku sambil memacu sepeda motor. Kami pun melesat masuk ke dalam desa.

Dari gapura, jalan tanah yang kami lalui terpecah menjadi tiga jalur. Jalur kiri, tengah, dan kanan. Aku mengambil jalur tengah karena jalur itu mengarah ke perkebunan bawang merah yang menjadi penghasilan utama warga di desa itu. Seingatku, di antara kedua jalur lain, jalur itu jauh lebih sepi.

Kupelankan laju sepeda motor supaya Mama bisa duduk dengan nyaman. Kedua tangannya menjulur ke belakang supaya bisa membuka lubang anusnya, jadi ia tidak bisa berpegangan erat kalau ada guncangan.

Semakin jauh berjalan, pepohonan di kiri dan kanan jalan mulai tergantikan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan. Mama mulai bergerak-gerak gelisah.

“Kamu yakin ini aman?” tanya Mama.

“Aman Ma. Mama fokus saja ngebuka anus, soal aman atau tidak, biar aku yang pikirin,” jawabku.

Seorang wanita yang sedang menjemur seprai di halaman rumah tampak kaget melihat kami lewat. Ia tidak berteriak, cuma melotot melihat kami.

Aku terbahak-bahak melihatnya. “Mama lihat ekspresinya?”

“Mama gak sempat lihat karena malu,” sahut Mama.

“Ah masa gitu aja malu. Tadi siang Mama udah ngentot banyak orang loh,” kataku.

Jarak rumah-rumah di sekitar mulai saling mendekat, pertanda banyak orang yang tinggal di situ. Dalam hati, aku merasa sedikit cemas kalau saja ada orang yang tidak terima dengan kelakuan tidak senonoh Mama, lalu mengejar kami. Aku usir perasaan cemas itu dengan tertawa keras-keras.

“Kamu gak apa-apa?” tanya Mama. Barangkali ia menganggapku mulai gila.

“Gak apa-apa Ma.” Kupacu mesin sepeda motor supaya sedikit melaju.

Kami melewati rombongan ibu-ibu yang mengenakan gamis dan membawa kantong plastik berisi makanan. Mungkin mereka baru saja pulang dari pengajian.

“Astagfirulloh! Apaan tuh!” seru salah satu ibu-ibu itu ketika kami lewat.

“Ya ampun kelakukan orang zaman sekarang!” seru yang lain.

Mereka terus mengamati sampai kami menghilang di belokan.

“Lucu bener ekspresi mereka,” komentarku. “Perasaan Mama gimana pas dilihat mereka?”

“Ma-malu sih,” kata Mama.

“Kalau gitu kita harus cari orang lain supaya Mama gak malu lagi,” kataku.

Di kejauhan, aku melihat gubuk yang terbuat dari kayu ala kadarnya dan tanpa pintu. Ada beberapa anak cowok berseragam SMA yang duduk di gubuk itu. Aku pikir mereka cocok buat melatih keberanian Mama.

Aku berhenti agak jauh dari gubuk itu, lalu menyuruh Mama turun.

“Mama lihat anak-anak itu?” kataku sambil menunjuk ke gubuk. “Mama harus susuin mereka semua.”

“Hah? Tapi bentar lagi magrib. Kalau banyak petani pulang gimana?”

“Ya berarti Mama harus cepat-cepat susuin mereka,” jawabku santai. “Udah deh, Mama jangan kebanyakan menunda, nanti petani pada pulang beneran.”

Kutampar pantatnya biar Mama bergerak maju.

Mama menggerutu, tapi ia tetap melaksanakan perintahku. Ia berjalan menuju ke arah gubuk sambil menutupi memeknya dengan kedua tangan. Ia menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada orang lewat.

Saatnya kamera smartphone-ku beraksi. Kegiatan Mama harus didokumentasikan buat kenang-kenangan. Mungkin dokumentasi itu juga bakal berguna di masa depan.

“Wih siapa tuh!” seru salah satu anak SMA itu. Kedua rekannya keluar dari gubuk. Ternyata jumlah mereka cuma tiga orang.

“Orang gila kalik,” ujar yang lain.

“Atau lonte lepas,” sahut anak SMA satunya.

“Eh tapi bodinya oke juga tuh,” ujar anak SMA pertama. “Teteknya gede amat.”

“Coba kamu deketin,” ujar salah satu anak itu sambil mendorong temannya.

“Takut ah, siapa tahu dia penyakitan,” ujar anak yang didorong.

“Tapi bodinya mulus gitu.”

Mereka saling dorong mendorong sampai Mama berdiri di depan mereka.

“As-assalamualaikum,” ujar Mama terbata-bata.

“Waalaikumsalam,” jawab ketiga anak SMA itu serempak.

“Kalian baru pulang sekolah?” tanya Mama.

“Iya nih Tante. Udah pulang dari tadi sih, tapi males ke rumah. Nanti disuruh kerja di kebun,” jawab salah satu anak yang berbadan paling tinggi.

“Lah Cimol, jujur amat kamu,” sahut yang lain sambil tertawa. Anak yang dipanggil Cimol ikut tertawa.

“Tante ini lonte atau gimana?” tanya anak yang lain.

“Lah si Anduk malah lebih jujur dan gak sopan pula,” ujar Cimol sambil menoyor anak yang dipanggil Anduk.

“Tante lagi cari angin saja,” kata Mama.

“Awas nanti masuk angin loh,” ujar anak satunya. “Tapi aku masu sih ngerokin tante kalau masih angin.”

“Widih perhatian bener si Bokri. Kerokin ibu kau sendiri sana,” ejek Cimol.

“Ta-tante mau minta sesuatu dari kalian,” ujar Mama. Ketiga anak SMA itu langsung diam mendengarkan.

“Tante mau minta apa?” tanya Bokri.

Mama memandang mereka satu per satu. “Kalian mau gak nyedot tetek Tante?”

Bersambung…

“Hah gimana Tante?” Anduk berusaha mencerna permintaan Mama.

“Kalian mau gak nyedot tetek Tante?” ulang Mama.

“Jelas mau!” seru Bokri.

Kedua temannya menahan pundak Bokri.

“Jangan asal mau-mau aja. Kita gak tahu siapa dia. Kalau dia penyakitan gimana?” ujar Cimol.

“Ya biar aku yang netek. Kalian nonton aja,” ujar Bokri.

“Terserah kau ajalah,” sahut Anduk.

Bokri menatap Mama. “Aku mau nih. Tante mau netekin di mana?”

“Di gubuk itu ajalah,” jawab Mama.

“Eh nanti kelihatan orang lewat,” ujar Anduk. “Mana bentar lagi magrib pula. Bakal banyak yang pulang kerja loh.”

“Netekinnya cepet aja kok,” ujar Mama.

“Ya udah cepetan yuk.” Bokri menarik tangan Mama ke gubuk.

Mereka berdua duduk di dalam gubuk, sementara dua rekannya berdiri di luar. Selagi mereka sibuk memerhatikan Bokri dan Mama, aku bergegas mendorong sepeda motorku ke seberang jalan agar bisa melihat lebih jelas kegiatan mereka di dalam gubuk. Karena jaraknua agak jauh, aku harus memperbesar rekaman meski tampilannya jadi sedikit buram.

Bokri berbaring di pangkuan Mama. Tetek Mama menggelantung tepat di atas wajahnya.

“Isep dah,” kata Mama.

Bokri langsung melahap pentil Mama. Alis mata Mama sedikik menukik. Mulutnya meringis. Tampaknya Bokri terlalu semangat mengisap pentil Mama sampai Mama kesakitan.

“Kayak anak kecil aja,” komentar Cimol. Tangannya bersandar di tepi dinding gubuk.

“Gimana rasanya?” tanya Anduk.

Bokri mengacungkan jempol. “Hwenak bwanget,” suaranya kurang jelas karena sambil mengenyot tetek Mama.

“Hmmmph!” Mama meringis. Meski begitu, tangannya bergerak mengelus kepala Bokri seakan-akan remaja itu anak bayi.

“Kayaknya asik juga,” komentar Anduk. “Nanti gantian dong.”

Bokri melepas kenyotannya. “Plin-plan bener. Tadi gak mau,” ujarnya, kemudian lanjut menyedot pentil Mama lagi.

Dua sepeda motor melaju melewati gubuk. Cimol memerhatikan kedua sepeda motor itu. “Kayaknya sudah pada pulang kerja.”

“Swebentwar lwagi,” ujar Bokri. Tanganya menarik-narik pentil Mama satunya. Mama menjerit kesakitan saat remaja itu menarik pentilnya terlalu kencang.

Bokri melepas kenyotannya. “Udah ah. Asik sih, tapi mendingan kita pindah tempat aja deh kalau mau lama. Di sini bakal ramai.”

“Jangan!” Mama menangkap pundak Bokri. “Di sini saja. Tante gak bisa jauh-jauh lagi.”

Ketiga remaja itu saling berpandangan.

“Memangnya kenapa Tante?” tanya Anduk.

“Di tempat lain udah banyak orang dan Tante gak punya baju lain,” ujar Mama.

Cimol mengusap keningnya. “Memangnya kenapa sih Tante telanjang di jalan begini?”

Mama diam sebentar, lalu menjawab. “Tante lagi sange dan butuh kontol secepetnya!”

Suara Mama begitu nyaring sampai aku kaget. Ketiga remaja itu pun juga kaget.

“Tante udah nikah atau jomblo kayak kita?” tanya Cimol.

“Tante udah nikah.” Mama terdiam lagi. Barangkali sedang memikirkan lanjutannya. “Suami Tante lagi pergi jauh dan Tante butuh dipuaskan.”

Ketiga remaja itu cekikikan mendengar jawaban Mama.

“Kami kira Tante ini orang gila,” ujar Anduk.

“Tante masih waras dan butuh kontol doang,” ujar Mama. “Tapi Tante tahu kalian pasti rada takut sama Tante, jadi Tante rasa minimal kalian nyobain tetek Tante.”

Astaga Mama sudah pintar bikin alasan, pikirku. Bahkan dia sudah berharap mencicipi kontol orang lain. Dia benar-benar banyak peningkatan, padahal baru sehari.

“Aku jadi sange lihat tante,” kata Anduk. Tangan kanannya meremas tetek Mama. “Kalau Tante memang begitu sange dan gak bisa ke mana-mana, mendingan aku kentot Tante di belakang gubuk ini. Orang dari depan jalan gak bakal bisa melihat ke belakang karena terhalang gubuk ini.”

“Gimana Tante? Aku juga siap ngentot Tante,” ujar Cimol penuh harap.

“Aku! Aku juga mau ngentot Tante!” seru Bokri. Tangannya masih menarik-narik pentil Mama.

“Bo-boleh juga,” jawab Mama. Matanya bergerak menelusuri jalanan. Kelihatannya ia ingin memastikan aku melihatnya.

Mereka pindah ke belakang gubuk. Ah sial, tahu begini aku tidak perlu repot-repot memindahkan sepeda motor. Aku turun dari sepeda motor, lalu mengendap-endap menyeberang jalan. Aku bersembunyi di balik pohon besar yang sekelilingnya ditumbuhi ilalang. Meski kulit sedikit gatal karena tertusuk ujung daun ilalang, setidaknya aku bisa memerhatikan kegiatan remaja-remaja itu ke Mama. Suara obrolan mereka juga lumayan terdengar.

Bokri menginjak-injak rerumputan supaya nyaman ditiduri. Cimol dan Anduk tesenyum-senyum ke Mama.

“Woi bantuin dong. Jangan cuma ngeliatin doang,” keluh Bokri.

Ujung-ujungnya tetap Bokri yang meratakan rerumputan.

Cimol memeluk Mama dari belakang. Hidungnya mengendus-endus leher Mama. “Wah Tante memang bukan orang gila. Kalau orang gila, gak mungkinlah badannya seharum ini.”

Mama ditidurkan di atas rerunputan. Kedua kakinya dibuka.

“Gila memeknya bagus amat,” puji Anduk.

“Siapa yang mau duluan nih?” tanya Cimol. “Bokri aja deh. Dia yang paling semangat. Mana masih perjaka pula.”

Cimol dan Anduk terbahak-bahak. Bokri memandang mereka kesal. “Habis ini aku gak perjaka lagi.”

Bokri berjongkok di depan selangkangan Mama. Celananya sudah melorot sampai ke mata kaki. Ia membuka memek Mama dengan jari tangannya.

“Baru kali ini aku nyentuh memek,” ujarnya. “Ternyata agak serem ya.”

Kedua rekannya semakin terbahak mendengar komentar Bokri.

“Serem-serem gitu coba kamu masukin kontolmu ke dalamnya,” ujar Anduk.

Bokri mengocok kontolnya yang sudah mengeras. Memek Mama dibuka pakai jari tangannya, lalu kontolnya didekatkan ke memek Mama.

“Hayo kalian lagi pada ngapain tuh!” seru seseorang.

Ketiga remaja itu kaget, begitu pula aku.

Seorang bapak-bapak muncul di belakang mereka. Aku tidak memerhatikan kedatangan bapak itu karena fokus merekam dan gubuk itu menghalangi jalan di belakangnya.

“Kalian mau memperkosa ya? Wah anak-anak gila! Cimol, Bokri, Anduk! Saya kenal orangtua kalian. Saya laporin orangtua kalian nanti!” Suara orang itu menggelegar nyaring.

Ketiga remaja itu terbirit-birit ketakutan. Bokri yang celananya masih melorot, paling tertinggal di belakang.

“Woy jangan tinggalin aku woy!” serunya panik.

Kutundukkan badanku sampai tersembunyi di alang-alang saat ketiga remaha itu lewat. Setelah aman, aku mendongak untuk melihat keadaan Mama. Lagipula siapa bapak-bapak yang memarahi ketiga remaja tadi?

“Ibu gak apa-apa?” tanya bapak itu.

“Gak apa-apa pak,” jawab Mama. Ia masih terduduk di rerumputan.

“Astagfirulloh, Ibu udah ditelanjangin gitu. Pakai sarung saya aja bu.” Bapak itu melepas sarung yang tadi tersampir di pundaknya, lalu memberikannya ke Mama. Mama menerima sarung itu dan memakainya untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Saya tetua di desa ini, ibu boleh memanggil saya Pak Pardi,” ujar bapak itu mengenalkan diri. “Ibu tidak apa-apa? Ketiga anak itu memang bandel! Kemarin mereka ketahuan nyuri ayam, sekarang mereka mau memperkosa! Nanti saya laporin kelakuan mereka ke orangtuanya.”

Mama diam saja. Tampaknya kedatangan Pak Pardi yang mendadak itu bikin dia kaget.

“Tapi Ibu gak apa-apa ‘kan?” tanya Pak Pardi. Ia memeriksa sekujur lengan dan pundak Mama. “Kayaknya gak apa-apa deh.”

“Maaf Pak, saya begitu kagetnya sampai gak bisa melawan,” ujar Mama.

“Ibu asli mana? Mau saya anterin pulang?” tawar Pak Pardi.

Mama menggeleng. “Terima kasih banyak Pak, tapi saya tidak mau menyusahkan orang lain. Saya bisa pulang sendiri.”

“Mendingan saya anterin pulang deh. Gak ngerepotin sama sekali kok. Beneran.”

“Gak usah Pak.”

Pak Pardi memandang Mama. “Tampaknya Ibu tidak asing, tapi saya rada lupa. Ya sudah kalau Ibu tetap gak mau saya anter. Jalanan harusnya sudah ramai, jadi lebih aman.”

Mama mengucap terima kasih, lalu pergi meninggalkan Pak Pardi sendirian. Pak Pardi terus mengamati Mama sampai yakin kalau Mama baik-baik saja, setelah itu ia berjalan ke arah berlawanan.

Di tengah jalan, Mama celingukan mencariku. Ia melihat sepeda motorku, tapi ia tidak melihatku yang bersembunyi di balik pohon.

“DOOOOR!” Aku lompat dari balik pohon.

“Astagfirulloh!” Mama tersentak kaget. “Jangan begitu. Mama kaget nih.”

Aku tertawa melihatnya.

“Jadi gimana tadi Ma? Kesampaian netekin mereka bertiga?” tanyaku.

“Gak sempet. Mama malah mau diperkosa sama mereka.”

“Mau diperkosa atau Mama yang nawarin sendiri?” tanyaku sambil tersenyum. “Beda konteks kalau Mama yang nawarin diperkosa.”

“Iya deh Mama akuin kalau Mama yang nawarin mereka,” ujar Mama.

“Berarti Mama udah nakal ya,” kataku. “Bagus! Bagus! Semakin nakal, semakin bagus!”

“Habis ini kita ke mana?” tanya Mama. Dari kejauhan terdengar deru sepeda motor dan mobil.

“Yah kita jalan-jalan dululah,” kataku sambil menelusupkan jari telunjuk ke lubang anusnya. “Semoga Mama gak masuk angin besok.”

Langit mulai gelap saat kami melesat di jalanan. Beberapa sepeda motor meneriakkan suara klakson ketika aku menyalip mereka. Sebuah mobil terpaksa mengerem mendadak karena aku muncul dari sebelah kiri dan tiba di depannya.

Wajarlah mereka seribut itu karena aku membonceng Mama yang tanpa memakai celana. Aku membayangkan para pengemudi sepeda motor dan mobil itu melihat buntalan pantat telanjang Mama yang berkilau terkena lampu kendaraan mereka.

“Kasih lihat anus Mama ke mereka!” Suaraku kurang jelas terdengar karena terpapar angin.

“Hah?” Mama tidak mendengar.

Kukeraskan suaraku. “Buka lubang anus Mama pakai tangan biar mereka lihat!”

Kali ini Mama mendengar. Ia memajukan badannya sedikit sampai pantatnya menungging. Kedua tangannya menjulur ke belakang. Meski tidak bisa melihat anusnya, aku bisa mengecek kalau Mama benar-benar menuruti perintahku dari kaca spion.

Klakso-klakson di belakang kami semakin memekik nyaring. Aku terbahak-bahak membayangkan mereka melihat pemandangan indah di depan mereka.

Repotnya adalah meski jalanan ramai kendaraan, tapi tidak ada lampu jalan yang menyinari jalanan. Tidak masalah jika aku berada di belakang karena terbantu sinar lampu kendaraan di depanku. Lain cerita kalau harus menyalip kendaraan lain dan berada di ururan terdepan. Jalanan begitu abu-abu dan tanganku harus lincah mengendalikan sepeda motor agar tidak mengarah ke lubang jalan yang tersamar.

Tiba-tiba seekor ayam melintas di depan. Untung aku sempat melihat bayangan ayam itu sebelum ia menyeberang jalan, jadi aku bisa menginjak pedal rem sehalus mungkin sehingga sepeda motorku tidak terjungkal. Meski begitu, Mama tetap tersentak ke depan. Kedua tangannya sempat memeluk pinggangku sebelum aku menginjak pedal rem. Teteknya yang tebal menabrak punggungku. Yah setidaknya kalau ada apa-apa, Mama punya pengaman alamiah sendiri.

Kami tiba di area perkebunan bawang. Di sebelah kiri dan kanan terbentang lahan perkebunan yang luas. Cuma ada lima rumah yang dibangun saling berjauhan. Meski sepi rumah dan warga, jalanan semakin padat kendaraan. Teriakan-teriakan klakson memekik di mana-mana, padahal tidak macet.

Hebat sekali pantat Mama karena bisa bikin keributan di mana-mana.

“Wih lihat tuh!” seru anak-anak yang mau berangkat mengaji. Mereka melongo saat kami melintas di depan mereka. Senter-senter kecil di tangan mereka menyorot ke arah kami. Aku berani bertaruh kalau mereka baru pertama kalinya melihat pantat sepadat punya Mama.

Ada sekitar tujuh sepeda motor yang mengekor kami. Setiap kali aku membelok, mereka ikut membelok. Lampu sepeda motor mereka menyorot tepat di belakang kami. Sudah jelas mereka mengincar Mama.

Walau tujuanku biar Mama dilihat banyak orang, tapi instingku mengatakan ini terlalu berbahaya. Telahdewasa.com

Adrenalinku terpacu. Kutancap gas sampai aku beberapa meter lebih jauh dari mereka. Mereka sempat kebingungan sebentar, lalu ikut melaju. Tampaknya mereka benar-benar ingin menangkap kami.

Pikiranku berputar-putar mencari jalan keluar.

Tahun lalu, aku dan Indra pernah ke daerah ini untuk memancing. Seharusnya ada sebuah jalan kecil yang nyaris tidak terlihat dari jalan besar karena tertutup pepohonan lebat. Satu-satunya petunjuk keberadaan jalan itu adalah sebuah batu besar dengan coretan cat merah di atasnya.

Aku melihat ke kiri dan kanan untuk memastikan keberadaan batu tersebut. Namun, pinggiran jalan kosong melompong. Cuma ada pepohonan dan pagar bambu. Mungkinkah batu itu sudah dipindah? Atau malah terlewat?

Sekilas aku melihat bayangan batu besar yang mirip dengan ingatanku soal batu penanda jalan. Seandainya lampu sepeda motor ini belum aku perbaiki dua bulan lalu, aku pasti tidak akan melihat batu itu karena terlalu gelap.

Kuputuskan untuk mengambil risiko. Kumatikan lampu sorot, lalu kubelokkan sepeda motor tepat di samping batu tersebut. Dalam hati, aku cuma mengandalkan keberuntunganku saja semoga tanah yang kuinjak bukan lumpur atau lubang.

Roda sepeda motor menginjak jalan yang berkerikil. Mama memeluk pinggangku erat-erat. Aku bisa merasakan kedua teteknya berguncang di punggungku mengikuti guncangan sepeda motor.

Ah dugaanku benar. Ini memang jalan yang dulu pernah aku lalui dengan Indra. Aku ingat sensasi kerikil jalanan dan deretan pohon cempedak memang ditanam warga.

“Kita mau ke mana? Di sini gelap betul,” keluh Mama.

Aku menoleh ke belakang. Ketiga penguntitku sudah hilang, tapi aku masih bisa mendengar deru mesin sepeda motor mereka. Kelihatannya mereka tidak tahu jalan tersebut atau tidak tahu kalau aku masuk ke jalan itu.

Untuk sementara, kami aman dari mereka.

Kunyalakan lampu kembali. Mesin sepeda motor kupacu untuk menerobos jalanan berkerikil. Masih ada kemungkinan mereka mengikuti, jadi aku harus terus bergerak maju.

Jalanan itu mengarah ke kolam buatan yang dipakai warga untuk memelihara ikan. Kolam itu yang dulu menjadi tujuanku memancing bareng Indra. Tapi kali ini tujuanku bukan ke kolam itu, melainkan berjalan lurus terus sampai tembus ke jalan besar lainnya.

Di ujung jalan, permukaannya cukup menanjak sehingga aku harus menarik gas supaya sepeda motorku sanggup mendakinya. Tahu-tahu kami sudah berada di pinggir jalan yang sepi. Namun, kali ini ada banyak lampu jalan yang menyala di pinggiran jalan. Jalan kerikil sebelumnya tergantikan oleh jalan aspal. Jalan ini sepertinya tidak terhubung dengan jalan besar lainnya.

“Hah bebas juga dari mereka.” Aku menyeka keringat. “Mama aman?”

Kedua tangannya masih memeluk erat pinggangku. “Mama cuma gemetar sedikit. Mama udah siap-siap kalau jatuh.”

“Haus nih. Cari minum yuk.” Mesin sepeda motor kutancap lagi.

Jalanan itu sepi dan tidak ada warung yang buka. Pintu rumah-rumah di sekitar tertutup rapat. Barangkali karena sudah masuk magrib.

Setelah sepuluh menit berjalan tanpa hasil, aku melihat kerlap-kerlip cahaya di kejauhan. Semakin dekat, aku bisa melihat papan Indomaret terpampang jelas di depan sebuah bangunan yang lebih bagus dan kokoh daripada rumah-rumah di sekitarnya. Bangunannya juga tampak luas. Aku tidak menyangka bakal menemukan Indomaret sebagus itu di tempat sesepi ini.

Aku berhenti di parkiran Indomaret. Ada dua sepeda motor lainnya yang terparkir. Awalnya aku curiga apakah itu termasuk dua sepeda motor yang tadi mengikutiku, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata bentuknya berbeda.

“Nah, Mama belikan aku air mineral dingin dong,” kataku. “Mama terserah mau minum apa. Pakai uang Mama ya.”

Mama turun dari sepeda motor. Ia mengamati bangunan Indomaret itu dengan seksama. Tampaknya ia sedang menilai apa banyak orang di dalamnya atau tidak.

Kuberikan dompet Mama yang kusimpan di jok sepeda motor. Mama menjepit dompet itu di ketiaknya, lalu melangkah masuk melewati pintu kaca yang tergeser otomatis.

Bersambung…

Seluruh bagian depan toko Indomaret itu terbuat dari kaca sehingga aku bisa melihat semua kejadian di dalamnya. Tak lupa kamera smartphone kunyalakan untuk mendokumentasikan kejadian itu.

Aku tidak bisa mendengar suara dari dalam Indomaret, tapi aku bisa melihat ekspresi kedua pegawai Indomaret yang terkejut melihat Mama.

Mama mendekati kulkas berisi minuman dingin. Seorang pengunjung yang lagi memilih minuman juga kaget melihat Mama yang berdiri di sebelahnya. Wajahnya terpaku menatap ke tetek Mama.

Mama mengambil dua botol air mineral dari kulkas, lalu berjalan ke kasir. Pandangan pengunjung tersebut kini mengikuti bongkahan pantat telanjang Mama yang bergerak ke kiri dan kanan setiap kali Mama melangkah.

Petugas kasir Indomaret itu diam saja saat Mama menaruh dua botol air mineral ke atas meja kasir. Mama terlihat mencoba mengajaknya bicara, tapi petugas kasir itu masih termagu melihat Mama. Tatapan matanya bergerak bolak-balik dari tetek Mama, turun ke memek Mama, lalu naik lagi ke tetek Mama.

Tampaknya Mama kesal karena ucapannya tidak digubris, ia menggberak meja kasir dan petugas itu tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menghitung dua botol air minum itu. Mama mengeluarkan uang dari dompet, kemudian membayarnya. Petugas kasir memasukkan dua botol tersebut ke kantong plastik, lalu memberikannya ke Mama.

Mama keluar dari Indomaret dengan wajah bersungut-sungut. Ia mengambil sebotol air, lalu memberikannya kepadaku.

Dahagaku langsung hilang seketika saat air dingin itu meluncur ke tenggorokanku. Air di botol itu kuhabiskan semua. Mama juga menghabiskan air minumnya dalam beberapa kali teguk. Aksi kejar-kejaran barusan memang menguras tenaga kami berdua.

“Gimana ekspresi mereka di dalam? Oke gak?” Kumasukkan botol airku yang sudah kosong ke kantong plastik di tangan Mama.

“Jelas mereka kagetlah ngelihat Mama begini.” Mama memandang tubuhnya yang telanjang.

“Mama masih malu gak?”

“Mama masih malu dong. Tapi jujur aja, ini gak separah waktu di sekolah tadi.”

“Bagus! Bagus! Berarti Mama ada perkembangan.” Aku bertepuk tangan. “Coba yang lebih seru lagi yuk. Kali ini aku ikut masuk deh biar bisa dengar apa yang mereka bicarain.”

“Kamu ada rencana apa?” tanya Mama. Wajahnya terlihat waspada.

Kudekatkan bibirku ke telinga Mama. Ia menarik napas panjang saat kujelaskan rencanaku.

“Kamu selalu saja ada ide-ide gila,” ujar Mama. “Coba kalau kamu pakai kepintaranmu itu buat sekolah, kamu pasti sudah lulus dari kemarin.”

Aku dan Mama melangkah masuk ke Indomaret.

“Selamat datang, selamat belanja di Indomaret,” sapa petugas Indomaret. Ia adalah petugas kasir yang melayani Mama barusan. Matanya melotot melihat Mama masuk lagi ke Indomaret.

Petugas Indomaret lainnya yang baru menyadari kedatangan Mama, langsung menghampiri Mama. “Ibu sebaiknya keluar sekarang. Gak enak dilihat pengunjung yang lain.”

“Saya ke sini mau beli. Begitukah cara pegawai Indomaret melayani pelanggan?” Suara Mama terdengar kesal.

“Kami melayani pelanggan, tapi Ibu harus berpakaian dulu.” Petugas Indomaret itu tidak mau kalah.

“Saya gerah dan gak bawa baju. Saya cuma sebentar aja kok dan gak nyusahin kalian.” Suara Mama semakin ketus.

Astaga Mama benar-benar mendalami perannya sebagai ibu-ibu yang galak. Aku berusaha setengah mati menahan tawa sambil merekam kejadian itu di smartphone yang kuselipkan di saku jaketku.

“Kalau Ibu gak bawa baju, Ibu mendingan pakai jaket saya saja.” Petugas Indomaret itu masuk ke dalam ruangan lain, kemudian keluar dengan membawa sebuah jaket parasut. “Nih, pakai ini. Baru kami akan melayani Ibu.”

“Saya gak mau pakai jaketmu yang bau itu. Saya cuma 5 menit di sini. Apa susahnya melayani saya sekarang?” Mama sampai menggebrak meja.

Petugas Indomaret itu mengibas-ibaskan tangannya. “Oke, tapi Ibu janji cuma sebentar. Silakan ambil barang yang Ibu mau.”

Aku menundukkan kepala saat melewati petugas Indomaret itu. Ia menatapku dengan pandangan curiga, lalu lanjut mengamati Mama.

Aku dan Mama sampai di rak buah dan sayuran. Petugas Indomaret itu tidak mengikuti kami, ia cuma mengawasi kami dari meja kasir bersama rekannya.

Di depan kami terhampar berbagai macam buah dan sayuran. Mama mengambil sebuah timun berukuran dua jari orang dewasa. “Mau yang mana? Yang ini?”

“Yang lebih besar lagi dong Ma.” Kuambil sebuah timun yang ukurannya dua kali lebih besar dari timun yang dipegang Mama. “Ini mantep nih!”

“Tapi itu gede banget.” Mama menimbang-nimbang timun itu dengan tangannya. “Bisa masuk gak ya?”

“Apa sih yang gak bisa masuk. Tiang listrik pun bisa masuk asal dipaksa. Udah jangan kelamaan mikir, masukin ini ke anus Mama.”

Mama menundukkan badan. Pantatnya ditunggingkan ke atas. Tangan kirinya memegang pinggiran belahan pantatnya supaya anusnya terbuka, sedangkan tangan kanannya mendorong timun itu masuk ke anusnya.

“Aduh gak bakal muat ini,” keluh Mama.

“Pasti bisa Ma. Mama cuma kurang dorong aja itu.”

Timun itu cuma masuk di ujungnya saja, lalu berhenti.

“Beneran gak bisa nih.” Suaranya terengah-engah.

“Sini aku bantu.” Sambil terus merekam, timun itu kuambil alih dari tangan Mama. Benar juga, timun itu macet di ujung. Kucoba untuk memutar-mutarnya sambil terus mendorong. Pelan tapi pasti, timun itu mulai bergerak maju.

“Aduh, aduh.” Mama mengerang kesakitan.

“Tahan ya Ma. Gak bakal masuk semuanya kok, palingan sampai setengah aja,” kataku.

Timun itu bergerak memutar seperti sekrup di anus Mama. Mama berpegangan di pinggir rak buah. Mulutnya terkatup. Anusnya berkedut-kedut seolah menolak timun itu.

Setelah bersusah payah, setengah timun itu akhirnya masuk ke anus Mama. Mama meraba-raba anusnya untuk memastikan tidak ada yang luka.

“Sekarang merangkak dari sini ke kasir. Minta petugas itu mencabut timun dari anus Mama.”

Mama mengangguk tanda mengerti. Ia menempelkan kedua telapak tangannya ke lantai. Dengkulnya ikut menempel di lantai. Mama pun merangkak menuju kasir.

“Eh copot!” seru seorang pengunjung yang tiba-tiba muncul dari rak sebelah. Barang-barang belanjaannya sampai jatuh. Ia tercengang melihat wanita yang telanjang bulat dan berbadan semok sedang merangkak di depannya.

Kedua petugas Indomaret yang berdiri di belakang meja kasir lebih tercengang lagi. Mereka cuma diam mematung sambil mengamati Mama yang mendekati mereka.

Sesampainya di meja kasir, Mama berbalik. Pantatnya mengarah ke kedua petugas Indomaret itu. “Saya mau beli ini. Bisa tolong dicabut?”

Petugas Indomaret yang tadinya galak, berubah pucat. “Ta-tapi Bu, kenapa harus ditancap di anus begitu?”

Mama tidak menggubrisnya. “Tolong dicabut dong.”

Kedua petugas Indomaret itu saling dorong.

“Kamu aja yang cabut. Kok serem bener ya Ibu ini.”

“Loh kamu tadi galak, sekarang diem begitu. Kamu aja deh, kan kamu lebih berani.”

Petugas Indomaret itu menggaruk-garuk kepalanya. Ia mendekati Mama. Tangannya bergerak hendak mencabut timun yang menancap di anus Mama. “Saya mohon habis ini Ibu pergi dari sini.”

Mama mengerang saat timun itu tercabut dari anusnya. Petugas Indomaret itu meletakkan timun tersebut ke atas meja kasir. Rekannya mengambil timun itu, lalu menimbangnya di mesin timbangan.

“Tidak usah dibayar biar mereka cepat pergi dari sini,” ujar petugas Indomaret galak itu. Wajahnya terlihat jijik setelah melihat lubang anus Mama yang menganga setelah timun itu tercabut.

Mama bangkit berdiri sambil mengibas-ibaskan tangan supaya terbebas dari debu. Meski ruangan Indomaret itu dingin karena AC, pantat Mama berkeringat dan berkedut-kedut. Ia mengambil timun itu, lalu cepat-cepat melangkah keluar. Aku buru-buru menyusulnya.

Sampai di luar, aku tidak kuasa menahan tawa.

“Mama lihat ekspresi mereka? Luar biasa!”

“Tapi pantat Mama sakit sekali.” Mama mengusap-usap pantatnya. “Semoga anus Mama gak robek.”

“Hari ini latihannya selesai. Kita pulang yuk. Udah capek banget nih.”

Kami melaju kembali di jalanan. Sekarang suasananya jauh lebih tenang karena tidak ada kendaraan yang lewat. Sebenarnya aku masih ingin melatih Mama, tapi badanku sudah pegal-pegal karena kurang istirahat.

Masih ada hari esok untuk melatih Mama.

Ruangan ini tampak asing saat aku membuka mata. Aku sedikit kebingungan apakah aku masih bermimpi atau sudah bangun. Namun, lama-lama aku menyadari kalau aku berada di kamar kedua orangtuaku.

Mama masih tidur di sebelahku. Tangannya masih memelukku erat seakan-akan aku adalah gulingnya. Ia tidak mengenakan pakaian sehelai pun, begitu pula aku.

Lima botol anggur merah tergeletak di atas meja rias Mama. Semuanya kosong. Jadi ini penyebab kepalaku terasa pening.

Kucoba untuk mengingat-ingat kejadian semalam.

Setelah keluar dari desa sebelah, aku mampir ke sebuah warung kecil untuk membeli minuman anggur merah. Tentu saja pakai uang Mama karena aku tidak membawa dompet. Si penjual minuman cuma melongok saja melihat Mama. Ia tidak mengenali kami karena hari sudah gelap dan kami mengenakan masker medis.

“Kok telanjang gitu ceweknya?” tanya si penjual minuman.

“Buat pemanasan sebelum ngentot,” jawabku sebelum naik ke sepeda motor. Si penjual mengomel karena ucapanku yang tidak sopan.

Kami melesat menuju rumah. Di sepanjang jalan, kami berjumpa beberapa kendaraan bermotor dan semuanya memaki-maki kami lewat klakson. Tapi mereka tidak ada yang mengejar kami sehingga kami bisa sampai ke rumah lebih cepat.

Beberapa meter sebelum sampai rumah, aku harus mematikan mesin sepeda motor supaya tetangga tidak menyadari kehadiran kami. Sepeda motorku meluncur dalam hening. Begitu sampai pagar rumah, Mama membuka pintu pagar dan bergegas masuk ke dalam rumah sebelum mengundang perhatian tetangga.

Sembari menunggu Mama selesai mandi, aku memutar semua rekaman-rekaman video yang ada di smartphone-ku. Jumlahnya ada dua puluh lebih karena aku harus mematikan kamera dan menyalakannya kembali supaya durasinya tetap pendek. Dengan video sebanyak ini, posisiku sudah jauh di atas angin. Aku yakin Mama tidak akan berani menentangku.

Mama keluar dari kamar mandi. Ia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Tubuhnya dibiarkan telanjang bulat.

“Wah Mama sudah gak malu lagi ya telanjang bulat di depanku,” kataku.

“Buat apa malu, toh kamu sudah sering lihat Mama telanjang,” sahut Mama.

“Mumpung Mama masih seger abis mandi, foto-foto dululah.” Kuarahkan kamera smartphone ke Mama. “Ayo Ma, pose yang seksi.”

“Mama gak tahu pose seksi,” ujar Mama.

“Kalau gitu coba Mama buka memek Mama.”

Mama membuka memeknya dengan jari-jari tangannya. “Begini?”

“Kurang lebar Ma. Sampai itil Mama kelihatan deh.”

Memeknya terbuka lebih lebar sampai gumpalan daging sebesar kacang menyembul keluar.

“Nah, begitu, bagus!” Kuambil beberapa foto. “Tersenyum dong Ma. Masa surem gitu mukanya.” Kuambil lagi beberapa foto. “Sekarang coba Mama isep pentil Mama sendiri.”

“Tetek Mama mana nyampe ke mulut.” Mama mengangkat teteknya dengan kedua tangan sampai mendekati wajahnya. Ia kaget sendiri ketika tahu kalau pentilnya berhasil menyentuh bibirnya.

“Mama gak bakal tahu kalau belum mencoba.” Kuambil lagi beberapa foto. “Isep pentilnya yang kenceng Ma, sampai kulitnya tertarik.

Mama menyedot pentilnya lebih kencang. Urat-urat di sekitar aerolanya sampai menonjol. Kameraku terus-terusan menangkap momen berharga itu.

Mendadak aku mendapat ide.

“Tunggu sebentar.” Aku pergi ke kamarku untuk mengambil spidol hitam besar. Kukocok spidol itu supaya tintanya merembes di ujung karena spidol itu jarang kupakai.

Di tetek Mama, kutulis besar-besar:

LONTE KAMPUNG

Lalu di bawah udelnya kutulis besar-besar pula:

NGENTOT GRATIS

“Nah begini keren.” Aku memuji karyaku. “Sekarang Mama rentangkan tangan, ya begitu, renggangkan kedua paha Mama juga, nah begitu. Siap ya.”

Kupotret lagi sampai belasan kali. Ah, kontolku membengkak melihat pose Mama yang begitu nakal. Ayah pasti tidak menyangka istrinya bisa senakal ini!

Selagi Mama bugil dan kontolku perlu asupan gizi, ini saat yang cocok buat ngentot.

Kutarik tangan Mama ke ruang tamu. Di belakang pintu ruang tamu terdapat dua sakelar lampu. Satu sakelar berfungsi untuk menyalakan dan mematikan lampu ruang tamu, sementara satunya lagi untuk menyalakan dan mematikan lampu teras depan rumah. Kumatikan lampu di teras depan rumah. Halaman depanku serta merta gelap gulita.

Kubuka pintu. Angin kencang berhembus masuk ke dalam ruang tamu. Kudorong Mama supaya keluar dari ruang tamu. Kami berdiri di teras depan rumah yang gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari rumah tetangga di sebelah. Telahdewasa.com

“Nak, kalau tetangga lihat gimana dong?” Mama mengamati rumah di sebelah.

“Di sini gelap Ma. Dia gak bakal lihat kecuali dia ngecek ke sini. Yuk kita ke pagar rumah.”

Aku dan Mama mengambil sandal, lalu melangkah ke pagar besi yang membatasi halaman rumahku dengan jalan di depannya. Kusuruh Mama menungging sambil berpegangan di pagar besi tersebut. Ia langsung melakukan apa yang kuperintahkan.

“Mama yang baik memang harus menuruti permintaan anaknya tanpa melawan.” Kutampar pantatnya keras-keras. Suaranya membelah kesunyian sekitar. “Mama jangan berisik ya, kecuali Mama mau dilihat tetangga.”

Kubasahi batang kontolku dengan ludah. Memek Mama masih agak kering, jadi kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku untuk merangsang memeknya supaya basah.

“Huuuuh.” Mama mendesah saat kedua jariku menembus masuk ke memeknya.

“Lonte kayak Mama harus dikentot setiap hari,” kataku sambil mengarahkan kontolku ke lubang memeknya.

“Aduh! Pelan-pelan Nak!” Mama memekik begitu kontolku memenuhi lubang memeknya.

“Ini sudah pelan, Mama aja yang terlalu berisik.”

Memek Mama terasa hangat dan basah. Kugerakkan pinggulku maju dan mundur. Setiap gesekan di memeknya membuat pikiranku terbang tinggi entah ke mana. Memek Mama benar-benar membuatku candu.

Tangan Mama mencengkeram terali pagar besi kuat-kuat sampai pagar itu sedikit bergoyang setiap kali aku bergerak memompa memek Mama. Jika pagar itu usianya lebih tua, pastilah pagar itu bakal rubuh.

“Mmmmm memek lonte kayak punya Mama memang paling top.” Kutampar pantatnya sekeras mungkin. Pantat yang tadinya sudah pulih dari kejadian saat jalan santai, sekarang mulai memerah kembali.

Memek Mama berkedut-kedut memijat batang kontolku. Kupegang pinggang Mama, lalu kumajukan pinggangku semaksimal mungkin sampai kulit kami menempel. Walau angin cukup dingin, pantat Mama banyak berkeringat sehingga terasa licin.

Plek! Plek! Plek!

Kontolku terasa semakin membengkak beberapa inci di setiap gerakan. Memek Mama seolah-olah menyempit.

“Huh hah huh.” Desahan Mama menguat. Aku mencubit perutnya untuk mengingatkannya supaya lebih tenang.

“Mama mau keluar,” bisik Mama.

“Aku juga Ma,” kataku sambil terus memompanya.

Memek Mama bertambah sempit, mengikuti kontolku yang bertambah besar. Kupompa memek Mama lebih cepat. Ini dia saatnya!

Kontolku memuncratkan pejuh ke dalam memek Mama. Kutekan pinggangku dalam-dalam biar benihku tersalurkan semua ke rahimnya. Otot-otot memek Mama mengejang, seakan-akan menyedot habis seluruh pejuh yang tersisa di batang kontolku.

Kubiarkan kontolku menancap di memek Mama sampai sisa-sisa pejuh terakhir keluar. Setelah kurasa tidak ada lagi pejuh yang tersisa, kucabut kontolku yang berlumuran cairan memek Mama.

“Aih leganya.” Kugesek-gesek batang kontolku yang loyo ke pantat Mama supaya bersih dari pejuh yang menempel.

Mama melepas pegangannya di pagar. Wajahnya terlihat letih. “Mama capek banget. Mama mau tidur.”

“Loh ini masih babak pertama. Yuk kita lanjut di kamar.” kudorong Mama masuk ke ruang tamu.

Itulah kenangan terakhir yang kuingat malam itu. Setelahnya aku cuma mengingat minum-minum sampai mabuk sambil mengentot Mama lagi, lagi, dan lagi. Aku tidak ingat mengentotnya sampai berapa ronde. Samar-samar aku ingat kalau Mama pingsan di ronde terakhir.

Aku bangkit dari ranjang. Kubuka gorden. Sinar matahari menerobos masuk ke kamar yang gelap.

Mama terbangun. Ia menutupi wajahnya yang silau terpapar sinar matahari.

“Selamat siang Ma,” kataku sambil tersenyum. “Sudah siap latihan lagi hari ini?”

Bersambung…

Hari ini aku membolos bersama Mama karena kesiangan. Smartphone Mama terus berbunyi dan dipenuhi pesan dari guru lain yang bertanya soal keadaan Mama. Mama bilang ke mereka kalau hari ini ia tidak masuk kerja karena lagi demam.

Untuk makan siang, Mama menggoreng telur dadar dan menumis kangkung. Aku menemaninya sambil bermain Mobile Legend. Kami sama-sama masih telanjang bulat. Sesekali aku menampar pantat atau memuntir pentilnya setiap kali Mama lewat di sebelahku.

“Nak, jangan main game melulu. Kamu harus banyakin belajar supaya bisa lulus tahun ini.” Bahkan dalam keadaan menjadi budak, Mama masih saja menasihatiku.

“Aku pasti lulus Ma. Nanti Mama yang bantuin aku lulus,” jawabku tanpa menoleh. Permainan lagi seru-serunya dan aku tidak mau terganggu oleh ocehan Mama.

“Kalau kamu lulus dengan nilai bagus, nanti kamu bisa kuliah di kampus yang bagus pula.” Mama menuang tumis kangkung yang sudah matang ke mangkok. “Kamu harus mikirin masa depanmu dari sekarang. Kerjalah jadi orang yang lebih sukses dari Ayah dan Mama. Jangan terlalu nyaman di sini.”

Permainan sudah berakhir. Kutaruh smartphone ke atas meja, lalu kudekati Mama. Kupeluk ia dari belakang dan kuciumi lehernya. “Tapi aku sudah nyaman di sini. Apalagi ada lonte kayak Mama. Di luar sana gak ada cewek seseksi Mama.”

Kuraba-raba memek Mama yang berjembut kasar. “Ini nih yang bikin aku semakin nyaman di rumah.”

Mama tetap melakukan kegiatannya sambil terus kupeluk. Ia mengaduk nasi yang sudah tanak dengan centong, lalu menaruhnya ke piringku dan piringnya. “Kita makan dulu, baru mikirin yang lain.”

“Ma, coliin aku dulu dong,” pintaku.

“Kamu masih kuat? Semalam kamu keluar banyak sekali.”

“Pejuhku selalu ada kalau buat Mama.” Kukocok kontolku yang mengeras. “Nih lihat. Masih keras ‘kan?”

Mama berjongkok dan menggenggam batang kontolku, kemudian mengocoknya. Istirahat yang cukup membuat staminanya pulih kembali. Genggaman tangannya jadi menguat.

“Uh enak banget Ma.” Kuelus rambutnya. “Ayah pasti gak pernah minta yang aneh-aneh ke Mama kayak gini.”

“Ayahmu itu orang baik. Dia gak segila kau.” Kocokannya semakin cepat.

“Ma, taruh piring Mama di bawah kontolku. Tapi jangan terlalu dekat.”

Mama menatapku bingung. “Hah? Buat apa?”

“Udah deh lakuin aja.”

Sambil terus mengocok kontolku, Mama mengambil piringnya yang sudah berisi nasi, lalu menaruhnya beberapa jengkal di bawah kontolku.

Pejuhku muncrat di atas nasi. Mama terus mengocok kontolku sampai tidak ada pejuh tersisa.

“Nah itu makan siang Mama. Nasi pejuh.”

Mama memandang nasi berlumur pejuhku. “Ma-mama harus makan ini?”

“Iya, protein tambahan biar Mama kuat dan sehat. Yuk makan. Aku udah lapar banget.”

Kami duduk saling berdekatan di meja makan. Tangan kananku menyuap makanan ke mulut, sedangkan tangan kiriku meremas-remas tetek. Aku makan dengan lahap karena perutku sudah keroncongan. Mama memandangi nasi pejuh di depannya. Wajahnya terlihat jijik.

“Ayo dimakan Ma! Mama kemarin udah banyak nelan pejuh, seharusnya ini gak masalah,” bentakku.

Mama menyendok nasi pejuh itu, memasukkannya ke mulut, lalu mengunyahnya pelan-pelan.

“Gimana? Enak ‘kan?”

Mama menggeleng. “Rasanya aneh. Mama mau muntah.”

“Jangan dimuntahin. Mama harus telen.”

Meski mual, Mama tetap menghabiskan nasi pejuh itu. Ia menaruh piring-piring kotor ke wastafel untuk dicuci.

Aku baru saja mau menggoda Mama lagi ketika terdengar suara pintu ruang tamu diketuk seseorang.

“Tolong bukain pintu dong,” pinta Mama. Kedua tangannya dipenuhi busa sabun cuci piring.

“Mama ajalah, aku lagi telanjang gini.”

Mama mendengus kesal. “Kalau gitu kamu yang nyuci piring. Mama mau pakai baju dulu.”

“Eits, siapa yang nyuruh Mama pakai baju?”

“Tapi kalau itu sodara kita gimana?”

Aku mengangkat bahu. “Yah bodo amat. Pelan-pelan kita kasih tahu kalau Mama sebenernya nakal.”

Pintu diketuk lagi. Mama mengelap tangannya dengan kain, lalu bergegas ke ruang tamu. Aku mengikutinya untuk melihat apa yang akan terjadi.

Sebelum membuka pintu, Mama mengintip dari balik gorden. “Aduh, itu si Sarudin. Mau ngapain dia ke sini?”

Sarudin adalah anak laki-laki dari adiknya Mama, jadi dia adalah sepupuku. Usianya jauh lebih muda dariku. Biasanya dia datang untuk memberitahu sesuatu atau sekadar membawa bingkisan.

“Tanyain dong Ma, dia ada keperluan apa kemari,” kataku sambil bersembunyi di balik dinding yang membatasi dapur dengan ruang tamu. “Dia udah beberapa kali nginep di rumah dan udah biasa lihat Mama bolak-balik pakai handuk.”

“Tapi itukan Mama pakai handuk, gak telanjang bulat kayak gini.” Mama mengintip lagi. “Aduh, apa kita pura-pura gak ada di rumah aja ya?”

“Mama gimana sih? Aku ‘kan tadi bilang Mama harus buka pintu?”

Mama memegang gagang pintu. Aku mendengarnya menghela napas panjang, lalu membuka pintu.

“Assalamualikum!” Sarudin menyapa begitu pintu terbuka. Wajahnya dari yang ceria seketika berubah jadi kaget. “Loh Bude kok telanjang? Habis mandi ya?”

“Iya, Bude baru selesai mandi. Masuk dulu biar gak kena panas di luar. Bude mau pakai baju dulu.”

Sarudin duduk di sofa ruang tamu. Mama mendekatiku yang mengintip dari dapur. “Abis ini gimana dong?”

“Meski Mama bilang mau pakai baju, awas aja kalau Mama pakai baju.”

Aku mendapat ide. Kubisikkan ide itu ke Mama. Mama menatapku. “Kamu serius?”

“Seriusan Ma. Dia masih perjaka loh.”

“Tapi dia saudara kita.”

“Aku tadi ‘kan sudah bilang kalau pelan-pelan mau tunjukin kenakalan Mama ke mereka. Nah sekarang tanya dia ada keperluan ke sini.” Kudorong Mama supaya keluar dari dapur.

Mama mendekati Sarudin yang menunggu di ruang tamu.

“Bude katanya mau pakai baju dulu?” Anak itu melotot melihat Mama yang masih telanjang bulat.

“Bude baru sadar kalau pakaian Bude lagi dicuci semua.” Mama duduk di sebelah anak itu. “Omong-omong kamu ada keperluan apa?”

Sarudin menggeser duduknya menjauh dari Mama. Wajahnya terlihat bingung, tapi matanya terpaku menatap tetek Mama. “Ibu minta tolong Bude buat bantuin masak-masak di rumah. Si Alif tadi pagi sunatan.”

Mama menepuk jidatnya. “Astagfirulloh, Bude lupa kalau Alif hari ini sunatan! Ya sudah nanti Bude ke rumahmu.”

Dari balik dinding, aku susah payah menahan tawa melihat celana Sarudin yang menonjol. Anak itu pasti sudah mengerti keindahan tubuh wanita. Matanya terus bergerak memandangi tetek Mama, lalu turun ke memek Mama, dan berhenti di situ. Aku yakin ini pertama kalinya dia melihat memek secara langsung.

“Kamu mau minum es?” tawar Mama.

“Gak usah repot-repot Bude. Aku cuma mau kasih tahu kabar itu doang. Ini aku mau balik,” jawab Sarudin.

Mama menempelkan teteknya ke pundak anak itu. “Di luar panas. kamu santai-santai aja di sini.”

“Oke deh kalau begitu.” Bibir Sarudin tersenyum tipis.

Mama berlari ke dapur. Ia mengambil sebuah gelas dan sebotol air minum dingin dari kulkas, lalu balik lagi ke ruang tamu. “Nih diminum dulu air dinginnya? Atau kamu mau es sirup?”

“Ini sudah cukup kok Bude.”

Mama menaruh gelas dan botol air itu ke meja di depan sofa. Ia membelakangi Sarudin. Pantatnya ditunggingkan. Anak itu terbelalak melihat pantat Mama yang cuma beberapa sentimeter dari wajahnya.

“Bude tuangin sekalian ya,” kata Mama sambil menuang air dingin ke gelas.

“Bo-boleh Bude.” Sarudin tergagap.

Selesai menuang air, Mama duduk di sebelah Sarudin lagi. “Kamu kenapa panik gitu wajahnya?”

“Abisnya ngelihat Bude telanjang gini,” jawab Sarudin polos.

“Bukannya kamu udah sering ngelihat Bude begini?” Mama memajukan kedua bongkahan teteknya. Anak itu tampaknya panas dingin melihat kedua tetek Mama.

“Eh apa ini?” Mama terkejut melihat celana Sarudin yang menonjol.

Anak itu segera menutup tonjolan di celananya dengan tangan. Ia bergegas bangkit. “Mendingan aku pulang deh. Ditunggu Ibu di rumah.”

Mama menahan Sarudin. “Pulang nanti saja. Temenin Bude dulu di sini, abisnya sepi bener gak ada orang. Mendingan kita main-main dulu.”

“Eh Bude mau main apa? Memangnya Bude beli Playstation?” Suara anak itu terdengar semangat. Ia mengamati televisi di ruang tamu. Wajahnya seketika kecewa karena tidak melihat Playstation di rak televisi. “Tapi gak ada Playstation di sini.”

“Kita main yang lain.”

“Main apa Bude? Kelereng? Layangan?”

“Kita main kuat-kuatan tahan napas.”

“Tahan napas di dalam air?” Sarudin masih bingung.

“Bude dudukin wajah kamu. Kita lihat seberapa kuat kamu menahan napas,” jelas Mama.

“Hah? Bude dudukin wajahku?” Sarudin menatap bagian bawah tubuh Mama. “Bisa patah leherku kalau didudukin pantat segede punya Bude.”

“Bude atur tenaga biar gak matahin leher kamu,” kata Mama kesal karena Sarudin secara tidak langsung menyebutnya gendut. “Nanti kamu juga boleh dudukin wajah Bude. Kita kuat-kuatan menahan napas.”

“Permainannya aneh sih, terus yang menang dapat apa?” Sarudin mulai tertarik.

“Kalau kamu menang, nanti Bude kasih hadiah rahasia. Kalau Bude yang menang, nanti Bude minta sesuatu dari kamu.” Mama meengedipkan mata.

“Oke kalau gitu.” Sarudin setuju. “Siapa yang mau didudukin duluan?”

“Kita suit aja. Yang menang harus dudukin wajah yang kalah,” usul Mama.

Mereka bermain suit. Mama mengeluarkan jari telunjuk. Sarudin terkekeh karena mengeluarkan jari jempol.

“Nah, aku dudukin wajah Bude duluan,” ujarnya penuh kemenangan.

Mama tidur terlentang di sofa panjang. Ia menutup mata. “Bilang kalau kamu mau dudukin wajah Bude biar Bude siap-siap.”

Mula-mula Sarudin terlihat ragu-ragu. Ia cuma berdiri mematung menatap Mama yang terlentang telanjang di depannya. Namun, dia mulai merangkak menaiki sofa, lalu berjongkok di atas Mama.

“Mau aku dudukin nih. Bude siap-siap ya,” ujar anak itu.

Entah dia dapat ide darimana, tahu-tahu Sarudin menurunkan celana. Sesuai tebakanku, kontol Sarudin sudah mengeras, siap menyiram benih kesuburan ke siapa saja yang menerimanya.

Mama tersentak kaget saat selangkangan telanjang Sarudin menimpa wajahnya. Kedua tangan Mama refleks memegang pinggang Sarudin.

“Hmmph!” Suara Mama tertahan karena kaget.

“Inget loh Bude harus menahan napas. Aku hitung ya.” Anak itu mulai menghitung dengan jarinya. “Satu… dua… tiga… empat… lima….”

Kedua tangan Mama semakin erat memegang pinggang Sarudin.

“Sepuluh… sebelas… dua belas….”

Aku jadi ikut penasaran siapa yang bakal menang.

“Dua puluh… dua puluh satu… dua puluh dua….”

Kaki Mama bergerak-gerak. Ia mendorong badan Sarudin sampai tergeser dari wajahnya. Begitu hidungnya bebas, Mama menghela napas panjang. “Huaaaaah! Bude gak bisa napas!”

“Bude cuma tahan napas dua puluh detik,” ujar Sarudin.

“Jangan bohong kamu. Bude denger tadi dua puluh dua.”

“Dua puluh.”

“Dua puluh dua.”

“Dua puluh.” Sarudin bersikeras.

“Ya sudah deh, dua puluh lima.” Mama mengalah.

“Sekarang gantian Bude yang dudukin wajahku.” Anak itu bersemangat. Sebelum merebahkan diri, ia melepas celananya yang masih menyangkut di kedua pergelangan kakinya.

“Seharusnya gak usah sampai lepas celana sih,” ujar Mama sambil menatap ke kontol Sarudin yang ukurannya lebih kecil dari kontolku. Meski begitu, kepala kontol itu sudah memerah seakan-akan siap menyembur kapan saja.

“Biar adil. Soalnya Bude gak pakai celana.”

Mama menggeser duduknya supaya Sarudin bisa tidur terlentang di sofa.

“Udah siap?” tanya Mama.

“Siap!”

Mama duduk melangkahi wajah Sarudin dan duduk setengah jongkok menghadap ke kontol Sarudin. Lucunya, anak itu tidak memejamkan mata seperti Mama. Justru ia menatap pemandangan indah di depannya dengan gagah berani.

Mama menurunkan pantat besarnya pelan-pelan. Wajah Sarudin seolah ditelan pantat Mama dan cuma menyisakan keningnya saja.

“Cubit pantat Bude kalau kamu sudah gak tahan,” kata Mama. Sarudin mengacungkan jempol tanda mengerti.

“Satu… dua… tiga… empat… lima… enam….” Mama mulai menghitung.

Kedua tangan Sarudin mengelus-elus pantat Mama. Pikirannya pasti sudah terbang ke surga sekarang.

“Sepuluh… sebelas… dua belas… tiga belas… empat belas….”

Mendekati hitungan kedua puluh, Sarudin belum menunjukkan tanda-tanda mau menyerah. Ia masih santai mengelus pantat Mama.

“Dua puluh dua… dua puluh tiga… dua puluh empat… dua puluh lima….”

Tangan Sarudin mencengkeram pantat Mama. Ia sudah mengalahkan Mama, tapi tampaknya ia masih ingin menikmati momen itu lebih lama. Telahdewasa.com

“Tiga puluh satu… tiga puluh dua… tiga puluh tiga… tiga puluh empat….” Mama menoleh ke bawah untuk memastikan anak itu baik-baik saja. “Masih mau lanjut nih?”

Sarudin mengacungkan jempol. Mama pun melanjutkan hitungannya. “Empat puluh dua… empat puluh tiga… empat puluh empat….”

Sudah hampir satu menit dan kedua kaki Sarudin mulai bergerak-gerak. Kuakui dia memang kuat menahan napas, tapi mau sampai kapan dia begitu?

Ketika hitungan sudah mencapai lima puluh delapan, Sarudin mencubit pantat Mama keras-keras. Mama langsung berdiri. Anak itu menghela napas panjang sekali. “Fyuuuuuuuuh hampir aja aku lewat.”

“Kamu gak apa-apa?” tanya Mama cemas.

“Aman Bude. Aku udah biasa berenang di sungai deket rumah, jadi udah terlatih nahan napas,” jawab Sarudin. “Jadi aku menang nih! Bude mau kasih hadiah apa?”

“Khusus hari ini, Bude bakal ngelakuin semua yang kamu mau,” jawab Mama. Jari jemari Mama bergerak mengelus kontol Sarudin.

Wajah Sarudin menegang. “Ta-tapi kenapa Bude tiba-tiba jadi begini? Bude sakit?”

“Anggap saja Bude lagi kesepian.” Jari tangan Mama turun dan meremas pelan buah zakar Sarudin. “Kamu udah pernah mesra-mesraan sama cewek?”

“Belum Bude. Di sini gak ada yang cantik.” Mata Sarudin merem melek. Kelihatannya ia sangat menikmati buah zakarnya dipijat Mama.

“Kalau Bude cantik gak?” Mama berbisik di telinga Sarudin.

“Bude cantik dan seksi kok.” Mulut Sarudin mengerucut. “Sebenernya aku udah lama naksir sama Bude. Soalnya Bude badannya bagus bener. Makanya aku seneng kalau bisa nginep di sini.”

“Makasih sudah memuji Bude.” Mama mendekatkan wajahnya ke kontol Sarudin, lalu mengulumnya.

Sarudin kaget melihat kelakuan Mama, tapi ia tidak bisa menolak kenikmatan yang diberikan Mama. Tangan kirinya mengelus rambut Mama, sedangkan tangan kanannya mengelus pantat Mama yang menungging. Pinggangnya ikut bergerak mengikuti gerakan kepala Mama.

“Bude nakal, auh!” seru Sarudin.

Sambil terus merekam, kukeluarkan batang kontolku yang sudah mengeras dari tadi. Melihat kenakalan Mama bikin kontolku berdenyut-denyut minta jatah.

“Oooh, Mama memang nakal,” bisikku sambil mengocok kontol. Mengentot Mama memang asik, tapi jauh lebih asik melihatnya bercumbu dengan orang lain, bahkan sama saudara sendiri!

Pipi Mama berdenyut-denyut karena menyedot kontol Sarudin. Sambil mengulum kontol, tangan Mama terus memijat buah zakar anak itu.

“Aduh Bude! Enak banget!” Sarudin tidak kuasa menahan suaranya.

Mama berhenti menyepong. “Mau yang lebih enak dari ini?”

Sarudin mengerjapkan mata seolah belum sadar. “Ada yang lebih enak dari ini?”

Mama tersenyum sambil menatap anak itu. Jari telunjuknya bergerak memutar di kepala kontol Sarudin. “Kamu masih perjaka ‘kan?”

Bersambung…

“Masih dong Bude,” jawab Sarudin malu-malu. “Pengen lepas perjaka, tapi nanti aja deh kalau udah nikah.”

“Kamu udah pernah coli?”

Sarudin mengangguk malu-malu. “Sudah dari aku SD dulu. Lihat majalah bokep punya temen. Dulu juga sempet nonton film bokep di rumah temen.”

“Cewek kayak apa yang kamu bayangin waktu coli?”

“Yang teteknya gede kayak tetek Bude.” Sarudin terdiam sebentar. “Pantatnya gede juga kayak pantat Bude.”

“Kamu pernah bayangin Bude buat coli?”

“Pe-pernah.” Anak itu semakin menunduk karena malu. “Tapi Bude jangan marah ya.”

“Nggak. Bude sama sekali gak marah. Bude malah senang berarti ada yang doyan sama Bude.”

Mereka terdiam sebentar.

“Yakin gak mau lepas perjaka sekarang?” Mama menempelkan badannya ke Sarudin.

“Mau lepas perjaka sama siapa?”

“Biar Bude bantuin kamu lepas perjaka.” Mama mengusap-usap perut Sarudin.

“Ini beneran boleh?” Sarudin mengerjap-ngerjapkan mata tanda tidak percaya.

Mama mengangguk. “Kamu udah lihat tetek dan memek Bude. Bude juga udah lihat kontolmu. Kenapa gak sekalian aja?”

“Kalau gitu Bude harus bantuin aku soalnya aku gak tahu apa-apa soal beginian.”

“Gampang. Tinggal masukin ini ke sini.” Mama meraih kontol Sarudin, lalu mendekatkannya ke memek.

“Tunggu sebentar.” Sarudin mengamati sekelilingnya. “Di sini cuma kita berdua ‘kan?”a

Mama mengangguk. “Memangnya kamu pikir ada siapa?”

“Kok kayaknya ada yang ngintip.”

Mama menciumi leher Sarudin. “Udah gak usah khawatir. Yuk Bude bantuin kamu lepas perjaka.”

Mama terlentang di sofa panjang. Kedua kakinya mengangkang. Sarudin tertegun melihat memek Mama yang menganga.

“Pelan-pelan masukin kontolmu ke sini.” Mama membuka memeknya lebih lebar dengan kedua tangannya.

Sarudin mengocok kontolnya supaya mengeras. “Aku masukin ya.”

Anak itu merebahkan dirinya ke atas Mama. Kontolnya langsung menancap ke dalam memek Mama. Gerakan itu pasti menyakitkan kalau saja kontolnya lebih besar, tapi kontolnya masih dalam masa pertumbuhan sehingga Mama cuma tersentak pelan saja.

“Gimana rasanya?” tanya Mama.

“Hangat dan basah.”

“Bagus. Kamu jadi laki-laki dewasa sekarang.”

Sarudin menjilati leher Mama, lalu naik ke bibir Mama. Mereka berciuman. Meski dari kejauhan, aku bisa melihat kalau bibir mereka saling bertautan.

Bagi sebagian orang, melihat ibu mereka diciumi orang lain bisa bikin mereka cemburu. Namun, aku sama sekali tidak merasa cemburu. Satu-satunya yang kurasakan adalah nafsuku semakin membara!

“Pinggangmu digerakkin maju mundur kayak lagi mompa,” ujar Mama.

Sarudin menggerakkan pinggangnya. Gerakannya kaku dan patah-patah.

“Susah juga,” keluh Sarudin.

“Gak apa-apa. Lama-lama nanti terbiasa,” sahut Mama. Ia mengangkang selebar mungkin supaya anak itu mudah menyetubuhinya.

Benar saja. Beberapa menit kemudian, Sarudin mulai mengerti irama gerakannya. Pelan tapi pasti, gerakan pinggangnya semakin cepat. Aku bisa mendengar suara basah kontolnya yang menggesek bibir memek Mama.

“Enak?” tanya Mama.

“Enak banget Bude!” seru anak itu.

Keduanya saling berpelukan erat dan tubuh keduanya berkilauan karena keringat.

“Bu-Bude, aku mau crot!” seru Sarudin. “Aku cabut deh.”

“Jangan! Biarin aja crot di dalam!”

“Tapi nanti Bude hamil!”

“Udah deh kamu gak usah pusingin itu.”

Otot-otot badan anak itu mengeras. Pinggangnya menekan pinggul Mama dalam-dalam.

“Ough! Aku crot!”

Usai berseru begitu, ia langsung ambruk di pelukan Mama.

“Badanku lemes banget,” ujarnya.

Mama mengelus rambut anak itu. “Itu wajar. Nanti juga pulih sendiri.”

Sarudin mencabut kontolnya dari memek Mama. Ia terduduk lemas sambil mengipas-ngipas badan.

Mama duduk di sebelah Sarudin sambil membersihkan ceceran pejuh di pahanya dengan tisu di meja. “Inget ya, jangan bilang ke siapa-siapa.”

“Pastinya dong. Bisa diusir dari rumah kalau Bapak dan Ibu tahu,” kata Sarudin. Matanya menerawang ke langit-langit. Tampaknya ia masih menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja terjadi.

“Kamu gak dicari orang rumah ‘kan?”

Sarudin menepuk jidat. “Aduh! Aku juga harus beli bumbu-bumbu. Pasti Ibu ngamuk nih!”

Ia buru-buru mengambil celananya yang tergeletak di lantai.

“Bersihin dulu pejuh di kontolmu,” kata Mama. Ia mengambil selembar tisu, lalu membersihkan pejuh yang masih menempel di kontol Sarudin.

Sebelum pergi, Sarudin sempat berkata. “Bude, jujur aja aku gak tahu apa yang terjadi. Tapi makasih udah izinin aku buat nyicipin memek Bude.”

Ia naik ke sepeda motor, lalu melesat pergi. Mama menutup pintu. Badannya masih berkeringat.

“Dia sudah pergi,” ujar Mama.

Aku keluar dari tempat persembunyianku. Semua adegan Mama dan Sarudin sudah terekam di smartphone, sekarang smartphone-ku berdenting minta diisi listrik.

“Gimana rasanya ngentot saudara sendiri?” Kueelus rambut Mama yang sedikit berantakan.

Mama menatapku tajam. “Habis ini apalagi yang kamu mau?”

“Pertanyaan bagus karena aku sudah punya ide buat tugas Mama nanti.” Kuraih dagu Mama. “Sekarang Mama siap-siap ke rumah Sarudin.”

“Mama udah siap? Nanti keburu sore,” tanyaku dari halaman depan rumah. Aku sedang memanaskan sepeda motor supaya siap dipakai menuju ke rumah Sarudin.

“Kamu yakin mereka gak bakal marah lihat penampilan Mama begini?” jawab Mama dari ruang tamu.

“Mereka saudara kita. Gak bakal deh marah-marah sebegitunya. Orang lain toh santai aja ngelihat Mama. Mereka malah doyan.”

Mama muncul dari pintu. Ia mengenakan celana panjang yang biasa dipakainya setiap hari. Sekilas tidak ada yang aneh dari penampilannya. Namun, kali ini dia memakai jilbab panjang yang menutupi sampai ke sebagian perutnya. Di balik jilbab itu, Mama tidak mengenakan apa-apa. Jika ada angin kencang bertiup sampai menyibak jilbab itu, tetek telanjang Mama langsung terlihat.

“Buset Mama seksi banget!” Aku bersiul menggodanya.

Wajahnya terlihat tidak senang. “Tetek Mama gampang kelihatan mereka nih.”

“Selama Mama bisa jaga diri, tetek Mama gak bakal kelihatan siapa-siapa.” Kuangkat bagian bawah jilbab itu sampai tetek Mama menyembul keluar. “Tapi bukan itu tujuannya. Jilbab ini cuma berfungsi buat nutupin tetek Mama di sepanjang perjalanan. Sampai di sana, Mama tetep aja harus kasih lihat tetek.”

Aku tergelak. Rasanya puas sekali bisa menyuruh Mama seenak udel! Telahdewasa.com

Setelah semua siap, kami pun melesat menuju rumah Sarudin. Rumahnya agak jauh dari rumahku, tapi perjalanan ke sana cukup sulit karena harus melewati perkebunan singkong yang jalannya masih berupa tanah dan bebatuan.

Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Indra yang datang dari arah berlawanan. Ia mengendarai sepeda motornya menuju rumah dan masih mengenakan seragam sekolah. Kubunyikan klakson berulang kali. Anak itu tersenyum lebar kepadaku dan menundukkan kepala saat melihat Mama. Ia membalas membunyikan klakson, lalu melesat pergi.

Setiap kali berpapasan dengan orang di jalan, Mama memegang jilbabnya agar tidak tertiup angin.

“Asik ‘kan Ma?” tanyaku sambil tertawa.

Kami sampai di rumah Sarudin. Pintunya terbuka dan ada banyak sendal bertebaran di depan rumahnya. Pastinya itu sendal milik ibu-ibu lain yang ikut membantu memasak makanan. Sepeda motor Sarudin tidak ada. Rupanya anak itu belum pulang.

Sebelum masuk, Mama merapatkan bagian bawah jilbabnya.

“Assalamualaikum.” Mama mengucap salam.

“Waalaikumsalam. Masuk Bu!” seru ibu-ibu dari dalam.

Aroma masakan mengambang pekat di udara. Perutku keroncongan lagi meski sudah makan siang.

Perabotan ruang tamu di rumah Sarudin sudah dipindah karena tempat itu bakal dipakai buat acara. Tempat kosong itu diduduki beberapa anak kecil yang asik bermain kartu bergambar kartun.

“Yah baru datang. Udah ditungguin dari tadi!” Bulik Tin, adik Mama, menyambut kami. Nama lengkapnya adalah Suratin, jadi orang-orang memanggilnya Tin. Sebagai adik, Bulik Tin memiliki wajah mirip Mama. Hanya saja tubuhnya lebih pendek dan lebih kecil sedikit dari Mama.

Bulik Tin memelukku. “Kamu kok baru kelihatan? Kayak rumah kita beda pulau aja.”

“Sibuk belajar,” jawabku.

“Nah pinter. Semoga tahun ini lulus.”

“Mana si Alif?” tanya Mama.

“Tuh ada di kamar.”

Kami masuk ke kamar di dekat ruang tamu. Alif, adiknya Sarudin, melihat kami sambil meringis menahan sakit. Ia berbaring di atas kasur dengan memakai sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Wah biusnya udah habis nih,” ejekku.

“Jangan diejek gitu.” Mama menegurku.

“Iya nih, burungku perih banget.” Alif mengipas-ngipas lehernya yang berkeringat.

Mama menyelipkan amplop berisi uang ke dalam bantak Alif. “Nih buat beli jajan. Bude mau bantuin ibu-ibu masak dulu.”

“Terima kasih Bude.” Alif tersenyum lebar, lalu meringis lagi. “Aduh kapan sembuhnya ini.”

“Palingan dua minggu sembuh.” Aku menghiburnya. “Asal banyakin makan dan minum obat.”

Mama keluar dari kamar dan bergabung dengan ibu-ibu lain di dapur. Sebentar saja, terdengar suara ibu-ibu itu yang bersemangat menggosipkan tetangga lain. Aku mencoba mendengarkan pembicaraan mereka dari kamar Alif.

“Eh tahu gak katanya anak-anak di kampung sebelah ketahuan mau perkosa ibu-ibu,” ujar salah satu ibu-ibu. “Untung aja gak jadi! Padahal mereka udah pada lepas celana.”

“Pemerkosaan? Di kampung sebelah? Makin gawat aja nih,” sahut ibu lain. “Kayaknya kampung sekitar sini aman-aman aja deh. Gak ada kejadian parah kayak di kota.”

“Eh siapa bilang? Udah denger belum kalau di kampung sono ada ibu-ibu jalan kaki sambil pamer tetek?”

“Hah yang bener?” Suara ibu-ibu lain tambah bersemangat. “Terus nasibnya gimana tuh?”

“Katanya ditelanjangin sekalian sama warga situ. Ada rekamannya juga, tapi aku belum lihat.”

“Astagfirulloh. Dunia makin gila.”

“Tapi kemarin aku denger-denger nih ya, di sekitar sini juga ada ibu-ibu telanjang di jalan.”

“Ini orang yang sama atau beda nih?”

“Kurang tahu juga ya. Tak kirain sama, tapi kayaknya beda deh. Soalnya kejadiannya di sekitar sini.”

“Kejadiannya gimana tuh?”

“Anak-anak kecil yang lihat. Bahkan katanya mereka colok-colok itu memek si ibu.”

“Anak kecil? Astagfirulloh!”

Kubayangkan wajah Mama yang panik mendengar kabar itu. Aku ingin melihatnya langsung, tapi dapur itu sempit dan kehadiranku malah bakal mengganggu yang lain.

Setelah menimbang-nimbang, kuputuskan untuk menengok Mama. Aku melongok dari dinding yang membatasi ruang tamu dengan dapur. Suhu di sekitar panas dan penuh asap kompor. Ibu-ibu itu duduk di lantai sambil memotong bawang merah, bawang putih, cabe, dan bumbu dapur lainnya. Mama duduk di sebelah Bulik Tin. Wajahnya memerah. Entah karena suhu yang panas atau karena malu mendengar ibu-ibu yang membicarakannya.

“Omong-omong tumben kamu pakai jilbab ini? Katanya gak suka sama modelnya?” tanya Bulik Tin.

Mendengar jilbabnya disebut, Mama segera membetulkan posisi jilbabnya yang agak melenceng. “Sayang kalau gak dipakai. Lagian bahannya adem dipakai.”

“Masa sih? Harusnya kamu gak usah pakai jilbab aja, gak apa-apa kok. Wong isinya ibu-ibu semua.” Bulik Tin menarik-narik ujung jilbab Mama. “Tapi beneran kamu gak kepanasan? Ini sampai nutupin badan loh.”

“Beneran adem.” Mama menggerak-gerakkan badan supaya adiknya melepas pegangannya. Barangkali karena panik, Mama menggerakkan badan terlalu kencang sehingga sebagian perutnya kelihatan.

“Eh tunggu sebentar!” seru Bulik Tin. Ia menyibak bagian bawah jilbab Mama. Alhasil ia melihat tubuh telanjang yang dari tadi Mama berusaha sembunyikan.

“Astagfirulloh.” Ia nyaris memekik, tapi ia berusaha mengendalikan diri. “Kau gak pakai baju?”

Bersambung…

“Habisnya panas banget di luar. Jadi aku pakai baju begini aja,” jelas Mama.

“Tapi ini kainnya gampang terbang ketiup angin. Kalau kelihatan orang gimana?” Bulik Tin mencengkeram bagian bawah jilbab Mama. “Anakmu oke-oke aja lihat kamu begini?”

“Dia setuju aja,” jawab Mama. “Tenang, ini gak masalah kok. Selama aku jaga posisinya, tetekku gak bakal kelihatan.”

Bulik Tin menggelengkan kepala. “Tetep aja bahaya kalau kelihatan. Sebentar, aku ambilin bajuku dulu”

Mama menarik baju adiknya. “Gak usah. Aku begini aja. Beneran deh.”

“Ada apa sih kalian kok ribut-ribut?” Salah satu ibu-ibu terpancing melihat mereka.

“Mbakku ternyata gak pakai baju.” Bulik Tin menyibak jilbab Mama. Kedua tetek Mama bergelayutan keluar.

Ibu itu terbelalak. “Ya Alloh! Kenapa gak pakai baju gitu?”

Ibu-ibu lain jadi ikut menoleh ke Mama. Wajah mereka kebingungan bercampur kaget.

Mama pun menjelaskan ke mereka. Ibu-ibu itu mengangguk-angguk paham. “Iya sih cuaca memang panas banget, apalagi di dapur. Tapi gak gitu juga kalik Bu.”

“Sekarang sih gak apa-apa karena isinya ibu-ibu semua. Kalau bapak-bapak yang datang bisa repot,” sahut ibu yang lain.

“Kalian tenang aja. Ini jilbabnya aku lihatin terus kok.” Mama berusaha menenangkan mereka. “Toh anginnya gak kencang di sini. Jilbabnya gak bakal berkibar.”

“Awas jangan dilakukan di jalan. Nanti ibu dikira cewek yang suka pamer tetek itu,” celetuk yang lain.

Mama tersenyum. “Gak bakal Bu. Itu sih kelakuan wanita murahan.”

Mereka pun lanjut memasak. Bulik Tin masih memaksa Mama untuk memakai bajunya, tapi Mama tetap menolak. Akhirnya Bulik Tin menyerah. “Terserah kamu aja deh. Tapi inget, jangan sampai tetekmu kelihatan kalau ada bapak-bapak datang.”

Karena ibu-ibu itu sudah tahu, Mama tidak menjaga penampilannya lagi. Bagian bawah jilbabnya disampirkan di leher sehingga kedua teteknya bebas bergelayutan di luar.

“Awaw teteknya kena kuah sop,” ujar salah satu ibu yang lewat di depan Mama sambil membawa sepanci besar berisi sop panas.

“Tetekmu gede bener ya,” komentar ibu yang duduk di sebelah Mama. “Suamimu pasti betah di rumah tuh.”

“Ah Bu Marni bisa aja.” Mama tersipu. “Cewek-cewek di keluargaku teteknya pada gede semua. Ini keturunan deh.”

“Tapi punyaku gak segede punyamu,” sahut Bulik Tin yang sedang mengulek bumbu. “Yang paling gede cuma dia doang.”

Yang lainnya terkekeh.

“Katanya sih ibu-ibu yang suka pamer tetek di sekitar sini itu teteknya gede loh. Segede pepaya,” kata Bu Marni.

“Ya berarti segede tetek Mbakku itulah,” sahut Bulik Tin sambil menunjuk ke Mama. Ibu-ibu lain terbahak-bahak, termasuk Mama.

“Suamimu minta jatah berapa kali tuh dalam sehari?” tanya ibu yang sedang menggoreng ayam buat soto.

“Huuuus, Bu Indah kalau nanya langsung to the point.” Bu Marni mencubit betis Bu Indah.

“Kamu ya kalau ngomong juga to the point.”

“Dulu waktu awal nikah, suamiku minta jatah terus tiap hari,” jawab Mama sambil memotong bawang merah. “Sekarang udah jarang. Yah namanya juga udah bosen.”

“Jadi kamu mainnya sama siapa tuh kalau lagi pengen?” tanya Bu Indah.

“Astagfirulloh Indah!” seru yang lain.

“Ya kagak main sama siapa-siapalah,” jawab Mama.

Rasanya aku ingin menjawab kalau Mama sekarang main sama orang lain, tapi tentu saja aku cuma bisa menjawabnya dalam hati.

Terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman depan rumah. Sarudin menyelonong masuk dengan membawa dua kantong plastik berisi sayuran dan bumbu.

“Aduh ini anak lama bener! Kemana aja sih?” seru Bulik Tin begitu melihat anaknya.

“Ketemu temen terus ngobrol dulu,” jawab Sarudin. Ia tersenyum ke arah Mama. Mama membalasnya dengan senyuman juga.

Baru saja sampai di rumah, Sarudin sudah disuruh ibunya membeli galon. Anak itu keluar sambil menggerutu.

“Sssst… Mama ke sini dong.” Aku memanggilnya dari balik dinding.

Mama berhenti memotong bawang, lalu bergegas mendatangiku. “Ada apa?”

Aku berbisik ke telinganya. Mama menggelengkan kepala. “Tapi terlalu banyak orang di sini.”

“Aku jaga di depan. Mama tenang aja.”

Mama mengintip ke dapur. Ibu-ibu tampaknya sibuk dengan urusannya masing-masing dan tidak memerhatikan Mama.

“Kalau gitu kita harus cepat-cepat,” kata Mama. Jilbabnya diturunkan kembali sampai menutupi tetek dan perutnya.

Alif sedang membaca komik Donald Bebek sambil tiduran saat Mama masuk ke kamarnya. Ia menurunkan komiknya. “Ada ada Bude?”

“Burungmu masih perih?” tanya Mama. Ia duduk di pinggir kasur.

“Udah agak mendingan. Barusan aku minum obat.” Alif menunjuk obat-obat yang tergeletak di sebelah bantalnya.

“Bude tahu rahasia biar burungmu gak perih lagi dan cepat sembuh,” ujar Mama.

“Rahasia apa Bude?”

“Tapi kamu harus janji dulu gak bakal bilang ke siapa-siapa, apalagi ke kedua orangtuamu.”

Anak itu mengangguk. Mama mengeluarkan salah satu teteknya dari balik jilbab. “Ini obatnya.”

Aku menahan tawa karena melihat Alif yang melotot melihat tetek Mama. Sambil merekam dari balik pintu, sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada ibu-ibu yang lewat ke ruang tamu.

“Kamu isep tetek Bude, dijamin sakitnya langsung hilang,” jelas Mama. Ia mengguncang-guncangkan teteknya di depan Alif.

“Baru denger tetek bisa nyembuhin sunat.” Alif terpaku memandang tetek Mama yang bergoyang-goyang.

“Gimana? Mau ngisep gak?” tawar Mama.

“Boleh deh Bude.”

Mama menyibak bagian bawah jilbabnya sampai kedua teteknya terlihat. Mata Alif semakin menyala-nyala penuh semangat melihat kedua tetek itu bergelantungan.

“Isep nih.” Mama menurunkan badan sampai pentilnya menyentuh wajah Alif. Anak yang tadinya lemas itu tiba-tiba tenaganya melonjak seperti kuda liar. Ia melahap salah satu pentil Mama, lalu menyedotnya kuat-kuat. Aku sampai bisa mendengar suara sedotannya.

“Pelan-pelan nyedotnya.” Mama meringis menahan sakit. Urat-urat di sekitar pentilnya sampai menonjol.

Alif tidak menggubris ucapan Mama. Kedua tangannya memeluk Mama erat-erat. Bulatan tetek Mama terhimpit di wajahnya.

“Aduh, aduh.” Alif melepas sedotannya. Wajahnya terlihat menahan sakit. “Burungku perih lagi.”

“Kalian lagi apa?” ujar suara seseorang yang kukenal.

Aku menoleh ke belakang. Bulik Tin berdiri di belakangku.

Kualihkan mode video ke mode kamera.

“Mau fotoin Alif buat kenang-kenangan,” kataku.

“Wah boleh tuh. Di sini gak ada yang punya hape buat motoin Alif. Cuma kamu dan ibumu doang yang punya. Ya udah, fotoin dia buat kenang-kenangan.”

Bulik Tin melongok. “Dari tadi aku nyariin ibumu. Dia di dalam?”

Pikiranku berputar mencari alasan. “Eh Mama ada di dalam.”

“Lagi ngapain sama si Alif?”

“Lagi ngobrol biasa aja.” Meski jantungku berdebar kencang, kuusahakan untuk bersikap senormal mungkin.

“Okelah kalau begitu. Bilangin ibumu nanti bantuin aku masak lontong. Cuma dia yang jago bikin lontong.” Bulik Tin pun balik ke dapur.

Seluruh otot-ototku terasa mau lepas dari engsel-engsel tulang. Kalau sampai dia melihat Mama lagi menyusui anaknya, dia pasti bakal kaget. Aku memang ingin saudara-saudara tahu kelakuan Mama, tapi di momen yang tepat. Kalau Bulik Tin marah melihat kelakuan Mama, bisa-bisa kami diusir sebelum Mama melakukan aksi besar yang aku rencanakan.

“Ma, tadi Bulik Tin nyariin tuh,” kataku.

“Iya sebentar ya.” Mama menahan jilbabnya agar tidak jatuh menimpa Alif. “Bude mau bantuin ibumu masak dulu nih.”

“Bwentar lagi Budwe.” Suara Alif kurang jelas terdengar karena mulutnya sibuk menyedot pentil Mama. Ia berpindah ke tetek Mama satunya. “Satu ini lagi deh.”

Sambil menyedot tetek Mama, anak itu memelintir pentil Mama yang lain. Pentil Mama jadi mengacung.

“Ssssssh aduh,” erang Mama tertahan karena Alif menarik pentilnya terlalu kencang. “Udahan deh, nanti ibumu nyariin lagi.” Telahdewasa.com

Mama mendorong wajah Alif. Anak itu masih berusaha melahap pentil Mama begitu teteknya menjauh.

“Inget ya jangan bilang siapa-siapa,” ujar Mama sambil bangkit dari duduknya.

“Aku boleh ngisep teteknya Bude lagi gak?” mohon anak itu.

“Boleh kalau kamu jaga rahasia.” Mama pun keluar dari kamar Alif.

“Mana Bulik Tin?” tanya Mama.

“Tuh di Dapur. Dia minta dibantuin bikin lontong,” kataku. Mama bergegas ke dapur. Saking buru-burunya, ia lupa menurunkan jilbabnya lagi sehingga kedua teteknya masih terlihat.

“Ya ampun, ditutup dulu teteknya!” seru Bu Marni saat melihat Mama masuk ke dapur.

Bulik Tin menimpali. “Tuh ‘kan jadi kebiasaan teteknya keluar. Awas aja kalau kelihatan tamu yang datang nanti.”

“Memangnya tamu-tamu datang jam berapa?” tanya Mama. Ia duduk di sebelah Bulik Tin.

“Habis magrib seperti biasa.”

Kulirik jam dinding di atasku. Tinggal satu setengah jam lagi menuju magrib. Mama masih ada waktu buat menenangkan diri sebelum momen besar.

Sambil menunggu magrib, aku menonton Youtube sambil tidur-tiduran di sebelah Alif. Sarudin sudah pulang dan langsung membantu ibu-ibu mengangkat masakan yang sudah matang.

“Kak, aku kok rasanya aneh ya waktu lihat teteknya Bude tadi,” ujar Alif. “Perutku kayak digelitik. Burungku jadi makin sakit. Mana baru disunat pula.”

“Itu kamu lagi sange. Wajar setiap kali kamu lihat cewek telanjang,” kataku. “Kamu suka lihat badan ibuku?”

“Suka banget Kak!” Wajah Alif berbinar-binar. “Aku suka sama teteknya yang gede, terus pantatnya gede pula. Aduh, Bude cantik banget!”

Ah dasar kakak dan adik sama saja. Sukanya sama yang besar-besar.

“Sama ibu kamu cantik mana?” tanyaku.

Alif berpikir sebentar. “Sebenernya ibuku cantik juga, tapi lebih cantik Bude. Waduh, bayangin Bude saja bikin burungku sakit lagi.”

“Kalau kamu ngerasa sange lagi, kapan-kapan coba lihat ibumu sendiri,” kataku.

Anak itu mengerjapkan mata. “Hah? Kenapa ibuku?”

“Karena ibumu juga cewek dan menurutku ibumu badannya oke juga. Mendingan lihat cewek terdekat daripada cari wanita yang jauh.”

“Tapi ibu pasti marah kalau aku minta netek ke dia,” keluh Alif.

“Ada caranya, nanti aku ajarin,” kataku. “Tapi kamu harus bener-bener suka sama ibumu dulu. Kalau gak suka, kamu bakal setengah-setengah jalaninnya.”

“Kalau gitu ajarin aku sekarang!” seru Alif.

“Tunggu burungmu sembuh dulu, baru aku ajarin.” Aku terbahak.

Kami lanjut mengobrol soal lain. Sayup-sayup terdengar suara adzan di kejauhan. Tidak terasa magrib tiba. Sebentar lagi tamu-tamu akan datang ke rumah.

“Aku bawain bajuku ya?” Suara Bulik Tin terdengar dari dapur.

“Udah gak usah! Lagian aku di dapur. Mereka gak bakal ke dapur,” ujar Mama.

Aku buru-buru keluar dari kamar dan mengintip mereka dari ruang tamu.

“Iya sih, tapi buat jaga-jaga biar tetekmu gak kelihatan,” ujar Bulik Tin. “Memangnya kenapa sih kalau pakai baju? Ini toh sudah mau malam. Sudah gak sepanas tadi siang.”

“Bagimu gak panas, buatku masih panas.” Mama tidak mau kalah. “Kalau aku banyak keringetan, bisa muncul beruntusan.”

“Ya sudah, kalau gitu kamu jangan sampai ke ruang tamu biar gak dilihat bapak-bapak,” ujar Bu Indah menengahi.

Sarudin yang sedang duduk bersila di lantai sambil makan gorengan cuma tersenyum-senyum saja melihat dada Mama yang menonjol di balik jilbabnya.

Bulik Tin menghela napas, lalu pergi ke kamar mandi. Mama membantu menata makanan ke atas nampan bersama ibu-ibu lain.

“Mama, ke sini dong,” kataku. Mama menaruh tempe mendoan ke atas piring, lalu bangkit mendekatiku.

“Ada apa lagi?”

“Mau ngerobek jilbab Mama.” Kuraih bagian bawah jilbab Mama, kemudian kurobek sampai ke bagian tengah. Bahan jilbab itu tipis sehingga bisa robek dengan mudah. Begitu bagian bawah jilbabnya robek, Mama tidak bisa lagi menutupi teteknya dengan jilbab.

“Tapi sebentar lagi tamu-tamu datang.” Mama terlihat panik. “Om kamu juga sebentar lagi datang.”

“Memang itu rencananya.” Kumasukkan sobekan jilbabnya ke saku celana. “Kalau Bulik Tin tanya, bilang aja kalau jilbab Mama tadi tersangkut paku jadi robek.”

“Paku di mana?”

“Di mana aja bisa. Di pagar bisa, di dekat pintu itu ya bisa.” Kutunjuk paku yang menonjol di dinding dekat pintu Alif.

Dari kejauhan terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah.

“Assalamualaikum.” Om Abi, suami Bulik Tin, masuk ke ruang tamu. Wajahnya langsung berubah begitu melihat Mama yang berdiri dengan tetek bergelayutan keluar. “Ya ampun!”

“Eh waalaikumsalam.” Mama langsung berdiri tegak.

“Kok gak baju begitu?” Om Abi memandang Mama dari atas ke bawah. Ia menepuk pundakku. “Ambilin baju buat ibumu. Cepat!”

“Ada apa ini?” Bulik Tin baru saja keluar dari kamar mandi dan mendatangi kami karena ada ribut-ribut. Ia memekik saat melihat Mama. “Sudah kubilang, pakai bajuku saja. Kejadian tuh! Tutupin tetekmu!”

“Jilbab Mama robek kena paku itu,” kataku sambil menunjukkan sobekan jilbabnya. Mau tidak mau aku juga ikut menjelaskan.

“Tapi itukan gak tajam,” ujar Om Abi. “Cepetan dah pakai baju sebelum tamu-tamu datang.”

“Assalamualaikum!” Terdengar suara salam dari luar. Sekitar lima orang bapak-bapak berdiri di luar. Mereka menatap Mama yang berdiri telanjang di ruang tamu.

Bersambung…

Aku, Mama, Om Abi, dan Bulik Tin cuma terdiam kikuk. Bapak-bapak di luar juga sama kikuknya seperti kami.

“Se-sebaiknya aku ambilin baju dulu.” Bulik Tin lari ke kamarnya.

Mama menutup teteknya dengan tangan. Aku berdiri di depan Mama supaya terlihat seakan-akan aku melindungi Mama.

Om Abi mendatangi tamu-tamunya yang kebingungan. “Maaf ya bapak-bapak, pintunya saya tutup dulu sebentar saja.” Ia pun menutup pintu.

Ibu-ibu di dapur pada melongokkan kepala ke ruang tamu. “Ada apa ya?”

“Bukan apa-apa.” Om Abi berusaha tersenyum ramah ke ibu-ibu itu. “Mana ini si Suratin, kok lama bener?”

Sebentar kemudian, Bulik Tin muncul dari lorong dengan sehelai pakaian di tangan. “Nih cepetan pakai ini.” Ia menyodorkan pakaian itu ke Mama yang ternyata adalah daster.

Mama memandangku. Aku mengangguk tanda setuju ia memakai baju. Mama buru-buru mengambil pakaian itu, lalu mengenakannya. Badan Bulik Tin sedikit lebih kecil dari Mama, sehingga baju yang dikenakan Mama terlihat ketat. Tetek dan pantatnya menonjol di balik daster. Kedua pentil Mama tercetak jelas. Memakai daster itu malah bikin Mama terlihat lebih seksi.

“Balik ke dapur aja gih biar gak kelihatan tamu.” Bulik Tin menarik Mama ke dapur. “Bukain pintunya dong. Kasihan mereka malah nunggu di luar.”

Aku membuka pintu. Bapak-bapak yang menunggu di luar jumlahnya bertambah dua kali lipat. Semua masuk ke ruang tamu satu persatu. Mereka yang tadi sempat melihat Mama cuma tersenyum saat pintu kubuka.

Salah satu dari mereka yang lebih muda, berbisik ke temannya. “Tadi ibu anak itu teteknya kelihatan,” bisiknya. “Teteknya gede amat, kayak bola.”

“Yang bener? Ibunya yang mana sih.” Temannya melihat-lihat ke sekeliling.

“Pelan-pelan cuk, suaramu kedengeran.”

“Kau juga ngomongnya keras cuk.”

Setengah jam kemudian para tamu sudah lengkap. Pengajian pun dimulai. Aku tidak ikut mengaji, tapi duduk di dapur bersama ibu-ibu yang lain. Mereka sedang menata jajanan di atas baki untuk diberikan ke tamu-tamu. Aku membantu Mama memecahkan es batu untuk dibuat es teh. Karena dapurnya cukup sempit, Bulik Tin duduk ruang tamu sambil ikut mengaji.

Acara pengajian itu cuma berlangsung satu jam. Tidak terasa sudah waktunya memberikan makanan ke para tamu. Bulik Tin berbisik ke arahku yang duduk paling dekat dengannya. “Kasih makanan ke tamu. Kasih makanan utama dulu. Minta Bu Marni atau kamu yang bawa.”

Aku mengangguk. Kuberitahu perintah itu ke ibu-ibu di dapur. “Udah waktunya kasih makanan ke tamu. Biar Mama yang bawa makanan ke sana.”

“Eh tapi baju ibumu begitu. Biar aku saja yang bawa.” Bu Marni bergegas berdiri.

“Gak usah, biar Mama saja yang bawa. Mama gak masalah ‘kan?” kataku sambil mengedipkan mata ke Mama.

Mama menundukkan kepala. “Iya, biar aku saja yang bawa.”

Bu Marni mengerutkan kening. “Oke, tapi hati-hati bawanya ya.”

Aku dan Mama mengangkat baki berisi makanan. Sebelum ke ruang tamu, aku berbisik ke Mama. “Lepas semua kancing Mama.”

“Kamu yakin? Ini beda sama anak-anak di sekolah. Yang ini banyak tetangga dekat kita semua.”

“Mereka bakal mengira kalau Mama gak sengaja. Mama tenang saja.”

Mama menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan ibu-ibu itu tidak memperhatikannya. Ia lalu melepas semua kancing di kerah dasternya. Belahan tetek Mama langsung terlihat begitu kancing penutupnya lepas.

“Bagus, sekarang kita ke ruang tamu. Mama jalan duluan deh,” kataku.

Bulik Tin kaget saat melihat Mama muncul di ruang tamu. Ia menatapku tajam. “Bukannya tadi aku minta tolong Marni buat bawa makanan? Kenapa malah ibumu? Aduh, mana dia belum ganti jilbab pula!”

Aku pura-pura terkejut. “Oh aku kurang denger ucapannya Bulik. Aku kira tadi Bulik nyuruh Mama yang bawa makanan.”

Wajah Bulik Tin memerah saat Mama melangkah ke ruang tamu. Semua bapak-bapak yang duduk bersila di lantai langsung menengok ke Mama. Wajar saja mereka menengok karena daster ketat yang diberikan Bulik Tin membentuk setiap lekuk tubuh Mama. Ruang tamu yang dipenuhi orang bikin suhu udara pengap meski pintu dan jendela rumah dibuka. Tubuh Mama jadi berkeringat dan membuat daster yang dikenakannya semakin mengencang ketat. Pentil dan udelnya sampai tercetak jelas.

“Itukah ibu-ibu yang kamu bilang?” bisik tamu barusan. Ia duduk tepat di belakangku.

“Bener, itu dia. Gile badannya.”

“Ayo silakan dinikmati makanannya.” Mama menundukkan badan untuk menaruh baki makanan.

“Wih gile bener pantatnya,” ujar bapak yang duduk di dekatku. Para tamu yang duduk di belakangku dan Mama mendapat pemandangan indah belahan pantat Mama yang tercetak di dasternya. Semua mata tertuju ke pantat Mama.

Bulik Tin berbisik-bisik ke suaminya. Entah apa yang mereka bicarakan.

Saat Mama menaruh mangkok nasi ke tengah ruangan, lengannya menyenggol bulatan teteknya. Tetek sebesar pepaya itu bergeser sedikit ke tengah kerah daster yang terbuka. Akibatnya tetek itu menyembul keluar dari tepi kerah daster.

“Astagfirulloh!” seru bapak-bapak yang duduk di depan Mama bersamaan.

Mama buru-buru memasukkan kembali teteknya ke kerah daster, tapi teteknya terlalu besar untuk masuk ke kerah daster yang mengetat karena keringat.

“Be-bentar ya.” Suara Mama mulai panik.

“Udah suruh mundur aja dulu!” seru Bulik Tin kesal. Aku menaruh baki makanan ke lantai, lalu menghampiri Mama yang masih kesulitan memasukkan teteknya.

“Ma, kita ke dapur aja yuk,” kataku sambil berusaha menutupi teteknya dari pandangan orang-orang yang melotot di depannya. Sambil menutupi teteknya dengan tangan, Mama mengikutiku menuju dapur.

Ibu-ibu di dapur memandangi Mama dengan gelisah.

“Tuh ‘kan! Mendingan aku aja tadi yang bawa makanan ke depan,” ujar Bu Marni.

“Ternyata tadi Bulik Tin memang nyuruh Bu Marni buat ke depan, tapi aku gak denger,” jelasku.

Bu Marni akhirnya menggantikan Mama membawa baki makanan. Sarudin bergegas ke kamar dan kembali dengan membawa sarung.

“Pakai ini aja Bude,” kata anak itu sambil menyodorkan sarung. Ia tersenyum saat melihat tetek Mama yang masih menyembul keluar.

“Terima kasih,” balas Mama. Ia membungkus bagian dadanya dengan sarung. Kedua teteknya kini aman terlindungi.

Sesi makan-makan cuma berlangsung sebentar. Setelah makan, para tamu bergantian masuk ke kamar Arif untuk memberikan amplop berisi uanh. Tentu saja anak itu menerima pemberian itu dengan senang hati.

“Pulang dulu, assalamualaikum!” seru para tamu. Mereka bergantian bersalaman dengan Om Abi, lalu naik ke sepeda motor masing-masing. Beberapa orang masih mengobrol sebentar di halaman depan rumah. Beberapa lagi ikut membantu ibu-ibu mengangkat piring-piring kotor ke dapur.

Para bapak-bapak yang membantu mengangkat piring kotor ke dapur melirik ke Mama yang sedang mencuci piring. Om Abi dan Bulik Tin belum memasang wastafel dan keran air untuk mencuci piring letaknya di bawah sehingga Mama harus duduk di bangku kecil. Posisi duduk yang agak jongkok itu membuat bongkahan pantat Mama semakin menonjol.

“Permisi Bu, ini piring kotornya,” ujar para bapak-bapak itu. Mereka berdiri mengantre di belakang Mama cuma untuk menikmati pemandangan pantat Mama.

Mama diam saja sambil terus mencuci.

“Eh kalian inget istri di rumah! Taruh aja piringnya di deket situ!” seru Bu Indah. Tangannya mengacungkan centong nasi.

Para bapak-bapak itu langsung menaruh piring kotor yang mereka pegang dan pergi dari dapur. Sebelum pergi, mereka sempat melirik ke belakang untuk melihat pantat Mama untuk terakhir kali.

Selesai mencuci piring, Om Abi memanggil Mama.

“Mbak, jujur aja saya kaget lihat Mbak telanjang di rumah saya. Mana tadi teteknya Mbak keluar di depan tamu. Kali ini saya maafkan, tapi saya gak mau ini terulang lagi. Kalau begini, kita semua yang malu,” ujar Om Abi. “Saya mau Mbak pakai baju yang lebih layak, apa pun alasannya.”

“Iya, saya minta maaf sebesar-besarnya.” Mama menundukkan kepala. “Saya juga gak nyangka bakal kejadian seperti ini. Lain kali saya pakai baju yang lebih tertutup.”

“Saya sangat menghormati Mbak. Saya udah anggap Mbak seperti kakak saya sendiri. Ini semua demi kebaikan Mbak sendiri,” ujar Om Abi sebelum menutup pembicaraan.

Sesi beres-beres adalah sesi paling lama dan paling melelahkan setelah acara. Aku dan Sarudin ikut membantu Om Abi mengepel lantai yang berminyak karena tercecer makanan.

“Ibumu seksi bener,” bisik Sarudin.

“Kamu suka ya lihat ibuku?” kataku.

“Jelas suka! Cuma cowok gak normal yang gak suka lihat Bude.”

“Hei kalian ngomongin apa?” tanya Om Abi yang lagi mengelap sudut ruangan.

“Eh lagi ngomongin sekolah.” Kami mengganti topik biar Om Abi tidak curiga.

Pekerjaan itu baru beres dua jam kemudian. Sebelum pulang, Bulik Tin memberikan kami plastik besar berisi nasi dan lauk pauk sisa dari acara. “Daripada dibuang,” ujarnya.

Kami mengucap pamit, lalu melesat pergi menuju rumah.

Keesokan harinya aku mendatangi Bagas di rumahnya. Ia melongo saat kuceritakan pengalamanku bersama Mama dan kutunjukkan rekaman-rekamannya.

“Gilaaaaaaa!” Itu saja komentarnya saat melihat rekaman terakhir. Ia mengulang rekaman-rekaman itu dari awal.

“Gak nyangka ya? Hahahahaha!” Aku terbahak.

Bagas memberikan smartphone-ku. “Hebat juga kamu bisa bikin malu ibumu sampai sebegitunya.”

Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi. “Omong-omong mana ibumu?”

“Lagi belanja di pasar.” Wajahnya terlihat lesu. Dari tadi ia selalu mengetuk jari telunjuknya ke permukaan meja seperti sedang gelisah.

“Ada masalah apa?”

Bagas menghela napas. “Denger-denger videoku nyebar keluar kampung. Waktu ibuku ketangkap warga, aku gak nyangka bakal ada yang bawa hape. Padahal kukira orang-orang sini masih banyak yang belum punya hape.”

“Ya itu memang risiko kalau pamer di tempat umum sih.” Aku jadi ikut lesu. Kepalaku berputar-putar memikirkan apa ada orang yang merekam Mama selain aku? Aku rasa tidak. Orang-orang sini masih mementingkan beras daripada smartphone. Cuma orang-orang dengan ekonomi cukup saja yang mampu membeli smartphone sepertiku.

“Jadi apa rencanamu kalau berita ini semakin nyebar?” tanyaku.

“Kalau cuma jadi bahan gosip sih gak apa-apa ya, toh tetangga-tetangga sini juga pada tahu kelakuan ibuku. Masalahny itu kalau kepolisian ikut campur.” Bagas meluruskan kedua kakinya. “Mungkin aku dan ibuku harus kabur dari sini.”

“Tapi bagaimana caranya kamu tahu seandainya ada polisi mau ke sini?”

“Aku punya saudara polisi. Dia pasti bakal ngasih tahu kalau ada yang mau datang kemari,” jawab Bagas. “Beberapa hari ini aku harus lebih waspada. Ibuku sudah gak pernah kusuruh telanjang di tempat umum lagi. Dia kukentot di rumah saja.”

“Kamu ada rencana mau kabur ke mana?”

“Entahlah. Tapi bapakku punya rumah kosong di desa lain. Aku ada kuncinya. Mungkin aku bakal ke sana kalau terjadi apa-apa.”

Kami terdiam cukup lama, setelah itu aku pamit pergi. Sebelum pergi, Bagas memintaku untuk lebih waspada saat mau memamerkan Mama. Aku mengiyakan dan berjanji bakal lebih berhati-hati.

Aku mengebut menuju rumah. Selama perjalanan, aku terus memikirkan apa yang bakal terjadi seandainya polisi benar-benar datang ke rumahnya. Mungkinkah dia bakal memberitahu kalau bukan cuma dia yang melakukan perbuatan bejat itu? Ah, aku rasa tidak. Dia melakukan itu sendirian, begitu pula aku. Meski kami sama-sama nakal, tapi kami melakukan kenakalan itu sendiri-sendiri.

Mendekati desaku, aku melihat beberapa orang yang sedang membangun tenda-tenda di lapangan sebelah jalan besar. Beberapa mobil bermuatan berbagai macam barang diparkir di pinggir jalan. Aku jadi ingat kalau ada pasar malam yang bakal dibuka malam ini.

Aku tersenyum. Ini saatnya melatih Mama lagi!

“Assalamualaikum!” ujarku saat masuk ke ruang tamu.

“Waalaikumsalam,” jawab Mama. Ia sedang menyapu ruang tamu. Mama cuma mengenakan kaus pendek tanpa pakai celana. Pantat telanjangnya bergoyang-goyang setiap kali ia menyeret debu lantai dengan sapu.

Kuselipkan jari telunjukku ke belahan pantat Mama, lalu kucium lehernya. “Malam ini kita latihan lagi ya.”

“Kamu sudah baca berita hari ini?” tanya Mama sambil terus menyapu.

“Di kampung sebelah ada ibu-ibu yang ketahuan telanjang di jalan. Beritanya sudah menyebar di website berita lokal.”

“Oh ya?” Aku pura-pura terkejut. “Berarti ada orang mesum selain Mama dong.”

Mama berhenti menyapu. Ia menatapku dalam-dalam. “Nak, kamu harus hati-hati. Bisa saja perbuatan kita menyebar kalau ada yang rekam kita. Kalau itu terjadi, apa kata Ayahmu? Dan gimana nasib kita?”

Seingatku, cuma Indra yang punya rekaman Mama waktu Mama ikut jalan santai sekolah, selain itu tidak ada.

Kuelus rambut Mama untuk menenangkannya. “Aku pastikan itu gak terjadi. Orang-orang sini masih jarang yang punya hape.”

Jariku berpindah ke depan dan menelusup ke dalam memeknya. Mama mencengkeram gagang sapu kuat-kuat.

“Nanti malam ada pasar malam nih,” kataku. “Mama latihan lagi ya.”

“Tapi di sana bakal banyak orang.” Paha Mama bergetar. Jariku masuk ke memeknya semakin dalam.

“Pelan-pelan Mama bakal dilihat banyak orang.” Cairan memeknya mengalir di jariku.

Kudorong pundak Mama ke dinding. Kedua tangannya refleks menekan dinding di depanny.

“Mendingan kita santai dulu buat petualangan nanti malam,” kataku sambil menurunkan celanaku. Batang kontolku menjulur keluar. Kukocok kebanggaanku itu supaya mengeras. Telahdewasa.com

“Pantatnya dinaikin dikit dong biar enak ngentotnya,” kataku.

Mama menaikkan pinggulnya. Kedua tangannya masih berpegangan ke dinding.

Kuarahkan kepala kontolku ke lubang memeknya yang sudah basah. Pelumas alami itu bikin batang kontolku menerobos mulus ke rahimnya.

“Hmmmmmmm!” erang Mama saat kontolku mentok di rongga memeknya.

Memek Mama berkedut-kedut memijat batang kontolku. Pikiranku serta merta terbang tinggi. Napasku memburu, begitu pula napas Mama.

Perutku memantul di pantat Mama saat kupompa memeknya dari belakang, menciptakan suara seperti tepuk tangan. Plak! Plak! Plak! Plak!

“Memek Mama terbaiklah!” Aku berseru sambil meraih rambut Mama. Ia mengerang saat rambutnya kutarik sampai kepalanya mendongak.

Plak! Plak! Plak! Plak!

Kontolku semakin mengeras, rasanya seperti membeku. Memek Mama dibanjiri cairan kental bening. Sepertinya Mama mau orgasme.

“Aku mau crot nih!” Kupompa memeknya sekencang mungkin. Kedua tangan Mama mencengkeram dinding kuat-kuat sampai permukaan dinding itu mengelupas.

“Ugh!” Mama mengerang.

Pejuhku menyembur deras di rahim Mama. Bongkahan pantatnya mengencang, lalu pelan-pelan melunak kembali. Cairan kami menetes di lantai.

Kucabut kontolku dari memeknya. Lubang kontolku masih menyemprotkan sisa-sisa pejuh. Kutempelkan kepala kontol yang belepotan pejuh itu ke pantat Mama. Pejuh itu menempel di pantatnya seperti lem menempel di kertas.

Setelah orgasme, pikiranku jadi lebih enteng, begitu pula semua ketegangan di badanku. Mama mengambil tisu, lalu membersihkan sisa-sisa pejuh di kontolku yang loyo. Setelah bersih, aku masuk ke kamar untuk tidur siang.

Sayup-sayup aku masih mendengar suara Mama mengepel lantai ruang tamu sebelum aku terlelap.

Bersambung…

“Di luar sudah aman belum?” tanya Mama dengan nada gelisah.

“Pak Didi baru aja lewat. Tunggu dia udah masuk rumah dulu,” jawabku yang lagi mengintip dari jendela.

Pak Didi adalah salah satu tetangga terdekatku. Ia selalu sholat di masjid dan pulang pergi dengan berjalan kaki. Orangnya sudah tua dan jalannya tertatih-tatih, jadi kami harus menunggu agak lama supaya bisa keluar dengan aman.

“Assalamualaikum.” Aku tersentak karena Pak Didi menyapaku. Meski sudah berumur, penglihatannya masih tajam.

“Waalaikumsalam,” aku balas menyapa.

Pak Didi berdiri di depan pintu pagar. Ia mengamati terali pagar itu dengan teliti.

“Ada apa ya Pak?”

Orang tua itu mengerutkan kening. “Kemarin malam saya lihat pagar ini goyang-goyang sendiri. Saya kira juga ada suara lenguhan, tapi telinga saya sudah gak setajam dulu. Jangan-jangan ada setan atau babi hutan di sini.”

Aku teringat saat mengentot Mama di pagar ini. Rupanya Pak Didi hampir saja memergoki kami.

“Mungkin ada babi hutan,” jawabku cepat.

“Semoga aja gak bahaya ya.” Pak Didi mengelus jenggotnya yang memutih. “Oh ya, saya jarang lihat ibumu lagi. Dia sehat?”

“Dia beberapa hari ini jarang keluar karena flu berat. Tapi sekarang sudah rada enakan.”

Pak Didi mengangguk. “Yah musim begini memang sarang batuk pilek.”

Ia mengamati pagar rumahku lagi. “Pokoknya kamu harus hati-hati ya. Takutnya kenapa-kenapa. Salam buat ibumu, semoga cepat sembuh.”

Orang tua itu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Aku menghela napas lega saat ia masuk ke dalam rumahnya.

“Ma, udah aman nih. Cepetan keluar.”

Mama melongok keluar sambil menoleh ke kiri dan kanan. Merasa jalanan sudah sepi, Mama berjinjit keluar. Ia cuma mengenakan sempak ketat tanpa memakai atasan sama sekali. Sebagian wajahnya tertutup masker medis.

“Aduh hampir aja lupa.” Mama berbalik lagi karena lupa mengunci pintu. Kedua teteknya gondal-gandul saat ia berjinjit mendekatiku.

“Tuh Pak Didi udah curiga ‘kan,” kata Mama saat duduk di belakangku.

“Iya hampir aja kita ketahuan kemarin. Untung aku matikan lampu depan dulu, kita gak kelihatan.”

Kunyalakan sepeda motor. Suara mesinnya meraung-raung memecah kesunyian magrib. Kami pun melesat menuju pasar malam.

Mama menyilangkan kedua tangannya di depan teteknya. “Dingin bener.”

“Sebentar lagi sampai kok Ma.”

Dua laki-laki sedang berjalan kaki. Keduanya mengenakan sarung dan kopiah. Tampaknya mereka baru pulang dari masjid seperti Pak Didi. “Astagfirulloh!” seru mereka hampir bersamaan saat melihatku yang membonceng Mama.

Mama mencolek pinggangku. “Itu ‘kan Pak Mirdad dan anaknya. Mereka tetangga kita.”

“Iya tahu Ma,” kataku sambil terus memacu sepeda motor. “Mereka cuma lihat kita sekilas. Mereka gak bakal kenal kita.”

“Mama cuma khawatir,” kata Mama.

“Turunkan sedikit sempak Mama biar belahan pantat Mama kelihatan,” pintaku.

Mama meraih bagian belakang sempaknya, kemudian karet sempaknya diturunkan. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku yakin dia benar-benar melakukannya.

“Sudah,” kata Mama.

“Bagus. Kalau gitu ‘kan Mama jadi lebih seksi.”

Di kejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu yang berderet panjang. Sebentar lagi kami sampai di pasar Malam.

Kami berhenti di sebuah pos kamling yang sudah tidak terpakai. Sepeda motor kuparkir di belakang pos kamling yang gelap supaya tidak terlihat dari jalan.

Mama memandang pasar malam dengan cemas. “Orang-orang situ banyak yang kenal Mama. Banyak tetangga kita yang jualan di sana.”

“Selama ini ‘kan mereka ngelihat Mama pakai jilbab. Mereka gak pernah lihat Mama telanjang begini. Mama juga jarang ketemu mereka.”

“Kamu mau ikut Mama? Kalau kamu pasti ketahuan.”

“Makanya ini sudah kusiapkan.” Kubuka jok sepeda motor, lalu kuambil sebuah jaket baru dan bungkusan kecil.

“Apa itu?” tanya Mama penasaran saat aku membuka bungkusan kecil dan mengeluarkan benda berukuran lebih kecil dan tampak berbulu.

Kuperlihatkan benda berwarna hitam dan berambut itu ke Mama. “Ini kumis palsu. Aku buat sendiri pakai bahan-bahan di rumah. Caranya banyak di Youtube.”

Kutekan kumis palsu itu kuat-kuat di atas bibirku. Selotipnya langsung merekat di kulit. Mungkin bakal sakit saat dilepas, tapi jauh lebih baik menempel kuat begini daripada gampang lepas.

Setelah yakin kumis itu tidak bakal lepas, aku memakai jaket baru supaya tidak dikenal orang-orang di pasar malam. Jaket ini sebenarnya adalah hadiah dari Mama saat Lebaran tahun lalu, tapi aku tidak pernah memakainya karena model dan warnanya jelek. Jaket itu berwarna biru cerah dengan empat saku yang dijahit berderet di depan. Siapa yang mau pakai jaket sejelek itu?

Namun, setelah sekian lama, akhirnya jaket ini ada gunanya juga!

“Tunggu sebentar.” Aku nyaris melupakan satu alat dari jok sepeda motor. Kuambil spidol besar berwarna hitam. Kubuka tutup spidol itu, lalu kutulis besar-besar di perut Mama di atas teteknya:

SUSU MAMA

Kutambahi lagi tulisan besar di atas udelnya:

LONTE KAMPUNG

“Biar mereka tahu betapa rendahnya Mama.”

Mama memandang tulisan di perutnya, lalu menatapku. “Kalau terjadi apa-apa, kamu yang tanggung jawab ya.”

Aku cuma mengacungkan jempol.

Seperti biasa, Mama jalan di depan dan aku mengikutinya dari belakang. Semakin mendekati pasar malam, kurasakan kedua kakiku menegang karena was-was. Barangkali Mama juga merasakan hal yang sama, tapi yang jelas dia jauh lebih tegang daripada aku!

Rintangan pertama adalah memghadapi para tukang parkir yang biasanya berjaga di area depan pasar malam. Seingatku cuma ada tiga tukang parkir. Sebentar kemudian, dugaanku tepat karena mereka bertiga bergegas mendekati Mama.

“Buset, Ibu gak apa-apa?” tanya salah satu tukang parkir. Ia dan kedua temannya memandangi Mama dari atas ke bawah.

Aku langsung maju menghadang mereka.

“Lonte ini lagi saya beri hukuman,” kataku dengan suara kuberat-beratkan. “Dia kabur bawa uang saya dan baru ini ketangkap. Saya mau dia dipermalukan di sini.”

Ketiga tukang parkir itu saling berpandangan.

“Tapi di sini banyak orang dan kalian bisa kena damprat pengunjung,” kata salah satu dari mereka yang memakai topi merah.

“Saya tahu, makanya saya mau ajak kalian bekerja sama.” Kuambil dompet dari saku celanaku. Ketiga penjaga parkir itu tertegun saat aku mengeluarkan segepok uang tebal dari dompet.

“Masing-masing bakal dapat empat ratus ribu kalau berhasil mengamankan kami di pasar malam.” Kukibas-kibas uang itu di depan mereka. “Sebagai uang muka, aku kasih kalian masing-masing seratus ribu.”

“Okelah kalau begitu.” Si Topi Merah menerima uang seratus ribu yang kusodorkan.

“Yang lain gimana? Mau?” Kutatap kedua penjaga parkir lainnya satu per satu.

“Saya mau,” ujar salah satu dari mereka. Yang satunya lagi ikut mengiyakan tawaranku.

“Oke, kalau begitu tugas kalian cuma mengawasi dan menghalau orang-orang yang mengerubungi lonte ini. Paham?”

Ketiga penjaga parkir itu mengangguk.

Aku menoleh ke Mama. “Kamu jalan duluan ya.”

Rombongan kami pun bergerak memasuki pasar malam.

“Eh eh lihat tuh!” seru seorang pengunjung sambil menyenggol lengan temannya. “Ada yang telanjang!”

Tidak cuma dia yang melihat Mama, sekitar lima puluh orang yang berada di pasar malam semuanya menatap Mama. Seluruh aktivitas pasar malam seolah-olah terhenti. Satu-satunya makhluk hidup yang bergerak cuma seekor kucing yang mengais-ngais tong sampah.

Mama berjalan perlahan-lahan sambil menundukkan wajah. Aku berjalan sekitar satu setengah meter di belakangnya. Ketiga penjaga parkir itu mengikuti kami dengan pandangan waspada.

“Aduh Mbak teteknya montok bener,” goda seorang pria saat Mama lewat di depannya.

“Cewek godain kita dong!” seru yang lain.

“Mbak lonte ya? Sejam berapa?” tanya yang lain.

Para pengunjung laki-laki bergerak mendekati Mama, sementara para pengunjung perempuan lebih memilih menyingkir.

“Mama ada cewek telanjang tuh!” seru seorang anak kecil sambil menarik baju ibunya.

Ibu anak itu buru-buru menggendong anaknya sambil menutup kedua matanya dengan tangan. “Yuk kita pulang aja!”

Seorang laki-laki berusaha menyentuh pundak Mama, tapi si Topi Merah buru-buru berlari mendekat dan menangkap tangan laki-laki itu.

“Jangan sentuh dia!” bentak si Topi Merah.

Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya. Si Topi Merah memandang tajam laki-laki itu sampai ia berjalan mundur menjauhi Mama.

Kejadian itu membuat laki-laki lain sedikit menjauhi Mama. Mereka tetap mengikuti Mama, tapi tidak berani mendekat. Kedua rekan si Topi Merah berjalan di depan mereka untuk berjaga-jaga kalau ada yang bertingkah kurang ajar.

“Kayak gak asing ya,” komentar seorang laki-laki yang berjalan di sebelahku. Ia sedang berbicara dengan temannya. “Bentukan badannya bikin aku ingat salah satu tetanggaku. Tapi entahlah siapa.”

Pedagang-pedagang pasar malam ikut memerhatikan Mama. Beberapa malah meninggalkan barang dagangannya dan ikut berjalan bersama rombongan di belakang Mama.

“Kesempatan langka nih! Ayo ikut!” seru seorang pedagang buah ke temannya yang sedang menjual gorengan.

“Gak mau ah. Ngelihat begituan gak bikin kaya,” balas temannya.

Sambil terus mengawasi Mama, aku mampir sebentar ke pedagang sayuran. Aku membeli sebuah timun yang ukurannya sebesar kepalan tangan orang dewasa.

“Mau dibungkus?” tanya si penjual.

“Gak usah,” kataku sambil membayarnya.

“Kelakuan orang sekarang ada-ada saja,” ujar si penjual sayur sambil memerhatikan keramaian.

Aku cuma tersenyum tanpa berkomentar. Timun itu kuselipkan di saku dalam jaket yang lebih lebar daripada saku-saku di depannya. Setelah itu aku segera balik mengikuti Mama.

“Lihatin tuh pantatnya berkeringat,” komentar seorang anak sambil menunjuk ke pantat Mama. “Kira-kira pantatnya bau gak ya?”

“Berani pegang pantatnya gak?” tantang temannya.

“Ih takut, nanti dimarahi bapak-bapak pakai topi merah itu.”

Tiba-tiba teman anak itu berlari mendekati Mama. Ia mengacungkan jari telunjuk ke depan, lalu mengarahkannya ke pantat Mama.

“ADUH!” Mama berteriak kesakitan saat jari anak itu menancap ke anusnya. Si Topi Merah hendak menangkap anak itu, tapi tukang coblos pantat itu buru-buru lari sekencang mungkin sambil menjulurkan lidah ke si Topi Merah. Teman anak itu ikut berlari mengejarnya. Jelas ia ketakutan kalau saja terjadi apa-apa dengannya.

“Carikan bangku dong,” bisikku ke si Topi Merah.

Penjaga parkir itu mengangguk, lalu menghilang ke kerumunan. Tak berapa lama, ia muncul kembali dengan membawa sebuah kursi plastik.

“Ini cukup?” tanya si Topi Merah.

“Ya itu boleh,” jawabku. “Minta tolong taruh di depan lonte ini.”

Kursi plastik itu ditaruh di depan Mama. Kucolek pantat Mama supaya ia memerhatikan. “Mama duduk di kursi ini sambil ngangkang dong,” bisikku.

Mama pun duduk di kursi yang menghadap ke orang-orang yang mengikutinya. Para pengikutnya terperanjat saat Mama membuka kedua pahanya lebar-lebar.

“Memeknya coy!” seru mereka.

Para penonton itu kuperhatikan sebaik mungkin. Sejauh ini aku tidak melihat ada yang membawa smartphone dan merekam kejadian itu. Keadaan masih aman terkendali.

AKu sodorkan timun yang tadi kubeli ke Mama. Ia memandangku bingung saat menerima timun itu. “Buat apa?” tanya Mama.

“Kocok memek Mama pakai ini,” kataku.

“Ka-kamu mau Mama masturbasi pakai ini di depan mereka?” Kening Mama berkerut.

Aku mengangguk. “Mama pasti bisa dong. Inget, sampai orgasme ya.”

“Tapi ini terlalu besar.” Mama meraba-raba timun itu.

“Memek Mama bakal terbiasa. Udah deh, cepetan masturbasinya.” Aku menepuk pundak Mama, lalu bergabung dengan penonton lain.

“Eh dia ngapain tuh pegang-pegang timun?” tanya laki-laki di belakangku.

“Buat lalapan memeknya kalik,” jawab temannya sambil tertawa.

Mama memandang para penonton di depannya. Tatapannya terlihat gelisah. Ia mendekatkan timun di tangannya ke memek.

“Dia mau ngocok tuh!” seru penonton di belakangku.

“Sssssshhhh!” desis Mama saat ujung timun yang bulat itu masuk ke bibir memeknya. Ia tidak langsung memasukkan timun itu, tapi digesek-gesek dulu di bibir memek.

“Buruan masukkin!” seru penonton. Mereka tampaknya tidak tahu kalau memek harus dirangsang dulu sampai mengeluarkan lendir supaya memek tidak terluka saat dimasukin kontol atau benda lain.

Ujung timun itu bergerak menggesek kulit memek Mama yang sedikit bergelambir. Mama mengecek memeknya dengan jari telunjuk untuk memastikan sudah becek atau belum. Setelah yakin, ia memasukkan ujung timun itu ke memeknya sepelan mungkin.

“Nah udah mulai dimasukin tuh,” komentar penonton di sebelahku. Telahdewasa.com

Masker Mama sedikit tertarik ke bawah. Mungkin karena Mama menggigit bibir bawahnya saat ujung timun itu masuk semakin dalam. Tangan kanannya mendorong timun, sementara tangan kirinya membuka pinggiran memek supaya timun itu bisa masuk tanpa merobek pinggiran memeknya.

“Uuuugh!” Desis Mama mengencang saat ujung timun itu ditelan memeknya. Ia memutar-mutar timun itu. Setiap kali timun itu berputar menggesek memeknya, Mama mendesis kencang.

Para penonton menyaksikan penampilan itu dengan takjub. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka berdiri. Beberapa malah duduk bersila di tanah sambil merokok.

“Masukin lebih dalam dong!” seru penonton yang duduk bersila. Yang lain mengiyakan.

Mama membasahi jari telunjuknya dengan lidah, lalu mengoles memeknya dengan jari tersebut. Sambil mengoles, ia mendorong timun semakin dalam. Ukuran timun yang besar membuat memeknya terlihat mengencang. Mama sampai mendongak karena menahan sakit.

“Kebesaran tuh timunnya,” celetuk salah satu penonton.

Timun itu cuma masuk sampai setengah batang. Tampaknya Mama tidak sanggup lagi mendorongnya lebih dari itu. Ia menarik timun itu sampai hampir keluar dari memek, lalu mendorongnya lagi ke dalam. Begitu terus berulang-ulang.

“Wuih dia mulai ngocok tuh!”

Para penonton semakin bersemangat. Mereka berteriak menyemangati Mama. Si Topi Merah dan kedua rekannya berdiri siaga di sekeliling Mama. Meski mata mereka bergerak mengawasi penonton, tapi sesekali mereka menoleh ke Mama.

Wajarlah, siapa yang mau melewatkan penampilan sehebat ini? Aku yakin ini tidak bakal terjadi di pasar malam mana pun!

Kocokan timun Mama semakin cepat saja. Ia meringis sambil menggerak-gerakkan kepala.

“Oooough!” Mama mendesah nyaring. Sambil mengocok, jari kelingkingnya meraba-raba anusnya.

“Asem! Aku udah gak tahan!” seru salah satu penonton. Ia menurunkan celana, kemudian mengeluarkan batang kontolnya yang sudah memgeras. “Bodo amat dah dilihat orang!” kata orang itu sambil mengocok batang kontolnya.

Tindakan berani orang itu diikuti penonton lain. Sekitar sepuluh orang memberanikan diri membuka celana, kemudian mengocok kontol masing-masing sambil menonton Mama beraksi.

“Aduh mau keluar nih!” erang Mama. Timun itu bergerak maju mundur lebih cepat lagi seolah-olah digerakkan oleh mesin. Orang-orang berteriak sambil bertepuk tangan menyemangati Mama.

Mama mencabut timunnya. Begitu timun itu tercabut keluar, cairan bening kental ikut tersemprot keluar.

“Hebaaaaat!” seru penonton. Mereka menyoraki Mama yang orgasme di depan mereka.

Mama terkulai lemas di atas kursi sampai timun di tangannya melorot jatuh ke tanah.

Bersambung…

Kucubit lengan Mama. “Sssst Mama gak apa-apa?”

Mama mengerjapkan mata. “Mama baik-baik saja. Cuma lemes banget.”

Orang-orang tertawa sambil menunjuk ke memek Mama.

“Lihat deh memeknya basah bener.”

“Penasaran pengen ngisep teteknya.”

“Yah kenapa cuma main memeknya doang. Anusnya dimainin juga dong!”

“Sejam bayar berapa ya? Pengen ngentot itu lonte.”

Penampilan Mama jelas membuat nafsu mereka naik ke ubun-ubun. Saatnya melakukan puncak acara.

Aku terbatuk-batuk pelan. “Kalian mau nyobain lonte ini?” tanyaku ke para penonton. Tenggorokanku agak sakit karena aku harus mengeraskan suara sekaligus memberatkan nadanya.

Para penonton cuma diam menatapku sampai salah satu dari mereka berteriak: “Mau dong!”

Yang lainnya ikut membeo menyuarakan kemauan yang sama. “Mau! Mau! Mau! Mau!” seru mereka.

“Lonte ini punya utang besar kepada saya dan dia harus membayarnya,” kataku sambil menunjuk Mama. “Khusus malam ini, lonte ini saya diskon. Pegang teteknya cukup sepuluh ribu rupiah. Colok memek dan anusnya cuma dua puluh ribu rupiah. Kalau mau kontol kalian diisep sama dia, cuma tiga puluh ribu rupiah. Kalau kalian mau ngentot dia, saya diskon jadi seratus ribu rupiah dan ngentotnya harus di sini.”

Para penonton itu saling berpandangan. Ada yang ragu, ada pula yang langsung membuka dompetnya untuk mengecek uang yang dibawa.

Si Topi Merah mendekatiku. “Wah situ gak bilang kalau lontenya mau disewakan. Kalau gitu kami minta tambah biaya.”

“Tenang, nanti bayaran kalian saya tambah dua kali lipat. Setuju?”

“Dan uang tips seratus ribu deh.”

Dasar lintah! Tapi aku harus setuju karena cuma mereka yang bisa mengamankan kami.

“Oke, kalian dapat tips masing-masing seratus ribu.”

“Okelah kalau begitu.” Si Topi Merah mendatangi teman-temannya untuk menceritakan persetujuan baru denganku. Kedua temannya menatapku, lalu mengangguk.

Urusan keamanan sudah selesai, sekarang tinggal menawari orang-orang supaya mau melecehkan Mama.

“Gimana? Ada yang mau pakai lonte ini? Khusus malam ini loh!” Suaraku lantang seperti pedagang pasar malam sungguhan.

“Aku mau coba teteknya!” teriak salah satu laki-laki yang mengenakan sarung. Ia maju dan menyodorkan selembar sepuluh ribuan kepadaku.

“Silakan nikmati tetek lonte ini,” kataku sambil menerima uang dari tangannya.

Si Sarung menggosok-gosok telapak tangannya. “Wah pertama kalinya megang tetek nih.”

Ia mendekatkan kedua telapak tangannya ke bongkahan tetek Mama. Wajahnya yang tadi tegang berubah jadi ceria ketika meremas tetek Mama.

“Buseeet empuk bener!” seru laki-laki itu. “Berapa lama boleh megang nih?”

“Lima menit ya.” Kulirik stopwatch yang bergerak di smartphone-ku.

“Cepet amat,” ujarnya kesal.

“Kalau mau lama, tambah lagi uangnya.”

“Bentar, mau nikmatin ini dulu.”

Ia meremas tetek Mama, lalu menariknya seperti sedang mengadon tepung roti. Begitu terus berulang-ulang sampai waktunya habis.

“Tambah lagi deh!” serunya sambil mengeluarkan uang sepuluh ribu. Kuterima uang itu dengan senang hati dan ia meremas tetek Mama untuk lima menit selanjutnya.

“Cepetan woy! Aku juga mau!” seru penonton di belakangnya. Orang-orang mengerumuni aku dan Mama, menunggu giliran supaya bisa menikmati badan Mama. Si Topi Merah dan kedua temannya berusaha menjaga kerumunan itu supaya tetap tertib.

Penonton selanjutnya juga ingin meremas tetek Mama karena ia cuma membawa sedikit uang. Ia mendengus kesal saat waktunya habis dan harus bergantian dengan orang di belakangnya.

“Ah tahu gitu aku bawa uang lebih banyak,” keluhnya sambil berjalan pergi.

Setelah itu rupanya ada seorang bocah laki-laki yang memandang Mama dengan wajah malu-malu.

“Aku pengen lihat memek dan anusnya,” ujar bocah itu. Ia menyodorkan uang dua puluh ribu kepadaku.

“Silakan menikmati.” Kutepuk paha Mama. “Ini bakal jadi pengalaman terbaik kamu.”

Bocah itu menatap memek Mama dengan tatapan penasaran. Jari telunjuknya bergerak menelusuri lembah kewanitaan Mama.

“Rada anget,” komentarnya. Jari telunjuknya ditekan ke tengah memek Mama. Memek Mama berdenyut pelan. Bocah itu berbinar-binar seolah menemukan keajaiban. “Bisa gerak kayak lagi napas!”

Ia mendekatkan hidungnya ke memek Mama. Diendus-endusnya memek Mama seperti mengendus kopi. “Kayak bau pesing,” komentarnya lagi.

Jari telunjuknya bergerak turun menuju anus Mama. “Di sini lebih gelap. Coba buka ah.” Jari bocah itu menelusup masuk ke anus Mama. Gerakan mendadak itu bikin Mama terkesiap kaget. Jari bocah tersebut terus menerobos anus Mama sampai ke dalam.

“Wih, di sini juga bisa gerak!” serunya.

“Ssssshhhh, aduh jangan terlalu dalam coloknya,” erang Mama.

“Sempit banget yang ini.” Bocah itu memutar-mutar jari telunjuknya. Ia benar-benar penasaran dengan memek dan anus Mama.

Waktu habis. Kusuruh bocah itu pergi supaya bisa bergantian dengan yang lain kecuali dia mau memberi tambahan. Bocah itu bersungut pergi karena tidak punya uang lagi.

Dua remaja di belakang Mama juga membayar sepuluh ribu untuk memegang tetek Mama. Aku tawarkan mereka untuk menambah waktu, tapi mereka bilang tidak mau uangnya habis cuma untuk meremas tetek. Orang-orang di sini tampaknya cuma membawa uang sekadarnya. Aku kecewa karena belum ada yang mau mengentot Mama.

Seorang remaja lain maju dengan cengengesan. Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya.

“Aku mau ngentot ini lonte,” ujar remaja itu.

Kuterawang uang tersebut di sinar lampu sebelah untuk memastikan nilainya benar. Setelah yakin, kupersilakan ia memakai Mama.

“Udah pernah ngentot belum?” tanyaku.

Ia cengengesan lagi. “Belum sih. Ini pengalaman pertama.”

Meski ia mengaku baru belum pernah mengentot wanita, tampaknya ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Remaja itu meludahi memek Mama, kemudian diratakan sampai ke pinggiran memek Mama. Ia mengocok batang kontolnya yang loyo sampai mengeras sebelum diarahkan ke lubang kenikmatan Mama. Mungkin ia belajar itu semua dari film bokep.

Paha Mama mengejang ketika batang kontol remaja itu melesap ke dalam memeknya. Ukurannya memang tidak besar, tapi cukuplah membuat memek Mama berdenyut kembali.

“Hmmmph!” desah Mama saat pinggang remaja itu bergerak maju mundur.

“Mantep bener memeknya,” komentar remaja itu. Ia agak kesulitan menggerakkan pinggangnya karena kursi plastik itu pendek sehingga ia harus duduk setengah bersimpuh. Kontolnya timbul tenggelam di memek Mama yang dari tadi sudah basah.

Remaja tersebut memegang pundak Mama. Meski kesusahan bergerak, tapi ia tetap berusaha keras menekan kontolnya supaya masuk sedalam mungkin ke memek Mama. Keringat menetes dari dagunya dan jatuh ke perut Mama.

“Bentar lagi nih,” gumamnya sambil terus menggenjot Mama. Badannya tiba-tiba mengejang. Pinggangnya menekan ke depan sampai seluruh batang kontolnya terlahap memek Mama. Badannya bergetar sebentar, kemudian ia menarik pinggangnya sampai batang kontolnya tercabut keluar. Batang kontol itu dipenuhi pejuh dari ujung kepala kontol sampai ke pangkal batang.

“Gila gila! Ini lebih enak daripada coli!” seru remaja itu.

“Gak mau nambah lagi?” tanyaku.

“Gak ada uang,” jawab remaja itu singkat. Ia memasukkan kontolnya kembali ke celana, lalu melangkah pergi.

“Ayo ayo siapa yang mau lagi!” Memek Mama aku kipas-kipas.

“Aku! Aku!” seru seorang bapak penuh semangat. Ia memberikanku uang dua ribuan dalam jumlah banyak. Total semuanya berjumlah tiga puluh ribu rupiah. “Maaf adanya recehan. Hasil jual balon barusan,” kata bapak itu.

Tidak masalah uangnya recehan karena yang penting jumlahnya pas. Bapak itu ingin kontolnya diisep Mama, jadi aku persilakan dia maju.

Mama menegakkan badan. Maskernya diangkat ke atas sampai menutupi matanya. Ia membuka mulut, bersiap melahap kontol siapa saja yang berada di depan.

Tanpa aba-aba, Bapak itu menancapkan kontolnya ke mulut Mama. Mama sempat megap-megap kesusahan bernapas, tapi sebentar kemudian ia mulai menyesuaikan diri dan bisa bernapas dengan lancar.

“Nah lonte pinter.” Bapak itu memegang kepala Mama. “Ayo isep kontol ini kuat-kuat.”

Sesuai perintah, Mama menyedot batang kontol itu kuat-kuat sampai kedua pipinya cekung.

“Aduh enak bener mulutmu.” Bapak itu memejamkan mata karena begitu menikmati sedotan Mama. “Mau jadi istri saya?”

Mama tidak bisa melihat karena kedua matanya terhalangi masker medis, tapi ia masih bisa mendengar ucapan Bapak itu. Ia menggeleng sambil terus menyedot batang kontol di mulutnya.

“Yah sayang bener. Padahal saya punya tanah luas di kampung lain,” ujar Bapak itu. “Mau sama saya ya?”

Mama menggeleng lagi.

“Ya udah kalau gak mau. Lagian mana ada cowok yang mau sama lonte kayak kamu.”

Usai berkata begitu, Bapak tersebut menarik rambut Mama sampai kepala Mama terdongak. Mama memekik kesakitan.

Si Topi Merah bergerak maju untuk menyelamatkan Mama, tapi aku segera menahannya. “Sejauh ini masih aman. Kalau sampai dia main pukul, baru kamu hajar dia.”

Ternyata Bapak itu tidak memukul Mama. Memang ia memegang kepala Mama dan digerakkan maju mundur dengan kasar, tapi ia tidak memasang sikap mau memukul atau menampar Mama.

Tidak sampai lima menit, Bapak itu sudah memuncratkan pejuh ke mulut Mama. Ia memijat kontolnya supaya sisa-sisa pejuh berceceran di wajah Mama.

“Inget ya, gak ada cowok lain yang mau sama lonte kayak kamu. Jadilah istri saya, nanti kamu gak perlu jadi lonte lagi,” ujar Bapak itu ketus.

Mama meludahkan sebagian pejuh di mulutnya karena sebagian lainnya sudah tertelan. Ia menurunkan maskernya lagi sampai menutupi mulut dan hidungnya.

Meski napas Mama sudah ngos-ngosan, tampaknya Mama masih kuat melayani penonton lain.

“Yuk lagi kosong nih. Siapa lagi yang mau!”

Entah kenapa, tiba-tiba penonton lain berebutan ingin mengentot Mama. Semuanya menyodorkan uang seratus ribu rupiah kepadaku. Barangkali tadi mereka masih ragu-ragu, tapi setelah melihat Mama melayani pembeli dengan baik, mereka jadi yakin kalau tawaran ini tidak akan sia-sia.

Cuma dalam tiga puluh menit, aku sudah memegang segepok uang dalam berbagai macam warna. Si Topi Merah dan kedua rekannya agak kewalahan menghalau orang-orang yang bergerak maju. Tanpa mereka, tempat ini bisa dipastikan jadi medan perang.

Perut, tetek, dan memek Mama penuh tetesan pejuh dan keringat. Bibir memeknya memerah karena tergesek kontol tanpa henti. Perut dan tetek Mama juga memerah bekas cubitan dan remasan yang jumlahnya tidak terhitung.

“Saya mau lagi dong!” teriak salah satu penonton. Sebelumnya ia sudah mengentot Mama, lalu ikut antre kembali ke barisan belakang. Kini ia menyeruak maju melewati barisan.

“Hei balik ke barisan belakang!” seru si Topi Merah.

Orang itu terus merangsek maju. Ia berusaha menggapai Mama, tapi si Topi Merah lebih dulu menghadiahinya dengan bogem mentah. Orang tersebut terpental dan ambruk ke tanah. Orang-orang langsung mengerumuninya.

“Cuma pingsan,” kata salah satu pengunjung yang memeriksa orang tersebut.

“Biarin sajalah. Salah sendiri ngelawan,” ujar si Topi Merah.

Napas Mama semakin ngos-ngosan saat selesai melayani penonton terakhir. Kursi plastik yang didudukinya sampai basah kuyup karena keringat. Masker medisnya juga ikut basah tertimpa keringat wajah.

Kupikir ini sudah cukup. Mau bagaimanapun, kesehatan Mama jauh lebih penting. Aku tidak bisa memperbudaknya di luar kalau dia sakit. Lagi pula uang yang kuterima sudah banyak. Cukuplah untuk membayar ketiga tukang parkir yang sudah menjaga kami sampai akhir.

Mama sudah setengah tertidur saat aku mencolek pinggangnya. “Ma, kita pulang yuk,” bisikku.

Kupegang tangan Mama yang licin berkeringat supaya ia bisa berdiri. Mama memelukku. Sebelum berbalik arah, aku membayar upah ke ketiga tukang parkir tersebut. Wajah garang mereka di sepanjang acara tadi segera berubah jadi ceria. Mereka sempat mencolek pentil Mama sebelum kami berpisah di parkiran.

“Mampir lagi ke sini,” kata si Topi Merah. Ia mengipas uang bayarannya ke lehernya.

“Ya nanti kapan-kapan,” jawabku.

Aku dan Mama berjalan ke sepeda motor yang kuparkir di belakang pos kamling. Mama memelukku erat saat sepeda motor itu kunyalakan. Jelas ia benar-benar kewalahan.

Di sepanjang perjalanan pulang, aku tersenyum lebar karena membayangkan kenakalan apalagi yang bisa kulakukan untuk Mama.

Mama harus ke sekolah karena pekerjaannya menumpuk selama ia membolos. Ia bangun sebelum adzan subuh berkumandang dan sudah duduk bersila di atas kasur dengan laptop di depan untuk mengerjakan laporan. Aku yang tidur di sebelahnya jadi ikut terbangun dan terpaksa menunggu matahari terbit buat sekalian pergi ke sekolah.

Sambil tidur-tiduran, aku mengedit beberapa video Mama. Memang lebih susah mengedit lewat smartphone, tapi aku masih malas pergi ke kamarku dan menyalakan komputer cuma buat mengedit video.

Beberapa bagian video yang goyang karena direkam sambil berjalan, kupotong. Bagian yang terlalu gelap, kucerahkan sampai enak dilihat. Aku tidak kuasa menahan tawa melihat wajah-wajah terkejut yang melihat Mama telanjang di depan mereka.

Kurangkul pinggang Mama yang berlipat karena lemak, sementara tanganku satunya masih mengedit video. Badan Mama masih wangi sabun dari mandi semalam. Yang bikin aku heran, meski Mama punya tubuh menggairahkan, ia mengaku sudah lama tidak berhubungan seks lagi dengan Papa. Padahal jika aku jadi Papa, sudah pasti aku mengentot Mama siang dan malam.

Membayangkan mengentot Mama saja sudah membuat kontolku bangkit dari tidurnya.

Kutaruh smartphone di sebelah bantalku. Pinggang Mama kurangkul dengan kedua tangan.

“Aduh jangan ganggu Mama dulu. Mama masih banyak kerjaan,” ujar Mama tanpa berhenti mengetik.

Tanganku bergerilya ke dalam memeknya yang hangat. Mama jadi gelisah.

“Bangun tidur kuterus ngentot.” Aku mendendangkan lagu. Kuciumi perut Mama yang mendingin karena terpapar AC semalaman.

Mama berusaha fokus mengetik. Matanya bergerak mengikuti barisan huruf yang muncul di layar.

Tanganku mendaki ke tetek Mama. Karena tidak memakai beha, teteknya melorot turun sampai pentilnya menyentuh perut yang terlipat. Aku pencet pentil yang seperti gumpalan karet itu sampai Mama mengernyitkan alis.

Tanganku bergerak menurun sampai ke pinggangnya. Kupeluk Mama erat-erat tangannya nyaris tenggelam di lipatan perutnya. Kakiku ikut bergerak melintasi kedua kakinya yang kini menjulur. Aku seperti sedang memeluk guling besar.

Laptop di pangkuan Mama nyaris jatuh ke samping karena badan Mama bergoyang saat aku memeluknya. Kuciumi pinggang Mama habis-habisan. Air liurku tercetak di pinggangnya.

Badan Mama bergetar karena menahan geli. Ciumanku bergerak dari pinggang menuju punggungnya, lalu sampai ke lehernya. Semakin tinggi bagian tubuh yang kucapai, semakin bergetar pula badannya. Kedua sikunya ikut bergerak menekan badanku seolah ingin mengusirku supaya berhenti mengganggunya.

“Nak, jangan ganggu Mama dulu. Mama masih banyak kerjaan,” ujar Mama lirih.

“Susah buat gak gangguin Mama.” Aku terus menciumi leher Mama. Tanganku meremas kedua teteknya dari belakang. Mama sedikit membungkuk karena badanku menekan badannya.

Sembari tangan kiriku masih meremas teteknya, tangan kananku turun kembali ke memeknya. Jari telunjuk dan jari tengahku menusuk lubang memeknya yang mulai basah. Mama mendesah lirih saat kedua jari nakalku menjelajah lubang kenikmatan itu sampai ke dalam.

“Mama juga lagi pengen ‘kan? Ngaku aja deh,” bisikku di telinganya.

“Sampai sekarang Mama masih anggap hubungan kita gak wajar.” Ia meringis menahan geli. “Mau bagaimanapun, kita masih ibu dan anak.”

“Kita memang ibu dan anak. Tapi Mama adalah budakku dan aku majikan Mama.” Kugerakkan ujung kedua jariku di memeknya. Gerakan itu membuatnya memekik lirih. “Budak harus patuh ke majikan, apa pun perintahnya.”

Mama berhenti mengetik. Layar laptop menampilkan lembar kerja yang harus diisi. Sekilas, layarnya memantulkan bayangan kami yang sedang bercumbu. Telahdewasa.com

“Tetek Mama mantep bener,” pujiku sambil mencubit pentilnya yang mengeras. “Meski Mama gak suka, tapi badan Mama tetep suka diginiin.”

“Mau sampai kapan kamu ganggu Mama?” Mama mulai menangis.

“Selamanya dong.”

“Hhhhmmmm!” Mama mengerang pelan.

Kucabut jariku dari memeknya. Badanku mulai panas seperti demam. Mama tidak melawan ketika laptop di pangkuannya kupindah ke meja.

Badan Mama kudorong sampai ia terlentang di kasur. Tangan kananku memegang erat kedua pergelangan tangannya yang terjulur ke atas. Kujilat ketiak Mama yang terasa sedikit asam, tapi wangi deodoran yang dikenakannya semalam. Ia menggelinjang ketika ujung lidahku bergerilya di setiap lekukan ketiaknya.

Mulut Mama terbuka seolah hendak mengerang, tapi aku segera mengulum bibirnya. Ia megap-megap kesulitan bernapa, tapi kemudian hidungnya segera beradaptasi. Kupeluk Mama erat-erat sambil terus menciumnya.

Adegan sensual itu bikin batang kontolku luar biasa mengeras. Kepala kontolku yang bulat menabrak perut Mama setiap kali aku bergerak menciumnya.

Kami berciuman sekitar sepuluh menit. Memek Mama basah kuyup oleh cairannya sendiri. Aku memeriksanya dengan tanganku.

Kurasa memek Mama sudah siap menerima asupan pejuh pagi ini. Aku berhenti menciumnya dan duduk bertumpu kedua lututku. Urat-urat batang kontolku begitu menonjol sehingga menyerupai batang kayu.

“Aduh!” Mama mengerang pelan saat aku menindihnya. Kepala kontolku menancap mulus ke dalam memeknya yang licin.

Sambil tetap menindihnya, pinggangku bergerak maju mundur. Rupanya agak sulit memompa memeknya dalam posisi begitu, jadi aku sedikit menumpu berat badanku dengan kedua lututku. Pinggangku jadi lebih bebas bergerak dan kontolku menelusup keluar masuk di memeknya dengan kecepatan tinggi.

“Uh! Uh! Uh!” erangan Mama bergema di kamar.

“Mama gak pernah dikentot Papa seperti ini ‘kan?” Kutampar bolak-balik kedua teteknya. Kantung susu itu bergoyang-goyang seperti agar-agar super besar.

Kontolku kian mengeras seperti batang pohon. Kepala kontolnya berdenyut-denyut. Pertanda siap menyemburkan jutaan benih ke rahim Mama.

Dalam sekali gesekan, kontolku menyemburkan pejuh kental ke dalam memek Mama. Kurasakan otot-otot di sekujur badan Mama mengejang seolah-olah ditarik dari ujung ke ujung, lalu perlahan-lahan mengendur, dan akhirnya normal kembali.

Aku merebahkan diri di sebelah Mama. Kontolku masih diselimuti pejuh kental.

“Ma, bersihin pejuh di kontolku dong,” kataku sambil menepuk perut Mama. “Bersihin pakai mulut Mama.”

Tanpa dipaksa, Mama merangkak ke selangkanganku. Kurasakan hembusan napasnya yang memburu di batang kontolku. Badanku jadi merinding geli.

Dalam sekali lahapan, seluruh batang kontolku lenyap di mulut Mama. Begitu ia menaikkan mulutnya, batang kontolku langsung bersih dari pejuh yang menempel.

“Enak banget Ma!” Kutekan kepalanya supaya tetap menyedot kontolku. Kakiku mengejang karena menahan geli. Lidah Mama bergerak mengelilingi batang kontolku. Geli tapi nagih.

Batang kontolku semakin mengeras, lalu menyemprot pejuh ke mulut Mama.

“Hhmmm!” Ia tersentak kaget saat pejuhku memenuhi mulutnya.

“Habiskan itu ya,” kataku.

Mama menjilat-jilat batang kontolku sampai bersih. Tidak cuma batang kontolku saja yang dibersihkan, kedua bijiku juga dijilat bersih.

“Terima kasih Mama.” Kuelus rambutnya yang sedikit berantakan.

Mama duduk sambil mengelap ceceran pejuh yang menempel di sudut bibirnya dengan tangan. Ia tidak mengatakan apa-apa saat memangku laptopnya dan balik bekerja.

Sinar matahari mengintip di sela-sela gorden. Mama menutup laptop dan bergegas ke kamar mandi. Aku masih mengedit video sembari menunggu Mama selesai mandi.

Sepuluh menit kemudian, Mama sudah selesai mandi dan berdiri di depanku sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.

“Mama udah siap latihan hari ini?” tanyaku sambil tersenyum.

Bersambung…

Paijo sedang menyapu dedaunan kering di halaman depan sekolah saat mobil kamu masuk ke halaman parkir. Mama mengemudi sambil memerhatikan keluar jendela untuk memastikan ban mobil tidak terperosok masuk ke parit kecil yang terhalang rerumputan.

“Bilangin Paijo, rumput di sekitar parit dipotong dong,” kataku.

Mama menurunkan kaca jendela mobil dan memanggil Paijo. Penjaga dan petugas kebersihan sekolah itu tergopoh-gopoh mendatangi mobil.

“Ada apa ya?” tanya Paijo.

Mama menurunkan kaca jendela mobil sampai mentok. Paijo melotot melihat Mama yang telanjang bulat di belakang kemudi.

“Itu rumput di dekat parit dipotongin. Saya jadi susah kalau lewat,” kata Mama.

“Ba-baik Bu,” jawab Paijo tergagap.

Mama menaikkan kaca jendela mobil, lalu menginjak pedal gas. Aku terbahak-bahak melihat Paijo yang memandangi mobil kami dengan ekspresi terkejut.

“Lumayan Paijo dapat sarapan pemandangan indah pagi-pagi,” komentarku.

Mobil berhenti di parkiran. Sebelum membuka pintu, Mama melihat ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang di sekitar.

Kuremas paha Mama. “Mama ngapain takut? Kan mereka udah lihat Mama telanjang.”

“Tapi tetep aja rasanya aneh telanjang di sekolah,” kata Mama. “Mana Mama gak bawa baju sama sekali. Kalau ada tamu dari sekolah lain gimana?”

Kupandangi Mama yang cuma mengenakan jilbab. Di bagian tetek, paha, perut, dan pantatnya masih ada ruam merah akibat kuremas terlalu kuat.

“Mama gak perlu takut memeknya kelihatan. Kan udah ketutupan jembut,” kataku sambil mengelus jembutnya. “Tapi kalau pentil… yah Mama pikirin sendiri dah.”

“Kamu itu gak ngebantu sama sekali,” Mama mendengus kesal. “Keluar yuk, Mama masih banyak kerjaan.”

Kami keluar dari mobil. Di sekeliling kami tidak ada orang. Cuma ada beberapa sepeda motor milik para guru dan beberapa sepeda milik murid. Mama melangkah cepat-cepat ke lorong sekolah sebelum ada orang lain yang datang.

Begitu kami sampai di lorong sekolah, kami berpapasan dengan dua orang murid yang lagi ngobrol. Mereka kaget melihat Mama. Mata mereka bergerak mengamati kaki Mama sampai ke ujung kepala Mama.

“Assalamualaikum Bu,” sapa mereka hampir bersamaan.

“Waalaikumsalam,” jawab Mama cepat. Ia terus berjalan melewati kedua murid itu. Aku sampai ketinggalan di belakang.

“Wah gila, Bu Kepala Sekolah kenapa tuh?” tanya salah satu murid.

“Oh iya kamu gak ikut pas jalan santai kemarin ya? Katanya dia sakit kulit, jadi harus telanjang biar kena sinar matahari,” jelas murid satunya. Ia lalu cerita panjang lebar soal kejadian saat jalan santai.

Di ujung lorong, kami belok kiri. Langkah Mama berhenti karena ada Bu Ramadhan yang juga berjalan menuju kantor.

“Waduh Bu!” seru Bu Ramadhan saat melihat Mama. Berkas-berkas yang dipegangnya nyaris jatuh. Ia membetulkan posisi kacamatanya yang melorot sampai ke ujung hidung. “Ibu masih sakit kulit?”

“Iya,” jawab Mama singkat.

“Tapi gak gitu juga Bu.” Bu Ramadhan menggeleng.

“Maaf ya, saya buru-buru.” Mama kembali melaju menuju kantornya. Aku tersenyum ke arah Bu Ramadhan yang memandangku dengan tatapan aneh.

Beberapa langkah menuju kantor pun kami bertemu lagi dengan beberapa murid yang lagi duduk ngobrol. Mama tidak menyapa mereka, begitu pula dengan mereka. Murid-murid cuma memandang Mama dengan tatapan terkejut.

Sesampainya di kantor, Mama langsung menghempaskan dirinya ke kursi. “Wah gila! Jantung Mama rasanya mau copot!” teriaknya.

“Tapi asik kan?” kataku sambil memijat pundaknya. “Mama jujur aja deh. Mama enjoy gak telanjang di depan mereka?”

Mama bangkit dari kursinya. Ia memandangku penuh kebencian. “Mama sama sekali gak enjoy! Mama malu banget! Mama merasa udah gak ada harga dirinya sama sekali! Mama ini cewek murahan, malah jauh lebih murahan daripada pelacur!”

Usai teriak-teriak, Mama duduk kembali. Napasnya tersenggal-senggal. “Tapi ya sudahlah. Ini sudah terlanjur. Toh sudah banyak yang tahu soal ini.”

Aku baru saja mau menghiburnya, tapi terpotong karena ada seseorang yang mengetuk pintu. Aku membuka pintu. Rupanya Bu Ramadhan. Wajahnya terlihat cemas.

“Ada apa ya Bu?” tanyaku.

“Sebaiknya ibumu cepat-cepat berpakaian,” katanya. “Ada guru-guru dari sekolah lain yang datang kemari. Mereka katanya mau bertemu kepala sekolah.”

Wajah Mama mengerucut saat mendengar berita itu.

“Tapi mereka gak memberitahu bakal datang,” seru Mama tanpa bangkit dari tempat duduknya.

Bu Ramadhan melongok melewati pundakku. “Ibu pasti lupa. Ibu sudah setuju bertemu hari ini dari dua minggu yang lalu. Kata mereka begitu.”

Wanita itu menatapku. “Ibumu bawa pakaian ‘kan?”

Aku mengangkat pundak. “Yeah, bawa kayaknya.”

“Semoga kalian benar-benar bawa baju. Jangan sampai mereka melihat ibumu telanjang kayak gitu.”

Bu Ramadhan pamit pergi dan aku menutup pintu. Aku melempar senyum ke Mama. “Wah wah wah, gimana ini Ma?”

Meski ruangan itu cukup sejuk karena AC, aku bisa melihat bulir-bulir keringat mengalir di kening Mama.

Mama menyodorkan kunci mobilnya. “Kamu cepat ke rumah dan ambilkan baju Mama. Baju apa pun gak masalah.”

Kuangkat kedua tanganku. “Eits! Aku gak mau pulang ke rumah.”

Mama menatapku marah. “Ini bukan saatnya bercanda!” serunya. “Mama harus bertemu mereka sekarang. Masa Mama bertemu mereka sambil telanjang gini?”

“Memang itu yang kumau,” kataku. “Aku mau tahu gimana ekspresi mereka kalau melihat Mama. Aku juga mau tahu gimana Mama meladeni mereka.”

“Tapi nama baik Mama dipertaruhkan!” teriak Mama. “Nama sekolah ini juga. Kamu harus ambil baju Mama, sekarang!”

Kutatap Mama dalam-dalam. “Siapa bilang nama Mama masih baik? Nama Mama sudah jelek. Mama itu sudah jadi lonte di kampung ini.”

Mama terperanjat. Ia menghela napas panjang. “Jadi apa yang harus Mama lakukan?”

“Loh kenapa Mama masih nanya? Mama tetap harus menemui mereka, sambil telanjang kayak gitu.”

“Tapi mereka ini orang-orang penting!” teriak Mama.

Pintu diketuk lagi. Aku segera membukanya. Bu Ramadhan berdiri di depan pintu. Di belakangnya ada seorang pria dan wanita yang mengenakan seragam batik. Kedua orang asing itu tersenyum kepadaku, kecuali Bu Ramadhan.

“Ini Pak Hamzah dan Bu Sarni dari SMA 70,” ujar Bu Ramadhan mengenalkan kedua orang asing tersebut. “Saya rasa mereka harus cepat-cepat menemui Ibu Kepala Sekolah. Gak enak kalau mereka menunggu di luar.”

Sambil berbicara begitu, Bu Ramadhan mengintip ke dalam ruangan. Ia menarik napas terkejut saat menyadari kalau Mama belum mengenakan pakaian sehelai pun.

“Terserah kalian sajalah mau gimana.” Bu Ramadhan bergegas pergi.

Kedua tamu itu menatapku.

“Jadi apa kami bisa bertemu Kepala Sekolah?” tanya Pak Hamzah.

Aku mengangguk. “Silakan masuk. Jangan kaget saat melihatnya ya.”

Meski sudah kuperingatkan, kedua tamu itu tetap kaget melihat Mama yang berdiri nyaris tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Aku menutup pintu cepat-cepat supaya bisa melihat reaksi mereka selanjutnya.

“Si-silakan duduk,” ujar Mama terbata-bata. Badannya basah kuyup oleh keringat.

Kedua tamunya duduk di sofa dengan sikap kaku. Aku duduk di kursi sebelah Mama. Posisi yang enak untuk menonton drama nyata ini.

“Oh, saya lupa mengenalkan kalau dia adalah anak saya,” kata Mama mengenalkanku.

Hamzah bangkit dari sofa. “Itu gak penting!” serunya. “Kenapa Anda telanjang begitu?”

“Bu Ramadhan belum ngomong? Saya ada penyakit kulit, harus kena matahari biar gak gatal-gatal,” suara Mama dibuat setenang mungkin.

“Saya belum pernah denger ada penyakit kulit kayak gitu,” ujar Hamzah. “Apa nama penyakitnya?”

Mama menggaruk dagunya. “Waduh saya lupa. Namanya susah dieja. Itu jenis penyakit langka. Saya belum tentu sembuh dari penyakit itu.”

“Sudahlah, kita ke sini mau ngomongin soal sekolah, bukan soal penyakitnya,” ujar Sarni berusaha menenangkan.

“Tapi ini gak wajar sih.” Hamzah duduk lagi. Meski tampak marah, matanya terus menatap tetek Mama. Aku tertawa dalam hati. Jelas ia tidak bisa membohongi pandangannya.

“Mendingan kita langsung bahas intinya saja,” kata Sarni. Hamzah terbatuk-batuk kecil. Mereka pun membuka topik soal alasan mereka datang kemari. Telahdewasa.com

Aku tidak peduli dengan obrolan mereka karena terdengar membosankan, jadi aku merekam kejadian di ruangan itu sambil berpura-pura main game smartphone.

Di sepanjang rapat, Mama terlihat gelisah. Ia terus menggerak-gerakkan badannya seakan-akan mau bersembunyi di bawah meja. Meski begitu, ia tetap menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari Sarni dan Hamzah.

Hamzah lebih gelisah dari Mama, walaupun tidak sampai menggerak-gerakkan badan. Namun, pandangan matanya terus bergerak mengikuti arah tetek Mama. Ia lebih banyak diam dan menjawab pertanyaan Mama dengan menggumam.

Mataku menangkap sebuah botol pelembab kulit milik Mama yang tergeletak di sudut lemari. Botol itu nyaris tidak terlihat karena terhalangi berkas-berkas yang memenuhi rak lemari.

Seketika aku punya ide.

“Ma, sudah waktunya badan Mama dioles pelembab,” kataku sambil mengambil botol pelembab di lemari. Sesuai dugaanku, botol itu masih ada isinya meski tinggal sedikit.

“Eh, iya, saya harus pakai pelembab biar kulit saya gak gatal,” kata Mama. Tampaknya ia masih bingung dengan ucapanku.

Botol pelembab kulit itu kukocok untuk melumerkan isinya. Kutuang sedikit isinya ke telapak tanganku, lalu aku berjalan mendekati Mama. “Nah, biar badan Mama gak gatel.”

Kugosok telapak tanganku ke punggung Mama. Kulitnya langsung berkilau saat teroles krim pelembab di tanganku. Setelah seluruh punggungnya kugosok, tanganku bergerak menggosok bagian depan tubuhnya. Kedua bongkahan teteknya bergelayutan saat tanganku melintasi belahan teteknya. Begitu krim di tanganku habis, kutuang lagi, lalu kugosok lagi teteknya sampai kedua sumber susu itu berkilauan seperti keramik yang baru dipoles.

Kedua tamu itu melihatku dengan mata melotot. Mereka terpaku di tempat duduk tanpa berkomentar apa-apa.

Usai mengoles udel Mama, kutepuk pundaknya. “Nah Mama berdiri dong. Pantatnya juga harus dioles biar gak gatal. Balikin badan, nah bener begitu.”

Mama berdiri membelakangi kedua tamunya. Bagian pantatnya terlihat kontras dengan punggungnya yang licin karena pelembab. Sekarang aku harus meratakan penampilannya.

Belahan pantat Mama kubuka lebar-lebar sampai lubang anusnya menganga.

“Wah ini juga harus dikasih pelembab biar gak gatel. Mana gelap pula.” Kuselipkan jari telunjukku yang sudah teroles krim ke tengah-tengah belahan pantat Mama yang hangat. Pelan-pelan ujung jari telunjukku menelusup ke dalam anusnya. Gerakan pelan tapi tidak terduga itu membuat kedua kaki Mama menjinjit karena kaget.

“Nak, gak usah sampai sebegitunya,” bisik Mama.

Aku pura-pura tidak mendengar. Kugosok anus Mama dengan jari telunjukku. Mama menjerit tertahan setiap kali jariku masuk terlalu dalam.

“Kayaknya kita harus pulang sekarang,” ujar Hamzah. “Saya gak menyangka kelakuan kepala sekolah di sini begitu gak pantas dilihat orang-orang.”

Kali ini Sarni tidak mendebat temannya. Wanita itu meraih tasnya, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan. Sebelum keluar, Hamzah melirik kami lalu membanting pintu.

“Mereka pergi!” seru Mama.

“Biarin saja Ma,” kataku sambil terus menggosok anusnya. “Aku punya tugas yang jauh lebih penting buat Mama.”

Bersambung…

Dua puluh menit kemudian, kami sudah berdiri di depan pintu kelas X. Mama memegang sebuah mangkok kaca sebesar telapak tangannya yang aku ambil diam-diam dari UKS.

Badan Mama bergetar saat tangannya menyentuh gagang pintu. Ia menarik tangannya, lalu menoleh kepadaku. “Ini sudah keterlaluan Nak.”

“Dari kemarin kita sudah keterlaluan,” aku mendengus kesal. “Mama jangan banyak alasan. Buka pintunya.”

Mama meraih gagang pintu, lalu mendorongnya. Pintu terbuka. Seluruh murid kelas X termasuk Bu Endang yang lagi mengajar, langsung menoleh ke Mama.

“Ada apa ya Bu?” tanya Bu Endang. Walau terkejut melihat Mama muncul di depan kelas, suaranya terdengar datar.

“Saya mau mempraktikkan sesuatu ke mereka,” ujar Mama.

Bu Endang memandang mangkok kaca di tangan Mama dengan curiga. “Praktik apa ya Bu?”

“Pemerintah mau mengambil sampel dari murid-murid untuk diteliti kesehatannya,” ujar Mama berbohong.

“Saya baru dengar ada program itu.”

“Saya juga baru tahu tadi pagi dan pemerintah mau saya mengambil sampel secepatnya.”

“Apa harus Anda yang mengambil sampelnya? Apa Anda butuh bantuan?”

“Saya akan bilang kalau butuh bantuan,” sahut Mama. “Tapi saya mau mengambilnya sendiri untuk memastikan kesehatan murid-murid di sekolah ini.”

Bu Endang mengedarkan pandang ke murid-muridnya. “Oke, kalau begitu silakan ambil sampel mereka.”

“Saya mau Bu Endang keluar sebentar selagi saya mengambil sampel mereka,” ujar Mama.

“Loh saya gak bakal mengganggu Anda. Kenapa saya harus keluar?” Wanita itu kebingungan.

“Saya grogi kalau kerja dilihatin orang lain. Saya mau Anda keluar sebentar kira-kira setengah jam. Nanti saya beritahu kalau sudah selesai,” kata Mama.

Meski masih bingung, Bu Endang menuruti kata-kata Mama. Sebelum pergi, ia memandang Mama yang telanjang di depan murid-murid, lalu menggelengkan kepala. Sekilas aku mendengarnya berbisik: “Dasar wanita murahan.”

Kukunci pintu kelas biar tidak ada orang yang mengganggu dari luar.

Mama tersenyum ke murid-murid yang terdiri dari sepuluh laki-laki dan lima perempuan. “Seperti yang kalian dengar tadi. Ibu mau mengambil sampel dari kalian buat diteliti pemerintah.”

“Sampel apa sih Bu?” tanya murid perempuan yang duduk di depan.

“Sampel sperma dari cowok,” ujar Mama. Suaranya parau saat mengatakan “sperma”.

Para murid itu berbisik-bisik. Seorang murid laki-laki berbadan kecil mengangkat tangannya. “Cara ngambilnya gimana tuh?”

Mama terdiam sebentar, kemudian melanjutkan. “Khusus untuk laki-laki, keluarkan penis kalian.”

Seluruh penghuni kelas X langsung ribut seketika. Beberapa murid laki-laki segera mengeluarkan kontol mereka, sebagian lainnya tampak ragu-ragu, sementara murid perempuan berteriak histeris saat melihat kontol-kontol itu menjuntai di hadapan mereka.

Mama sadar ia melakukan kesalahan. “Tenang! Tenang! Murid perempuan lebih baik keluar saja.”

Murid-murid perempuan segera lari berhamburan keluar begitu pintu kubuka. Tinggal aku, Mama, dan sepuluh murid laki-laki.

“Ayo, ayo buka keluarin penis kalian!” seru Mama sambil bertepuk tangan.

Murid-murid yang tadinya ragu mulai menurunkan celana. Kontol mereka menjuntai keluar dari karet sempak mereka yang melorot. Ada yang sudah mengeras, ada juga yang masih loyo. Beberapa murid mengejek kontol temannya.

“Yah kecil amat punyamu!” ejek seorang murid ke teman di sebelahnya.

“Punyamu hitam bener kayak arang.”

“Hahahahaha jembutmu ketebelan tuh!”

“Kalian berhenti mengejek,” ujar Mama berusaha menenangkan. “Sekarang angkat kursi kalian berjejer di depan. Nah begitu bagus. Kalian duduk yang manis ya.”

Sepuluh murid itu duduk berjejer di depan seperti kemauan Mama. Mereka menatap tubuh Mama yang masih licin karena pelembab dengan kagum.

Mama mendekati murid yang duduk di paling ujung. Murid itu terlihat gugup. Hidungnya kembang kempis saat Mama berjongkok dan menggenggam kontolnya.

“Ibu mau memerah penis kamu,” kata Mama. Tangannya bergerak naik turun, menelusuri batang kontol murid itu.

“Sakit gak ya?” tanya murid itu.

“Gak bakal sakit. Tapi kamu harus bilang kalau sakit,” kata Mama.

Tangan kanan Mama mengocok kontol murid itu, sementara tangan kirinya meremas kedua buah zakarnya. Mata murid itu merem melek. Ia jelas menikmati rangsangan di kontolnya.

“Aduh aduh!” serunya tertahan.

“Sakit?” tanya Mama. Ia berhenti mengocok kontol murid itu.

“Nggak. Malah enak. Susah jelasinnya. Terusin dong Bu,” pinta murid itu.

Mama mengocok kontol murid itu sedikit lebih cepat. Murid-murid lainnya menonton dari tempat duduknya masing-masing.

“Enak banget Bu!” seru murid itu. Pejuh bermuncratan dari lubang kontolnya. Mama buru-buru menampung pejuh itu ke mangkok kaca.

“Udah selesai,” kata Mama. Dipandanginya pejuh murid itu yang menggenang sedikit di dasar mangkok kaca. “Sekarang gantian yang lain.”

“Yaaaah kok udahan,” murid itu mendengus kecewa. “Lagi dong Bu.”

Mama tidak menggubris permintaan murid itu. Ia berjongkok di depan murid sebelahnya yang sudah tidak sabar kontolnya digenggam Mama.

“Mau pelan, mau kasar, terserah Ibu,” kata murid itu.

“Kamu sudah sering ngocok sendiri ya?” tanya Mama sambil menggenggam kontol murid tersebut.

“Sering dong. Apalagi kalau abis ngelihat Ibu,” kata murid itu sambil mengedipkan mata.

Mama mulai mengocok kontol murid tersebut. Kontolnya lebih kecil dari murid sebelumnya, tapi lebih keras dan kepala kontolnya sudah memerah begitu Mama mengocoknya.

“Udah mau keluar nih!” seru murid itu.

“Yah lemah. Masa segitu aja udah mau keluar,” ejek murid di sebelahnya.

Tak lama kemudian pejuh bermuncratan dari kontolnya. Mama menampung semua pejuh di mangkok kaca. Murid itu terduduk lemas di kursi. Wajahnya terlihat puas, meski teman-teman di sebelahnya terus mengejeknya.

Murid ketiga lebih siap lagi menghadapi Mama. Ia sudah mengocok kontolnya sebelum Mama menyentuhnya.

“Biar enak dipegang,” ujar murid ketiga.

Mama menggenggam batang kontol yang sudah mengeras itu, lalu mengocoknya. Murid itu tersenyum-senyum saat kocokan Mama semakin cepat. “Ibu rupanya jago ngocok kontol ya,” komentarnya.

“Cepetin keluarnya, aku juga mau,” seru murid di sebelahnya tidak sabaran.

Lima menit berlalu dan pejuh murid itu tidak juga keluar. Mama sudah mencoba merangsangnya dengan memijat-mijat pelan buah zakarnya, tapi belum ada tanda-tanda pejuh bakal keluar.

“Kok gak keluar-keluar nih?” Mama kebingungan.

Murid ketiga itu cekikikan. “Coba Ibu isep deh, siapa tahu keluar.”

Murid ketiga itu melebarkan selangkangannya. Kontolnya menjulang tinggi seperti menara di tengah lapangan. Ia tersenyum lebar saat mulut Mama mendekati kontolnya.

“Ibu nakal juga ya,” komentarnya.

Mama terlihat ragu-ragu. Bibirnya sudah menempel ke kepala kontol anak itu.

“Ibu harus isep kalau mau aku cepet keluar,” kata murid itu sambil mengelus rambut Mama.

Mulut Mama terbuka, lalu melahap kontol murid tersebut. Kaki murid itu langsung mengejang.

“Ouh geli!” pekiknya.

Lidah Mama bergerilya di batang kontol murid itu sampai air liurnya berceceran di lantai. Ia menyedot batang kontol tersebut sampai pipinya cekung.

“A-aku mau keluar!” teriak murid itu.

Otot-otot paha murid itu mengejang. Cairan putih kental merembes keluar dari sudut bibir Mama. Otot-ototnya lalu mengendur kembali. Napasnya terengah-engah.

“Wah gila. Nyawaku kayak lepas,” ujarnya.

Mama mengelap pejuh yang meleleh di sudut bibirnya dengan tangan. Ia menelan pejuh murid itu sampai habis.

“Ibu kayak orang berbeda,” komentar murid itu terheran-heran melihat kebinalan Mama. “Tapi gak apa-apa deh, yang penting asik.”

“Cepetan! Duh udah gak tahan nih!” seru murid-murid lain. Mereka bangkit dari tempat duduk dan mengerumuni Mama.

“Sabar, semua pasti kebagian kok,” ujar Mama.

“Bodo amat!” seru salah satu murid. Ia menerjang Mama. Badan gempal Mama terbanting ke lantai dengan murid itu berada di atasnya.

“Udah dari kemarin aku sange ngelihat Ibu begini,” ujar murid itu dengan napas memburu. Ia melebarkan kedua paha Mama, lalu menusuk batang kontolnya yang mengeras ke memek Mama dalam-dalam.

Mama menjerit tertahan. Kedua kakinya mengangkang ke atas sehingga memek dan anusnya terbuka lebar. Sementara murid itu menggenjot memek Mama, murid-murid lain berebutan mencolok anus Mama dengan jari telunjuk mereka.

“Wih bisa berdenyut gitu!” seru mereka takjub melihat anus Mama yang bergerak menyedot ke dalam.

Murid yang menindih Mama rupanya tidak bertahan lama. Sebentar saja kontolnya sudah memompa pejuh ke memek Mama. Cairan pejuhnya berlumeran keluar dari memek Mama. Telahdewasa.com

“Enak banget!” seru murid itu sambil merebahkan badan ke samping Mama.

“Sekarang aku!” ujar murid lainnya ganti menindih Mama. Kedua tangan dan kaki Mama dipegang erat-erat oleh murid-murid yang sabar menunggu. Badan Mama mengejang sebentar saat kontol murid itu menelusup ke memeknya.

“Bu Kepala Sekolah memeknya mantep bener!” erang murid itu.

Mama hendak mengerang, tapi seorang murid melumat bibirnya sampai ia susah bernapas.

“Bibir lonte nih,” komentar murid itu sambil terus mencium bibir Mama.

Begitu ciuman berhenti, Mama menarik napas panjang. Sekujur tubuhnya berkilauan karena keringat. Murid-murid kini tidak cuma mencolok anusnya, tapi juga menampar pantatnya sampai memerah.

Kejadian itu berlalu cepat sampai aku tidak menyadari kalau semua murid sudah mengentot Mama. Semua murid berdiri mengeliling Mama sambil mengocok kontol mereka yang masih basah.

“Makan nih pejuh,” komentar salah satu murid sambil cekikikan.

Beberapa menit kemudian, kontol mereka menyemprotkan pejuh di saat hampir bersamaan. Sekujur tubuh Mama basah kuyup oleh pejuh bercampur keringat.

Murid-murid itu memakai seragamnya kembali. Beberapa langsung duduk lemas di kursinya, beberapa lagi masih mengamati tubuh telanjang Mama yang tergeletak di lantai. Tangan-tangan mereka terus memelintir pentil Mama yang mengencang. Mama cuma diam, tidak sanggup melawan karena kehabisan tenaga.

Aku buru-buru membantu Mama berdiri dan segera meninggalkan kelas. Sebenarnya aku masih ingin Mama bertahan beberapa ronde lagi, tapi sepertinya ia tidak sanggup.

Sampai di kantor, Mama berbaring di sofa panjang. Keringat di badannya perlahan-lahan mengering terpapar udara sejuk AC.

Mama menutup wajahnya dengan lengan kanan. Tampaknya ia masih kaget dengan kejadian barusan. Napas yang tadinya tersenggal-senggal, kini mulai beraturan. Tak lama kemudian, ia sudah terlelap.

Aku biarkan Mama beristirahat. Sekarang aku ingin ke rumah Bagas untuk melaporkan perkembangan Mama.

Rumah Bagas tutupan. Sudah sepuluh kali aku mengetuk, tapi tidak ada yang menyahut. Aku mengelilingi rumahnya. Semua pintu dan jendela terkunci dari dalam. Aku mencari celah mengintip, tapi terhalang gorden. Semua lampu terasnya pun dalam keadaan mati.

Kemana anak itu?

Tanaman-tanaman di halaman depan rumahnya menguning dan tanahnya sedikit retak. Aku bisa menebak kalau tanaman-tanaman itu tidak pernah disiram lagi dalam seminggu ini.

“Nyari siapa?”

Aku menoleh ke belakang.

Seorang bocah laki-laki memandangku dengan rasa ingin tahu. Tangan kanannya memegang sebuah layangan, sementara tangan kirinya memegang kaleng yang penuh gulungan benang.

“Ke mana penghuni rumah ini?” tanyaku.

“Oh Mas Bagas. Mereka pergi,” jawab anak itu.

“Pergi ke mana?”

Bocah itu mengangkat bahu. “Entahlah.”

Aku mengeluarkan dompet dan memberikan selembar dua puluh ribu rupiah ke bocah itu. Ia tersenyum lebar saat tangannya menyentuh uang itu.

“Aku kasih kamu dua puluh ribu lagi kalau kamu kasih tahu kenapa mereka pergi.”

“Aku gak tahu mereka pergi ke mana, tapi katanya mereka kabur dari polisi,” jawab anak itu polos. “Katanya gara-gara video itu.”

Tanpa dijelaskan pun aku sudah tahu video yang dimaksud. Lama-lama kelakuan Bagas pasti tercium juga karena videonya sudah tersebar. Aku merinding membayangkan kalau hal yang sama terjadi kepadaku.

Sesuai janji, aku berikan selembar dua puluh ribu lagi ke bocah itu, lalu beranjak pergi.

Bersambung…

Tiga hari berlalu sejak aku mengunjungi rumah Bagas. Aku membaca ratusan artikel berita di internet, tapi tidak ada yang membahas Bagas. Apa masalahnya sudah selesai secepat itu?

Sepulang dari rumah Bagas, aku memesan barang yang akan berperan penting untuk aksi berikutnya. Seharusnya barang itu sampai hari ini. Semoga saja. Barang itu cukup mahal dan aku minta Mama untuk membelikannya.

“Pakeeeeeeeeeet!”

Itu dia!

Aku buru-buru keluar rumah. Kurir paket berdiri di belakang pintu pagar rumah sambil membawa sebuah kardus. Aku menerima paket itu. Rupanya itu memang pesananku. Aku langsung masuk rumah karena di luar panas sekali.

Jantungku berdebar saat membuka paket itu. Di dalamnya masih ada lapisan bubble wrap tebal. Aku cukup kesulitan merobeknya. Setelah susah payah, akhirnya bubble wrap itu robek semua.

Aku angkat barang pesananku dari puing-puing bubble wrap. Ternyata barang itu agak berat, meski di Youtube tampaknya enteng sekali. Kuperhatikan baik-baik benda itu, siapa tahu ada cacat. Sejauh ini kondisinya bagus.

Sempurna!

“Mama tadi dengar suara di luar,” komentar Mama sambil mengintip dari pintu kamar.

Kutunjukkan benda itu ke Mama.

“Oh sudah sampai. Mainan pesawat-pesawatan kok mahal bener,” kata Mama.

“Ini bukan mainan biasa. Ini adalah drone,” kataku. “Bisa dikendalikan pakai remot, hape, atau laptop. Canggih bener nih.”

“Tetap aja mainan pesawat,” kata Mama.

“Besok Mama bakal segera tahu bedanya,” kataku sambil tersenyum.

Besoknya, kami sudah berada di terminal bus antar kota. Sepeda motor kutaruh di parkiran terminal bus yang teduh agar joknya tidak kepanasan. Kami berjalan dari parkiran sepeda motor ke terminal bus dengan jalan kaki.

Aku dan Mama mengenakan masker lebar dan topi sehingga wajah kami hampir tertutup. Drone dan beberapa pakaian kumasukkan ke dalam ransel besar yang terasa berat di punggungku. Rasanya ingin menyuruh Mama membawa ransel itu, tapi keseksian Mama bakal berkurang.

Semua orang mengamati kami, terutama para laki-laki. Wajar saja karena Mama memakai celana jeans pendek ketat yang menunjukkan seluruh kakinya. Celana itu melorot sampai ke bawah pinggang sehingga tali g-string hitamnya terlihat jelas.

Kalau orang-orang itu menatap Mama baik-baik, mereka akan melihat beberapa helai bulu jembut Mama yang mencuat keluar dari atas g-string.

Untuk atasan, Mama mengenakan kaus putih ketat yang bagian bawahnya dipotong sehingga memamerkan seluruh perutnya. Kedua pentilnya menyemplak di balik kausnya yang agak transparan karena Mama tidak memakai beha.

Orang-orang memandang Mama heran sekaligus takjub. Para laki-laki tertawa cekikikan, sementara para wanita memandang Mama risih lalu cepat-cepat pergi.

“Kamu gak bawa jaket ya?” tanya Mama. Meski sudah sering telanjang di depan umum, suaranya masih saja gugup. Sepertinya Mama selalu gugup di tempat baru.

Aku menggeleng. “Mama tenang aja. Sekarang Mama beli tiket bus dong. Aku lupa beli tiket online.”

Dulu selalu ada antrian panjang di depan loket, tapi sekarang cuma ada dua laki-laki yang mengantri. Sekarang tiket bus bisa dibeli lewat aplikasi, lalu dicetak di mesin tiket terdekat. Tapi loket tetap menerima pembelian tiket manual karena masih banyak orang yang tidak tahu cara membeli tiket online.

Dua laki-laki yang mengantri itu terkejut saat Mama mendekati mereka. Mereka tersenyum ke Mama, tapi mata mereka menatap bagian dada Mama.

“Kak ini tiketnya,” ujar petugas tiket di dalam loket. Wajahnya tampak kesal karena orang yang dipanggil tidak menoleh. “Kak ini tiketnya,” ulangnya lagi dengan nada nyaring.

“Eh iya,” ujar laki-laki itu sambil mengambil selembar tiket. Ia bergegas pergi, tapi matanya masih menatap Mama.

Laki-laki satunya masih menoleh ke Mama, sedangkan tangannya mengeluarkan dompet untuk membayar tiket.

“Kak ini uangnya kebanyakan. Tiketnya Rp100.000. Uang Kakak kelebihan Rp200.000,” ujar petugas loket kesal.

“Oh maaf maaf.” Laki-laki itu memasukkan kembali kelebihan uangnya, lalu memberikan selembar uang ke petugas itu. Setelah urusannya beres, ia pun pergi dan masih menatap Mama seperti laki-laki sebelumnya.

Sekarang giliran Mama.

“Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas loket. Meski wajahnya datar, tapi sepasang matanya terbelalak melihat Mama yang berdiri di depannya.

“Tiket untuk dua orang dewasa,” kata Mama.

“Tujuan?”

Mama menyebut kota tujuan.

“Rp200.000 ya kak,” ujar petugas loket. Mama memberikan dua lembar Rp100.000 ke petugas loket, mengambil dua tiket, lalu cepat-cepat pergi. Petugas itu melongo melihat kepergian Mama.

Mama menghampiriku. Meski ia memakai masker, aku bisa melihat wajahnya yang memerah karena malu. Ia menunjukkan dua tiket. “Udah dapat nih.”

“Bagus, sekarang kita naik bus,” kataku sambil menarik tali g-string Mama.

Dari loket, kami harus menunggu bus di ruang tunggu yang letaknya sekitar empat meter dari loket. Ruang tunggu itu adalah ruangan tanpa dinding yang diisi deretan kursi panjang.

Di hari libur, deretan kursi itu dipenuhi pengunjung yang ingin ke kota, bahkan biasanya ada yang sampai duduk bersila di lantai. Tapi karena ini hari biasa, jadi ruang tunggu itu cukup sepi. Cuma ada beberapa kursi yang diduduki, beberapa orang lebih suka berdiri sambil merokok.

Kami duduk di salah satu kursi panjang yang masih kosong dan agak menyendiri dari kursi lain. Beberapa orang yang duduk di kursi lainnya mengamati kami. Mama menggeser-geser duduknya karena merasa risih.

“Santai aja Ma, toh mereka gak kenal kita,” kataku menenangkan.

Kuelus paha Mama yang mulus tapi agak lengket karena keringat. Perlahan-lahan birahiku naik. Telahdewasa.com

“Mama jangan banyak gerak,” kataku. Kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku ke depan g-string Mama. Sebentar saja aku sudah menyentuh lubang memeknya yang hangat dan kasar karena jembutnya sudah panjang.

“Wah Mama harus cukup jembut lagi nih,” komentarku sambil mengelus-elus jembutnya.

Kumasukkan jari telunjukku ke memek Mama. Kedua paha Mama langsung mengejang. Tangan kanan Mama refleks menahan tanganku, tapi tenaganya kalah kuat. Jari telunjukku menerobos lubang memeknya semakin dalam.

“Aduh jangan di sini,” suara Mama tertahan.

“Biar Mama gak tegang,” kataku. Seluruh jari telunjukku sudah terbenam seluruhnya di dalam memek Mama.

Mama menggigit bibir bawahnya. Tangannya masih berusaha menahan tanganku agar tidak bertindak lebih jauh, tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Aku bisa merasakan dinding memeknya berdenyut-denyut dan basah.

Kugerakkan ujung jariku. Mama tersentak. “Geli!” pekiknya.

Orang-orang semakin penasaran menatap kami. Mereka menggeser duduknya supaya bisa melihat kami lebih jelas.

Ujung jari telunjukku bergerak semakin cepat. Mama merintih menahan geli dan sakit. Memeknya semakin basah sampai aku bisa mendengar suara seperti cipratan air dari sela-sela g-string Mama.

“Ouh!” Mama menjerit nyaring. G-string Mama basah kuyup. Kutarik jari telunjukku yang kini dilumuri cairan bening kental.

“Wah wah Mama nikmatin juga,” kataku kagum.

Napas Mama tersenggal-senggal. Kedua tangannya menggantung lemas di sandaran kursi. Kedua kakinya terbuka lebar.

Dari loket, kami harus menunggu bus di ruang tunggu yang letaknya sekitar empat meter dari loket. Ruang tunggu itu adalah ruangan tanpa dinding yang diisi deretan kursi panjang.

Di hari libur, deretan kursi itu dipenuhi pengunjung yang ingin ke kota, bahkan biasanya ada yang sampai duduk bersila di lantai. Tapi karena ini hari biasa, jadi ruang tunggu itu cukup sepi. Cuma ada beberapa kursi yang diduduki, beberapa orang lebih suka berdiri sambil merokok.

Kami duduk di salah satu kursi panjang yang masih kosong dan agak menyendiri dari kursi lain. Beberapa orang yang duduk di kursi lainnya mengamati kami. Mama menggeser-geser duduknya karena merasa risih.

“Santai aja Ma, toh mereka gak kenal kita,” kataku menenangkan.

Kuelus paha Mama yang mulus tapi agak lengket karena keringat. Perlahan-lahan birahiku naik. Telahdewasa.com

“Mama jangan banyak gerak,” kataku. Kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku ke depan g-string Mama. Sebentar saja aku sudah menyentuh lubang memeknya yang hangat dan kasar karena jembutnya sudah panjang.

“Wah Mama harus cukup jembut lagi nih,” komentarku sambil mengelus-elus jembutnya.

Kumasukkan jari telunjukku ke memek Mama. Kedua paha Mama langsung mengejang. Tangan kanan Mama refleks menahan tanganku, tapi tenaganya kalah kuat. Jari telunjukku menerobos lubang memeknya semakin dalam.

“Aduh jangan di sini,” suara Mama tertahan.

“Biar Mama gak tegang,” kataku. Seluruh jari telunjukku sudah terbenam seluruhnya di dalam memek Mama.

Mama menggigit bibir bawahnya. Tangannya masih berusaha menahan tanganku agar tidak bertindak lebih jauh, tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Aku bisa merasakan dinding memeknya berdenyut-denyut dan basah.

Kugerakkan ujung jariku. Mama tersentak. “Geli!” pekiknya.

Orang-orang semakin penasaran menatap kami. Mereka menggeser duduknya supaya bisa melihat kami lebih jelas.

Ujung jari telunjukku bergerak semakin cepat. Mama merintih menahan geli dan sakit. Memeknya semakin basah sampai aku bisa mendengar suara seperti cipratan air dari sela-sela g-string Mama.

“Ouh!” Mama menjerit nyaring. G-string Mama basah kuyup. Kutarik jari telunjukku yang kini dilumuri cairan bening kental.

“Wah wah Mama nikmatin juga,” kataku kagum.

Napas Mama tersenggal-senggal. Kedua tangannya menggantung lemas di sandaran kursi. Kedua kakinya terbuka lebar.

Dari loket, kami harus menunggu bus di ruang tunggu yang letaknya sekitar empat meter dari loket. Ruang tunggu itu adalah ruangan tanpa dinding yang diisi deretan kursi panjang.

Di hari libur, deretan kursi itu dipenuhi pengunjung yang ingin ke kota, bahkan biasanya ada yang sampai duduk bersila di lantai. Tapi karena ini hari biasa, jadi ruang tunggu itu cukup sepi. Cuma ada beberapa kursi yang diduduki, beberapa orang lebih suka berdiri sambil merokok.

Kami duduk di salah satu kursi panjang yang masih kosong dan agak menyendiri dari kursi lain. Beberapa orang yang duduk di kursi lainnya mengamati kami. Mama menggeser-geser duduknya karena merasa risih.

“Santai aja Ma, toh mereka gak kenal kita,” kataku menenangkan.

Kuelus paha Mama yang mulus tapi agak lengket karena keringat. Perlahan-lahan birahiku naik. Telahdewasa.com

“Mama jangan banyak gerak,” kataku. Kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku ke depan g-string Mama. Sebentar saja aku sudah menyentuh lubang memeknya yang hangat dan kasar karena jembutnya sudah panjang.

“Wah Mama harus cukup jembut lagi nih,” komentarku sambil mengelus-elus jembutnya.

Kumasukkan jari telunjukku ke memek Mama. Kedua paha Mama langsung mengejang. Tangan kanan Mama refleks menahan tanganku, tapi tenaganya kalah kuat. Jari telunjukku menerobos lubang memeknya semakin dalam.

“Aduh jangan di sini,” suara Mama tertahan.

“Biar Mama gak tegang,” kataku. Seluruh jari telunjukku sudah terbenam seluruhnya di dalam memek Mama.

Mama menggigit bibir bawahnya. Tangannya masih berusaha menahan tanganku agar tidak bertindak lebih jauh, tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Aku bisa merasakan dinding memeknya berdenyut-denyut dan basah.

Kugerakkan ujung jariku. Mama tersentak. “Geli!” pekiknya.

Orang-orang semakin penasaran menatap kami. Mereka menggeser duduknya supaya bisa melihat kami lebih jelas.

Ujung jari telunjukku bergerak semakin cepat. Mama merintih menahan geli dan sakit. Memeknya semakin basah sampai aku bisa mendengar suara seperti cipratan air dari sela-sela g-string Mama.

“Ouh!” Mama menjerit nyaring. G-string Mama basah kuyup. Kutarik jari telunjukku yang kini dilumuri cairan bening kental.

“Wah wah Mama nikmatin juga,” kataku kagum.

Napas Mama tersenggal-senggal. Kedua tangannya menggantung lemas di sandaran kursi. Kedua kakinya terbuka lebar.

Dari loket, kami harus menunggu bus di ruang tunggu yang letaknya sekitar empat meter dari loket. Ruang tunggu itu adalah ruangan tanpa dinding yang diisi deretan kursi panjang.

Di hari libur, deretan kursi itu dipenuhi pengunjung yang ingin ke kota, bahkan biasanya ada yang sampai duduk bersila di lantai. Tapi karena ini hari biasa, jadi ruang tunggu itu cukup sepi. Cuma ada beberapa kursi yang diduduki, beberapa orang lebih suka berdiri sambil merokok.

Kami duduk di salah satu kursi panjang yang masih kosong dan agak menyendiri dari kursi lain. Beberapa orang yang duduk di kursi lainnya mengamati kami. Mama menggeser-geser duduknya karena merasa risih.

“Santai aja Ma, toh mereka gak kenal kita,” kataku menenangkan.

Kuelus paha Mama yang mulus tapi agak lengket karena keringat. Perlahan-lahan birahiku naik. Telahdewasa.com

“Mama jangan banyak gerak,” kataku. Kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku ke depan g-string Mama. Sebentar saja aku sudah menyentuh lubang memeknya yang hangat dan kasar karena jembutnya sudah panjang.

“Wah Mama harus cukup jembut lagi nih,” komentarku sambil mengelus-elus jembutnya.

Kumasukkan jari telunjukku ke memek Mama. Kedua paha Mama langsung mengejang. Tangan kanan Mama refleks menahan tanganku, tapi tenaganya kalah kuat. Jari telunjukku menerobos lubang memeknya semakin dalam.

“Aduh jangan di sini,” suara Mama tertahan.

“Biar Mama gak tegang,” kataku. Seluruh jari telunjukku sudah terbenam seluruhnya di dalam memek Mama.

Mama menggigit bibir bawahnya. Tangannya masih berusaha menahan tanganku agar tidak bertindak lebih jauh, tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Aku bisa merasakan dinding memeknya berdenyut-denyut dan basah.

Kugerakkan ujung jariku. Mama tersentak. “Geli!” pekiknya.

Orang-orang semakin penasaran menatap kami. Mereka menggeser duduknya supaya bisa melihat kami lebih jelas.

Ujung jari telunjukku bergerak semakin cepat. Mama merintih menahan geli dan sakit. Memeknya semakin basah sampai aku bisa mendengar suara seperti cipratan air dari sela-sela g-string Mama.

“Ouh!” Mama menjerit nyaring. G-string Mama basah kuyup. Kutarik jari telunjukku yang kini dilumuri cairan bening kental.

“Wah wah Mama nikmatin juga,” kataku kagum.

Napas Mama tersenggal-senggal. Kedua tangannya menggantung lemas di sandaran kursi. Kedua kakinya terbuka lebar.

BACA JUGA:

PERMAINAN GILA

Aku baru saja mau mengelap jariku yang basah dengan tisu saat bus kami berhenti di depan ruang tunggu. Orang-orang yang punya tujuan sama dengan kami langsung bergegas masuk ke dalam bus.

Mama bangkit dari kursi, tapi langsung kutahan. “Tunggu sebentar.”

“Kenapa?”

Celana Mama kuturunkan lagi sampai ke pertengahan pahanya. G-string yang dikenakannya kini terlihat seluruhnya.

“Nah begini mantap. Yuk kita naik bus,” kataku sambil menampar pantat Mama.

“TAMAT”

Exit mobile version