Site icon Telahdewasa

Diambang Kehancuran

TelahDewasa.com - Diambang Kehancuran

TelahDewasa.com - Diambang Kehancuran

Cerita Dewasa – Hancur berkeping keping

Diambang Kehancuran – Langga dan Jessica harusnya bercerai hari itu jika saja putra mereka tidak membuat masalah.

Pernikahan Jessica Liu Halim dan Airlangga Hianggio diambang perpecahan. Ego yang tinggi serta pertengkaran yang tak kunjung usai menjadi alasan mereka memutuskan berpisah.

Namun, tiba-tiba saja putra mereka, Osean Hianggio, membuat masalah yang tidak terduga. Hal itu membuat Jessica dan Langga terpaksa menunda proses perceraian mereka.”Situs Resmi Slot Rajanaga777

Akankah mereka dapat kembali bersama agar bisa menyelesaikan masalah putra mereka? Apakah perceraian mereka akan tetap terlaksana?

TelahDewasa “Jess?” Wanita bergaun putih mutiara itu berbalik sesaat setelah namanya disebut. Ternyata Airlangga, suaminya yang memanggil. Lelaki itu hampir siap dengan kemeja putihnya. Terkesan santai tapi tetap menawan seperti biasa.

BACA JUGA:

ISTRIKU SANGAT NAKAL

“Kenapa?” Jessica mengalihkan arah pandangnya kembali ke cermin. Telinga kirinya belum terpasang anting. “Anak-anak udah siap belum?”

Langga berdecak seraya mendekati sang istri. “Sayang, kok pake baju gini, sih? Bahu kamu keliatan loh.”

Jessica memutar matanya malas. “Aku mau tampil cantik hari ini, Langga. It’s my birthday.”

Wanita 28 tahun itu sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk pesta ulang tahunnya ini. Dia sampai menyewa resort di Bali hanya untuk berkumpul bersama teman-temannya. Beberapa waktu kebelakang, Jessica tidak bisa menikmati hidupnya karena masih berkabung akibat kehilangan satu-satunya keluarganya yaitu sang ayah.

“Tapi-” Ucapan Langga terhenti setelah dering ponselnya berbunyi. “Papa telepon. Wait, ya.”

Setelah merasa penampilannya sudah elok, Jessica mendekat pada sang suami. Samar-samar dia mendengar suara dari Liem Hianggio. Ayah mertuanya itu tidak bisa hadir ke pesta ulang tahunnya karena sibuk kampanye untuk posisi walikota di daerah tempat tinggal mereka.

“Kan janjinya hari Sabtu aku baru pulang, Pa.” Langga berdecak kesal. Dia meraih pinggang Jessica untuk didekap. Namun, wanita itu malah sibuk merapikan rambutnya. “Ya, ya, oke. Aku pulang hari Kamis. Tapi Sean sama Jenny kayaknya masih betah di sini.”

“Kenapa?” bisik Jessica mendengar nama anak-anaknya disebut.

“Oke, nanti aku kabarin lagi,” pamit lelaki 28 tahun itu sebelum mematikan ponselnya. “Papa minta aku pulang cepet. Katanya mau ketemu Pak Rosadi, petinggi partai gitu lah.”

Tangan Jessica yang tengah merapikan rambut Langga terhenti. Situasi seperti ini bukan sekali dua kali, Jessica sering merasa dirinya bukan prioritas Langga selama masih ada ayah mertuanya.

“Mau gimana lagi, biar aku sama anak-anak pulang sendiri hari Sabtu deh, ya. Aku udah janji sama Abang buat main ke Uluwatu.”

“Maaf, Sayang. Ini ulang tahun kamu, tapi aku-”

“Nggak papa,” sela Jessica. “Ngerayain bareng kamu aja aku udah seneng.”

Masih merasa tidak enak, Langga mengusap wajah istrinya yang cantik rupawan itu. Langga sangat beruntung memiliki istri sempurna macam Jessica. “I love you. I love you. I love you.”

Jessica tertawa seraya berusaha menghindar dari kecupan Langga di seluruh wajahnya. “Stop, Langga. Ayo, nanti kita terlambat, ih.”

Mereka sama-sama keluar dari kamar untuk menuju halaman belakang resort. Di sana sudah ramai teman-teman Langga serta Jessica. Mereka masih menikmati kudapan manis yang telah tuan rumah siapkan.

“Mama!” seru putra tertua Jessica. “Adek tadi mau jatuh, tapi nggak jadi. Soalnya ditolong Abang.”

Semakin hari, Sean semakin pandai bicara. Jessica senang karena Sean yang baru berusia 5 tahun itu bisa menjaga dan melindungi Jenny yang masih batita. Walaupun terkadang kedua anak itu gemar berselisih atau bertengkar.

“Wah, Abang pinter banget. Hebat, udah bisa jaga Adek.” Sean menyambut Jessica dalam pelukan erat. Selanjutnya, pria kecil itu sudah berada di gendongan sang ibu. “Ayo, ikut potong kue sama Mama, ya.”

Sean mengangguk antusias. Demikian juga Langga yang tertawa gemas melihat putra kebanggaannya. Langga menuntun anak dan istrinya hingga disambut beberapa pasang mata yang menatap Jessica penuh rasa iri.

“Terima kasih buat yang udah dateng jauh-jauh dan doain Jessica. Semoga kalian enjoy selama acara. Selamat bersenang-senang!” ujar Langga dengan senyum lebar.

“Kelamaan! Potong tuh kuenya, Jess,” teriak salah satu teman kuliah Jessica yang turut hadir. Berhasil mengundang tawa dari beberapa orang yang lain.

Jessica ikut mengumbar tawa. Sambil menggendong Sean, dia meniup lilin bergambar angka 28 itu dengan riang. Sementara Langga yang juga menggendong anak bungsunya itu merasa bahagia melihat senyum istrinya.

“Happy birthday, My Love!” Langga berbisik.

“Happy birthday, Mama!” Diikuti Sean yang meniru kalimat sang ayah.

Jessica rasa dia tidak pernah sebahagia ini. Dikelilingi orang-orang yang dia cintai serta anak dan suaminya yang begitu menyayanginya membuat Jessica merasa campur aduk. Bahagia namun juga haru.

Dia merasa hidupnya telah lengkap. Kini Langga adalah dunianya sekaligus satu-satunya keluarga yang dia punya. Setelah mewarisi bisnis supermall dari mendiang ayahnya, Jessica sering mendapat tatapan iri dari orang-orang. Mereka merasa hidup Jessica begitu mudah. Suami tampan, anak yang baik, dan wanita karir yang sukses.

Sesungguhnya Jessica merasa sedikit terbebani dengan itu. Tetapi dia memilih untuk fokus pada keluarga dan bisnisnya. Dia percaya Langga akan selalu mendukungnya hingga maut yang memisahkan mereka. Karena Jessica sangat mencintai pria favoritnya itu.

Karena Jessica sangat mencintai pria favoritnya itu

•••

2024

Ternyata perfection is an illusion. Tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini. Termasuk pernikahan Jessica dan Langga.

Siapa yang menyangka pasangan yang sudah bersama selama 19 tahun juga bisa memutuskan untuk bercerai secara tiba-tiba? Hari ini adalah harinya. Hari perceraian Langga dan Jessica.

Jessica tahu, semua orang menentang perpisahan ini. Mereka selalu berkata bahwa pernikahan bisa diperbaiki. Hanya Jessica dan Langga saja yang tidak mau berusaha. Pikirkan anak, pikirkan bisnis, keluarga mereka benar-benar tidak setuju.

Wanita itu tahu benar, jika perpisahan ini terjadi, maka akan banyak sekali yang dirugikan. Namun, Jessica sungguh sudah tidak tahan sekarang. Baik dirinya maupun Langga tidak ada yang setuju untuk tetap bersama. Maka, perceraian adalah satu-satunya jalan terbaik.

“Kita sudah sampai, Bu,” Grace, asisten pribadi Jessica, berkata lirih. Wanita 28 tahun itu tahu jika bosnya sedang sedih.

“Ah, iya. Pak Haidar udah sampe, ya?”

“Sudah di dalam sepertinya, Bu. Tadi saya liat mobilnya.”

Jessica kembali mengambil cermin untuk melihat kondisi matanya. Tadi pagi sempat bengkak karena semalam dia terus menangis, tetapi kini sudah lebih baik. Begitu keluar dari mobil, Jessica sempat menengok ke kanan dan ke kiri. Suasana di pengadilan memang cukup sepi.

Melihat pintu pengadilan yang menjulang tinggi, Jessica sempat ragu. Berkali-kali wanita 41 tahun itu menarik napas berat. Dipikirnya, apakah keputusan ini sudah benar? Dia akan berpisah dengan laki-laki yang telah memberinya 2 orang anak. Berpisah dengan laki-laki yang memilihnya dari sekian banyak wanita yang mengincar posisi sebagai menantu gubernur daerah. Apakah ini memang jalannya?

Ditengah-tengah kekalutan itu, Jessica masih sempat mengecek ponselnya. Berharap ada pesan dari sang suami. Namun, nihil. Langga tak memberinya kabar. Bahkan pria matang itu tak memberitahu keberadaannya saat ini.

Jessica berdeham dan menengok pada Grace. “Kamu dapet kabar dari Nathan nggak? Sekarang mereka dimana?” Telahdewasa.com

Nathan yang notabenenya asisten Langga adalah teman baik Grace. Mereka partner kerja yang solid karena kedua bos mereka adalah pasangan suami istri yang tak jarang menghadiri acara yang sama.

“Nathan bilang dia sama Pak Langga sebentar lagi sampai, Bu.” Grace menipiskan bibirnya. “Ibu mau… tunggu mereka dulu?”

Jessica menggeleng ringan. “Kita masuk-”

“Jess!”

Seruan itu mau tak mau membuat Jessica menoleh. Dari kejauhan terlihat Langga yang berlari ke arahnya. Jantung Jessica langsung bergemuruh. Perasaan khawatir seketika menyergap melihat raut wajah suaminya. Langga tak pernah seperti ini sebelumnya.

Is there something bothering you, Langga?

“Apa? Kenapa?”

Langga mencoba menormalkan napasnya disertai kedua tangan yang juga memegang erat bahu sang istri. “Promise me you won’t panic.”

“Just say it! What’s wrong?”

“Sean…” Langga meneguk ludahnya berat. “Aku dikabarin katanya dia terlibat kasus pembunuhan.”

Bersambung…

“Pembunuhan gimana, Langga? Jangan bercanda!”

Langga mengambil napas dalam-dalam. Dia tahu wanita yang akan menjadi mantan istrinya ini pasti tidak akan percaya.

Langga sendiri mulanya juga tidak percaya, namun kemudian diyakinkan pihak kepolisian bahwa Sean benar-benar terlibat kasus mengerikan itu. Sama dengan Jessica, Langga merasa syok, jantungnya langsung berdebar ketakutan apabila terjadi sesuatu pada putranya.

“Tadi polisi telepon aku, Sean ada di kantor polisi, Jess.” Langga memindai raut kaget Jessica. “Kita harus ke sana sekarang.”

“Tapi, Sean kenapa? Kenapa bisa kayak gitu?” Wanita itu tidak habis pikir. “Aku coba telepon Sean dulu, mungkin ini penipuan, Langga.”

“Jess!” sentak Langga agak kencang. “Aku udah coba telepon dia, tapi nggak aktif. Udahlah, nggak usah buang-buang waktu. Kita ke kantor polisi sekarang.”

Mendengar itu, Jessica tidak bisa untuk tidak memikirkan hal-hal buruk. Batinnya sungguh terguncang. Demi Tuhan, Sean adalah anak yang baik.

Dia berani menjamin. Jessica menggigit bibirnya cemas, tangannya juga mulai mendingin. Kini wanita itu tidak lagi memikirkan proses perceraian yang sebentar lagi akan dilakukan. Pikirannya hanya tertuju pada Sean.

“Jess!” Langga mengguncang bahunya kencang. “Ayo, kita ke kantor polisi. Now!”

“I-iya. Ayo!” Jessica menghadap sang asisten yang masih diam. “Grace, kamu bawa mobil saya. Saya ikut mobilnya Bapak aja. Kamu ke apartment saya, nunggu Jenny pulang sekolah.”

“Tapi Bu, sidangnya-”

“I didn’t care at all!” teriaknya keras. “Anak saya lebih penting.”

Lantas Jessica meraih tangan Langga untuk bergegas menuju kantor polisi. Mereka berdua tidak peduli walaupun mungkin proses perceraian mereka akan tertunda dan memerlukan waktu yang lebih lama. Jessica dan Langga ingin fokus menyelamatkan anaknya yang mengalami masalah.

Mereka sampai di kantor polisi tempat Sean berada. Suasananya sepi, artinya berita ini belum sampai ke telinga media. Setidaknya Langga harus lega akan hal ini. Langga melirik istrinya yang masih mencoba menahan tangis meskipun gagal.

Langga benci melihat air mata Jessica. Terlepas dari hubungan mereka yang hampir putus, Jessica tetap ibu dari anak-anaknya. Mereka sudah terlalu banyak menghabiskan waktu bersama. Langga tidak mungkin melupakan apa yang sudah mereka lewati sejak awal menikah. Karena Jessica akan selalu memiliki tempat tersendiri di hidupnya.

“Lebih baik?” Langga mengusap punggung istrinya. “Kalo kamu nggak kuat, biar aku yang masuk aja, Jess.”

“Nggak, aku bisa kok,” balasnya mencoba kuat. “Ayo, kita masuk.”

Langga mengiyakan. Mereka masuk sembari mencari keberadaan sang putra. Begitu masuk, beberapa pasang mata memandangi Langga dan Jessica. Mereka tentu mengenal siapa pasangan suami istri tersebut.

“Bapak Airlangga, ya?” Salah satu polisi bertubuh tambun mendekati mereka.

“Iya, saya sendiri.” Langga menjabat tangan sang polisi. “Kami dateng karena-”

“Oh, walinya Ananda Sean, ya, Pak?”

“Betul, Pak. Saya dan istri tadi dihubungi katanya anak kami terlibat masalah. Bisa tolong jelaskan masalahnya?”

“Duduk dulu, Pak.” Polisi bername tag Idham itu menunjukan bangku dekat jeruji besi. “Bapak tenang dulu, saya jelaskan dengan hati-hati, ya. Jadi, Ananda Sean ini berada di TKP pembunuhan siswi SMA di rumahnya sendiri, Pak. Kami menduga korban merupakan teman sekolah putra Bapak.”

Kedua orang tua Sean tersebut sangat terkejut. Jessica sampai menutup mulutnya ketakutan. Mereka tidak mengerti apa yang dilakukan Sean di sana? Apa anak mereka itu-

“Pak, maksudnya gimana? Anak saya anak baik-baik, dia nggak mungkin melakukan hal yang aneh-aneh,” tutur Jessica dengan tergesa lalu menarik-narik kemeja sang suami. “Langga, gimana ini?”

“Kamu tenang dulu, Jess. Dengerin penjelasan polisi dulu.”

“Ibu jangan cemas, tadi sewaktu perjalanan ke mari, Ananda Sean mengaku bukan dia pembunuhnya. Tapi kami masih menyelidiki kasus ini, Pak, Bu. Mohon kerja samanya agar kasusnya cepat selesai.”

Rasanya ketakutan Jessica perlahan sedikit membaik mengetahui Sean bukan pembunuhnya. “Ah, baik, Pak. Kami juga mohon bantuannya agar anak kami bisa segera pulang ke rumah.”

“Tapi, Ananda Sean tidak sendiri, Bu. Ada-”

Belum selesai memberi penjelasan, tiba-tiba pintu sebuah ruangan terbuka dan menampakan seorang remaja laki-laki yang penampilannya acak-acakan. Jessica dan Langga otomatis bangkit dan menghampiri si pemuda.

Dia adalah Kenny, teman Sean. Mereka berdua teman yang akrab. Jessica sering melihat Kenny datang ke rumahnya untuk mengajak Sean bermain. Tidak ada masalah apapun diantara keduanya. Di sekolah pun, Sean selalu bersama Kenny.

“Kenny, Sean mana? Sebenarnya ada apa? Siapa yang dibunuh, Nak?” Ibunda Sean itu menarik lengan Kenny yang terus saja tertunduk lesu.

Sayangnya, Kenny tidak menjawab apapun. Dia mendongak dan menatap Jessica dengan seksama. Wajahnya pun tetap datar, karena itu Jessica perlahan melepaskan cekalan tangannya. Sementara Langga langsung mengetahui ada yang tidak beres antara Kenny dan Sean.

•••

“Waktunya cuma sebentar ya, Pak, Bu. Setelah ini Ananda Sean akan kami mintai keterangan lebih lanjut. Jadi, mohon ikuti aturannya.”

Langga dan Jessica kompak mengangguk. Mereka lantas menatap putra sulung mereka yang tampak begitu frustasi. Penampilan Sean yang cukup menyedihkan membuat pasangan suami istri yang duduk dihadapannya itu menghela napas khawatir.

“Jangan diem aja, Bang. Ayo cerita sama Mama. Gimana bisa kamu ada di rumah itu?” Jessica mencoba semaksimal mungkin untuk bertanya dengan lembut. Walaupun dalam hatinya sendiri, dia merasa amat cemas.

Perlahan Sean mendongak dan menatap kedua orang tuanya bergantian. “Kalian….,” ucapnya. “Udah cerai?”

Langga membeliak. Sean justru menanyakan perceraian antara dirinya dan Jessica ketimbang menjawab pertanyaan sang istri. “Come on, Sean. This is not the right time to talk about that. Answer your mom first!”

“Langga!” Jessica memperingati. Wanita itu kemudian menjilat bibirnya dan menatap kembali sang putra. “Sayang, ayo cerita dulu sama Mama. Kita bisa bahas masalah itu setelah kamu pulang dari sini.”

“Jadi belum?” Sean tak gentar dengan tatapan tajam ayahnya. “Apa karena aku di sini, kalian nggak jadi sidang cerai?”

“Sean!”

Jessica reflek menggeleng. Perasaannya menjadi takut melihat wajah sang suami. Langga bisa saja berbuat nekat jika Sean terus membuatnya marah. “Iya, kami belum cerai. Setelah kamu lepas dari masalah ini, kami akan melanjutkan proses perceraian itu.”

Menjawab pertanyaan Sean memang bukan keinginannya. Namun, Jessica tahu bahwa Sean tidak akan mau bercerita padanya sampai dia menjawab pertanyaan mengenai perpisahan. Waktu mereka sangat sedikit sekarang. “Jadi, gimana ceritanya kamu-”

“Papa sama Mama lanjutin aja proses perceraian kalian. Aku nggak akan pulang ke rumah.” Sean tiba-tiba saja beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan.

“Loh, Abang!” seru Jessica. “What are you talking about? Abang, stop!”

“Sean!” Langga turut memanggil putranya.

Begitu dibuntuti ternyata Sean berbincang dengan seorang polisi sebelum kemudian keduanya pergi ke suatu ruangan. Jessica dan Langga tergopoh-gopoh mengikuti putranya.

“Tunggu, kamu mau ke mana, Sayang?!”

“Maaf, Bu.” Seorang polisi menahan tubuh Jessica agar menjauh dari ruangan yang dimasuki Sean. “Ananda Sean sudah kami bawa ke ruang interogasi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.”

“Tapi saya-”

“Ibu tenang saja. Kami nggak akan menganiaya anak Ibu. Kami cuma akan menanyakan beberapa hal. Jadi, silakan Ibu dan Bapak bisa pulang ke rumah. Kalau hasil pemeriksaannya sudah keluar, kalian akan kami kabari.”

“Gimana bisa saya pulang kalau Abang…”

Langga sigap memeluk pundak istrinya dan berbisik, “Udah, Jess. Nggak ada gunanya kita protes. Sean pasti bakal keluar sebentar lagi.”

Langga pun membawa paksa wanita cantik itu keluar dari kantor polisi. Meskipun begitu, Jessica tetap marah karena Langga tak mengerti perasaan cemasnya. “Kamu mau kemana, sih?!”

“Kita pulang, okay? Di sini nggak ada tempat buat istirahat dan-”

Jessica cekatan melepas rangkulan suaminya. “I’ll stay here! Jangan paksa aku pulang.”

Langga menghela napas kuat-kuat. Dirinya tahu betul kalau Jessica akan keras kepala jika menyangkut anak-anak. “Aku bakal telepon pengacaranya Papa, minta mereka buat ngurus masalah ini. Kamu pulang aja, istirahat. Jenny pasti nyariin kamu sekarang. Jangan ngeyel, please.”

Jessica membuang muka. Perkataan pria matang dihadapannya memang benar. Diam-diam wanita itu mendesah lelah. Untuk saat ini dia akan mengalah saja. “Okay, kita pulang. Tapi, Abang beneran bakal keluar dari tempat ini secepatnya, ‘kan?”

Sejatinya Langga sedikit ragu karena memang dia belum mengetahui kronologi lengkap dari pembunuhan itu. Namun, demi memberikan ketenangan untuk ibu dari anaknya, Langga tetap mengangguk. “Seperti kata kamu, Sean nggak bakal membunuh orang. Jadi kemungkinan, kasus ini bakal cepet selesai.”

Jessica sedikit lega mendengar itu. “Okay.” Meski begitu, batinnya tetap tidak henti berdoa pada Tuhan untuk putranya.

“Rumahku jauh dari sini. Apa boleh aku ke apartment kamu dulu?”

•••

“Ayo, masuk.” Jessica mempersilakan sang suami untuk masuk ke apartment yang baru dihuninya selama 3 bulan itu.

Langga masuk dengan canggung. Seumur-umur dia memang belum pernah memasuki hunian istri dan anaknya yang baru ini. Paling mentok hanya mengantar Jenny sampai ke lobby apartment.

“Papa?” Jenny terkejut melihat orang tuanya datang bersama. “Kenapa ke sini?”

Jessica mendekati putri kecilnya. “Sayang, Papa sama Mama mau bicara hal penting. Bisa kamu masuk ke kamar dulu?” Telahdewasa.com

Walaupun dirundung rasa penasaran, Jenny tetap patuh pada perintah Ibunya. Gadis berbaju pink itu memeluk ayahnya sebentar sebelum kemudian kembali ke kamar.

“Kayaknya Papa udah tahu tentang masalah ini. Dia pasti marah besar,” ujar Langga.

Perasaan sedih langsung menyelimuti Jessica. Sejak dulu tak pernah Sean berbuat yang macam-macam. Putra sulungnya itu selalu menjadi kesayangan sang mertua. “Aku tahu beliau pasti marah banget.” Jessica memijat pelipisnya. “After this, let’s go back there. Aku nggak tenang di rumah terus.”

“Tim pengacaranya Papa udah di sana. Kamu nggak usah buru-buru istirahatnya. Sean juga-”

Tepat saat itu ponsel Langga berdering. Terlihat nama pengacara ayahnya lah yang menghubungi. Dia pun memberi isyarat pada Jessica yang sudah menegakkan tubuhnya cemas untuk diam. “Ya, halo?”

Jessica mencondongkan dirinya pada sang suami untuk bisa mencuri dengar. Tangannya saling bertaut. Dia berulang kali menggigit bibir apalagi setelah melihat reaksi Langga.

“Iya, saya ke sana sekarang.”

Begitu mematikan telepon, Langga menatap Jessica dengan kalut. “Mereka bilang Sean ditetapkan jadi tersangka.”

“Apa?!”

“Sean mengakui diri sebagai pembunuh korban.”

Bersambung…

Baik Jessica maupun Langga masih terguncang dengan kenaikan status anaknya menjadi tersangka. Padahal sebelumnya anak itu mengaku tidak membunuh siapapun.

Namun, sekarang pernyataannya malah berbanding terbalik. Langga sendiri menemukan kejanggalan dalam kasus ini. Terlebih putranya seperti menutupi sesuatu darinya maupun Jessica.

“Pengacara kita katanya udah jalan ke kantor polisi,” celetuk Langga sembari menyugar rambutnya ke belakang. “Sekarang kita coba ke kantor polisi, Jess?”

Jessica yang awalnya terduduk kaku, pelan-pelan mengangguk. Jiwanya seperti melayang ketika mendengar berita dari sang suami. “Aku bakal suruh Grace ke sini lagi buat nemenin Jenny.”

“Ya.” Langga memeluk istrinya dari samping. Dia mencoba memberi kekuatan untuk Jessica, meskipun dia sama-sama gelisah.

Merogoh ponselnya, Jessica langsung meminta Grace untuk datang. Dia juga mengimbau agar Grace tidak memberitahu soal Sean pada Jenny. Putrinya mungkin akan kaget juga. Jessica tidak mau mental anak bungsunya itu ikut terguncang.

“Udah, kita bisa berangkat sekarang.” Jessica bangkit meraih tasnya. “Pasti Sean ketakutan. Dia mungkin juga kebingungan. Aku takut dia disakitin di sana, Langga.”

“You can rest easy, Jess. Pengacara aku pasti bisa bebasin Sean. Lagian aku juga nggak percaya Sean yang bunuh cewek itu.”

“Iya, aku juga nggak percaya. Pasti ada something yang kita nggak tau.”

Keduanya bertekad membebaskan Sean secepatnya. Apapun akan Langga lakukan agar anaknya itu bisa segera bebas. Dia pun sebenarnya tidak ingin jika ayahnya sampai mengetahui masalah ini. Langga risau Sean akan terluka akibat ulah kakeknya yang marah besar.

Mereka berdua bergerak menuju kantor polisi setelah memberi tahu Jenny. Jessica beralibi ada urusan yang harus diselesaikan berdua dengan ayahnya Jenny tersebut. Untungnya Jenny percaya dan tidak bertanya banyak. Anak itu sibuk belajar bahkan setelah mengikuti beragam les privat.

Langga menyetir agak kencang. Mereka berdua tidak banyak bicara. Jessica menyadari hari ini, mereka berdua kembali bicara panjang lebar setelah berbulan-bulan perang dingin hingga memutuskan pisah rumah. Biasanya mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu. Entah ini hal yang baik atau tidak, setidaknya Jessica bahagia Langga mau bekerja sama.

Mobil Langga hampir memasuki kantor polisi sebelum dicegah oleh Nathan. Pria itu berdiri menghalangi mobil hingga Langga terpaksa menghentikan laju mobilnya. Nathan memeriksa keadaan sekitarnya sebelum mengetuk kaca mobil Langga.

“Kenapa, Nath? Ada masalah?” tanya Langga segera.

“Pak, media sudah tahu tentang berita ini. Beberapa wartawan sudah ada di depan kantor polisi.” Nathan kembali mengawasi situasi sekitar. “Saya diminta untuk mencegah Bapak dan Ibu masuk ke sana.”

Langga berdecak kesal sembari memukul kemudinya. Masalah ini akan semakin besar. Langga menoleh ke samping lalu mendapati wajah pias Jessica. Ini tidak akan mudah. Langga harus segera melakukan sesuatu demi melindungi keluarganya.

“Tetep aja saya harus liat Sean, Nath. Kamu tolong halangi wartawan itu, saya mau masuk,” sentak Jessica. Satu hal yang ingin dia lakukan sekarang adalah bertemu Sean. Itu saja.

“Maaf Bu, tetap tidak bisa. Bapak dan Ibu diminta untuk pulang ke rumah utama, biar saya yang menjaga Mas Sean di sini.”

Langga mendengus kasar. “Ini perintah Papa, kan?”

Nathan sempat melebarkan matanya, tapi dia tetap diam. Diamnya itu sudah memberi jawaban bagi Langga dan Jessica. Mungkin ayahnya Langga itu tengah bersiap memuntahkan amarahnya pada Langga.

Jalanan semakin ramai, para wartawan mulai memadati pelataran kantor polisi. “Di sini makin ramai, Pak. Sebaiknya Bapak segera pergi.” Telahdewasa.com

“Nggak!” sergah Jessica. “Langga, kita harus liat Sean. Dia butuh kita, please jangan dengerin Papa dulu. Apa kamu nggak mau ketemu Sean?”

“Tapi Bu-”

Tatapan tajam Langga langsung tertuju pada Nathan. “Kali ini saya ngalah. Tapi kamu harus pastikan Sean segera bebas. Pak Beni mungkin udah di dalem, segera koordinasi sama beliau.”

Mulanya Jessica ingin membantah, tapi Langga kembali menyela. “Jess, jangan buat masalah ini tambah rumit. Kamu ikut aku pulang ke rumah kita, biar kita bisa minta Papa buat bantu Sean.”

Selalu seperti ini, lagi-lagi Jessica harus mengalah karena keluarga sang suami. Meskipun sebenarnya dia ingin segera memeluk Sean. Jessica tetap harus menahan dirinya sendiri.

•••

Rumah megah itu tampak dijaga oleh banyak pria berpakaian hitam. Tampang mereka yang tidak bersahabat membuat siapapun enggan mendekati rumah itu termasuk beberapa awak media yang berjaga. Semakin banyak gambar yang ditangkap oleh para wartawan, membuat Jessica semakin gelisah. Bahkan mereka lebih cepat menjangkau kediaman Hianggio ketimbang dirinya.

“Mereka gerak cepat ternyata,” komentar Langga. Mobil yang dikemudikannya tidak luput dari jepretan kamera wartawan yang tidak bisa mendekat akibat ditahan oleh bodyguard.

Jessica mendesah lelah. Dia dan Langga kemudian memasuki rumah yang hawanya sudah tidak bersahabat itu. Mertuanya tampak marah.

“Gimana bisa Sean terlibat masalah kayak gini?” tanya pria tua yang kini menjabat sebagai gubernur itu.

Jessica melirik suaminya yang hendak mengkonfirmasi. Langga menarik napas sebelum menjelaskan. “Aku sama Jessica nggak tau, Pa. Semalem Sean biasa-biasa aja, kan? Kita tahu kalau dia bukan orang yang suka terlibat sama masalah. Apalagi masalah fatal kayak gini. Iya, ‘kan, Jess?”

Jessica hanya mengangguk kecil. Dirinya bahkan tidak mampu menatap mertuanya. Pikirannya sungguh bercabang kini. Dia percaya pada pengacara keluarga Hianggio, tetapi kepercayaan itu tidak sepenuhnya menghilangkan kesedihan serta rasa waswasnya.

“Kalian sempat ngobrol sama Sean tadi?”

“Iya, Pa.” Lagi-lagi Langga yang bicara. “Waktu kami tanya, dia malah bahas perceraian aku sama Jessica. Aku nggak ngerti, kenapa dia malah bahas hal itu.”

Liem, pria berambut putih itu, tak segan-segan mendengkus kesal. “Gimana bisa gadis itu tewas saat Sean ada di rumahnya? Papa nggak habis pikir.”

Jessica dengan sembunyi-sembunyi menggigit bibirnya menahan tangis. Dia jadi membayangkan masa depan putranya kelak. Pasti akan sangat sulit. “Apa… kalian kenal gadis itu?” tanyanya dengan terbata.

Langga melirik Jessica. Pria berkemeja itu tahu betul bahwa istrinya sedang menahan tangis. “Kami nggak kenal. Selama kamu keluar dari rumah ini, Sean nggak pernah sekalipun bawa temen perempuan.”

“Daripada itu,” ujar Liem seraya menatap Jessica. “Kamu kan ibunya. Gimana bisa kamu nggak tau masalah Sean? Apa selama ini dia nggak pernah teleponan sama kamu?”

Jemari Jessica tertekuk takut. Tundukan kepalanya semakin dalam. “Sean nggak pernah cerita tentang masalahnya sama aku, Pa. I’ve been trusting Sean all along. He’s a good boy. I never imagined that he would get into this trouble.”

Langga memberikan gestur melindungi istrinya dengan sedikit merentangkan tangan kanannya menutupi Jessica. “Jangan salahin Jessica, Pa. Aku juga percaya sama Sean. Dia nggak akan mungkin membunuh orang. Seharusnya sekarang kita cari cara supaya Sean lepas dari tuduhan itu.”

“Papa juga yakin sama hal itu. Tapi, if he didn’t do it, then why did he admit it?”

Jessica buru-buru menjawab. “Polisi bilang sama kami, awalnya Sean memang bilang kalau bukan dia pembunuhnya. Tapi, setelah ngobrol sama kami sebentar, Sean tiba-tiba mengakui pembunuhan itu.”

Rahang ayah Langga mengetat. Tangannya terkepal marah. “Ya, udah. Urusan itu biar diurus sama pengacara. Untuk sementara sebaiknya kalian tinggal di sini. Media sudah tahu. Nama baik Papa sudah tercemar sekarang. Suasananya bakal makin memburuk kalau mereka juga tahu kalian mau cerai. Jadi lebih baik sembunyikan masalah itu dulu. Bawa Jenny ke sini,” perintahnya.

“Iya, Pa.” Langga menoleh pada Jessica dan mengangguk kecil.

Jessica sebenarnya tak yakin akan bisa kembali akur dengan Langga, tetapi situasinya tidak memberikannya pilihan. Dia pun segera beranjak dari sofa untuk menghubungi Jenny.

•••

Seorang tuna netra memberitahu polisi bahwa telah terjadi pembunuhan di rumah tetangganya. Seorang gadis SMA, berinisial SL, menjadi korban. Mirisnya tubuh korban ditemukan bersimbah darah bersama dengan dua orang remaja laki-laki yang berpenampilan kacau. Salah satu diantaranya adalah cucu Gubernur.

Kasus misterius kematian gadis SMA yang melibatkan cucu Gubernur daerah.

-A Thread-

Asap rokok yang mengepul tak membuat Adinata, detektif yang mengambil kasus Sean, terganggu ketika membaca judul utas di salah satu platform media sosial. Tak dia sangka, kasus ini menyebar begitu cepat layaknya cahaya yang merambat.

“Pak Adi, mau ketemu tersangka dulu?” Seorang polisi menginterupsi kegiatan Adinata.

Setelah menjepit rokok di jemarinya, Adinata berbalik badan dan menggeleng. “Sudah tanyakan motif anak itu?” Pria itu lantas memasukan ponselnya ke dalam saku.

“Sudah, Pak. Anak itu bilang dia ada dendam sama korban. Ini masalah sepele, Pak. Nggak perlu cemas, pelakunya juga udah-”

Adinata memiringkan kepalanya. “Dia bilang sendiri kalau itu karena dendam?”

“Iya, Pak.” Melihat Adinata yang tetap bergeming, polisi itu menambahkan. “Tenang saja. Kasus ini bakal segera ditutup.”

“Aneh,” sebut Adinata. “Anak itu keliatan mengakui perbuatannya tanpa ragu. Biasanya pelaku pembunuhan nggak seperti itu.”

“Pak, ini cuma kasus klise. Nggak perlu dipikirkan terlalu serius.”

“Nggak.” Tangan Adinata terangkat ke depan wajah polisi yang menjadi lawan bicaranya. “Banyak banget hal yang mencurigakan di sini. Polisi yang pertama bawa anak itu ke sini bilang, anak itu awalnya mengelak. Tapi setelah ketemu Ibu Bapaknya dia malah mengakui dengan mudah dan tegas. Seolah memang sengaja pengin ditangkap polisi.”

Adinata mengatakan hal tersebut bukan tanpa alasan. Sudah banyak kasus yang dia tangani. Namun, kebanyakan pelaku tidak ada menyerah secepat ini. Dia menduga ada hal lain yang disembunyikan Sean.

“Masalah ini udah sampe ke media, kita nggak boleh lengah. Salah sedikit, kita bisa dihujat satu Indonesia. Hati-hati dalam ambil langkah.”

“Baik, Pak.”

Adinata, pria dengan kemeja biru itu, kembali menghadap pada jendela ruangan. “Sudah interogasi saksi 1?”

“Ananda Kenny? Sudah, Pak. Dia kelihatan yakin kalau Ananda Sean adalah pelakunya.”

Adinata diam. Pikirannya mulai merancang strategi. Seperti yang sudah-sudah, pria itu amat sangat peduli pada setiap langkah yang dibuatnya.

“Terus awasi dia. Juga laporkan secara berkala perkembangan pernyataan tersangka. Kalau ada fakta baru segera kasih tahu saya. Paham?”

“Baik, Pak.”

Bersambung…

Langga menggosok-gosok kepalanya yang masih lembab dengan handuk. Pria dengan tinggi 183 cm itu menuruni tangga untuk mencari keberadaan sang istri yang mulai hari ini akan sering dia temui kembali.

Matanya berhenti pada sofa panjang ruang tamu. Rupanya Jessica tertidur di sana. Langga mendesah, Jessica belum meninggalkan kebiasaannya ini.

Dulu saat masih bersama, Jessica sering kali tertidur di ruang kerjanya karena kelelahan. Hal itu membuat Langga sering menggendongnya ke kamar. Namun, sekarang keadaan sudah berbeda.

Langga tak mungkin menggendong Jessica untuk dipindahkan ke kamarnya. Maka, pria itu pun kembali ke kamar untuk meletakan handuk dan mengambil selimut tebal. Perlahan tapi pasti, Langga mendekat pada Jessica.

Dia meletakan selimut secara hati-hati agar Jessica tidak terbangun. Usai itu, Langga berjongkok dan mengamati wajah wanita yang sudah menemaninya selama 19 tahun hidup.

“Ck, kamu nggak berubah,” gumam Langga. Tangannya tak dapat ditahan untuk mengelus rambut Jessica.

Bengkak di bawah mata Jessica turut menjadi perhatian Langga. Sudah dia duga, Jessica pasti tidak berhenti menangis karena Sean hingga matanya jadi seperti itu. Padahal dibalik itu semua, tanpa sepengetahuan Langga, mata Jessica sudah bengkak lebih dulu karena menangisi perceraian mereka.

“You’re old now, tapi di mataku, kamu masih sama kayak dulu.” Langga berusaha untuk tidak tersenyum mengingat kenangan mereka. “Gampang nangis.”

Mungkin karena merasa ada seseorang yang mengelus puncak kepalanya, Jessica jadi menggeliat. Melihat itu, Langga sigap untuk berdiri dan berjalan ke tangga untuk kembali ke kamarnya.

Langga sebenarnya khawatir Jessica memergoki perbuatannya itu. Mau bagaimana pun, hubungan mereka hendak diakhiri, jadi tidak etis rasanya jika dia ketahuan merawat istrinya seperti itu.

Tanpa Langga duga, Jessica benar-benar terbangun. Wanita itu mengucek matanya sebentar sebelum menyadari bahwa kini tubuhnya tertimpa selimut tebal.

Dia pun reflek melihat ke sekelilingnya untuk mencari seseorang. Dan setelah melihat ke arah tangga, barulah dia tahu siapa yang memberinya selimut hangat tersebut.

Jessica menghela napas. Punggung yang tengah menjauh darinya itu benar-benar Jessica rindukan. Perlakuan Langga padanya kali ini membuat Jessica sadar bahwa suaminya itu ternyata masih peduli padanya.

Entah dia harus senang atau sedih. Sebab setelah kasus Sean selesai, mereka akan tetap berpisah, bukan? Jadi, Jessica pun membatasi dirinya untuk tidak terlalu memikirkan sikap peduli Langga lebih dalam.

Jessica akhirnya bangkit dan mulai melipat kembali selimut Langga. Rasa kantuknya lenyap. Perasaan sedih kembali mendominasi hatinya. Padahal tadi niatnya hanya berbaring sebentar sembari menunggu Jenny datang.

Ternyata dia malah ketiduran di sofa. Beruntung setelah melihat ponsel, Jessica menyadari kalau tidurnya tidak lama.

Ketika tengah memeriksa ponsel, suara anak bungsunya terdengar. “Mama!” seru Jenny.

Perempuan kecil itu berlari dan memeluk ibunya kencang. Rasa sedih Jenny tidak dapat terbendung melihat banyak pemberitaan miring mengenai keluarga Hianggio di televisi. Jenny merasa tidak akan mampu menghadapi teman-temannya kini.

“Sayang…”

“Sean jahat! Dia bikin keluarga kita malu, Ma,” celetuk Jenny penuh kekesalan.

“Hey, no…” Jessica memerangkap pipi Jenny dengan tangannya. “Abang nggak begitu, Jen.”

Jenny menggeleng. Gadis yang mengenakan sweater kuning itu melepaskan tangan ibunya dari pipi. “Kalau nggak jahat, Sean nggak mungkin masuk penjara, Ma! Gimana aku bisa sekolah sekarang?! Temen-temen aku pasti udah tahu berita ini.”

“Jen, you shouldn’t judge your brother like that. Mama percaya Abang nggak salah. Sebentar lagi Abang pasti keluar dari penjara. Jangan percaya kata orang-orang. Percaya sama Mama aja, oke?”

Jenny tidak kelihatan senang mendengar itu. Perasaannya masih dongkol sekarang. Namun, karena tidak mau berdebat dengan sang ibu, Jenny putuskan untuk mengangguk dan kembali ke kamar lamanya. Meskipun senang karena kedua orang tuanya kembali bersama, tidak dimungkiri, Jenny benar-benar marah pada kakaknya yang kini di penjara itu.

•••

Kenny menoleh tatkala pintu ruangan terbuka. Di sana dia melihat Sean datang dengan wajah datar. Kenny menegakkan badannya, tangannya pun bertaut erat. Lelaki itu sedikit goyah akibat tatapan tajam Sean.

“Silakan bicara,” ucap polisi yang membawa Sean. Dia menepuk pundak Sean beberapa kali. “Jangan ribut apalagi berantem.”

Sean mengangguk kemudian duduk berhadapan dengan Kenny. Mata Sean menatap wajah sahabatnya dalam. Sean tidak menyangka mereka akan berada pada situasi ini pada akhirnya. “Lo seneng, kan?”

Kenny mengernyit. “Seneng?”

“Gue nggak suka pura-pura.” Sean memajukan tubuhnya, lelaki dihadapannya ini masih terlihat baik-baik saja. Itu membuatnya sedikit tidak senang. “Lo juga tau itu.”

“Ngomong apa sih lo? Gue sama sekali nggak paham.” Kenny memalingkan wajah.

“Gue ada di sini juga karena lo. Gimana? Seneng udah masukin gue ke penjara? Seneng udah hancurin-”

Tanpa aba-aba, Kenny memukul meja dihadapannya hingga telapak tangannya memerah. Yang mana menunjukan puncak kekesalan pada lelaki dihadapannya ini. Namun sayangnya, Sean sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan bergerak satu inchi pun tidak dia lakukan.

“Munafik lo, Se!” Kenny bangkit lalu berteriak lantang. “Lo pembunuh! Lo bunuh Sofia!”

Bukannya takut, Sean justru terkekeh. “Kita semua tau apa yang terjadi sama Sofia waktu itu. Dan lo masih bilang kalo gue pembunuh?”

“Huh? Ini… jelas bukan salah gue. Gue sama sekali nggak salah. Gue… nggak ada hubungannya sama-”

Kali ini Sean tertawa kecil. Melihat tingkah laku Kenny adalah salah satu hiburan dari banyaknya masalah yang kini menimpanya satu per satu.

Hatinya terlalu sakit mengetahui ayah dan ibunya tidak ada di saat Sean membutuhkan mereka. Hanya asisten ayahnya dan pengacara yang datang. Sean benci keluarganya. He hated knowing his body flowed that family’s blood.

“Nggak ada yang nuduh lo. So then, there’s no need to be afraid, Ken.”

Kenny makin berang. Dia hampir melukai wajah kuyu Sean jika saja polisi tidak datang untuk melerai mereka berdua. Polisi sigap menahan tubuh Kenny yang tidak habis energi untuk memberontak. Padahal Sean tetap tenang tanpa tindakan apapun. Dia seakan tahu apa yang akan terjadi pada mereka berdua setelah ini.

“Dia pembunuh, Pak! Dia yang bunuh temen saya!”

Alis sang polisi terangkat. Dia merasa ada yang aneh. Sean yang notabene orang yang dituduh itu justru tetap diam. Tadi saja dia dengan mudah mengaku sebagai pembunuh.

Sementara Kenny terlihat berapi-api menuduh temannya. Seharusnya dia senang karena Sean juga sudah mengaku, tapi ini sungguh berbeda dari pengamatannya.

•••

Langga terkejut mendapati Jessica yang duduk di meja makan sedang mengamati laptopnya dengan seksama. Ini masih pagi, Langga bahkan baru bangun dari tidur lelapnya.

Biasanya dia akan menengok Sean dan mengawasinya untuk bersiap ke sekolah. Kali ini, dia sedikit senang ketika menangkap keberadaan sang istri. Langga kembali mengingat-ingat, agaknya kapan terakhir kali paginya secerah hari ini?

“Jess?” Langga sudah berdiri tepat di belakang punggung sang istri. Didapatinya laptop yang menampilkan jurnal yang entah apa isinya. “Lagi ngapain?”

“Oh, udah bangun.” Jessica bangkit lantas berjalan menuju dapur. Tangannya cekatan membuat teh yang biasanya Langga nikmati di pagi hari.

“Kamu ngapain?”

“Hmm?” Jessica terdiam sejenak, dia tiba-tiba merasa tidak berhak lagi. “Ah, ini… aku lupa. Biasanya kan-”

“No, nggak papa. Udah lama aku nggak minum teh buatan kamu.”

Mendengar jawaban melegakan Langga, Jessica melanjutkan pekerjaannya. Dia merasa malu karena tanpa sengaja melakukan kebiasaan yang sering mereka lakukan. Telahdewasa.com

“Ini.” Langga menerima teh tersebut dengan senang hati.

“Kamu baca apa?”

“Jurnal yang mirip-mirip sama kasus Sean. Aku nggak boleh diem aja, seenggaknya aku harus cari tahu tentang kasus pembunuhan dan gimana cara bebasin Sean dari masalah ini.”

Langga bergeming. “Dari kapan kamu baca ini? Semalem? Kamu nggak tidur, Jess?”

“Lho?” Jessica mengikat rambutnya dengan tidak beraturan. “Aku sempet-”

“Maaf, Pak, Bu, ada Pak Beni di depan.” Langga dan Jessica kompak menoleh pada salah satu asisten rumah tangga mereka.

“Ya, makasih, Mbak.”

Tanpa membuang waktu, Jessica dan Langga cepat-cepat menuju ruang tamu. Di sana Pak Beni tengah berbincang dengan ayah Langga. Begitu melihat Langga dan Jessica, Pak Beni langsung menyalami mereka.

“Pak Langga, Bu Langga, semoga sehat selalu.” Pengacara itu tersenyum tipis. “Maaf saya datang pagi-pagi.”

“Nggak papa, Pak Beni. Saya yang malah merepotkan Bapak dengan kasus Sean ini.”

Pak Beni menggeleng. “Sudah tugas saya, Pak.”

“Pak Beni dateng buat jelasin kronologi pembunuhan itu,” jelas Liem Hianggio yang sudah segar dan siap mendengar cerita dari sang pengacara.

“Iya, Pak. Jadi begini, pihak kepolisian sudah melakukan penyidikan. Nah, kami juga sudah mengetahui kronologi kejadian berdasarkan kesaksian saksi 1 atau Ananda Kenny.” Pria itu memakai kacamatanya dan mengeluarkan sejumlah berkas dari dalam tasnya.

“Jadi hari itu, pukul 08.23, Ananda Kenny mendapat pesan dari korban. Isi pesannya itu, Ananda Kenny diminta segera pergi ke rumah korban dan mengajak serta Sean. Kenny ini pergi ke rumah korban seorang diri setelah menghubungi Sean. Dia sampai kira-kira pukul 08.50. Tapi, Kenny melihat keanehan dari tingkah laku korban.”

Jessica menahan napas menungggu kelanjutan informasi dari pengacaranya. Sejauh ini dia belum melihat tanda-tanda keterlibatan Sean. “Aneh gimana, Pak?

“Dari kesaksian Kenny, korban seperti depresi, linglung, dan tidak sadar. Pokoknya emosi korban sedang tidak stabil. Lalu, Kenny ini berusaha menenangkan korban. Namun tiba-tiba saja, dia dipukul dengan keras pada bagian kepalanya hingga pingsan.” Pak Beni mengangsurkan bukti visum Kenny.

“Lalu gimana cewek itu bisa mati, Pak?” tanya ayah mertua Jessica.

“Untuk itu, masih didalami pihak kepolisian, Pak. Tapi, setelah Kenny tersadar, dia hanya melihat korban sudah tewas bersimbah darah dan… Sean yang terduduk lemas di depan mayat korban. Sehabis itu, Kenny buru-buru melapor pada tetangga korban yang tuna netra itu, Pak. Tetangga ini juga yang melapor polisi.”

“Terus apa buktinya anak saya yang bunuh cewek itu, Pak?” Langga berapi-api.

“Sejauh ini belum ada bukti kuat, tapi kesaksian Sean sendiri yang membuat kasus ini semakin rumit. Dia terus mengaku sebagai pembunuh korban,” terang Pak Beni. “Saya sudah mencoba bicara pada Sean, tapi dia malah menanyakan sejauh mana proses perceraian Pak Langga dan Ibu Jessica.”

Kedua orang tua Sean itu semakin kalut. Mereka tengah menebak-nebak apa yang sebenarnya Sean pikirkan? Kenapa anak itu terus menanyakan hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah pembunuhan ini?

Bersambung…

Mobil yang dikendarai sopir Langga berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis yang tampak sepi. Jessica dan Langga memutuskan untuk bicara secara face to face dengan Kenny. Mereka berniat mengulik kebenaran yang sebenarnya dari pemuda itu. Setelah ditelusuri, Langga berhasil mendapatkan alamat rumah Kenny dengan mudah.

Mereka datang membawa 2 penjaga untuk menghindari keributan serta melindungi dari kejaran awak media. Meskipun suasana mulai membaik, Langga tidak bisa mengambil risiko yang akan membahayakan Jessica.

“Bener ini rumahnya?” Jessica memandangi halaman rumah Kenny yang ditumbuhi rumput liar. “Sepi banget.”

“Menurut sumber, betul, Bu. Dia tinggal sama adiknya, cuma berdua. Orang tuanya cerai sekitar 6 tahun lalu,” terang Grace, membaca informasi dari tab-nya.

“I see.” Ibu dua anak itu bersiap turun dari mobilnya. “Kamu tunggu di sini aja, Grace. Biar saya sama Bapak yang turun.”

Grace mengangguk patuh. Dia bertugas mengamankan situasi di luar rumah sampai urusan Langga dan Jessica selesai. Rumah Kenny bukan perumahan yang dijaga oleh security, tidak baik jika terjadi keributan nantinya.

Langga turun lebih dahulu lalu membetulkan kemeja hitamnya. Mereka berdua mengetuk rumah tersebut dua kali, sampai akhirnya orang yang mereka cari keluar. Kenny sedikit terkejut mendapati kehadiran orang tua Sean ke rumahnya. Tidak dimungkiri, ada sedikit rasa takut yang menyelinap di lubuk hatinya.

“Om? Tante?”

“Ah, halo, Kenny. Maaf mendadak, ada yang mau kami bicarakan sama kamu.” Sudut mata Jessica melirik Langga. “Boleh kami masuk?”

Kenny tahu dia tidak bisa menolak, akhirnya dengan terpaksa pemuda itu mempersilakan Jessica dan Langga masuk. Begitu masuk, Langga memperhatikan beberapa foto-foto anak perempuan yang dia yakini sebagai adik Kenny. Gadis itu kira-kira usianya berjarak tiga sampai empat tahun dari sang kakak.

“Jadi?”

“Begini Kenny, mungkin kami buat kamu nggak nyaman dengan dateng mendadak. Sorry about that, tapi Om sama Tante ingin denger penjelasan lebih detail soal kronologi pembunuhan itu.”

Langga menambahkan. “Kamu juga tahu kondisi Sean kayak gimana sekarang, ya kami—”

“Om sama Tante cuma mau validasi bahwa anak kalian nggak membunuh.” Kenny mengatakannya dengan tenang. “Kalian berdua mau suap saya apa gimana?”

“No, no, no. Sama sekali nggak ada niatan buat nyuap kamu. Lagian buat apa? Masalahnya kan Sean sudah mengaku. Tapi, Om sama Tante nggak percaya dia ngelakuin hal itu.”

“Kenapa nggak percaya? Mungkin aja Sean emang pelakunya.” Kenny menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. “Saya nggak ngerti kenapa orang sepolos Sofia bisa dibunuh kayak gitu.”

“Sebentar.” Langga menginterupsi. “Kamu juga tahu kalo Sofia-Sofia ini anak yang kayak gimana, kan? Bener kalo dia memang punya penyakit mental? Bisa jadi penyakitnya ini yang jadi penyebab kematian dia, kan?”

Mendengar itu, tawa kecil Kenny keluar. “Intinya, Sean udah ngaku. Berarti dia yang bunuh. Jangan bawa-bawa saya lagi, Om. Saya nggak mau berurusan sama kalian.”

“Loh, kamu ini saksi kunci. Kamu juga ada di tempat kejadian. Katanya kamu dipukul sampai pingsan, entah sama siapa. Berarti kamu nggak liat secara langsung gimana Sofia ini terbunuh, kan?” Jessica ingin mengulik lebih dalam.

“Iya, saya akui—”

“Nah, jadi Tante minta kamu buat kerja sama sekali aja. Kami perlu usut kasus ini dengan bantuan kamu.”

Sudah terdesak, pikir Kenny demikian. Kedua orang ini tidak akan meninggalkan rumahnya sebelum keinginan mereka terwujud. “Kalian mau tau apa sebenarnya?”

“Apa… Apa mungkin Sofia ini dibunuh orang lain?” tanya Jessica hati-hati.

Namun, kali ini keberuntungan tidak berpihak padanya. Kenny hanya diam sampai akhir. Pemuda itu mengunci mulutnya rapat-rapat, meninggalkan sepenggal tanda tanya yang terus menghantui Jessica serta Langga. Kini mereka hanya berharap Tuhan memberinya keadilan.

•••

“Mama dimana?” Langga bertanya pada Jenny. Hari sudah gelap, tapi dia belum menemukan Jessica di kamar tamu.

Jenny mengangkat bahu. “Nggak tau.” Dia menyodorkan salad buah yang tadi dibeli asisten rumah tangga pada ayahnya. “Papa mau?”

“Buat kamu aja. Masuk kamar sana. Jangan kemaleman tidurnya.” Meski jam masih menunjukan pukul setengah sembilan malam, Langga tetap memperingati Jenny untuk tidak begadang.

Gadis cilik itu mengangguk dan segera meninggalkan dapur. Langga pun kembali menyusuri rumah untuk mencari keberadaan sang istri. Meski berusaha mengelak, dalam lubuk hati terdalam, Langga tetap saja menyimpan perasaan khawatir pada Jessica.

Pencariannya terhenti di taman belakang rumah. Langga dengan jelas melihat istrinya terduduk sambil menatap langit berbintang. Pria itu menghela napas. Dia putuskan untuk mendekati Jessica secara perlahan.

Tak disangka, Langga malah melihat Jessica tengah mengusap hidungnya. Wanita itu pasti menangis. Langga pun lantas merogoh kantung celananya. Dia memang belum berganti pakaian sejak tadi. Diambilnya sebuah sapu tangan yang selalu dibawanya kemanapun.

“Ini,” ujar Langga. Suaranya sontak saja membuat Jessica terkejut.

Jessica memalingkan muka untuk menutupi rasa sedihnya setelah melihat sapu tangan yang disodorkan Langga. “Ngagetin!”

Langga berdecak seraya berjongkok dihadapan Jessica. “Nggak usah ditutupin. Aku tau kok kamu habis nangis.”

Perlakuan Langga mau tak mau membangkitkan kenangan masa lalu dibenak Jessica. Kisah pertemuan pertama mereka. Ah, Jessica berpikir mungkin hanya dirinya yang ingat. Langga pasti sudah lupa.

Karena sang istri terus bergeming, Langga putuskan untuk duduk di sampingnya. Menemani Jessica dimasa sedih memang sudah kewajibannya, bukan? Bahkan meski mereka hendak bercerai. Langga merasa tak mampu meninggalkan wanita berambut hitam itu disaat seperti ini.

“Kamu sedih gara-gara Kenny tadi?”

“Aku cuma bingung, kenapa dia yakin banget kalau Sean yang bunuh cewek itu? Dia pingsan, ‘kan pas kejadian?” Telahdewasa.com

“Aku tau.” Langga turut memandang langit malam. “Tapi, kita nggak bisa maksa dia buat jelasin. Sekarang harusnya kita fokus buat cari bukti kalau Sean nggak bersalah.”

Jessica hanya mengangguk. Langga memang benar.

“Kalau kita udah pisah nanti, jangan keluar malem-malem gini. Angin malem bisa bikin kamu kedinginan. Inget umur.” Usai mengatakan itu, Langga merutuki dirinya sendiri. Ah, Jessica pasti berpikir kalau dia terlalu berlebihan untuk ukuran calon mantan suami.

“Kamu…”

“Aku cuma ngingetin aja. Nggak ada maksud apa-apa.” Buru-buru Langga memberikan klarifikasi.

“Harusnya kamu tahu kalau kamu nggak berhak ngomong kayak gitu, ‘kan? Kita udah sepakat bakal cerai setelah masalah ini.”

“Kamu yang mau cerai. Bukan kita.”

Jessica terkejut. Manik matanya bergetar menatap Langga. “Kamu… ngomong apa, sih?” Denyut jantungnya perlahan naik.

Langga balik menatap sang istri yang masih pias. Sudah terlanjur basah, maka lebih baik dia jujur saja dengan perasaannya. “Gimana kalau aku minta kamu buat cabut gugatan cerai itu? Apa kamu mau?”

“La-Langga, what do you mean?”

Langga bergeming. Dia dan istrinya saling menatap cukup lama. Langga dengan wajah penuh keyakinan dan Jessica dengan wajah pucat pasi.

Perlahan Langga memajukan tubuhnya untuk melabuhkan sebuah ciuman manis pada bibir Jessica. Langga menutup matanya. Merasakan perasaan yang sudah lama hilang dari dirinya.

“This is what I mean.”

Langga kemudian kembali mengecup cinta masa remajanya itu.

•••

Somewhere, 2004.

“Airlangga?”

Langga, yang saat itu berusia 21 tahun, menoleh cepat. “Iya, Bang?”

“Tolong kamu cek posko barat, ya. Kayaknya di sana kekurangan relawan. Tanyain mereka juga, siapa tahu butuh sesuatu.”

“Siap, Bang.” Langga sigap menyusuri jalan yang luluh lantak akibat tsunami yang menerjang salah satu daerah. Tidak ada perasaan takut dalam dirinya. Justru rasa kemanusiaanlah yang semakin menggebu. Keluarganya sempat tidak setuju ketika Langga mengatakan bahwa dirinya akan ikut menjadi relawan di sini. Namun, hal itu tidak menghentikan niat baiknya.

Tsunami yang terjadi memang mengerikan. Air laut naik hingga ketinggian kurang lebih 30 meter. Tentu saja kerusakan yang terjadi sangat parah. Ini adalah hari ketiga pasca peristiwa itu. Sementara Langga baru datang kemarin sore.

Komunitas yang diikutinya mengajak Langga untuk bergabung menjadi relawan. Meski baru pertama kali, Langga sudah cukup mumpuni dalam bertugas. Dia membantu mengangkat mayat-mayat yang ditemukan atau terkadang membantu menyalurkan bantuan makanan ke posko.

Bau menyengat tidak menyurutkan langkah Langga untuk pergi ke posko seberang. Setelah sampai, dia bergegas mengecek kebutuhan para pengungsi. Ternyata semua aman.

“Mas, ini relawannya cuma segini?” tanya Langga pada salah satu penjaga posko.

“Iya, Mas. Sisanya ada kok, lagi ambil persediaan makanan. Kenapa, ya?”

“Oh, enggak. Bang Rendi minta saya cek di sini. Siapa tau butuh bantuan.”

“Aman kok, Mas, semuanya. Nanti kalo butuh sesuatu, saya pasti ngomong.”

“Oke, Mas.” Langga bersiap kembali ke poskonya. “Kalo gitu saya balik, ya.”

“Iya, sampein makasih buat Bang Rendi ya, Mas.”

Langga memberi jempolnya. Pria muda itu lantas berjalan kembali, tetapi sebuah suara tangisan perempuan menghentikannya. Bukannya takut, Langga malah mencari sumber suara itu. Tak peduli apakah yang menangis itu manusia atau bukan.

Ketemu. Langga melihat punggung seorang wanita yang tengah menyeka matanya yang berair diselingi sesenggukan. Kalau dilihat dari pakaiannya sepertinya perempuan itu seorang relawan juga. Merasa tak tega, Langga menghampiri perempuan itu sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku.

“Ini.”

Perempuan itu terkejut. Dia langsung memalingkan badan untuk menutupi wajahnya. Langga tersenyum kecil melihat kelakuan perempuan itu. “Nggak usah ditutupin, aku tahu kok kamu habis nangis.”

Wanita mungil itu perlahan menampakkan wajahnya. Meskipun malu, dia tetap mengambil sapu tangan yang ditawarkan untuknya. “Makasih.”

Langga mengangguk. “Kenapa nangis?”

Perempuan itu balas menggeleng. Mungkin dia ragu menceritakan keluh kesahnya pada pemuda asing. Langga memakluminya. “Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita.”

“Kamu relawan juga?” Lawan bicara Langga membelokkan topik.

“Iya, kamu juga?”

Gadis itu membenarkan. “Jadi relawan ternyata nggak gampang, ya? Aku nggak pernah mikirin beban mental yang ditanggung relawan selama ini.”

Sedikit banyak, Langga bisa menebak hal yang menjadi penyebab tangisan gadis itu. Apalagi dia melihat sebuah foto keluarga yang telah rusak berada dalam genggaman lawan bicaranya. Pasti gadis itu merasa sedih dengan kondisi para korban.

“Emang berat.” Langga memutuskan untuk duduk di sebelahnya. “Tapi, kamu pasti akan jadi orang yang lebih kuat setelah ini. Jadi, jangan pernah menyesal jadi relawan. Aku tahu kamu sedih gara-gara bencana ini, tapi untuk sekarang yang mereka butuhkan adalah kamu versi kuat. Bukan sedih kayak gini.”

Gadis itu termenung. Langga pun memikirkan topik lain agar gadis itu berhenti bersedih. Entah kenapa, dia tidak suka mendengar tangisannya. “Kita belum kenalan.”

“Oh,” gumam gadis itu. “Jessica.”

Langga mengangguk. Itu nama yang bagus, pikirnya dalam hati. “Airlangga. Langga in short.” Dia mengulurkan tangan. “So, teman?”

Jessica tersenyum kecil. Perlahan dia balas uluran tangan itu. “Teman.”

Langga juga tersenyum. Entah kenapa, hatinya memberi perintah untuk tidak melupakan pertemuan ini sampai akhir hayatnya.

Bersambung…

Adinata, sang detektif, tersenyum kecil melihat para rekan kerjanya memandangnya skeptis. Pernyataan yang dikeluarkan dari mulutnya sendiri itu memang mengejutkan banyak pihak. Tidak heran sekarang mereka meminta kejelasan.

“Gimana bisa Anda berpikir Sean bukan pelakunya, Pak?” Seorang polisi wanita bertanya.

“Saya sudah menduga ini dari lama, Bu Renita. Banyak hal misterius selama saya menyelidiki kasus pembunuhan ini. Makanya saya akan menjelaskannya sekarang,” ujar Adinata seraya mengangkat dokumen rahasianya.

“Kecurigaan saya dimulai dari pernyataan tersangka. Awalnya tersangka ini mengelak pembunuhan itu, terus tiba-tiba saja dia mengakuinya.” Adinata mencondongkan tubuhnya pada meja, memberikan gestur yakin. “Setelah saya liat pengakuannya di ruang interogasi, saya sadar kalau anak ini berkelakuan seperti orang yang sedang berbohong.”

Dia lantas mengangkat sebuah kertas untuk ditunjukan pada Renita. “Dari buku psikologi, saya tau kalau orang yang berbohong itu sering menjilat bibirnya sama seperti Sean.”

Renita memutar bola matanya. “Itu nggak langsung membuktikan kalau—”

“Saya tau, Bu.” Adinata tersenyum penuh kemenangan. “Makanya untuk membuktikan keyakinan itu, saya memeriksa TKP pembunuhan. Di rumah itu, saya menemukan buku diary korban.”

Renita mengambil buku kecil yang diserahkan Adinata padanya sebagai bukti. “Apa isinya?” tanyanya penasaran.

“Di sana tertulis, korban sudah lama suka sama tersangka. Jadi, korban ini mencoba mendekati Sean. Anak itu awalnya cuek, tapi lama-lama dia luluh juga. Singkatnya, mereka akhirnya berpacaran bulan lalu.

Dan sampai waktu kejadian pembunuhan itu, mereka belum putus. Nggak ada tanda-tanda pertengkaran diantara mereka karena saya juga ngecek ponsel korban.”

Renita kembali menerima bukti chat terakhir Sean dan Sofia. Wanita matang itu menganggukkan kepalanya. Dia mulai yakin dengan pernyataan Adinata.

“Kecurigaan saya makin terbukti. Gimana bisa Sean membunuh pacarnya sendiri saat mereka nggak ada masalah?”

Para polisi yang ikut rapat tersebut ramai-ramai membenarkan dalam hati. Adinata lalu melanjutkan. “Lagipula, kalau Sean ini benar membunuh, harusnya dia nggak duduk diam di TKP kejadian. Logikanya dia harus lari, ‘kan?”

Detektif itu kembali tersenyum miring. “Alih-alih lari, dia malah menyerahkan diri. Ini bukan sikap seorang pembunuh. Saya ini udah menangani banyak kasus pembunuhan. Jarang ada pembunuh yang mengakui perbuatannya.”

Renita membenarkan letak kacamatanya. Dia menatap Adinata tajam. “Jarang bukan berarti nggak pernah. Bisa saja Sean memang—”

Tawa Adinata membuat Renita terbungkam. Sebenarnya polwan itu tidak menyukai perangai Adinata yang arogan seperti saat ini. “Kenapa ketawa, Pak?”

“Lucu saja. Kalau dia memang ingin langsung menyerahkan diri, harusnya ketika ditanya pertama kali, Sean akan langsung mengaku. Tapi, kenyataanya saat ditemukan di TKP, dia mengelak.”

Adinata bersandar santai di sandaran kursinya. Tangannya dilipat didepan dada. “Saya sebenarnya nggak mau menyelidiki lebih dalam, tapi rasanya jadi kurang lengkap kalau ini nggak dilakukan.

Saya perhatikan, Sean ini mengaku sebagai pembunuh setelah bicara face to face dengan orang tuanya. Ini bikin saya penasaran. Alhasil, saya kulik sedikit tentang latar belakang keluarga mereka. Dan saya nemu fakta baru.”

Adinata meneruskan, “Bu Jessica ini sudah tiga bulan tinggal di apartment di kawasan Sari Indah. Sementara Pak Langga masih stay di kediaman keluarga Hianggio. Jadi, saya menyimpulkan kalau hubungan mereka sedang nggak harmonis.”

“Pak Adi, apa hubungan kedua orang tua Sean dengan kasus ini?”

“Itu dia, Bu. Saya berasumsi kalau Sean ini sedang dalam kondisi nggak siap dengan perceraian kedua orang tuanya. Makanya, dia memilih buat mengakui pembunuhan itu. Ini memang belum pasti, tapi saya pikir, ini sangat mendukung asumsi kalau Sean memang bukan pembunuhnya.”

“Terus kalau bukan Sean, siapa pembunuhnya, Pak?”

“Untuk itu saya masih terus menyelidiki, Bu. Yang jelas, nggak ada bukti konkret kalau Sean membunuh Ananda Sofia. Nggak ada yang melihat Sean membunuh.

Ditambah lagi, nggak ada sidik jari Sean di pisau yang ditusukkan ke korban. Penyataan saksi 1 juga nggak membuktikan apa-apa. Dia jelas pingsan saat kejadian itu, makanya dia nggak melihat siapa pembunuhnya. ”

“Kalau gitu, apa kita harus bebaskan Sean?”

“Saya pikir harusnya begitu. Tapi, tetep. Kita harus awasi dia selama pembunuh aslinya belum tertangkap.”

•••

Memang tidak ada yang namanya hari baik maupun hari sial dalam kalender. Tetapi, Langga merasa hari ini adalah hari sialnya. Pria itu memasuki kediaman mewahnya setelah menemui sang ayah di kantornya. Dia dimarahi habis-habisan oleh Liem Hianggio karena kasus Sean berimbas pada reputasinya di dunia politik.

Langga juga baru mendapat info bahwa bisnis milik istrinya mengalami beberapa masalah. Ada beberapa yang ingin membatalkan kerja sama dan ada pula yang memberi komentar negatif pada akun media sosial Jessica.

Langga melepas sepatu hitam serta jam tangannya dengan sembarang. Dia sungguhan kesal. Ayahnya marah karena tidak bisa menyuap polisi untuk membebaskan Sean. Media banyak berasumsi jika Sean bebas, maka itu karena ulah sang kakek. Untuk itu, Liem terus mendesak Langga agar segera menyelesaikan kasus putranya.

Langkah Langga terhenti pada ruang kerjanya. Di sana Jessica tengah bermain dengan Bobo, kucingnya. Wanita berkuncir kuda itu terlihat mengenakan sweater mocca, yang mana adalah oleh-oleh Langga dari Perancis.

“Jess, kok Bobo di sini?” Langga memberanikan diri untuk masuk.

Jessica terkesiap. “Eh, iya aku bawa ke sini. Nggak enak dititipin ke Grace terus.”

Kucing berbulu oranye itu menghampiri Langga, mengeong dikedua kaki sang majikan. Langga ikut berjongkok dan mengelus bulu halus milik kucing itu. Sudah lama Langga tidak melihat keberadaan kucing milik sang istri ini.

“Hey, kangen sama aku, ya?” celoteh Langga pada si kucing. Pemuda 41 tahun itu melirik Jessica yang tersenyum kecil melihatnya. “Kamu… ada kerjaan di sini, Jess?”

“Maaf, aku seenaknya masuk ke ruang kerja kamu. Tadi ada beberapa masalah soal kerjaan. Mall mulai nggak stabil, padahal aku udah minta Grace buat bikin event-event kecil. Tapi ya…”

Langga mengerti. Situasi ini sulit untuknya maupun Jessica. “Nggak perlu minta maaf. Dulu ini juga ruang kerja kita bersama kok. Dan, aku sama sekali nggak ngerubah apapun.”

Berkas-berkas hingga foto-foto milik Jessica masih terpasang di ruangan tersebut. Jessica mulanya sedikit tidak nyaman. Terlebih pembicaraan mereka semalam dan apa yang telah Langga lakukan membuatnya berpikir lelaki itu berniat mempermainkan pernikahan mereka.

“Langga, tentang semalem—” Jessica berjalan mendekati sang suami. “Aku rasa, pikiran kamu lagi kalut. Kita udah sepakat, kamu juga inginnya—”

“Kenapa nggak kita coba lagi? Kita bisa sama-sama lagi, Jess. I’m not messing around. It’s better to start all over again.”

“Huh?!”

Untuk menunjukan keseriusannya, Langga menatap Jessica lamat-lamat. Dia sadar, keputusannya untuk bercerai dari Jessica adalah hal yang salah. Langga tidak sanggup kehilangan wanita ini.

Dia tidak bisa melihat Jessica bahagia tanpanya. Satu hal yang Langga inginkan, Jessica akan terus menemaninya hingga akhir hayat. Seperti janji mereka saat menikah dulu. She’s too precious for him.

“Maafin aku, Jess. Aku terlalu gegabah buat ambil keputusan cerai dan aku yakin kamu juga sama gegabahnya. Aku mau egois, aku nggak rela jauh dari kamu. Ayo, kita sama-sama perbaiki. Anak-anak juga butuh kita.”

Mata Jessica terasa pedih. Jujur, sejak semalam dia menangis mengingat segala perjalanan pernikahan keduanya. Memorinya memutar momen disaat perayaan anniversary mereka, saat Sean hadir ke dunia, dan bahagianya mereka menyambut si bungsu Jenny.

“I’ve been confused. I need time, Langga.”

“Sure, take your time.”

Langga mengelus rambut Jessica dengan lembut. Jemari besarnya tidak lupa mengusap air mata sang istri yang belakangan sering dia lihat. Dia tidak tahu bahwa tindakannya membuat Jessica semakin lemah dan bingung.

•••

Langga dan Jessica akhirnya berhasil menginjakkan kakinya di kantor polisi tempat Sean berada. Setelah mendapat izin dari ayah Langga, keduanya bergegas menuju kantor polisi secara diam-diam. Langga dan Jessica diarahkan lewat pintu belakang untuk menuju tempat Sean berada.

Jessica melangkah lebih cepat dari sang suami, bahkan belum juga melihat Sean, matanya sudah basah oleh air mata. Jessica menjadi lemah belakangan ini. Telahdewasa.com

“Tunggu di sini, Pak, Bu.” Polisi tersebut meninggalkan Jessica, Langga, dan pengacara mereka, Pak Beni.

“Sebaiknya kalian bicara bertiga saja, Pak.” Pria bertubuh besar itu tersenyum. “Biar saya keluar, buat urus urusan yang lain.”

“Terima kasih, Pak Beni,” jawab Langga.

Tidak lama setelah Pak Beni keluar, Sean datang bersama satu orang polisi. Wajahnya semakin kurus dan tidak terurus. Meskipun begitu, Jessica lega dapat melihat putranya itu. Sean tetap tenang bahkan ketika Jessica menyergap tubuhnya untuk dipeluk.

“Bang, maafin Mama, ya. Mama nggak bisa apa-apa, tapi kamu tenang aja, pengacara kita lagi usaha buat bebasin kamu,” terang sang ibu menyakinkan.

Pandangan Sean beralih pada Langga. Ayahnya itu tersenyum tipis, lantas mengusap kepala Sean dengan lembut. “Kamu bakal cepet pulang kok, Papa usahain kasus ini cepet selesai.”

“Aku udah ngaku. Ngapain kalian coba bebasin aku kayak gini? Udahlah, kalian lanjutin aja sidang cerai kalian itu. Nggak usah pikirin aku.” Suara Sean terdengar serak. “Aku ini udah buat Kakek malu. Buktinya kalian baru dateng ke sini, kan?”

Tangisan Jessica semakin kencang. Dia tidak tega mendengar ungkapan Sean. Jessica akui, dia ibu yang buruk. Saat anaknya tertimpa masalah, wanita itu tidak bisa berbuat apapun selain menangis. Jessica rasanya ingin mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak pantas menjadi ibu.

“Kamu ngomong apa? Nggak ada yang buat malu. Mama tau ini bukan salah kamu, Bang,” sanggah wanita berambut hitam itu.

Sean berdecih. “Kalian pulang ajalah. Kalo wartawan tau, bisa panjang urusannya.”

“Sean.” Langga memperingati putranya. “Jaga tingkah kamu. Kita ini bukannya nggak ngapa-ngapain. Kamu harus tahu kalo mama kamu ini juga terus cari cara buat keluarin kamu dari sini.”

“Ngapain juga Papa masih ngurusin Mama? Bukannya kalian udah pisah? Jangan sok akur kayak gini, aku nggak suka.” Selepas mengatakan itu, Sean berlalu pergi begitu saja. Dia sama sekali tidak menoleh ke arah orang tuanya. Rasa kecewa anak itu telah bertumbuh besar.

Langga berdecak keras melihat kelakuan Sean. Dia ingin menenangkan sang istri, sebelum Pak Beni terburu-buru masuk dengan wajah sumringahnya.

“Pak Langga, ada kabar baik. Ada kemungkinan Sean bisa bebas dalam waktu dekat.”

Kedua orang tua Sean sama-sama terkejut sekaligus gembira. Mereka bersyukur dengan keterangan yang pengacara mereka katakan. “Betul ini, Pak?”

“Betul, Pak. Polisi tidak menemukan bukti konkret bahwa Sean adalah pembunuh korban. Dan kalau begini, bisa dipastikan status Sean akan dibersihkan dan bisa segera pulang.”

Sesaat senyum kelegaan Jessica muncul kembali. “Tapi, Sean masih ngaku sebagai pembunuh kan, Pak? Itu bagaimana?”

Pak Beni mengangguk. “Benar, Bu. Sebenarnya polisi menduga kalau Sean ini sengaja mengaku sebagai pembunuh.”

“Sengaja?” Langga dan Jessica berbarengan.

“Ada kemungkinan dia berniat menghindari perceraian kalian berdua.”

Satu pernyataan tersebut sukses membuat pasangan suami-isteri itu terguncang.

Bersambung…

Jessica sedikit mengintip kamar Jenny, samar-samar dia mendengar percakapan antara Langga dan putrinya itu. Sebetulnya Jessica hendak meminta kunci kamar Sean pada suaminya. Jessica berniat membersihkan kamar Sean sebelum putranya itu pulang besok.

“Biar besok Papa panggilin teknisi.” Langga berdecak sambil berusaha memperbaiki laptop milik Jenny. “Beli lagi aja, ya, Jen. Ini kalo dibenerin nanti paling rusak lagi.”

“Dibenerin Papa dulu nggak bisa? Aku ada tugas ini, lho. Mau dikerjain sekarang,” rengeknya.

“Pake laptop Papa dulu lah.” Pria itu menggaruk kepalanya, sedikit kewalahan. Langga sangat awam terhadap hal seperti ini. Saat Jenny memintanya memperbaiki laptop, Langga tidak bisa menolak. Dia tidak ingin kelihatan bodoh di depan putrinya sendiri.

“Laptop Jenny kenapa?” Jessica memberanikan diri masuk.

“Kemasukan air. Nggak bisa nyala,” pungkas Langga.

Ibu dua anak itu melirik Jenny tajam, sedikit mengintimidasi. Bukan sekali ini saja Jenny ceroboh, gadis itu dulu juga pernah merusak hair dryer milik Jessica. Tentu saja akhirnya Langga membela sang putri dan memberikan hair dryer baru untuk Jessica. Jessica pikir, Langga terlalu memanjakan Jenny.

“Pake laptop Mama aja. Sana ambil di bawah.”

Mau tidak mau Jenny menurut. Dia tidak ingin membuat sang ibu kembali marah. “Fine.”

Begitu Jenny pergi, Langga mengalihkan atensinya pada sang istri. “Kamu butuh sesuatu?”

“Iya,” akunya jujur. “Kunci kamar Sean ada sama kamu? Aku mau bersihin. Jadi misal Sean pulang, bisa langsung dipake istirahat.”

“Ada di laci biasa.” Langga bergerak menuju laci yang dia maksud. Setelahnya berlanjut menuju kamar Sean diikuti sang istri.

“Biar aku bantu beresin,” ujar Langga setelah membuka pintu dan dibalas anggukan oleh Jessica.

Kondisi kamar Sean sebenarnya masih terlihat bersih. Hanya saja, Jessica ingin memastikan sendiri kamar tersebut siap ditempati. Wanita itu dengan cekatan berjalan menuju ranjang milik Sean. Dia membersikan debu-debu halus yang menempel pada sprei.

Sementara Langga berjalan ke arah koleksi buku-buku Sean. Lelaki itu takjub sekaligus bangga karena Sean mengoleksi begitu banyak buku, baik yang tebal maupun yang tipis. Maklum, ini pertama kalinya Langga mengamati kamar putranya dengan detail.

“Kalo ada kabar dari Pak Beni soal kepulangan Sean, just let me know. Biar aku bisa masakin masakan kesukaan Sean.”

Langga berbalik menatap Jessica yang sudah berkaca-kaca. Dia tahu orang yang paling bahagia mendengar kepulangan Sean adalah Jessica. Jika Sean sudah pulang, Jessica pasti bisa kembali tidur nyenyak. Langga sudah tidak mau melihat kantung hitam dibawah mata indah istrinya lagi.

“Pasti. Sekarang kamu nggak perlu stress lagi, Jess. Sean udah nggak papa kok.”

“Sorry, belakangan aku overwhelmed. Misal kamu nggak nyaman, aku minta maaf.” Jessica berhenti merapikan tempat tidur Sean. Dia merasa buruk karena banyak menyusahkan Langga.

“Ngomong apa, sih?” Pelan-pelan Langga mendekat. “Aku sama sekali nggak ngerasa kayak gitu. Berhenti mikir yang nggak-nggak tentang aku.”

“Mm, aku tau. Jujur, aku ngerasa bersalah banget sama Sean,” ungkapnya. “Dia milih tetep di penjara dan jadi tersangka karena kita pisah. Dia pasti terguncang gara-gara keputusan kita, Langga.”

Perasaan Jessica memang wajar. Disadari atau tidak, keputusan mereka untuk berpisah pasti berdampak pada anak-anak sekecil apapun. Sebelum membuat keputusan ini, Langga juga memikirkan anak-anak mereka. Hanya saja dia tidak tahu bahwa Sean akan berbuat senekat ini.

“Mungkin kedepannya kita harus hati-hati lagi, Jess. Sebelum buat keputusan, kita harus mikirin Sean dan Jenny juga.” Langga mengusap pundak istrinya dengan kaku.

Namun, Jessica justru kembali mengeluarkan air matanya. “Kadang aku mikir, aku ini ibu yang buruk buat mereka.”

“You’re a great mom, trust me.” Spontan, Langga bergerak memeluk tubuh mungil Jessica. Lelaki itu memberanikan diri merengkuh punggung istrinya dengan erat.

Mulanya Langga merasa lancang, tetapi ketika Jessica membalas pelukannya Langga dapat bernapas lega. Dia memeluk seperti tidak ada lagi hari esok. Pelukan mereka terasa pas, ditambah bubuhan kecupan dari Langga untuk istrinya. Langga berjanji, dia akan melindungi wanita ini sampai dia tiada.

•••

Langga tersentak kaget saat Jessica tiba-tiba saja mengandeng tangannya. Sebenarnya ini memang terlihat wajar bagi pasangan suami istri, tapi tidak begitu untuk Langga dan Jessica. Langga berdeham untuk menyembunyikan perasaan terkejut sekaligus gembiranya.

“Ini… ini maksudnya apa?” bisiknya pelan. Langga jelas tak mau semua orang yang ada di kantor polisi ini mendengar pembicaraan mereka.

Jessica mengernyit tapi tetap tersenyum. Cantik sekali. “Nggak apa-apa.”

Langga yang melihatnya kembali salah tingkah. Raut percaya diri Jessica ketika menggandeng tangannya memberikan Langga keyakinan bahwa istrinya itu pasti sudah luluh untuk diajak rujuk. “Kamu—”

“Biar Sean seneng aja. Kalo kita gandengan gini kan kesannya kita kayak pasangan yang harmonis.”

Senyum kecil Langga langsung surut. “Jadi ini gara-gara—”

“Mohon untuk tetap kooperatif dalam kasus ini ya, Pak, Bu.” Renita, si polisi wanita berambut pendek, tersenyum sedikit, mendekat pada sejoli itu. “Ananda Sean memang sudah dicopot status tersangkanya, tapi tolong kerja samanya kalau kami mintai keterangan.”

“Pasti, Bu.” Langga menjawab.

Jessica tersenyum remeh. “Dari awal saya udah bilang kalau Sean bukan pembunuh. Kalian yang nggak percaya—”

“Pokoknya terima kasih sekali lagi, Bu Renita.” Langga tidak bisa membiarkan Jessica bersikap ketus.

Meskipun kini tengah dipelototi sang istri, Langga tetap bergeming. Dia hanya bisa mengeratkan genggaman Jessica, seolah meminta wanita cantik itu menahan diri.

“Ayo, Sean.” Jessica menarik Sean mendekat padanya. “Kami pamit, Pak, Bu.”

Setelahnya mereka berempat, plus Pak Beni sang pengacara, berjalan menuju mobil. Senyum bahagia terpancar dari wajah semua orang kecuali Sean sendiri. Sang bintang utama itu justru murung.

Jessica sebenarnya sedih. Putra sulungnya bahkan tidak bisa bahagia dihari kebebasannya ini. Pikirnya, Sean pasti sedih karena masa depannya sudah tercemar. Apalagi kasus ini sudah viral di media sosial.

Dia pun berinisiatif menghibur putranya. “Kamu makin kurus, Bang. Nanti pulang ke rumah makan yang banyak, ya.”

Sean hanya meliriknya. Laki-laki tampan itu hanya terduduk kaku di bangku mobil tanpa mengatakan apapun. Jessica pun sekonyong-konyong mengecup pipi Sean.

Pria muda yang dikecup itu sontak terbelalak. Tak butuh waktu lama, telinganya langsung merah. “What the heck, Mom?! Aku malu.”

Jessica tahu bahwa dia tak pernah mencium putranya sejak Sean masuk SMP. Entah kenapa dia sangat ingin memanjakan putranya lagi setelah kejadian ini. Dia pun tersenyum tanpa dosa. Senang karena bisa menggoda putranya. “Kenapa, sih? Cuma Papamu yang liat, kok.”

Sean melirik Langga. Kini pipinya makin menghangat karena ayahnya ikut terkekeh kecil. Laki-laki karismatik itu akhirnya hanya memandangi jendela selama perjalanan pulangnya. Pundung karena sikap Jessica.

•••

Chicken breast bumbu pesto, burger, smoothies, salad, tempura, kimchi, dan berbagai olahan kepiting telah terhidang di meja makan. Jessica memang meminta asisten rumah tangganya untuk memasakkan semua makanan kesukaan Sean—minus kimchi, itu makanan kesukaan Jenny.

Malam ini Jessica secara khusus membuat acara makan malam bersama. Demi merayakan kepulangan putra kesayangannya. Tak pernah Jessica merasa seantusias ini sejak pisah rumah dengan Langga.

Dia pun berinisiatif memanggil Sean untuk segera ke meja makan. “Sayang, ayo makan dulu. Kita makan bareng Opa hari ini.”

“Iya, aku lagi ganti baju!” seru Sean.

Jessica lantas beralih ke kamar putrinya. Dia menyerukan hal yang sama seperti yang telah diserukan pada Sean. Jenny bilang dia akan bergabung sebentar lagi. Membiarkan putrinya, kini Jessica mengetuk pintu kamar Langga.

“Masuk!”

Jessica tetap diam. Meski diperintahkan untuk masuk, Jessica memilih tetap berdiri dibalik pintu. Dia tak mau repot-repot flashback kenangannya dengan Langga di dalam kamar itu. Telahdewasa.com

Merasa tak didengar, Langga akhirnya membuka pintu. Dia sedikit terkejut melihat Jessica. Padahal tadinya dia mengira itu ART yang tadi dia suruh untuk membawakan air putih. “Kamu… perlu sesuatu?”

Jessica menggeleng canggung. “Itu… makanannya udah siap. Hari ini ayo kita dinner bareng buat ngerayain hari kepulangan Sean.”

Itu bukan ide buruk. Langga juga sebenarnya tidak keberatan. Toh, pekerjaannya bisa dia selesaikan nanti. “Oh, ayo!”

Jessica pun turun ke lantai bawah menuju dining room. Ternyata sudah ada Liem yang menunggunya. Dia pun duduk di dekat Liem, diikuti sang suami.

“Sean mana?”

“Masih siap-siap, Pa.”

Liem menghela napas panjang. “Polisi itu udah bikin klarifikasi. Mereka udah Papa paksa membersihkan nama baik Papa. Semoga habis ini nggak ada berita buruk lagi.”

Langga diam. Sejujurnya dia merasa kasihan dengan ayahnya. Padahal kinerja Liem selama hampir 5 tahun menjabat sebagai gubernur tidak banyak kontroversi. Namun, karena adanya kasus ini, nama baik sang ayah jadi tercoreng. Masyarakat mulai menyuarakan Liem untuk mundur.

“Papa nggak usah khawatir. Setelah pembunuh aslinya ketangkep, nama Papa pasti bersih lagi.” Jessica menggenggam tangan mertuanya, meyakinkannya agar tidak terlalu cemas.

Liem bergumam menyetujui. “Makanya, kalau bisa kalian nggak usah cerai. Supaya berita buruk nggak makin simpang siur. Lagi pula, kalian udah akur lagi, ‘kan? Nggak berantem terus kayak dulu?”

Jessica dan Langga saling tatap. Langga kemudian membuka suara. “Kami—”

“Kenapa banyak banget, sih?” Sean tiba-tiba datang. Membuat Langga otomatis menutup mulut. Dia tak berani membicarakan masalah perceraian itu sekarang.

“Apanya, Bang?” tanya Jessica.

“Makanannya.” Sean mengambil tempat duduk di samping ayahnya. “Nggak usah berlebihan lah, Ma.”

“Nggak apa-apa, toh ini kan nggak setiap hari. Emang kamu nggak seneng?”

“Bukan gitu, Ma.” Sean berdecak kesal. “Adek mana? Nggak ikut?”

“Kenapa nyariin gue?” Jenny mendadak menyahut dari tangga. Gadis cilik itu memakai piyama tidur bergambar kuromi. Terlihat sangat imut. Kontras dengan wajahnya yang jengkel melihat kakaknya ikut duduk ditengah-tengah keluarga.

“Apa, sih? Nanya doang,” jawab Sean, tak mau kalah.

Makan malam kali ini berlangsung cukup lancar. Ya, meskipun sesekali Jenny dan Sean terus berdebat. Tidak pernah rasanya keluarga Hianggio berkumpul lengkap seperti ini. Terakhir kali mungkin saat mereka merayakan kemenangan Liem di Pilgub untuk pertama kalinya.

“Oh, iya, rencananya kamu mau pindah sekolah apa gimana?”

Sean tetap melanjutkan makannya. Dia tak berniat menanggapi Langga karena merasa tak acuh dengan kehidupan sekolah. Jenny yang menyaksikan itu menjadi makin sebal. “Kalo ditanya itu dijawab!”

Sean merotasi matanya. “Kenapa, sih, lo ikut campur mulu?”

“Eh, lo harusnya bersyukur bisa bebas dari penjara. Bukan malah songong kayak gini. Lo masuk penjara juga gara-gara ulah lo sendiri, ‘kan?”

“Jen, stop.” Langga jadi tidak napsu makan lagi. Pertengkaran antara dirinya dengan sang istri memang sudah mereda, tapi tidak dengan kedua anaknya.

Jenny meletakkan sendok di genggamannya dengan kasar. Bunyi nyaring tak terelakkan dari ruangan itu. Gadis itu sudah muak. “Kenapa, sih, Sean harus bebas?! Dia harusnya di penjara aja, Pa!”

Liem mulai murka. “Kamu jangan kurang ajar, Jen!”

Jenny berdiri. Tangannya mengepal keras. “Kalian nggak tau apa-apa!” Kemudian dia meninggalkan ruang makan tanpa menyahuti Jessica yang terus memanggil namanya.

Bersambung…

Malam yang dingin ini, Adinata dan kawan-kawan dikejutkan dengan kehadiran ibunda Sofia yang datang ke kantor polisi. Setelah kebebasan Sean tersebar di mana-mana, Bu Santi tidak bisa tenang. Dia merasa ini semua tidak adil bagi mendiang putrinya.

“Jadi, saya cuma mohon sama Pak Polisi sekalian. Tolong usut tuntas kasus pembunuhan anak saya. Saya cuma heran, Pak,” ujar Santi. “Kenapa bocah itu bisa bebas. Apa gara-gara dia cucu pejabat?”

Renita menggeleng. Tentu saja dia tidak akan melanggar aturan. Tak mungkin dia membebaskan Sean tanpa sebab. “Bu, sebenarnya kami nggak membebaskan Sean begitu saja. Kami tetap memantau aktivitas anak itu. Kalau ada yang mencurigakan, kami pasti selidiki.”

“Tapi, ya, apa harus dibebaskan, Pak, Bu? Itu sudah jelas anaknya ada di rumah waktu anak saya meninggal, ‘kan?”

“Nggak ada bukti nyata kalau anak itu bunuh anak Ibu. Kami dengan tegas bisa membuktikan kalau kami nggak disuap Pak Liem untuk membebaskan cucunya.” Adinata diam-diam menahan kesal. “Itu kan yang ada dipikiran Ibu sekarang?”

Bu Santi bergeming. Dia memang berprasangka seperti itu. Namun, jangan salahkan dirinya. Salahkan saja beberapa oknum polisi yang kadang ketahuan menerima suap. Tentulah Bu Santi merasa was-was. Barangkali ini juga terjadi pada kasus anaknya.

“Bu, nggak semua polisi mau disuap. Kepolisian di sini sudah sepakat melawan KKN. Jadi, tolong percaya sama kami.”

Merasa dimarahi, Bu Santi menggigit bibir bawahnya. Dengan terbata-bata dia menjawab, “Pak, seperti yang Bapak tahu, saya cuma orang kecil. Saya kerja di Hongkong jadi TKI. Sofia di rumah nggak ada yang ngurus.

Cuma tantenya yang kadang-kadang jenguk. Saya jujur kaget Pak, waktu denger berita ini. Saya sedih bukan main. Pas tahu kalau pelakunya cucu Pak gubernur Liem, saya makin pasrah. Saya takut kasus anak saya di manipulasi.”

“Kami paham kekhawatiran Ibu, tapi tolong jangan salam paham sama kami. Entah itu anak gubernur, anak bupati, kalau memang salah, kami pasti tangkap.” Renita tak tega. Sebagai seorang ibu, dia seperti ikut merasakan penderitaan Bu Santi.

Setelah merasa tenang, akhirnya Bu Santi pulang ke rumahnya. Renita jadi makin bertekad untuk menangkap pelaku pembunuhan. Namun, sangat sulit untuk menemukan petunjuk. Pelaku sangat cerdik hingga tidak meninggalkan jejak apapun. Kini yang bisa mereka andalkan hanya keterangan saksi serta barang bukti yang ada di rumah Sofia.

“Sebenarnya saya curiganya sama Kenny. Dia itu sus banget. Waktu itu bahkan dia langsung ambil visum kepalanya yang katanya kebentur. Seakan-akan dia tahu kalau dia bakal dicurigai.”

Renita mengernyit mengingat hasil visum tersebut. “Tapi, sepertinya dia memang cedera, Pak.”

“Iya, saya tahu, sih—”

“Pak Edi ada benarnya juga, Bu.” Adinata menyela. “Kita patut mencurigai Kenny. Sebenarnya saya curiga sama dia gara-gara dia selalu nuduh Sean. Seakan-akan Sean emang pelakunya.”

“Sebaiknya kita awasi dia juga.” Renita melipat kedua tangannya di depan dada. “Oh, ya, gimana perkembangan Sean? Apa tim kita menemukan sesuatu yang janggal?”

“Nggak ada, Bu. Satu hari ini dia nggak keluar rumah. Mungkin karena kakeknya gubernur. Jadi, pasti kegiatannya dijaga banget.”

Renita mengangguk setuju. “Apa bener di depan rumah Sofia nggak ada CCTV? Kalau ada, pasti bakal lebih gampang nangkep pelakunya.”

Adinata berdecak. “Sayangnya nggak ada. Tapi Bu Renita tenang aja. Kami masih terus menggeledah rumah Sofia siapa tahu ketemu sesuatu.”

“Iya, jadi sekarang semua tetap pada tugas masing-masing, ya. Pak Edi, tambah tim untuk ngawasin Kenny. Laporkan setiap hari kemana dia pergi.”

“Baik, Bu.”

•••

Senyum lebar terus terpatri menghiasi wajah Jessica. Kali ini, dia berinisiatif membawa camilan untuk Sean sebelum tidur. Mengingat keributan yang ditimbulkan Jenny saat makan malam, Jessica takut Sean semakin murung atau bahkan melakukan sesuatu diluar nalar lagi. Sebisa mungkin, Jessica akan mengawasi putranya untuk sementara ini.

“Abang?” Jessica mengetuk pintu kamar sang putra. “Bang? Boleh Mama masuk?”

“Masuk aja,” timpal Sean dari dalam.

Begitu diizinkan, Jessica akhirnya masuk dalam ruangan gelap itu. Keningnya berkerut menyadari Sean tengah menonton film ditengah kegelapan. Buru-buru Jessica nyalakan semua lampu kamar itu. Kemudian, sambil membawa nampan berisi camilan, dia mendekati sang putra.

“Lagi nonton?”

Sean langsung mematikan televisinya. “Iya. Film kesukaan aku.”

“Oh, ya? Tentang apa, Bang?”

“Mama ngapain di sini?” Lelaki 18 tahun itu mengalihkan pembicaraan.

“Ini ada camilan, supaya kamu nggak bosen. Eh, iya, nanti Mama kasih susu juga, ya?” Nampan itu dia letakkan di meja belajar sang putra. Jessica ikut duduk di ranjang, lantas mengelus tangan Sean dengan lembut.

“Maksudnya, ngapain Mama masih di rumah? Mama nggak pulang ke apartment?”

Senyum Jessica sedikit memudar. “Opa kamu suruh Mama tinggal di sini dulu. Mama sama Jenny akan terus di sini sampai beberapa hari ke depan. Mama juga mau nemenin Abang loh.”

Pembahasan ini belum Jessica diskusikan dengan Langga. Sebaiknya dia tidak memberikan harapan yang muluk-muluk untuk Sean. Jessica juga tidak tahu sampai kapan dia akan menetap. Yang jelas, Jessica ingin fokus pada perkembangan dan pemulihan Sean pasca kejadian itu.

“Sekarang perasaan kamu gimana? Ada yang kamu khawatirkan? Bilang aja sama Mama.”

“Nggak ada, sih. Tapi tadi Adek kurang ajar sama aku.”

“Adek ada salah sama kamu? Apa justru kamu yang gangguin Adek?”

Hubungan Jenny dan kakaknya memang tidak terlalu dekat. Walaupun rentang usia mereka berdekatan, Jenny selalu menjaga jarak dari Sean. Pernah Jessica bertanya, tapi Jenny malah menjawab bahwa wajah Sean seram seperti karakter Joker di film-film yang dia tonton. Sontak saja itu mengundang gelak tawa Jessica.

“Nggak tahu tuh.”

Wanita berpiyama biru laut itu mendesah lelah. “Bang, Adek mungkin lagi kesel sama kamu soal berita kemarin. Tolong maklumin aja, Mama denger temen-temen sekolah Jenny udah tahu soal kasus kamu. Jadi, Mama rasa Jenny sedikit marah soal itu. Kamu tahu sendiri Adek kamu kayak gimana.”

Sean menundukkan kepala. Jessica rasa anak sulungnya itu merasa bertanggung jawab atas apa yang adiknya alami. Sean yang tampak cuek, pasti di dalam hatinya tetap memikirkan masalah sang adik.

“Ya, pasti gara-gara itu. I feel bad, Ma.”

“Nggak papa. Besok Mama coba bicara sama Jenny. Paling dia marah sebentar, Mama yakin dia pasti seneng kamu akhirnya bisa pulang.”

Jessica mengelus rambut Sean, lalu bangkit untuk keluar. “Makan camilannya habis itu tidur. Lampunya Mama nyalain aja?”

“Matiin, Ma. Aku suka gelap soalnya.”

Sebelum benar-benar pergi, Jessica tertawa namun tetap menuruti keinginan sang anak. “Have a good night’s sleep. Jangan lupa berdoa sebelum tidur, ya!”

•••

Matahari rasanya berada tepat diatas kepala saat mobil Langga membelah jalanan menuju sekolah sang putri. Jessica menyuruhnya menjemput Jenny sekaligus membawa anaknya itu pergi jalan-jalan. Jessica bilang, Langga harus memastikan suasana hati Jenny membaik dan mau berbaikan dengan Sean.

“Pak, itu Mbak Jenny sudah keluar.” Suara Nathan memecah fokus Langga pada tab-nya.

Tidak membuang waktu, Langga keluar dari mobilnya untuk menjemput Jenny. Dia sedikit berlari menghampiri putrinya kemudian berpamitan kepada teman-teman serta penjaga sekolah Jenny. Tentunya gadis berponi itu tampak terkejut melihat ayahnya yang menjemput.

“Kok Papa yang jemput?” Jenny dibawa masuk ke dalam mobil ayahnya. Namun, wajah gembira Jenny langsung berubah 180 derajat kala mendapati sang kakak di kursi penumpang.

“Sekalian tadi habis dari kantor Opa sama Abang.” Langga meraih tas sekolah Jenny untuk dia bawa. Setelah memastikan putrinya nyaman, Langga meminta Nathan untuk melajukan kereta besi miliknya itu.

“Abang ngapain ikut, sih?” gerutu Jenny membuat kepalanya ditoyor Sean agak keras. “Abang!”

“Sst, jangan ribut, dong. Abang juga jangan gitu sama Jenny.” Langga berusaha menengahi. Lelaki itu kemudian meraih ponselnya mengecek pesan dari sang istri.

Jessica: Terserah mau kemana. Sekalian beli laptop baru buat Jenny juga oke kok.

Langga: Aku bawa ke mall kamu.

Meskipun enggan, Langga terpaksa meminta Nathan berputar balik untuk menuju mall milik Jessica. Langga pikir, tidak buruk juga membawa anak-anak ke sana. Terlebih dia bisa memantau perkembangan bisnis milik istrinya secara langsung. Telahdewasa.com

Langga melirik putra putrinya yang masih berdiam diri. Sean sibuk mengutak-atik ponselnya, sementara Jenny memandangi pemandangan luar mobil. Langga rasa, dia tidak akan bisa mendamaikan kedua anaknya dengan mudah.

Benar saja, begitu menginjakkan kaki di mall milik Jessica, Jenny merengek ingin membeli laptop terlebih dahulu, tetapi Sean malah meminta untuk makan ketimbang membeli laptop untuk sang adik. Keduanya berdebat hingga kepala Langga mau pecah rasanya.

“Udah, udah. Bang, kamu ngalah dulu. Kita beli laptop habis itu makan.”

Keputusan Langga membuat Sean jengkel. Lelaki itu menutupi wajahnya dengan tudung jaket yang dia kenakan. Mau tidak mau, mengekori ayah serta adiknya menuju salah satu toko yang menjual laptop keluaran terbaru.

“Wah, selamat sore, Bapak Airlangga. Ada yang bisa kami bantu?” Si karyawan toko tampaknya mengenali Langga sebagai suami dari pemilik mall ini.

“Anak saya butuh laptop, di sini ada kan? Keluaran terbaru?” Langga menuntun Jenny melihat-lihat laptop terbaru dengan antusias.

“Pasti ada, Pak! Kami bisa tunjukan laptop keluaran paling baru.”

Setelah memilih-milih hingga hampir setengah jam, pilihan Jenny jatuh pada laptop berwarna silver yang harganya tidak bisa dikatakan murah. Beruntung, Jenny memiliki ayah yang sangat loyal. Seperti kata Jessica, Langga selalu memanjakan putrinya.

Mereka keluar dari toko tersebut dan berhenti pada salah satu restoran Jepang. Sean beralasan ingin memakan sushi, padahal dia tahu Jenny pasti menginginkan masakan Korea, bukan Jepang.

“Tapi aku lagi kepingin makan itu, Pa.” Telunjuk Jenny mengarah pada restoran Korea di sebrang lift.

“Nggak, kita makan sushi. Tadi gue udah ngalah ya, sekarang giliran lo.” Sean tersenyum kejam.

“Nggak mau!”

“Ya, nggak peduli juga, sih. Sana makan sendiri aja, Papa ikut gue.”

“Lo kan bisa makan sushi besok-besok. Sekarang makan di sana dulu lah, enak kok.”

Langga yang sudah kelelahan hanya bisa menyaksikan perdebatan putra putrinya dalam diam. Kalau tahu begini, dia akan menolak mentah-mentah permintaan Jessica. Menjaga anak ternyata sesulit itu.

“Udah, udah. Mending kita nggak makan dua-duanya.” Mata Langga menelisik ke sekeliling. “Makan masakan Indonesia aja.”

“Pa!”

“Adek.” Langga memperingati. “Kamu kenapa sih ribut terus sama Sean?”

Jenny terdiam sejenak. “Dia pernah ngata-ngatain aku.”

“Papa bawa kalian ke sini buat baikan, lho. Kalo begini terus, nanti kalian nggak bakal baikan.”

Berbaikan dengan Sean bukan ide yang bagus menurut Jenny. Dia masih kesal dan marah pada kakaknya. Kelakuan Sean kadang membuatnya marah, tapi gadis itu tidak bisa berbuat banyak.

Bersambung…

Jarum jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, namun Jessica tidak menemukan tanda-tanda Langga keluar dari ruang kerjanya. Dia pikir, Langga tengah mengerjakan sesuatu yang cukup kompleks bersama ayah mertuanya.

Ketika masih bersama, Jessica akan selalu menunggu Langga di dalam kamar mereka sambil membaca buku. Sekarang pun saat tidak bisa terlelap, Jessica ingin membaca beberapa buku yang masih tersimpan di kamar Langga.

Bukan bermaksud lancang, tapi berhubung Langga belum kembali, Jessica diam-diam masuk ke kamar yang dulu dia tempati. Wanita itu berjalan ke arah rak buku mini dan mulai mencari buku yang ingin dia baca.

Yang Jessica sayangkan, buku-buku miliknya banyak yang berdebu. Dia tebak, Langga tidak pernah membaca atau bahkan membersihkannya. Tiba-tiba suasana hati Jessica berubah kesal mengetahui hal itu.

“Jess?” Suara berat Langga membuat Jessica terkejut hingga menjatuhkan buku yang dia pegang. Sekarang apa yang harus dia katakan pada Langga? Mungkinkah Langga menganggap Jessica kurang ajar? Seharusnya kan tidak.

“Sorry, aku mau ambil buku buat dibaca.” Wanita itu meraih buku yang jatuh tepat di samping kakinya.

Jessica dibuat semakin gugup tatkala Langga malah menutup pintu dan berjalan mendekatinya. “Nggak usah ditutup, ini aku mau keluar.”

Langga berdecak. “Ini juga kamar kamu. Nggak usah sungkan.”

“Mm, ya.” Jessica menggigit bibirnya gugup. “Eh, iya, mumpung kamu di sini, aku mau ngobrolin sesuatu. Bisa nggak?”

Bukannya menjawab, Langga justru menepuk ranjang yang dia duduki. Memberi kode Jessica untuk ikut duduk. “I’m all ears.”

Jessica tersenyum mendengar balasan sang suami kemudian ikut duduk tepat disebelah Langga. “Gimana kalo kita ajak anak-anak liburan?”

“Liburan?” tanya Langga tidak mengerti. “Tapi situasinya agak sulit, Jess. Sean kan baru keluar—”

“Iya, aku paham kok. Tapi aku nggak mau anak-anak kepikiran terus sama kasus ini. Mungkin kalo kita bawa mereka refreshing sebentar, Sean sama Jenny bisa tambah akur juga.”

Membawa Sean bepergian bukan ide yang buruk. Namun, Langga tetap harus berkonsultasi dengan Pak Beni. Lelaki itu hanya takut pihak kepolisian masih belum melepaskan Sean sepenuhnya. Langga khawatir karena sejauh yang dia dengar, pelaku sebenarnya belum ditangkap. Maka selama itu, putranya tetap dalam bayang-bayang tersangka.

Sudut bibir Langga terangkat kala melihat antusiasme sang istri. Langga harus menahan tangannya agar tidak menarik tekuk Jessica dan mengacak-acak lipstik merahnya itu. “Kamu mau liburan ke mana?”

“Yang nggak jauh-jauh sih, kayaknya kita belum bisa liburan ke luar negeri juga.” Bibir Jessica bergerak ke kiri dan kanan yang tentu saja membuat Langga semakin gelisah. “Gimana kalo ke villa punya Papa? Yang deket Pantai itu loh.”

“Ya, ke sana juga bagus. Lama anak-anak nggak ke sana,” pikir Langga demikian.

“Jadi gimana?”

“Aku ngikut kamu aja lah.”

“Oke, deal, ya. Besok aku kasih tau anak-anak dulu. Terus kamu bisa kosongin jadwal kan?”

Apa Jessica pikir Langga bisa menolaknya sementara mata bening istrinya itu sudah berbinar-binar? Dari awal mereka menikah, Langga bertekad mewujudkan setiap keinginan Jessica. Meskipun kini mereka akan berpisah, tekad Langga akan tetap sama.

“Aku konfirmasi ke Nathan sekarang juga.”

Jessica semakin gembira. “Makasih, Langga.”

“Anytime,” balasnya. “Kamu nggak bisa tidur?”

“Lho, kok kamu tau?”
Mata Langga melirik pada buku yang Jessica pegang. “Mau baca buku dulu, kan? Kebiasaan.”

Langga yang masih mengingat kebiasaannya membuat hati Jessica menghangat. Wanita itu lantas berdiri dan berjalan keluar kamar. “Itu aja yang mau aku omongin. See you tomorrow.”

Bersamaan dengan itu, Langga kehilangan senyumnya lagi. Dia harap, Jessica mau mempertimbangkan keinginannya untuk rujuk kembali. Jujur, Langga merindukan cinta pertamanya itu.

•••

Jenny menatap gelombang air laut yang mendera kakinya. Terasa sangat menyegarkan, hatinya jadi sedikit melunak. Padahal tadi dia amat kesal dengan kelakuan kakak kandungnya, Sean.

Mulanya Jenny sedang asyik memotong-motong buah yang hendak menjadi santapannya. Pergi menginap di villa memang sangat mendadak, tapi dia tetap senang karena dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarganya.

Meskipun dadakan, Jenny tetap tidak risau kebutuhannya tidak akan terpenuhi, sebab pengelola villa sudah diberi tahu apa saja yang gadis cilik itu inginkan. Buah-buahan ini contohnya.

“Oh, Babe, hold me closely,” senandung gadis itu. Tak berselang lama, tiba-tiba saja Sean mendatanginya dengan raut wajah masam.

“Lo tadi ngacak-ngacak laci meja gue?!”

Jenny yang lantas menangkap sinyal marah kakaknya, kemudian meletakan pisau dapur dengan sedikit keras. “Gue cuma mau cari gunting kuku. Di kamar gue nggak ada tadi!”

Memang benar tadi Jenny masuk ke kamar Sean dan menyentuh laci lelaki itu, tapi kegiatan mencarinya tidak bisa disebut mengacak-acak. Sean sangat berlebihan, pikir Jenny.

“Udah berapa kali gue bilang, gue nggak suka ada orang yang seenaknya nyentuh barang-barang gue. Lo nggak ngerti, ya?!”

“Lo lebay banget! Gue cuma nyari gunting kuku, bukan berantakin isi laci lo!” Jenny yang marah kemudian mendorong bahu kakaknya dengan satu tangannya. Telahdewasa.com

Sean menepis adiknya. “Pokoknya lo nggak boleh masuk kamar gue! Mau di rumah atau di villa ini. Gue nggak mau kamar gue berantakan! Awas lo!”

Jenny menggeram. “Dasar lebay!”

Sean memang akan marah jika seseorang mengusiknya. Jenny sangat tahu kepribadian kakaknya yang tertutup itu. Sean dulu pernah memarahinya karena terlalu berisik.

Dan hal-hal yang menurut Jenny wajar dilakukan perempuan, justru seringkali dicemooh oleh kakaknya itu. Entah maksud Sean bercanda atau tidak, tapi semenjak orang tua mereka sering bertengkar, kedua kakak beradik itu juga ikut-ikutan sering beradu mulut.

Jenny rindu suasana rumah yang tenang, damai, dan sunyi. Dia diam-diam berharap dengan liburan kali ini, hubungannya dan Sean bisa turut membaik pula. Namun, kenyataannya malah makin memburuk. Gadis berponi itu sangat dongkol. Dia secara impulsif menendang gelombang laut untuk mentransfer rasa marahnya pada lautan.

Namun, hal yang terjadi selanjutnya malah sial, sandal kesayangannya justru terlepas dari kakinya dan mulai bergerak mengikuti air laut. Jenny terkesiap. Dia kemudian mengejar salah satu sandalnya itu, tak peduli dengan tubuhnya yang terus terdorong menjauh dari daratan.

Jenny baru sadar jika dirinya hampir tenggelam setelah tangannya ditarik paksa oleh seseorang. “Lo gila, ya? Mau mati?!”

Mata Jenny langsung memanas tatkala menatap kakaknya. Hatinya semakin tidak karuan kala Sean menuntunnya keluar dari laut. “G-gue mau ambil sandal!” seru Jenny.

“Lo lebih penting dari pada sandal jelek itu. Minta Mama beliin lagi, kan, bisa!”

Mau tak mau Jenny menangis. Bocah yang rambutnya dikepang itu menyembunyikan matanya dibalik tangan. Jenny tersedu-sedu. Antara kesal pada kakaknya dan kesal karena sandalnya hilang. Sean menghela napas. Akhirnya lelaki bertubuh jangkung itu berjongkok dan meminta adik kecilnya naik ke punggung.

“Buruan!”

Jenny mengintip dari balik tangannya. Dia tak berpikir panjang sebelum naik ke gendongan sang kakak. “Mau ke Mama!”

“Mama terus!”

“Biarin.” Jenny mencubit punggung Sean. “Mau ke Mama!” ulangnya.

“Iya-iya, sabar. Lo berat tau.”

Kedua kakak beradik itu akhirnya berjalan menyusuri pantai mencari keberadaan Jessica yang tadi izin berjemur di tepian pantai. Sean menoleh pada adiknya yang kini bersandar ke bahunya. Lagi-lagi dia menghela napas. Adik cengengnya memang merepotkan.

“Gue udah maafin lo,” gumam Jenny. Yang langsung membuat Sean mendengkus kesal.

“Gue yang maafin lo,” balas Sean. Kini Jenny kembali mencubit punggungnya. Mereka pun melanjutkan jalan dengan tenang.

“Tuh Mama.” Seruan Sean lantas membuat Jenny mendongak. Namun, belum sempat melihat Jessica, Sean malah berbalik arah.

“Heh, gue mau ke Mama!”

“Nanti aja. Lo sama gue dulu.” Sean berdeham canggung.

“Emang Mama lagi ngapain?”

•••

Jessica memejamkan mata merasakan angin pantai yang menerpa wajahnya. Kini tubuh rampingnya tengah berbaring santai di kursi panjang yang memang disediakan pihak villa. Entah sudah berapa tahun Jessica tidak ke pantai lagi. Dia terlalu sibuk dengan urusan mall dan perceraiannya dengan Langga.

Ngomong-ngomong soal Langga, Jessica belum melihat pria itu sejak tadi. Katanya dia ingin mengecek keseluruhan villa sekaligus melakukan evaluasi pekerja, tapi sampai sekarang masih belum kembali.

Tidak berapa lama, Jessica tiba-tiba merasakan ada sesuatu dimatanya. Ternyata sebuah kacamata yang diselipkan oleh Langga. “Lho?”

“Mataharinya terik banget. Pake kacamataku dulu.” Langga ikut-ikutan berbaring santai di kursi sebelah. “Anak-anak kok nggak ada di villa? Pada kemana?”

“Tadi Jenny minta izin mau main ke pantai. Sebentar lagi balik kayaknya. Aku udah minta Sean jagain anak itu.”

“Hmm.” Langga ikut memejamkan matanya. Tiba-tiba saja kenangan saat mereka masih pendekatan dulu muncul. Mungkin karena dulu dia dan Jessica sering sekali menghabiskan waktu di pantai juga. “Inget, nggak? Dulu kita sering banget ke pantai waktu sebelum pacaran.”

Jessica menoleh. Dahinya mengernyit karena Langga mendadak mengungkit masa lalu. “Inget lah. Kamu juga sering ngajak aku nginep di villa ini kan dulu.”

“Tapi kamu tolak terus.”

“You know my reason. Don’t pretend you don’t understand.” Jessica memutar bola matanya sebelum menatap Langga horor.

Langga bergeming. Dulu saat mereka masih pacaran dia memang tidak segan-segan melakukan kontak fisik dengan Jessica. Hal itu membuatnya sering mendapat pelototan marah dari pacarnya itu. “Emang aku ngapain?”

“Mulai!”

Langga terkekeh. Dia melirik istrinya. Bukan pada mata, melainkan dadanya yang sedikit terbuka. Pria berkaos itu berdeham ringan. “Apa kamu nggak dingin? Kenapa pake summer dress gitu, sih?”

“Kenapa emang? Aku suka kok pake ini.” Jessica melipat kedua tangannya di dada. Membuat Langga semakin ketar ketir.

“Kamu tuh…” Langga mengelap bibirnya dengan lidah. Jakunnya naik turun. “Udah lah!”

“Kenapa, sih?” Jessica mengernyit bingung. Suaminya kini tampak gugup dan jengkel disaat bersamaan.

“Nggak.” Langga mengalihkan kepalanya ke arah kiri. Berusaha menghindari Jessica. “Hari ini…. kamu cantik.”

Bibir Jessica langsung mencebik. Dia berusaha tidak terpengaruh kata-kata Langga yang bisa membuat wanita manapun lemah karenanya. Apalagi diucapkan oleh wajah yang tampan seperti itu. “Kamu mulai lagi kan.”

“Serius. Kamu bisa bikin laki-laki salah fokus tau.” Langga berharap Jessica mengerti maksudnya.

“Oh, ya? Kamu—” Jessica tak siap ketika kalimatnya dipotong oleh Langga yang mendadak bangkit dan setengah menindihnya. Wanita itu bisa melihat guratan kesal dari wajah sang suami.

Mereka saling bertatapan. Sebelum bibir Langga mendarat di bibirnya, Jessica kontan menutup mulutnya sendiri dan bergumam, “Kamu?! Nanti ada yang liat.”

Langga sedikit menjauhkan wajahnya. Dia lantas menjatuhkan handuk, yang entah didapat dari mana, ke dada Jessica agar tertutupi. “It’s better.”

Langga pun beranjak dari kursi. Meninggalkan Jessica yang kini jantungnya berdebar-debar tak mau tanang. Pria itu…. benar-benar nekat.

Bersambung…

Adinata sampai lupa dengan roti ditangannya ketika dia mendapat telepon dari Pak Edi. Pria berwatak keras itu kemudian meletakan roti yang telah dia habiskan separuh sebelum kemudian menggeser ikon hijau diteleponnya. “Ya, Pak?”

“Kenny keluar rumah. Dia kayaknya mau ketemu sama seseorang. Dari kemarin padahal nggak keluar rumah. Mungkin ini orang penting, Pak.”

Adinata tanpa pikir panjang bergegas memakai jaket hitamnya. “Ikuti terus. Jangan sampe kehilangan jejak.” Dia kemudian berlari mencari kunci mobilnya. “Kabari saya kalau dia udah nyampe. Kirim lokasinya, oke?”

“Baik, Pak!”

Lima belas menit berlalu, Adinata akhirnya dikirimi lokasi terkini dimana Kenny berada. Ternyata sebuah kafe. Dekat dengan sekolah Sean, Sofia, dan Kenny. Menurut keterangan Pak Edi, Kenny duduk berhadapan dengan seorang gadis seumurannya. Tampaknya mereka teman sekolah.

“Itu, Pak.” Pak Edi bergegas menunjuk Kenny yang tengah berbincang serius dengan gadis asing.

“Gadis itu ada hubungannya dengan Sofia?” Entah kenapa, Adinata merasa familiar. Mungkin dia pernah bertemu atau bahkan melihat potret gadis itu sebelumnya.

“Menurut perkiraan kami, kalau nggak salah, gadis itu pernah foto bareng Sofia. Dan Sofia pajang foto itu di kamarnya bareng temen-temennya yang lain.”

Untuk memperkuat dugaan mereka, Adinata berniat memastikannya sendiri besok. Dia pun mengangguk. “Nanti kita coba tanyain dia. Jangan biarin dia pergi dulu. Tapi, jangan sampe Kenny tau.”

“Siap, Pak.”

Setelah tiga puluh menit berlalu, akhirnya Kenny meninggalkan kafe. Diikuti gadis tadi. Adinata bergegas meminta salah satu timnya mengikuti Kenny. Sedangkan dia dan Pak Edi mencoba mencegah gadis itu pergi.

“Mbak! Mbak!” Adinata mengejar perempuan mungil yang kini bersiap mengenakan helmnya. “Permisi, kami dari kepolisian. Bisa minta waktunya sebentar?”

“A-ada apa, ya?” Gadis itu mundur selangkah. Dia merasa terancam dan takut.

“Nggak, kami cuma mau minta keterangan aja. Ini mengenai kasus kematian mendiang Sofia.”

Setelah beberapa menit dibujuk, akhirnya gadis itu setuju. Namanya Cika. Dia mengaku sebagai teman sebangku Sofia.

“Jadi, apa yang tadi Mbak Cika bicarakan dengan Kenny? Maaf, kami nggak bermaksud lancang. Kalau obrolannya personal, Mbak bisa menolak menjawab, tapi kalau ada hubungannya dengan pembunuhan Sofia, tolong jawab jujur, Mbak,” pinta Adinata.

Cika menyatukan kedua tangannya di depan meja. Dia sangat gugup. Padahal dirinya tak ada hubungannya dengan kasus itu, tapi mau tak mau dia harus bicara. “Tadi-tadi saya sama Kenny cuma ngobrolin masalah Sean.

Kenny bilang dia nggak terima Sean bebas. Sebenarnya saya nggak deket-deket amat sama dia, tapi saya minta ketemu langsung buat nanyain kasus Sofia. Saya tanya ke Kenny siapa pelaku aslinya.”

Adinata mengernyit. “Terus dia jawab apa?”

“Dia bilang Sean.” Cika menggeleng. “Saya nggak tau itu bener apa nggak. Dia kayak kesel banget waktu Sean bebas.”

Adinata dan Pak Edi saling berpandangan. Mereka seolah berkomunikasi melalui tatapan. Kecurigaan pada Kenny semakin membesar saat mendengar penjelasan Cika.

“Ta-tapi, kayaknya bukan Sean,” lanjut Cika meski dirinya sedikit ragu. Dia merasa harus membantu polisi mengusut kasus ini.

“Kenapa?”

“Sean kan pacarnya Sofia. Dulu Sofia itu ngejar-ngejar Sean. Dia berusaha deketin Sean pake cara apapun. Tapi, waktu itu, yang suka sama Sofia bukan Sean, malah Kenny—which is temen deketnya Sean.

Dia sempet bilang kalau Sofia harusnya pacaran sama dia aja. Saya nggak tau dia bercanda apa nggak, tapi yang jelas waktu Sean akhirnya pacaran sama Sofia, hubungan Kenny dan Sean makin renggang. Jadi, saya pikir Kenny memang betulan suka sama Sofia.”

Adinata tercerahkan sekarang. Dia jadi tahu mengenai masalah percintaan ketiga orang itu. Namun, tetap belum ada bukti kalau Kenny yang membunuh Sofia.

Sean memang tertuduh, tapi sampai sekarang dia tak menunjukkan gelagat mencurigakan. Dia keluar rumah pun hanya untuk berlibur bersama keluarganya. Jadi, Adinata rasa pembebasan Sean sudah benar. Kini dia hanya tinggal menangkap pelaku sebenarnya.

•••

“Bang?”

Mata Sean yang masih setengah terpejam langsung terbuka ketika menyadari hadirnya seseorang di ruang tengah villa yang dia tempati. Ternyata Langga masih terjaga di depan televisi.

Lelaki muda itu mengucek matanya. “Papa nggak tidur?”

“Lagi liat bola. Kamu kok bangun?”

“Haus,” beonya singkat. “Jam berapa ini?”

“Jam 11. Sana tidur lagi, apa mau nonton bareng Papa?”

“Nggak, aku—”

Percakapan itu terhenti saat gelas kopi milik Langga mulai bergerak sendiri. Ditambah lagi lampu gantung yang ada tepat di atas kepalanya turut bergoyang. Langga dan Sean mulai panik menyadari bahaya yang mengancam.

“Bang, gempa!”
“Gempa, Pa!”

Tanpa membuang waktu, Langga bangkit seraya mendorong Sean mendekati pintu rumah. Matanya tertuju ke lantai dua tempat Jenny dan Jessica tidur. Saat itu, tubuh Langga gemetar sekaligus panik sekali. Dia ingin segera menyelamatkan anak serta istrinya.

“Kamu keluar sekarang, Bang!” titah Langga seraya berlari menuju tangga. “Cepetan!”

“Papa mau kemana?!” Sean berteriak panik.

“Jenny! Jessica!” Pertanyaan Sean tidak terjawab oleh Langga. Kakinya berlari secepat mungkin tidak peduli risikonya tergelincir anak tangga. “Shit!”

Semakin mendekati kamar Jenny dan Jessica yang berdekatan, ketakutan Langga sedikit berkurang melihat putrinya keluar dengan tunggang langgang. Gadis itu bahkan masih membawa guling ditangannya.

“Papa, kenapa, Pa?” Mata Jenny membelalak mendengar teriakan sang ayah. Dia terkejut menyadari kecepatan lari Langga yang mulai mendekatinya. “Ada ap—”

“Lari, Jen! Gempa! Cepet turun sama Sean sekarang!” teriak Langga, tidak sedikitpun menghentikan larinya.

“Papa—” Jenny tambah panik ketika Langga melewatinya begitu saja. Ayahnya itu bahkan tidak meliriknya sedikitpun. “Papa mau kemana? Turun, Pa! Bahaya!”

Namun, ocehan Jenny keluar begitu saja dari kepala Langga. Tujuannya masih tetap sama. Jessica. Istrinya itu pasti belum terbangun dan tidak sadar dengan adanya bencana ini. Hati Langga kembali kalut, dia takut Jessica terluka atau bahkan yang lebih parah Langga bisa kehilangan istrinya itu.

“Jess!” Begitu sampai di depan kamar Jessica, Langga membuka pintu dengan tergesa lantas bergegas masuk. Dugaannya benar, Jessica masih terlelap. Tubuhnya bahkan tidak bergerak meskipun Langga sudah berteriak. “Jess, wake up! Gempa!”

Karena kepanikannya, Langga menggoyang-goyangkan tubuh Jessica secara kasar. “Jess, cepet bangun! Ya Tuhan!”

“Hah?! Kenapa, Langga?” Jessica terbangun dengan sedikit kaget. Otaknya lambat memproses hal yang tengah terjadi. “Kenapa ini?!”

“Gempa! Ayo, turun!”

Langga menarik tangan Jessica begitu saja. Kekuatan gempa ternyata cukup kencang. Barang-barang yang ada di kamar Jessica juga terus bergerak tak beraturan. Langga dengan sigap merengkuh Jessica agar tidak terkena barang-barang yang hampir jatuh. Kedua tangan pria itu terangkat melindungi kepala sang istri.

“Tunggu, tunggu,” cegah Jessica. “Anak-anak, gimana? Mereka belum—”

“Mereka udah diluar.” Dia tidak lagi membiarkan Jessica mengoceh. Keselamatan perempuan itu adalah hal nomor satu sekarang. Langkah keduanya semakin cepat menuruni anak tangga.

Namun, ketika sampai ruang tengah, lampu gantung yang terus bergoyang-goyang akhirnya terjatuh. Menyadari adanya bahaya, Langga membawa tubuh Jessica menunduk. Beruntung, Jessica tidak terkena pecahan kaca berkat tubuh besar suaminya yang bak perisai.

“Kamu nggak papa?! Ada yang luka? Nggak kena pecahan kacanya, kan?”

“Aku… Aku nggak papa,” jawabnya dengan terbata.

Mereka berdua akhirnya dapat keluar menyusul putra putrinya. Di sana, Sean tengah memeluk Jenny yang menangis ketakutan. Terlebih masyarakat sekitar villa juga mulai berhamburan keluar. Ada pula yang berteriak tsunami, membuat suasana semakin kacau saja.

“Mama!” Jenny berlari memeluk ibunya begitu melihat wanita itu keluar. Sambil terisak, dia memohon. “Aku mau pulang, Ma. Aku takut banget.”

“Hei, nggak papa. Ini gempa biasa kok. Udah nggak papa.” Jessica berusaha menenangkan.

“Nggak mau! Aku mau pulang. Ini kalo beneran tsunami gimana, Ma?!”

Langga menghela napasnya. Putrinya itu memang gemar membuat drama baru. Pantas saja Sean suka menjahilinya. Jenny sangat mudah terserang panik.

•••

Jenny terus merengek ingin pulang. Langga sudah mencoba membujuk untuk pulang esok pagi, namun putrinya itu enggan menuruti. Jenny pikir, mereka akan mati apabila bertahan di villa itu lebih lama. Gadis itu terdistrak dengan lolongan masyarakat sekitar untuk segera menjauh dari bibir pantai.

Akhirnya mau tidak mau, Langga dan Jessica menyetujuinya. Satu jam setelah gempa mereda, mereka cepat-cepat berkemas. Tanpa menghiraukan keselamatan, Langga melajukan sendiri mobilnya. Sepanjang jalan, banyak masyarakat yang masih bertahan di luar rumah, takut terjadi gempa susulan.

“Lagian kita bisa pulang besok pagi. Gara-gara lo nih,” balas Sean dengan sengit ketika Jenny terus merengek. “Gue nggak bisa tidur nyenyak.”

“Kalo lo mau mati silakan aja, gue masih mau hidup, ya. Dan gue juga nggak mau mati dibawa tsunami.” Jenny mengeratkan bantal lehernya. Dia masih kesal karena sang kakak terus menyalahkannya.

“Adek!” peringat Jessica. “Nggak baik ngomong gitu. Sean itu kakak kamu loh.”

“I wish I didn’t have a brother like him.” Jenny mencebik. “Bast—”

“Sialan lo!” Sean menendang kaki adiknya dengan kasar. “Rasain!”

“Mama!”

“Cukup, cukup! Mama pusing dengerin kalian berantem terus!” Jessica beralih pada Langga yang fokus menyetir. Berharap suaminya mau bertindak sesuatu. Telahdewasa.com

Namun, Langga bergeming, wajahnya berubah pias selaras dengan laju mobil mereka yang melambat. “Bentar, Jess. Ini ada yang salah sama mobilnya.”

Jessica ikut gusar. “Kenapa, sih? Macet?”

“Nggak bisa dinyalain lagi.” Langga kembali mencoba menyalakan mobilnya. “Ck!”

“Hah? Macet, Pa? Nggak bisa jalan? Nggak bisa pulang?” Jenny merengek lagi.

Sean berdecak keras. “Bisa diem dulu nggak? Jangan bikin Papa tambah pusing!”

Melihat tidak ada tanda-tanda mobil mereka akan kembali pulih, Langga memilih mencoba cara lain. Dia meminta Jessica dan Sean mendorong mobilnya. Sementara Langga sendiri berusaha menyalakan mobil tersebut.

Namun, setelah beberapa saat di dorong, mobil itu tetap tidak dapat menyala. Langga sudah berusaha menghubungi Nathan, tetapi lelaki itu tidak bisa langsung datang karena masih tengah malam. Serta sialnya, mobil mereka mogok di area yang jauh dari pemukiman.

“Gimana, Pa? Aku mau pulang, nggak mau disini terus.” Jenny melirik sekitar yang benar-benar gelap. “Takut!”

“Tenang dulu, Dek. Sementara kalian tidur di mobil aja. Biar Papa sama Mama yang jaga,” timpal Jessica berusaha sabar.

Jenny menurut. Dia memilih mengatur posisinya untuk tidur, menyusul Sean yang sudah siap tertidur. Berbeda dari anak-anaknya, Langga dan Jessica memilih keluar dari mobil untuk mencari udara segar.

“Sorry, liburan kita jadi berantakan.” Langga menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Not a big deal, kemarin juga kita seneng-seneng. Lagian nggak ada yang tau bakal ada gempa juga.” Jessica menoleh ke arah suaminya. “Makasih udah jagain aku tadi.”

Lelaki 41 tahun itu ikut tersenyum, bahkan sedikit tertawa. “Kayak deja vu, waktu dulu tsunami tahun 2004.”

Ingatan Jessica memutar memori belasan tahun yang lalu. “Iya, ya. Waktu itu suasananya juga sama, masih pada panik. Takut air naik. Tapi hal yang paling aku inget sih waktu dulu nolong anak yang ada di atas masjid. Itu keajaiban menurutku. Kalo kamu gimana?”

“Memori yang paling aku inget?” Jessica mengangguk sebagai balasan. “Ketemu… a girl that I adore maybe?”

Jessica tidak membalas, menciptakan penasaran Langga. “Kamu nggak tanya siapa?”

Istrinya itu tertawa kecil. “Aku, kan?”

“Well, iya, sih.”

Bersambung…

Setelah tragedi gempa bumi yang membuat liburan keluarga Langga kacau, mereka berhasil tiba di rumah dengan selamat. Meskipun harus menunggu bantuan agak lama, tetapi berkat Nathan, masalah mereka dapat ditangani dengan baik.

Begitu sampai rumah, Langga memerintahkan anak-anak untuk istirahat seharian agar memulihkan tenaga. Terlebih Jenny akan kembali bersekolah, begitu juga Sean yang mendapat kabar dirinya dapat melanjutkan aktivitas belajarnya di sekolah.

“Papa,” panggil Jenny seraya memasuki kamar Langga membawa serta bonekanya. “Papa udah tidur?”

Mendengar suara sang putri, Langga yang mulanya masih berkutat dengan laptop memilih mengakhiri segala aktivitasnya. “Belum, Dek. Kenapa?”

“Aku mau tidur sama Papa, boleh? Dari tadi nggak bisa tidur terus,” terang Jenny.

“Sini, masuk.”

Pelan-pelan suara sandal berbulu Jenny memasuki kamar Langga. Gadis berpiyama pink itu merebahkan diri di ranjang, disusul sang ayah. Langga sedikit terkejut karena Jenny langsung masuk dalam pelukannya. Pegangan tangan gadis itu pada punggung Langga mengerat.

“Kenapa, hmm?” Langga membubuhkan kecupan singkat pada ujung kepala sang putri. “Masih takut?”

Suara Jenny teredam di dada sang ayah. “Aku kangen tidur sama Papa.”

Akibat percekcokan yang berakhir dengan keputusan cerai antara Langga dan Jessica, Jenny seperti kehilangan waktunya bersama sang ayah. Gadis itu dipaksa mengerti untuk ikut tinggal bersama Jessica dan meninggalkan Langga.

“Papa juga kangen tidur sama kamu. Udah lama ya, kapan terakhir kita tidur kayak gini?” Langga berusaha mengendalikan emosinya.

Jenny terdiam, saking lamanya, dia sendiri juga sudah lupa. “Apa cuma aku yang pengen kita tidur lagi bertiga sama Mama, Pa? Dulu kan, aku sering tidur di sini sama Mama Papa.”

“Jen—”

Putri Langga itu menggeleng kecil. “Aku baik-baik aja kok. Pas Papa Mama bilang mau pisah aku juga udah coba buat baik-baik aja. Tapi… tapi kadang aku kangen kita yang kayak gini. Jujur, aku pengen liat Mama sama Papa bareng terus.”

Pengakuan Jenny tidak pernah dia dengar sedari dulu. Langga pikir, Jenny baik-baik saja karena memang dia dan Jessica sepakat berpisah dengan baik-baik. Saat mengumumkan perihal perceraian ini, Jenny tidak mengatakan apapun. Itulah sebabnya selama ini Langga tidak mengetahui isi hati putrinya.

“Maafin Mama sama Papa, ya. Kamu maunya kita gimana, Dek?” Lelaki itu mencoba melihat wajah sang putri, namun Jenny selalu menyembunyikan wajahnya.

“Nggak gimana-gimana. Itu kan keputusan kalian, aku nggak boleh ikut campur,” kata gadis itu. “Aku juga minta maaf gara-gara ribut terus sama Sean.”

“Abang, Dek. Panggilnya abang dong,” koreksi Langga.

“Pokoknya walaupun aku sering ribut sama dia, aku tetep pengen kita terus sama-sama sampai…” Tangan kecil Jenny terangkat ke udara. “Selamanya?”

Hati Langga seperti teriris mendengar keinginan Jenny. Jika Langga berpikir kalau dirinya sudah mengabulkan setiap keinginan putrinya selama ini, maka jawabannya salah. Dia tidak bisa mengabulkan hal yang paling Jenny inginkan.

Seolah belum menemukan jawaban, Langga tetap diam. Sampai Jenny terlelap tidur, Langga masih merenungi segala keputusan yang dia buat. Perihal perceraiannya dengan Jessica, Langga harus meyakinkan istrinya itu sekali lagi. Setidaknya dia harus mencoba, bukan?

Sesaat, Langga mengamati wajah putrinya. Dia mengusap wajah itu, namun justru suhu tubuh Jenny yang meningkat membuatnya sedikit panik. Langga kembali memeriksa suhu tubuh Jenny guna memastikan anaknya itu demam atau tidak. Telahdewasa.com

“Dek, bangun dulu. Kamu demam.” Tangan Langga menepuk pipi lembut putrinya. “Jenny, bangun dulu. Papa panggilin Mama sekarang, ya?”

Saat Langga akan beranjak, tangan Jenny menahan jari telunjuknya. Tangan mungil itu menggenggam telunjuk Langga begitu erat. Seperti ketika Langga bertemu malaikat kecilnya itu pertama kali. Saat dunia Langga tambah berwarna setelah hadirnya Jenny ke dunia. Dia ingin menjadi pribadi yang baik untuk anak-anaknya.

•••

Jessica menghela napas. Seharusnya dia turut mengantar Jenny ke sekolah. Namun, karena kondisi anak bungsunya yang demam, dia hanya bisa mengantar Sean. Sebenarnya anak lelakinya itu menolak diantar, tapi Jessica tetap bersikukuh. Entahlah, dia merasa cemas, takut jika Sean akan mendapat masalah dihari pertamanya setelah bebas dari penjara.

Seusai mengantar Sean, Jessica bergegas pulang ke rumah. Hari ini dia absen mengunjungi mall demi bisa merawat putri kecilnya. Dia pun masuk ke dalam kamar Langga tanpa mengetuk pintu. Langga tadi sempat pamit pergi ke Airlangga Oleh-oleh—salah satu bisnis cendera mata yang dikelolanya.

Jessica kembali melabuhkan tangannya ke dahi Jenny. Masih panas. Padahal saat ini Jenny sudah di infus. Dokter keluarga Hianggio juga sudah memeriksanya tadi. Sebenarnya dokter itu bilang Jenny hanya kelelahan dan butuh istirahat lebih. Namun, Jessica tetap saja khawatir.

Dia memilih merebahkan diri di samping sang putri. Meskipun merasa tak nyaman karena ranjang itu dulunya pernah dia tiduri bersama Langga, Jessica tetap ingin memberi anaknya pelukan hangat. Berharap dengan itu, demam Jenny bisa turun.

“Jangan sakit, Jen. Mama sedih kalau kamu sakit,” bisik Jessica.

Lama kelamaan, dia malah tertidur saat asyik mengelus-elus rambut putrinya. Jessica terbangun pukul 12 siang. Saat berbalik hendak turun ranjang, dia malah dikejutkan dengan sang suami yang kini duduk di tepi tempat tidur.

“Astaga!” Jessica berseru tertahan. Dia melirik Jenny yang untungnya tidak terbangun. “Kamu ngapain, sih?”

Langga yang awalnya melamun, beralih menatap istrinya. Dia bahkan melupakan tubuhnya yang kini masih bertelanjang dada. Baru ketika Jessica menatap ke perutnya, Langga tersadar bahwa dia belum memakai baju.

“Ah, maaf.” Buru-buru Langga mengambil baju di lemari. “Tadi aku habis mandi.”

Tahu bahwa sang putri masih terlelap di kamarnya, Langga mandi dua kali. Tujuannya agar dia tak menyebarkan virus pada sang putri. Langga tidak berlebihan. Dari dulu dia selalu begitu. Jessica ingat, Langga selalu melarang Jenny memeluknya sampai dia selesai mandi.

“Demam Jenny udah turun.” Langga kembali ke hadapan Jessica. “Kamu belum makan, ya?”

“Lidahku nggak enak buat makan. Kamu duluan aja.”

Langga menghela napas. Namun, setelahnya dia tersenyum tipis. “Kamu nggak pernah berubah.” Dia menangkup pipi istrinya. “Jenny udah sembuh. Habis bangun nanti kita suruh dia makan bubur. Sekarang mumpung belum bangun, ayo kita makan dulu. Jangan terlalu cemas, Sayang.”

Mata Jessica sedikit membulat. Pipinya perlahan menghangat. Dia buru-buru melepaskan tangan Langga dari pipinya. “Ya-oke.” Dia pura-pura membenahi rambut. “Kamu-kamu turun dulu. Aku mau cuci muka sebentar.”

Senyum tipis Langga bertambah lebar. Jarang sekali dia menyaksikan Jessica yang gugup seperti ini. Hanya saat mereka pacaran dan awal-awal menikah saja. Ah, Langga jadi merindukan saat-saat itu.

“Kalo lima menit nggak turun, aku gendong paksa kamu!” ancamnya pura-pura. Jessica lantas merotasikan bola matanya sembari mendorong Langga keluar kamar.

“Sanaa!”

•••

Perasaan Jessica sedikit lega. Jenny sudah memakan bubur serta obatnya. Infusnya pun sudah dilepas. Keadaannya jauh lebih baik. Hanya saja, Jenny mengeluh masih lemas.

“Anggurnya enak nggak?” tanya Jessica.

Jenny hanya mengangguk. Mulutnya penuh dengan buah berwarna hijau itu. “Papa yang beliin loh, Dek.”

“Masa?”

“Iya.” Kembali Jessica mengangsurkan anggur kepada pasien imutnya. “Bilang apa sama Papa?”

“Makasih, Pa.”

Langga hanya tersenyum. Kini dia sedang mengurus beberapa pekerjaannya melalui laptop. Padahal Jessica sudah memintanya untuk bekerja di ruang kerjanya saja, tetapi pria berkaos itu memilih mengerjakan setiap tugasnya di kamar. Demi bisa mengawasi sang anak.

“Permisi, Bu, Pak?” Seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu.

“Masuk!”

“Bu, maaf ganggu. Itu Abang Sean udah pulang. Tapi mukanya luka-luka. Kayaknya habis kena pukul.”

Jessica berdiri. “Habis kena pukul?” Dia menghampiri sang ART. “Gimana bisa, Bu?”

“Nggak tau, Bu. Sekarang Abang udah di kamar. Waktu mau diobatin, dianya nggak mau keluar,” adu wanita baya itu. Dia teramat menyayangi Sean karena sejak pertama kali lahir, wanita itulah yang menjadi pengasuhnya.

“Ya, Tuhan.” Jessica berbalik menatap Langga yang sama cemasnya. “Kamu tolong jagain Jenny. Aku mau liat Sean dulu.”

Langga mengangguk. “Iya. Nanti aku nyusul juga.”

Setelahnya, Jessica mengambil alih nampan obat dan meminta asisten rumah tangganya untuk kembali ke dapur. Biar dia saja yang membujuk Sean. Dia pun mengetuk pintu kamar anak sulungnya.

“Mama tau kamu habis berantem. Ayo buka pintunya dulu, Bang.”

Tak ada jawaban. Terpaksa Jessica pun menggunakan kunci cadangan sebagai langkah terakhir. Begitu pintu terbuka, pandangan Jessica langsung jatuh pada ranjang. Sean tengah berbaring di sana seraya menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Jessica lantas segera menyibak selimut berwarna hitam itu.

“Abang!” Jessica berkacak pinggang. Dia kemudian memijat pelipisnya ketika melihat wajah anaknya babak belur. “Bangun, ayo!”

Sean mengalah. Dengan muka pasrah, dia pun bangkit dari tidurnya. “Mama ngapain, sih?”

“Kamu berantem?” Jessica tak acuh dengan pertanyaan Sean. “Hei, jawab.”

Sean tak mengatakan apapun, tapi wajah jengkelnya mengutarakan segalanya. Jessica menahan kesal. Padahal Sean baru saja kena kasus, tapi sekarang dia malah membuat masalah baru.

“Guru kamu tau?”

“Hmm.” Sean mengambil sebuah surat dari nakas di sampingnya. “Buat Mama.”

Jessica menghela napas. Ternyata itu surat pemanggilan wali murid. “Kamu tuh. Kenapa sih harus tonjok-tonjokan gini?”

Sean kembali menutup mulutnya. Jessica kemudian membolak balik wajah sang anak untuk memeriksa seberapa parah lukanya. “Banyak banget lebamnya, Bang. Astaga. Mama harus ngomong apa sama Papa kamu?”

“Paling cuma kena skors, Ma. Udah lah.” Sean mengangkat bahunya cuek. Lantas karena sikapnya ini, Jessica segera memukul bahunya. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Sean mengaduh.

“Kamu mah! Pokoknya Mama nggak mau tau. Kamu nggak boleh berantem kayak gini lagi.” Dia kembali berkacak pinggang. “Kamu baru masuk sekolah setelah kejadian itu, Bang. Harusnya kamu jaga sikap, dong!”

“Iya-iya.”

Jessica khusyuk mengoleskan salep pada lebam-lebam anaknya. Sesekali dia kembali mengomeli Sean. “Jenny baru aja sembuh. Kamu malah bikin luka baru.”

“Mereka yang mulai duluan, Ma.”

“Kenapa kamu ladenin? Emang mereka ngomong apa? Tentang kasus kamu?”

“Ada lah. Mama nggak perlu tau.”

“Besok Mama bisa tanya sama guru kamu.”

Sean berdecih. Dia kemudian mengalihkan topik pembicaraan. “Adek… udah sembuh, Ma?”

“Udah turun demamnya. Sekarang masih di kamarnya Papa. Kamu mau jenguk?”

“Cih, nggak mau.” Sean melipat tangannya.

Senyum Jessica sedikit terbit melihat sikap gengsi anak lelakinya. Dia pun mengacak-acak rambut Sean gemas. “Dasar gengsian!”

Bersambung…

Jessica menghentikan langkahnya sebelum memasuki ruang guru. Wanita berparas cantik itu lagi-lagi menetralkan napas. Dia tak bisa menutupi rasa gelisah diwajahnya.

Dilihatnya sang putra sulung yang mengekor di belakang. Sean tak terlihat merasa bersalah. Lelaki jangkung itu malah memasukan kedua tangannya ke saku celana dan menatap sang ibu dengan raut heran.

“Mama kenapa?”

Jessica memutar matanya malas. “Kamu itu mau dihukum. Harusnya tunjukkin kalau kamu nyesel. Bukan malah pasang muka tanpa dosa gitu, Bang.”

Bahu Sean terangkat. “Ayo, Ma.” Dia ingin sekali mengakhiri ini semua. “Nanti Mama telat, katanya mau kondangan tadi.”

Jessica lagi-lagi pasrah. Mereka kemudian diantar ke ruang bimbingan konseling oleh salah satu guru. Ternyata di sana sudah ada anak yang berkelahi dengan Sean beserta orang tuanya.

“Maaf, saya terlambat,” sesal Jessica. Dia lantas menjabat tangan wali kelas Sean dan orang tua siswa tadi.

“Nggak apa-apa, Bu Jessica. Kami juga baru sampai,” jawab Bu Guru Nisa.

Duduk dengan suasana menegangkan memang menjengkelkan. Sean tak suka atmosfer yang ada di ruangan itu. Apalagi ketika sang ibu meminta maaf dengan tulus pada rivalnya.

“Saya benar-benar minta maaf. Sean baru terkena kasus. Jadi, mungkin masih sensitif. Saya dengar dari Bu Nisa, anak saya yang mulai memukul duluan. Lain kali saya bakal nasehati Sean supaya kejadian kemarin nggak ke ulang lagi.”

Raut wajah siswa yang ditonjok Sean tidak mengenakkan. Dia malah tertunduk lesu. Seraya menyenggol lengan ibunya, siswa yang bernama Adit itu menyahuti Jessica. “Saya-saya juga minta maaf, Bu.”

Ibunya Adit turut melakukan hal yang sama. “Iya, Bu Jessica. Walaupun Sean yang mulai duluan, tapi anak saya juga bersalah. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Bu.”

Permasalahan ini memang tidak ingin diperpanjang kedua belah pihak. Jessica dan ibunya Adit sepakat untuk berdamai. Meski begitu, Adit dan Sean tak luput dari hukuman skorsing. Jessica tak mempermasalahkannya. Toh, itu hukuman yang harus Sean terima karena berbuat salah.

Saat keluar dari ruang guru, ibunya Adit menahan lengannya. Jessica sempat tersentak kaget. “Eh, kenapa, Bu?”

“Anu, maaf, Bu Jessica. Bisa kita bicara berdua dulu?” Dia melirik Sean.

Jessica mengangguk. Dia turut menatap anak sulungnya yang masih mengekorinya. “Bang, kamu ke mobil dulu sana.”

Sean tak habis pikir. “Ma, ngapain, sih?”

“Abang…”

Mau tak mau Sean pasrah. Dia pergi ke mobilnya usai berdecak keras. Jessica jadi geleng-geleng sendiri melihat kelakuan putranya. Setelah itu, Jessica dan orang tua Adit berbincang di kursi tunggu lobby sekolah.

“Saya dengar dari anak saya katanya Adit yang ngata-ngatain keluarganya Sean duluan. Saya beneran minta maaf ya, Bu. Saya menyesal banget. Anak saya memang nakal. Dari dulu sudah begitu. Tapi, untuk yang kali ini tolong maafin ya, Bu.”

Sebenarnya Jessica tak tahu mengapa orang tua Adit terus saja meminta maaf padanya. Padahal tadi di ruang guru pun mereka sudah sepakat berdamai.

“Ibu kenapa cemas? Saya udah maafin anak ibu. Anak saya juga salah. Ibu nggak perlu minta maaf terus,” ujar Jessica lembut.

Ibunya Adit menggeleng. “Saya takut banget anak saya masuk penjara. Setelah tau kalau Sean itu cucunya Pak Liem Hianggio, saya khawatir anak saya bakal dipolisikan. Adit juga takut, Bu. Dia terus-terusan bilang kalau dia nyesel udah ngata-ngatain keluarga Ibu. Jadi, maaf ya, Bu.”

Kini giliran Jessica yang menggeleng. “Ah, nggak, Bu. Saya nggak akan bertindak berlebihan begitu. Kita tahu kalau anak kita sama-sama salah. Cukup nasehati aja di rumah. Yang penting juga kan, Adit udah menyesali tindakannya, Bu.”

Ibunya Adit mengangguk. Dia mulai bisa bernapas lega. Sungguh hatinya tak tenang sejak kemarin karena kasus putranya bersinggungan langsung dengan cucu pejabat. Stigma tentang banyaknya perlakuan sewenang-wenang para pejabat membuatnya dirundung ketakutan. Namun, kini dia tak lagi takut. Ibunya Adit berharap Jessica bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.

•••

Langga berusaha menetralkan wajahnya agar tidak terlalu terpesona pada keanggunan sang istri. Berulang kali, Jessica menangkap tatapan Langga yang mengarah padanya secara terang-terangan. Jessica jadi merasa aneh, padahal dia sudah mengandalkan Grace guna mendandaninya khusus untuk acara ini.

“Ada yang salah? Make up aku ketebelan?” Akhirnya Jessica mengutarakan kegundahan hatinya.

Mereka baru saja sampai di sebuah aula milik kampus swasta tempat acara pernikahan Roy, teman dekat Langga, diselenggarakan. Ini pernikahannya yang ketiga, dan Langga menjadi tamu VIP pada acara malam ini. Mulanya Roy menawari untuk menjadi groomsmen, namun Langga merasa sudah terlalu tua untuk ikut hal-hal semacam itu.

“More than gorgeous kayaknya deh.” Lelaki itu menarik pinggang sang istri mendekat. “Perfect, seperti biasa.”

Jessica memutar matanya malas, tapi tak menampik sedikit senyumnya yang keluar malu-malu. Mereka memasuki aula yang sudah disulap dengan megah. Mata Jessica langsung tertuju pada Shopie, teman dekatnya yang juga diundang Roy. Sejatinya, Shopie ini merupakan sepupu dari Roy.

“Shopie!” Wanita itu melambaikan tangan seolah menunjukan handbag Amato Daniele miliknya. Tetapi saat sudah berada di dekat sang sahabat, wajah Jessica berubah terkejut. “What the—”

“Eitss, nggak boleh ngumpat. Ada anakku.” Shopie memeluk sekejap Jessica. “Kenapa muka kamu kaget kayak gitu?”

“Hidung kamu berubah!” Mata Jessica terus melotot lucu. Alhasil, Langga terkekeh kecil. “Kamu oplas, kan?”

“Made in Korea,” balasnya dengan bangga. “Bagus nggak?”

Raut wajah Jessica berubah kesal. “Kok kamu nggak bilang ke aku, sih?”

Melihat sang sahabat yang kesal, Shopie melirik Langga dengan tajam. “Aku udah kasih tau kamu bulan lalu, lho! Kamu aja yang lupa, malah nangis-nangis ditelepon. Bilang mau cerai dari Langga lah, nggak bisa hidup tanpa Langga lah, berasa paling menderita kan kamu?”

Mendengar namanya dibawa-bawa, Langga menaikan alis. Dia tidak tahu Jessica sempat menangis begitu hebat hingga mencurahkan perasaannya pada Shopie. Sekarang, Langga malah terhibur dengan wajah Jessica yang memerah malu.

“Nggak ada, ya!”

“Halah, aku juga udah tau ujungnya. Pasti kalian balik lagi, kan?” Shopie menepuk pundak Langga. “Temenku ini nggak bisa hidup tanpa kamu, Langga. Gengsi aja minta cerai, padahal mah—”

“Shopie!” Jessica menarik jas sang suami mendekat padanya. Seolah tidak rela Shopie menyentuh orang terkasihnya. “Jangan dengerin orang gila ini, Langga.”

“Well, aku sih seneng kalian rujuk. Lagian, mana ada laki-laki yang mau sama janda yang udah mau menopause kayak kamu, Jess? Cuma Langga doang.”

Shopie bisa dibilang sebagai orang yang menyaksikan perkembangan rumah tangga Langga dan Jessica dari awal hingga saat ini. Wanita itu sering menjadi tempat curhat Jessica tentang naik turunnya kehidupan rumah tangganya.

“Thank you udah dengerin Jessica waktu kami lagi down. I owe you, Shopie.”

Shopie mengangkat gelas berisi minuman beralkohol miliknya. “Ah, kayak sama siapa aja. By the way, gih temuin Roy. Lagi kesenengan tuh habis nikahin ABG.”

Setelah mengatakan itu, Shopie berlalu seraya menggandeng anaknya yang baru berusia 10 tahun. Kini, tersisa Langga dan Jessica yang tenggelam dalam hening. Jessica masih menghindari tatapan Langga yang seakan-akan meledeknya terus menerus.

“Yuk, temuin Roy,” usul Jessica.

Sebelum mulai berjalan, lengan wanita itu ditahan sang suami. Langga mendekatkan wajahnya pada jari-jari Jessica. “Kamu pake cincin nikah kita lagi?”

“Hah?” Jessica berusaha melepaskan cekalan Langga. “Itu… tadi cocok aja sama bajuku. Emang kenapa? Kamu nggak pake?”

Kepala Langga terangkat kemudian menjunjung tangannya setinggi dagu. “Aku nggak pernah lepas.”
1

•••

Jessica tidak tahu ada apa dengan Langga belakangan ini. Mulai dari memintanya rujuk, hingga sering melakukan hal yang tidak terduga. Baru-baru ini Langga juga lebih sering menggodanya, bahkan memberikan sentuhan-sentuhan kecil yang membuat Jessica sedikit goyah.

Bukan, Jessica bukan tidak ingin rujuk. Dia hanya takut Langga main-main, tidak serius dengan ajakan rujuknya. Lagipula sidang mereka beberapa kali ditunda karena masalah Sean. Anehnya Langga seolah diam, tidak melakukan apapun terkait masalah itu.

“Udah tanya kabar Adek ke Sean?” Jessica serentak menoleh pada Langga yang fokus menyetir. “Demamnya udah bener-bener turun?” Telahdewasa.com

“Iya, tadi aku udah chat Sean sama Mbak di rumah. Katanya Jenny tidur habis nonton TV di kamarnya.”

Langga menganggukkan kepalanya. “Kemarin dia sedikit curhat sama aku. Lebih ke perasaan dia pas kita mau pisah, sih. Ya, mungkin efek demam itu juga makanya dia jadi manja dan blak-blakan ke aku.”

Mata Jessica mengedip cepat. “Dia ngomong apa?” tanyanya pelan.

“Adek kangen kita yang dulu.” Langga memutar setirnya ke kanan. “She said, walaupun dia baik-baik aja waktu kita bilang mau pisah, tapi sebenernya Adek juga sedih banget. Cuma nggak enak bilangnya ke kita.”

Pengakuan Langga sedikit menyentak perasaan Jessica. Dia merasa egois. Putra putrinya menjadi korban karena keputusannya dan Langga yang terburu-buru. Jessica akui, sesungguhnya masalahnya dan Langga bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan dengan kepala dingin. Namun, karena intensitas pertengkaran mereka yang terlalu sering, membuat Jessica merasa tidak kuat.

Menyaksikan istrinya yang terdiam, Langga sedikit tidak enak hati. “Kamu ngerasa bersalah, Jess? Aku juga sama. Waktu itu aku langsung ngerasa jadi orang tua yang paling jahat. Kalo dipikir lagi, kita terlalu sibuk kerja. Sampai rumah, terus ribut. Kita sama-sama keras kepala, sampe nggak sadar dampaknya buat anak-anak.”

Kini Jessica memutar-mutar cincin pernikahannya dengan sang suami, perhiasan favoritnya. Dari semalam, Jessica tidak bisa tidur merenungkan kembali keputusannya. “Apa kita nggak seharusnya cerai?”

“Gini aja Jess, aku nggak mau memaksakan kamu. Gimana kalo kita coba sekali lagi?” Tepat ketika lampu lalu lintas berubah merah, Langga menepikan mobilnya. Tubuhnya dia serongkan ke arah Jessica. “Kasih kesempatan buat hubungan kita. Atau mungkin, kita bisa konseling pernikahan sama-sama. Apapun aku lakuin asal selalu bareng kamu.”

Jessica tidak tahu bahwa Langga akan sesabar ini menghadapinya. Dahulu, mereka sering berdebat karena permasalahan sepele yang tidak berujung. Kala Jessica marah, Langga akan menimpalinya dengan amarah juga. Kini, sosok dihadapan Jessica seperti bukan suaminya yang dulu.

“Nggak usah dipikirin sekarang juga nggak papa, Jess.” Langga terkekeh lalu mencubit pipi istrinya. “Omong-omong kamu beneran mau menopause?”

Tangan Langga langsung Jessica tepis ketika mendengar pertanyaan konyolnya. “Nggak ya, aku masih muda!”

Tawa Langga mengular. “Udah tua pun aku tetep suka kok.”

Jessica buru-buru memalingkan wajah kemudian merogoh ponselnya dalam handbag. Wanita itu mengutak-atik ponselnya hingga memunculkan penasaran dari Langga. “Ada masalah? Kamu lagi ngapain, sih?”

“Bilang Grace buat cabut gugatan di pengadilan.” Jessica menangkup wajah tampan sang suami. “Walaupun aku udah menopause, kamu nggak akan bisa lepas dari aku ya, Langga!”

Jessica ini benar-benar! Selalu saja membuat Langga gemas sendiri. Kali ini dia harus menahan diri agar tidak membanting setir menuju hotel terdekat dan mengoyak seluruh riasan sang istri tanpa ampun.

Bersambung…

“Aduh, hati-hati, Mbak.”

Jenny tetap tidak menggubris. Gadis 15 tahun itu masih berusaha menyeimbangkan tubuhnya di atas sepatu roda yang baru kakeknya berikan. Sabtu pagi, sesungguhnya Jenny ada kelas piano. Tetapi bungsu dari dua bersaudara itu menyempatkan untuk bangun pagi buta hanya agar dapat mencoba sepatu rodanya.

“Jangan pegangin aku, Mbak Mimi mundur sampe sana!” titah Jenny pada pengasuhnya. “Ini udah bisa!”

“Tapi itu—”

“Sst!”

Kembali Jenny berjalan sedikit demi sedikit menyusuri halaman depan kediamannya. Bukan tanpa alasan, Jenny ingin memamerkan skill terbarunya pada teman-teman sekolahnya. Belum lagi sepatu roda berwarna pink keluaran terbaru miliknya. Gadis itu tidak sabar untuk segera menunjukannya.

“Loh, Adek! Kamu lagi ngapain?” Jessica tiba-tiba hadir dengan blazer batik serta rambut yang digerai cantik. Tidak lupa, Grace setia mengikuti dari belakangnya.

“Lagi belajar pake sepatu roda, Ma. Tapi Mbak Mimi ganggu terus tuh,” adunya macam anak kecil.

Jessica melirik pengasuh Jenny yang tampak gelagapan. Napasnya berhembus berat. “Dek, kamu kan belum jago pake sepatu roda. Kalo jatuh gimana?”

“Udah jago kok, Mama nggak liat aku bisa jalan nih?”

Meskipun menyaksikan sendiri kepiawaian sang putri, Jessica tetap menggeleng. “Kamu baru sembuh loh. Kalo tetep mau belajar pake sepatu roda, harus pake helm pengaman sama sarung tangan. Atau perlu Mama cariin pelatih khusus?”

Jenny mencebik. “Nggak usah lah, Ma! Aku diajarin Papa aja.”

Jessica membenahi anting berlian di telinganya. “Ya udah terserah kamu. Mama mau pergi ya, ada seminar kewirausahaan dan Mama jadi pembicara. Catch you later, Darl.”

Melihat kepergian sang ibu, Jenny mengurungkan niatnya untuk melanjutkan belajar. Sang ayah pun juga tengah pergi entah kemana bersama kakeknya. Akhirnya, Jenny memilih untuk belajar sendiri sambil menunggu Langga pulang.

“Mbak Mimi,” panggilnya membuat sang pengasuh mendekat. “Helm pengamanku yang dipake buat sepedaan dimana?”

“Di gudang, Mbak. Kan udah lama Mbak Jenny nggak pake.”

“Ya udah, tolong ambilin dong.” Gadis itu kembali berpikir. “Sama sarung tangan, carinya dimana?

“Sarung tangan mah Abang Sean juga ada, Mbak. Kan waktu itu dibelikan Bi Lula. Minta aja sama Bang Sean, Mbak.”

Setelah paham, Jenny bergegas melepas sepatu rodanya lalu berlari menuju kamar sang kakak. Begitu sampai di lantai dua, Jenny menyadari keberadaan Bobo, kucing Jessica, di depan kamar Sean. Jenny langsung panik dan segera mengusir Bobo dari dekat kamar pewaris Hianggio itu.

“Hush! Hush!” Selepas pergi, lantas Jenny mengetuk pintu kamar Sean dengan pelan. “Sean?”

Sean keluar juga. “Kenapa? Ganggu banget.”

Tangan Jenny menengadah. “Pinjem sarung tangan lo.”

“Sarung tangan? Buat apa?” Alis Sean terangkat.

“Kata Mama harus pake sarung tangan, baru boleh main sepatu roda. Udah, cepet mana sarung tangan lo?”

Bukannya mengambil apa yang Jenny minta, Sean justru menatap adiknya itu tajam. Pupil mata Sean membesar, sangat mengintimidasi Jenny. Hingga membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. Telahdewasa.com

“Nggak ada!”

Pintu kamar Sean hampir saja tertutup jika saja Jenny tidak sigap menahannya. “Loh, Mbak Mimi bilang lo baru dibeliin sama Bi Lula. Masa nggak ada, nggak usah bohongin gue, ya!”

“Udah kotor, kena sesuatu. Makanya gue buang,” jawab Sean cepat.

“Kok bisa?”

“Bawel banget sih, nggak usah kepo. Lagian lo ngapain masih main sepatu roda kayak begitu? Dasar bocil!”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Sean langsung masuk ke dalam kamarnya. Bahkan lelaki itu mengunci pintunya dari dalam. Hal itu membuat Jenny jengkel dan sedikit bingung. Kenapa kakaknya begitu misterius, sih? Jenny semakin tidak menyukai kepribadian Sean.

•••

Malam ini Jessica dan Langga sepakat ingin mengumumkan keputusan mereka untuk rujuk. Langga sudah meminta sang ayah untuk tidak masuk ruang kerjanya dulu setelah makan malam. Begitu pula anak-anaknya.

“Pa, aku dan Jessica sepakat buat rujuk. Kami mau coba memperbaiki pernikahan kami.” Airlangga menegakkan duduknya ketika bersitatap dengan sang ayah.

Liem hanya mengamati putranya dengan pandangan datar. Seolah tidak mendengar keputusan besar yang diambil pewaris kekayaannya itu. “Hmmm. Dari kemarin Papa juga udah firasat, pasti balikan. Kalian ini udah tua, masih aja labil. Kan waktu itu Papa udah bilang, nggak usah cerai-cerai gitu. Balik lagi akhirnya, ‘kan? Buang-buang waktu.”

Liem pergi begitu saja. Meninggalkan Langga yang melongo karena sang ayah tak mau mendengar penjelasannya. Padahal sebenarnya keputusan cerai kemarin diambil dengan pikiran matang. Hanya saja, ternyata cinta antara Langga dan Jessica mampu membuat mereka kembali memikirkan keputusan itu. Langga sungguh menolak dikatai labil oleh ayahnya.

“Kalian gimana…? Seneng?” Jessica mengabaikan kepergian mertuanya, lantas fokus pada kedua buah hatinya.

Sean hanya diam. Sementara Jenny tersenyum. Gadis itu kemudian memeluk sang ayah. “Aku seneng, soalnya bisa tinggal sama Papa lagi.”

“Maafin Papa sama Mama ya, Sayang. Keputusan kami yang dulu pasti bikin kamu sedih.” Langga mengusap rambut wangi anaknya.

“Nggak apa, yang penting kan sekarang kalian udah balik lagi.” Gadis centil itu melirik sang kakak. “Sean juga pasti seneng kok.”

Sean melirik cepat. “Sok tau lo!”

“Abang nggak seneng?” tanya Jessica takut-takut.

Sean hanya mengangkat bahu. Entah apa yang dipikirkan anak lelaki itu, yang jelas Jessica amat berharap kalau kedua anaknya bisa menerima keputusan ini dengan senang hati. Dia pun tersenyum. “Tanggal 10 libur, ‘kan? Mama mau booking studio foto. Kita photoshoot, yuk!”

“Ckk, Ma,” keluh Sean. Foto studio itu bukan gaya Sean sekali. Dia pasti akan disuruh ini dan itu oleh sang ibu.

“Yeayyyy! I love your idea, Ma!” Jenny memekik senang. “Udah lama banget kita nggak foto studio!”

“Ya, ‘kan? Terakhir kali waktu Kakek kamu dilantik.” Senyum cantik Jessica masih belum pudar. “Nanti Mama pilih temanya. Kalian tinggal siap-siap aja.”

Perbincangan mengenai foto studio usai. Kini saatnya beristirahat. Jessica bersenandung kecil sambil menaiki tangga hendak pergi ke kamarnya. Dia tak bisa berbohong, suasana hatinya sedang sangat senang. Keluarganya kembali utuh, permasalahan Sean juga terselesaikan. Semua benar-benar kembali ke tempat semula.

Sebelum masuk ke kamar, Jessica merapikan rambut terlebih dahulu. Kemudian dia mengetuk pintu. Menunggu seseorang yang istimewa membuka pintunya. Jessica memiringkan kepalanya sambil tersenyum ketika Langga membuka pintu.

Langga membalas senyum itu. Dia pun merentangkan tangannya. Tak banyak berpikir, Jessica segera melompat ke dekapan suami tercinta. Ah, sudah berapa lama mereka tak saling memeluk seperti ini?

“Welcome home, Jess.”

Jessica sadar bahwa tempatnya memang di sini. Bersama Langga. Kamar ini bukan hanya sekadar kamar baginya, melainkan tempat untuk hatinya pulang. Sekarang dia merasa semuanya sudah benar. Inilah yang dibutuhkan Jessica. Hanya dengan kehangatan pelukan Langga, hatinya menjadi tenang.

“I love you.”

•••

Kepala Sean terantuk jendela mobil lagi. Ya, lagi. Perjalanan ke studio foto ternyata cukup panjang. Mungkin itu sebabnya tadi Jessica sudah geger meminta semua orang untuk bangun.

Kini dengan perasaan jengkel, Sean kembali membenarkan letak bantal lehernya. Dia sedikit melirik sang adik yang tengah bercermin ria. Wajah Jenny yang tidak berhenti tersenyum membuatnya memutar bola mata malas.

“Ngaca mulu,” gumamnya. Sean pikir Jenny tidak dengar.

“Biarin.”

Langga geleng-geleng kepala. Dia kemudian kembali menatap pemandangan depan. Semua masih gelap gulita. Jessica memang keterlaluan, bisa-bisanya dia memaksa semua orang bangun pukul 3 pagi dengan alasan proses make up yang lama. Padahal yang lama hanya untuk Jessica dan Jenny.

Setelah sampai di studio, mereka bergegas dirias. Semua peralatan fotografi sudah disiapkan. Dari mulai setting tempat, gaun, sampai penata rias, semua sudah sempurna. Tak heran jika biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit.

“Hmm, you look good. Jasnya cocok buat kamu,” komentar Langga pada Sean. Sudah satu jam mereka ada di studio dan yang sudah siap hanya Langga dan Sean saja. Untuk Jessica dan Jenny, hanya Tuhan yang tahu.

“Mama lama banget, sih.” Sean tak memedulikan pujian ayahnya. Di kepalanya saat ini hanya ada kasur. Sean ingin tidur.

“Sabar, Bang. Perempuan kan emang lama dandannya.”

Sean berdecak, tapi tidak protes. Dia terus menunggu hingga tiba gilirannya dipotret. Ternyata setiap orang juga mendapat jatah untuk foto sendirian. Langga dan Sean jadi orang pertama yang difoto karena sudah siap duluan.

Tak berapa lama, Jenny memasuki set pemotretan. Gadis cilik itu terlihat lebih dewasa daripada tampilan biasanya. Sean berdecih ringan ketika Jenny berputar-putar di hadapannya memamerkan gaun putih yang dikenakannya.

“Cantik, ‘kan gue?”

“Nggak.”

“Bohong! Papa aja bilang pangling. Tinggal ngaku apa susahnya, sih?”

Sean geleng-geleng. Dia memilih beranjak duduk bersama Langga daripada berdebat dengan adiknya. Langga tersenyum ketika sang sulung mendekat. “Adek cantik kan, Bang?”

Tentu saja Sean bungkam. Dia memilih membuka ponselnya. Hal itu membuat Langga meninju kecil lengan Sean. Padahal tidak ada salahnya jika sang sulung memuji si bungsu.

“Oke, semua siap, ya?” Jessica datang ditemani beberapa kru yang memegangi gaun putihnya yang panjang.

Tema photoshoot kali ini memang sengaja ingin layaknya wedding anniversary. Jessica ingin momen rujuk antara dirinya dan Langga dirayakan dengan manis. Jadilah, dia memilih tema yang ini. Dia ingin kembali mengenakan gaun pengantin agar terasa seperti mereka sedang menikah lagi.

“Mama cantik banget.” Jenny berlari kecil menghampiri sang ibu. Jessica jadi tersipu. Dia turut memuji anak bungsunya yang cantik bak putri kerajaan.

Sesi foto berlangsung lama. Pertama-tama Langga dan Jessica berfoto berdua. Mereka tampak mesra seperti pengantin baru. Pose awal, Jessica duduk di kursi sementara Langga berdiri di sebelahnya.

Dilanjutkan dengan mereka berdiri berdampingan seraya bergandeng tangan. Tersenyum cerah ke kamera. Jessica memang meminta pada sang fotografer untuk tidak mengarahkan mereka bergaya yang aneh-aneh. Jessica sadar usianya dan Langga sudah tidak muda lagi.

Kini tinggal foto bersama. Sang fotografer mengarahkan Jenny dan Sean untuk berdiri diantara ayah dan ibunya yang duduk di sofa mewah. Mereka diminta untuk berpose elegan tanpa senyum.

“Nah, sekarang pake senyum, ya. Ini pose terakhir.” Tangan fotografer itu melambai-lambai mengarahkan. “Masnya bisa lebih deket lagi? Nah, iya, iya gitu. Senyumnya jangan lupa.”

“Satu… dua…. tiga…”

Perfect.

Bersambung…

Jessica celingak-celinguk mencari suaminya. Di kamar tidak ada, di ruang kerja juga tidak ada. Padahal biasanya jika sudah memasuki jam 9 malam seperti ini, Langga hanya akan berada dikedua tempat itu saja. Dalam perjalanan menuruni tangga, Jessica berpapasan dengan Jenny. Muka putrinya kesal. Pasti dia habis berurusan dengan Sean.

“Kali ini kenapa?” Jessica tak perlu repot-repot bertanya siapa orang yang bertanggung jawab terhadap cemberutnya Jenny.

“Sean duluan!” Jenny berjalan ke kamarnya dengan langkah keras. Meninggalkan Jessica yang terheran-heran.

Dia pun akhirnya turun ke ruang keluarga. Ternyata di sanalah suaminya berada. Bersama dengan Sean yang juga tengah menikmati camilan. Jessica mendekat dan duduk di samping Langga.

“Kamu apain Adekmu, Bang?”

Sean bergeming. Jessica kemudian melirik suaminya. Alisnya terangkat untuk menanyakan apa yang terjadi.

“Sean ganti channel TV. Padahal tadi Jenny lagi nonton drama China.”

Jessica menyandarkan diri ke sandaran sofa disertai helaan napas kesal. “Padahal Jenny bisa nonton di kamarnya. Kita kan udah kasih dia TV.”

“Tau tuh. Dasar anak manja!” Sean berapi-api kalau orang tuanya mengungkit sikap kekanak-kanakan Jenny.

“Abang juga jangan gitu, dong.” Meskipun tidak membenarkan perilaku Jenny, Jessica tidak suka mendengar Sean mengejek putrinya.

Sean hanya berdecak. Dia terus mengganti-ganti channel TV sampai berhenti pada satu acara berita yang menarik baginya. Itu adalah berita mengenai terbengkalainya kasus pembunuhan Sofia. Semua sontak terdiam.

Jessica dan Langga was-was. Kenapa juga Sean malah menikmati acara berita itu? Kenapa dia tak mengganti channelnya? Dibenak Jessica, sepertinya Sean sudah berdamai dengan kasusnya. Dia mungkin juga penasaran siapa pembunuh asli Sofia.

“Kasusnya viral, jadi pasti akan dicari terus pembunuhnya sampai ketemu,” celetuk Langga.

Jessica mengangguk. “Kayaknya kasus ini sulit. Mereka harusnya bisa nangkap pembunuhnya sekarang. Ini udah berbulan-bulan semenjak kasus itu terjadi.”

“Kamu bener,” gumam Langga. “Pembunuhnya pasti cerdik. Kalau nggak ada bukti-bukti untuk menangkap pelaku, berarti kemungkinan pembunuhannya udah direncanakan.”

Alis Jessica mengerut cemas. Dia melirik Sean yang masih diam sejak tadi. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Jessica pun berinisiatif bertanya. “Bang, kamu yakin nggak tau siapa pembunuhnya? Kalau tau, coba kasih tau Mama.”

“Aku nggak tau,” jawab Sean spontan dengan nada dan ekspresi yang datar. “Mungkin seseorang yang deket sama dia.”

“Deket sama Sofia?” Jessica semakin bingung. “Tapi, siapa? Apa ada kemungkinan temen kamu pelakunya?”

Sean hanya mengangkat bahu dan berlalu. Meninggalkan kedua orang tuanya yang masih kebingungan. Apa sebenarnya maksud Sean?

“Aku ngerasa Sean tau sesuatu.” Langga bangkit dari sandaran sofa. Dia meletakkan satu tangannya ke bawah dagu. “Gimana kalau pelakunya bener temennya Sean?”

“Tapi kenapa dia nggak mau ngomong? Harusnya dia bantuin polisi untuk nemuin pelaku, ‘kan?”

“Kamu lupa? Sean aja ngaku sebagai pembunuhnya, padahal sebenarnya bukan.” Langga kini menyatukan tangan. “Sean kayaknya nggak mau bantuin polisi.”

“Terus apa pembunuhnya tau kalau Abang mungkin tau sesuatu? Gimana kalau dia mau nyakitin Abang? Astaga. Dia kan masih buron, Langga!” Tiba-tiba saja Jessica takut. Dia menyesal, kenapa baru kepikiran mengenai ini sekarang.

“Huss, apa, sih. Jangan mikir yang negatif.” Langga bergeser untuk merangkul sang istri. “Yakin aja, Sean nggak bakal kenapa-kenapa. Kan ada kita yang jagain dia.”

“Mulai sekarang, kalau Abang kemana-mana, pokoknya harus ada yang jagain. Kalau perlu kita sewa bodyguard buat dia.” Jessica menyentuh paha Langga. “Abang nggak boleh sendirian.”

“Iya, Sayang. Tenang aja.”

•••

Sean merasa dijebak. Hari ini Liem memerintahkannya untuk berpakaian serapi mungkin. Pria tua itu bilang, mereka hanya akan menghadiri acara salah seorang kerabat. Nyatanya, Sean harus ikut menemani Liem dan Langga mengunjungi festival raya guna memperingati hari jadi daerah yang dipimpin oleh kakeknya tersebut.

“Lepas jam tangan kamu, Se,” ucap Liem kala mobil mereka baru saja berhenti di tempat acara berlangsung. “Jangan pake apapun yang mencolok. Kita harus tampil sederhana.”

Sean masih kesal, jadi dia enggan menuruti kakeknya. “Nggak mau. Jam tangan ini Mama yang kasih.”

“Lepas dulu apa nggak bisa? Banyak wartawan yang nyorot kamu nanti loh. Opa nggak mau kamu bikin skandal murahan lagi, ya.”

Guna menghindari pertengkaran yang lebih besar, Langga berinisiatif melepaskan jam tangan Sean yang seharga 1 buah mobil. Dia sadar putranya itu pasti merasa dibohongi. Sebenarnya membawa Sean ke acara ini bertujuan agar Liem bisa mendapatkan simpati publik sekaligus membersihkan nama keluarga mereka.

Walaupun waktu itu telah diadakan konferensi pers, beberapa orang masih meragukan kredibilitas keluarga Hianggio. Dari penuturan Nathan, media sosial yang masih menghujat keluarga mereka kebanyakan berasal dari aplikasi X.

“Pa!” Sean melayangkan protesnya. Namun tetap tidak Langga hiraukan.

“Udah mau turun, Bang. Nggak baik berantem sama Opa sekarang. Kendalikan diri kamu.”

Begitu keluar dari mobil, kamera wartawan langsung menyorot pada Liem serta Sean. Beberapa dari mereka berusaha menanyai Sean perihal kasus pembunuhan yang menimpanya.

Bodyguard Liem sigap mengamankan mereka memasuki gedung acara festival berlangsung. Mereka pun disambut pejabat tinggi yang Sean tak tahu namanya. Namun, para orang-orang tua itu justru bersikap sok ramah padanya. Sungguh, kalau bukan karena ayahnya, Sean pasti sudah minggat dari sana.

Sean duduk dibarisan paling depan, tepatnya berada di tengah-tengah Liem dan Langga. Berbagai pertunjukan ditampilkan guna menghibur sang gubernur. Kebanyakan penampil berasal dari kalangan pelajar.

Hampir 3 jam duduk, Sean akhirnya dapat bernapas lega setelah acara berakhir. Mereka kembali dikawal menuju area depan gedung. Namun, penderitaan Sean belum berakhir sampai disitu. Di sana, para wartawan sudah bersiap dengan kamera mereka.

“Pak Liem, bagaimana tanggapannya terkait kasus yang menimpa cucu Bapak?”

“Bagaimana perasaan Bapak terkait tuduhan pembunuhan terhadap cucu Bapak?”

“Dampak apa yang Bapak rasakan mengenai kasus kemarin, Pak?”

Suara mereka bersahutan. Liem justru tetap tenang serta menampilkan senyum tipisnya. “Nggak ada tanggapan apapun. Kasus kemarin cukup buat saya dan keluarga terguncang. Apalagi cucu saya ini nggak pernah neko-neko, dia juga berprestasi di sekolah. Saya aja nggak habis pikir ada orang yang mau menjerumuskan Sean ke hal yang nggak benar.”

“Menurut kabar, cucu Bapak sama sekali nggak terlibat pembunuhan, Pak?”

Kakek tua itu mengangguk, lantas merangkul Sean kuat-kuat. “Iya, jelas. Sean itu bersih, kalo ada yang masih menjelekkan dia, berarti mungkin orang itu nggak suka sama saya. Saya sih nggak masalah, walaupun nama baik saya sebenarnya tercemar gara-gara ini.”

Wartawan lain kembali bertanya. “Apa Bapak mau menuntut balik pihak kepolisian? Kabarnya mereka salah menangkap pelaku kan, Pak?”

Tentu saja pertanyaan itu membuat Sean mengernyit bingung. Jadi selama ini, kabar yang berhembus mengira Sean adalah korban salah tangkap? Padahal kan Sean sendiri yang mengakui dirinya pembunuh.

“Ah, nggak. Biarkan pihak polisi yang mengusut kasus ini. Hati saya bener-bener kecewa, tapi saya tetap memilih diam. Terbukti kan sekarang, cucu saya nggak pernah membunuh siapapun.”

Para wartawan itu mengangguk-angguk. “Jadi apa langkah Bapak selanjutnya?”

“Hmm, nggak ada rencana. Saya hanya ingin fokus bekerja untuk masyarakat. Dibantu Sean, cucu saya. Dia juga senang membantu masyarakat, mungkin tertarik pada politik nantinya.” Liem tertawa kecil.

Selanjutnya, Liem menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar politik yang sedang hangat. Tidak berlangsung lama, mereka memilih menyudahi sesi wawancara tersebut. Telahdewasa.com

Sebelum pulang, Sean sempat mendengar kakeknya berbisik pada sang ajudan. “Kasih wartawan itu bingkisan. Bilang, jangan buat berita yang nggak-nggak tentang Sean lagi.”

•••

Di sisi lain, Jessica sibuk menemani Jenny les ballet. Biasanya Mbak Mimi yang menemani gadis itu. Hanya saja hari ini pihak penyelenggara les ballet itu ingin mendiskusikan sesuatu terkait penampilan perdana Jenny pada pentas seni yang akan terselenggara 2 pekan dari sekarang.

Jessica mengabadikan beberapa foto Jenny saat meliuk-liuk bak putri Swan Lake. Sangat cantik. Jessica kemudian mengirimkan foto tersebut pada Langga. Dia bergembira karena keluarga mereka telah utuh kembali. Jessica merasa, setelah ini mereka akan bahagia selamanya.

“Bu Jessica?” Salah seorang wanita seumuran Jessica mendekat. “Wah, lama nggak ketemu, ya, Bu?”

Jessica mengenali wanita berbaju abu-abu tersebut. Dia adalah ibu dari salah satu teman Jenny, Yammi. Dulu Jessica sering bertemu dengan wanita tersebut saat menjemput Jenny dari rumah Yammi semasa SD. Sekarang, Jessica dengar keluarga mereka telah pindah entah kemana.

“Bu Friska? Lama nggak ketemu. Apa kabar?”

“Baik, Bu. Semenjak pindah, Yammi nggak pernah main lagi sama Jenny, ya? Padahal dulu sering ketemu.” Wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu terkekeh.

“Iya, saya juga beberapa hari ini nggak perhatiin Jenny. Main sama siapa? Udah ada teman baru atau belum? Jujur, saya nggak pernah tanyain itu,” timpal Jessica.

Lalu wajah Friska berubah sedikit sendu. Dia pasti mengetahui tentang berita Sean. “Turut prihatin, ya, Bu. Saya denger kakaknya Jenny dapet masalah.”

“No need. Sekarang semua udah baik-baik aja kok, Bu.” Wanita berkemeja putih serta rok hitam selutut itu menyunggingkan senyum. “Makasih, ya.”

“Kronologinya belum jelas, Bu? Maaf saya liat kasus ini belum selesai-selesai.” Friska meringis.

Kronologinya? Jessica belum berani menanyakan hal itu lebih jelas lagi. “Betul, Bu. Kasusnya belum selesai. Saya juga masih segan tanya ke Sean. Takutnya dia down lagi.”

“Ah, I feel you,” ujarnya sembari menghela napas. “Kasus kayak gini terlalu berat buat anak-anak kayak mereka. Walaupun kakaknya Jenny bukan minor lagi, saya yakin dia juga terguncang.”

Jessica senang ada yang memahami perasaannya. Friska mungkin salah satu orang yang tidak menghakiminya selain para teman dan kerabat Jessica yang tahu betul kepribadian putra tertuanya itu.

Jessica sering bersedih membaca komentar-komentar negatif mengenai Sean. Meskipun pada akhirnya Langga akan turun tangan dan menghapus komentar tersebut.

“Sekarang saya mau fokus ke anak-anak, Bu. Mau menghabiskan waktu sama anak-anak lebih banyak. Hitung-hitung biar kami lebih terbuka lagi.”

“Bagus itu, Bu. Sean pasti depresi banget. Mentalnya nggak baik-baik aja. Mungkin butuh beberapa waktu buat Sean sembuh kayak dulu lagi.” Friska membuka tasnya, seperti mencari sesuatu. “Kalo dia masih belum banyak ngomong, suka menyendiri, atau sering ngamuk nggak terkendali, Ibu mungkin bisa bawa Sean ke saya.”

“Ya?”

Bersambung…

Jessica tidak bisa untuk tidak memikirkan perkataan Friska hingga dia sampai ke rumah. Tingkah laku Sean yang berbanding terbalik selayaknya orang yang baru mengalami hal yang mengejutkan membuat Jessica mencium adanya kejanggalan.

Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Sean. Apakah putranya memang baik-baik saja? Atau justru Sean menyembunyikan sesuatu darinya?

“Papa sama Sean belum pulang, Ma?” tanya Jenny seraya duduk di meja makan. Gadis itu berniat untuk istirahat sejenak sambil menyantap camilan. “Kok lama?”

Jessica tersadar dari lamunannya. “Nanti Mama tanyain ke Papa kamu. Istirahat dulu ke kamar sana.”

“Iya, habis aku makan cookies-nya Bi Lula.”

Lantas Jessica pelan-pelan menuju lantai dua. Niatnya ingin berbaring di kamarnya guna menghilangkan pikiran-pikiran buruk perihal Sean. Namun, ketika melihat pintu kamar Sean, Jessica mengurungkan niatnya. Wanita itu berjalan menuju kamar sang putra yang tidak terkunci.

Awalnya Jessica ragu. Tetapi dia berpikir, ini sebuah kesempatan. Sean tidak ada di rumah, artinya Jessica bisa leluasa masuk ke kamar Sean. Jessica harap, dia menemukan sesuatu yang akan membuang segala asumsi buruknya.

Dalam kamar Sean tidak ada yang mencurigakan. Anak itu tergolong rapi dan bersih. Kaset-kaset film kesukaannya juga tertata amat rapi. Jessica tidak menaruh curiga. Sampai akhirnya dia mencoba membuka laci meja Sean.

Mata Jessica membulat, tangannya gemetar mengambil beberapa botol obat berwarna putih. Sayangnya, Jessica tidak tahu apa kegunaan obat tersebut. Jadi dia berasumsi bahwa obat tersebut adalah obat untuk menghilangkan depresi Sean.

Mungkin Sean sebenarnya mengalami depresi. Mungkin lelaki itu enggan memberitahu keluarganya dan memilih menyimpan derita sendiri. Serta mungkin saja kondisi Sean sudah sangat buruk hingga dia mengkonsumsi obat-obatan. Mata Jessica berair, tenggorokannya sangat sakit. Dia ingin menangis sekarang juga.

Baru saja akan mengambil gambar obat tersebut, Sean tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. Lelaki itu mengambil obatnya dari tangan sang ibu. Wajahnya datar, tapi Jessica tahu putranya sedang menahan amarah.

“Bang.” Jessica mencengkram pundak Sean amat erat. “Bang, itu obat apa? Kamu sakit? Kamu kenapa? Kok kamu nggak bilang Mama sama Papa?”

“Aku nggak suka ada orang yang masuk kamar aku tanpa izin.” Lelaki itu memasukan obat yang Jessica maksud ke dalam saku. “Termasuk Mama.”

“Tapi… tapi Mama cuma mau tau kamu kenapa. Kamu sakit kan, Bang? Cerita sama Mama,” sentak Jessica agak tinggi. “Kamu—”

Sean berdecak. “Ma! Mending Mama keluar sekarang. Aku lagi nggak mau diganggu.”

Tentu saja Jessica tidak melakukannya. Dia menggiring Sean untuk duduk di ranjang. Jessica akan bicara dengan Sean secara perlahan. “Hey, Mama nggak akan menghakimi kamu. Cerita pelan-pelan sama Mama, ya. Kamu… Kamu depresi? Apa yang kamu rasain?”

“Kenapa sih Mama selalu kayak gini? Aku nggak kenapa-napa. Aku sehat. Aku nggak ngelakuin kesalahan. Jangan berlebihan lah, Ma. Aku nggak suka.”

Jessica berusaha memahami perasaan Sean, sungguh. Tetapi sebagai seorang ibu, Jessica hanya ingin dilibatkan pada setiap masalah yang menimpa Sean. Dia ingin bersama putranya kala Sean mengalami masalah. She wants to provide a solution to her son’s problem.

“Mama kan mau—”

Sean menyela lagi. “Mama tenang aja, nggak ada masalah kok. Semuanya baik-baik aja.”

Kalau sudah begini, Jessica tidak bisa memaksa Sean. Dia akan bicara dengan Langga perihal masalah ini. Wanita itu tidak akan memaksa anaknya untuk sekarang. Namun demikian, Jessica akan lebih mengawasi Sean setelah ini.

“Okay. Cerita sama Mama kalo kamu udah siap, ya, Bang.”

•••

Jessica tengah asyik berselancar di internet ketika tiba-tiba saja Langga memeluknya dari belakang sofa. Sontak saja Jessica terperanjat. Dia pun mengusap lengan sang suami.

“Ngagetin.”

Dulu ketika hubungan mereka masih buruk, jika Jessica tengah fokus pada sesuatu dan tiba-tiba saja Langga mengganggunya, Jessica akan marah. Namun, kini wanita itu lebih mengerti. Dia berusaha memperbaiki apa yang salah dari keadaan pernikahannya terdahulu. Jessica dan Langga sebenarnya hanya perlu menurunkan ego.

Langga terkekeh kecil. Dia kemudian menegakkan tubuhnya dan bergabung dengan Jessica di sofa ruang keluarga. “Lagi ngapain, sih?” Telahdewasa.com

“I’m just curious about something.” Jessica membenarkan rambutnya ke belakang telinga. Dia mengulum bibir karena gugup. Bukan apa-apa, hanya saja Jessica tidak ingin Langga mengetahui kalau saat ini Jessica sedang searching obat-obatan depresi.

“Sesuatu apa?” Langga mulai curiga dengan gerak gerik istrinya. Dia tahu kalau saat ini Jessica tengah gelisah.

“Nothing. Ini nggak penting, kok.”

Langga tersenyum tipis. “Jess, did you know? Dulu pernikahan kita hampir gagal karena komunikasi kita buruk. Aku terus-terusan negative thinking sama kamu dan kamu juga nggak mau terbuka. Sekarang aku nggak mau itu keulang lagi. So please, tell me what’s wrong?”

Langga sepenuhnya benar. Jessica seharusnya tidak boleh menyembunyikan ini. Sean adalah anak mereka berdua. Sebaiknya Langga juga tahu mengenai masalah Sean. Tapi, apa tidak apa-apa? Perlahan Jessica mulai berpikir jernih. Dia menarik napas sesaat sebelum mencoba menceritakan segalanya pada Langga.

“Tadi aku ketemu temen. Dia psikolog. Dia berasumsi kalau Sean pasti lagi depresi sekarang setelah masalahnya selesai. Aku baru sadar, Sean nggak nunjukin tanda-tanda itu Langga. Dia normal senormal-normalnya anak laki-laki.

Padahal kejadian itu bisa mengguncang mental siapapun, especially teenagers like him. Terus aku coba geledah kamarnya tadi. Dan aku nemu obat-obatan. Pas Sean masuk kamar, aku tanyain. Tapi dia bilang dia baik-baik aja. Do you think he’s being honest? I mean, buat apa semua obat-obatan itu kalau dia baik-baik aja?”

Langga mengangguk-angguk. Alisnya menukik tajam. Ucapan Jessica ada benarnya juga. Dia menyesal karena baru menyadari ini sekarang. Sean tampak normal dari luar, itu sebabnya Langga berpikir kalau anak laki-lakinya itu baik-baik saja.

“Aku yakin he’s not okay right now. There’s something wrong with him.”

“Aku juga mikir kayak gitu.” Jessica menggigiti jemarinya. Perasaannya makin tak karuan. “Kita harus gimana sekarang? Dia tetep nggak mau jujur.”

“Apa kita perlu bantuan profesional? Maksud aku, semacam psikiater di rumah sakit besar gitu.”

Jessica mendesah. “Kamu pikir Sean mau setuju? Gimana kalau dia nolak kita bawa ke psikiater?”

“Ya dibujuk dong, Jess. We are his parents. Tell him kalau kita mau yang terbaik buat dia. Kita mau dia sembuh.”

“Gitu?” Jessica masih saja ragu. Sean anak yang keras kepala. Jessica tahu persis itu. Makanya dia berpikir Sean akan sulit untuk dibujuk.

“Kita coba aja dulu.”

Akhirnya Jessica pasrah. Langga memang benar. Saat ini dia dan Langga tidak mampu menolong Sean. Maka dari itu, membawanya ke psikiater adalah langkah yang tepat. Jessica hanya berharap anak laki-lakinya itu tidak tersinggung dan mau menjalani pengobatan sampai Sean benar-benar pulih.

•••

Jessica mendorong Langga yang dari tadi terus saja mengecup bibirnya. Dia mengelak. “Cukup. Aku mau kasih makan Bobo. Nanti kita sambung lagi.”

Langga menyeringai. “Hmm? Nanti?”

Jessica mencebik. Entah sejak kapan Langga jadi suka menggodanya seperti ini. “Minggir. Kamu nggak mau bangun apa?”

“Ini weekend, Jess. Aku mau full di rumah aja.” Langga merentangkan tangannya. Tulang-tulangnya seketika berbunyi. “Hahh, udah lama banget aku nggak tidur nyenyak.”

“Terserah lah. Kalau laper, cepet turun, ya. Habis kasih makan Bobo, aku mau sarapan.” Jessica menuruni ranjangnya. “Nggak balik lagi ke sini.”

“Okay.”

Usai itu, Jessica meminta asisten rumah tangganya menyiapkan makanan untuk Bobo. Bisa dibilang, makanan kucing itu setara dengan harga makanan yang disantapnya. Jessica memang tidak setengah-setengah dalam merawat Bobo. Kucing itu sudah dia anggap sebagai adik Jenny.

“Makasih, ya, Bi.” Jessica menerima nampan itu. “Bobo masih di kandang kan, ya?”

“Kurang tau, Bu.”

“Ya udah. Sarapan buat Bapak udah siap, ‘kan?”

ART itu mengangguk. “Udah dong, Bu.”

“Sipp,” ujar Jessica. “Saya kasih makan Bobo dulu, ya.”

Sudah hampir seluruh bagian rumah Jessica telusuri demi menemukan Bobo. Namun, agaknya kucing kesayangannya itu tidak mau pulang. Jessica mulai panik. Dia menanyai semua orang yang dilewatinya, tetapi tidak ada yang tahu.

Ada satu tempat yang belum dikunjunginya. Kamar Sean. Jessica ingat jika dulu Bobo sering sekali menyelinap masuk ke kamar si sulung. Wanita cantik itu pun berinisiatif mengetuk pintu Sean. “Abang?!” serunya. “Kamu liat Bobo enggak?”

Tidak ada jawaban. Bahkan setelah Jessica sedikit menggedor pintunya. Curiga, dia pun memutuskan untuk masuk. Bukan bau pengharum ruangan yang dia cium, melainkan bau anyir. Namun anehnya, tidak ada siapapun di kamar itu.

Jessica mulai kalang kabut. Dia terus menerus memanggil-manggil putranya. “Abang! Abang, dimana?!”

Cemas tak tertahan, Jessica takut terjadi sesuatu pada Sean. Karena nyatanya bau anyir yang dihirupnya mirip seperti bau darah. Pikiran Jessica mulai melanglang memikirkan sesuatu yang buruk.

Pintu kamar mandi berderit. Jessica tak berpikir ulang untuk masuk. Dia lantas syok ketika melihat sekujur tubuh putranya dipenuhi darah. Wanita 41 tahun itu memekik. Dia bergegas berjongkok untuk memeriksa putranya yang kini terduduk di lantai kamar mandi.

“Abang?! Kamu kenapa?”

Sean diam saja. Pandangannya hanya tertuju pada satu titik. Jessica mengikuti arah titik itu dan pandangannya terhenti pada seonggok tubuh kucing yang sudah tidak bernyawa.

Jessica reflek mundur. Dia menutupi mulutnya sendiri. Dihadapannya ada mayat Bobo. Kucing kesayangannya. Hati Jessica langsung sesak. Dia pun meminta penjelasan pada sang putra.

“Astaga, Bang! Kamu apain Bobo?!” seru wanita rupawan itu.

“I just killed her.”

“A-apa?! But why?”

Sean perlahan menatap tak acuh sang ibu. “Dia berisik. Masuk ke kamarku seenaknya.” Lelaki itu melemparkan pisau yang ada ditangannya ke tubuh tubuh Bobo. “Like a girl I hate so much.”

Jessica tidak bisa untuk tidak terperangah. Like a girl he hates so much? Apa maksudnya itu?

“B-bang?”

Sean mengalihkan tatapannya kepada Jessica. Sorot matanya datar, Jessica tak bisa memahami makna dari tatapan itu. Untuk sejenak, Jessica kehilangan kepercayaan kalau orang yang dihadapannya ini adalah putranya. Darah dagingnya.

Sean bertingkah… layaknya seorang pembunuh.

Bulu kuduk Jessica berdiri. Dia tak pernah memikirkan itu. Dirinya dibutakan oleh kepercayaan sehingga tidak memikirkan kemungkinan kalau putranya bisa jadi adalah seorang….

Tidak-tidak. Jessica tak sanggup. Dia menggeleng tipis. Tidak mungkin kan kalau orang itu adalah Sean? It’s impossible Sean bisa melakukan perbuatan keji itu.

Namun, kini kepercayaannya seperti lenyap. Jessica terlalu dibelenggu oleh kasih sayangnya hingga tidak menyadari peluang jika Sean bisa saja berbuat hal yang mengerikan. Dia sudah melewatkan hal penting.

Mungkin ini adalah jawaban yang sesungguhnya. Mungkin Sean memang benar-benar pembunuhnya.

Bersambung…

Liem berjalan pelan menaiki tangga rumahnya. Pria berambut putih itu ingin mengunjungi kamar Sean untuk menawarkan cucunya agar bisa terjun ke dunia politik. Siapa sangka, acara festival kemarin membuat nama Sean semakin dikenal masyarakat.

Mereka berpikir Sean adalah anak baik yang difitnah oleh oknum tak bertanggungjawab. Jadilah kini Liem mempunyai lebih banyak simpatisan politik.

Ternyata musibah yang menimpa keluarganya tak sepenuhnya buruk. Buktinya kini nama Liem cukup dielu-elukan masyarakat. Dengan senyum penuh kebanggaan, dia memasuki kamar Sean. Tidak ada tanda-tanda keberadaan cucunya. Hingga suara sang menantu membuat otot lehernya menoleh pada pintu kamar mandi.

“Jawab, Bang?! Bukan kamu, ‘kan?”

Suara Jessica yang terdengar penuh kemarahan membuat Liem bergegas masuk ke kamar mandi. Matanya melebar. Darah ada di mana-mana. Bangkai kucing kesayangannya sang menantu tergeletak mengenaskan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dia tak bisa berpikir jernih. Langsung saja Liem memisahkan Jessica yang kini tengah menggoyang-goyangkan tubuh Sean frustasi. “Astaga! Kamu kenapa, Jess?”

Jessica tersentak mendengar suara mertuanya. Dia kemudian beralih memeluk kaki sang gubernur sukses itu. “Pa, Se-sean…”

“Lepas!” Liem mendorong menantunya. Dia beralih menatap sang cucu yang terdiam tanpa ekspresi. “Kamu kenapa? Ada apa ini, Sean?”

Sean masih tak menjawab. Dia hanya menatap kakeknya dengan pandangan suram. Liem lantas terkejut. Dia tak pernah ditatap seperti itu oleh sang cucu. Matanya yang kelam membuat Liem sejenak berpikir jika Sean yang dihadapannya bukanlah Sean yang biasanya.

“Sean, jawab Kakek kamu!” Jessica kembali menarik kerah baju Sean. “Apa yang udah kamu lakuin sebenarnya?!”

“Lepasin aku, Ma!”

Jessica menggeleng. “Mama nggak akan lepasin kamu sampai kamu jujur sama Mama! Apa bener kamu yang udah bunuh Sofia?!”

Liem semakin terbelalak mendengar pertanyaan Jessica. Emosinya langsung naik ke ubun-ubun. Berani-beraninya wanita itu menuduh cucu kebanggaannya. Tangan Liem pun terkepal. Dia kembali memisahkan ibu dan anak itu.

“Lepasin Sean, Jess!” Liem berhasil menyentak Jessica. “Kurang ajar kamu! Kenapa nuduh-nuduh Sean kayak gitu?!”

“Pa, Sean-Sean, dia…” Air matanya meleleh deras. “Dia mungkin pembunuh itu, Pa.”

“Nggak mungkin!” Liem semakin murka. Ditariknya sang menantu menjauh dari Sean. “Ayo keluar!”

Jessica tentu saja berontak. Dia ingin meminta penjelasan dari putranya. “Enggak, Pa. Sebentar. Aku harus denger jawaban Sean.”

Liem kembali gagal. Jessica lagi-lagi mendekat pada Sean dan mulai mempertanyakan hal yang tidak masuk akal. Liem pun berinisiatif keluar dari kamar dan memanggil putra semata wayangnya.

“Langga!” Gerakan kaki pria tua itu tiba-tiba saja menjadi lincah. “Langga!”

Liem tiba di meja makan, tetapi Langga tidak ada di sana. “Mana Langga?!” bentaknya pada para ART.

Tidak ada satupun yang menjawab. Para wanita yang tengah mempersiapkan sarapan hanya berdiri kaku sembari menggeleng ringan.

“Arrgh!” keluh Liem. Dia berlari ke kamar putranya. Selama perjalanan, Liem tak berhenti memanggil-manggil Langga agar keluar.

Orang yang dicarinya akhirnya menampakkan diri. Langga keluar dari kamar dengan tatapan bingung. “Kenapa, Pa?”

“Istri kamu itu! Dia bikin ulah di kamar Sean.” Liem mengambil lengan Langga untuk diseret ke kamar cucunya.

Langga ikut-ikutan terperanjat. Keadaan kamar mandi Sean sangat kacau. Bau darah yang menyeruak membuat Langga menutup hidungnya sesaat. Dia bertanya-tanya kenapa istrinya menangis histeris.

“Kenapa, sih, ini?!”

“Jangan banyak tanya dulu. Pisahin istri kamu dari Sean. Bawa dia turun.” Liem menatap tajam Jessica yang kini menepuk-nepuk dada Sean dengan brutal. “Cepet, Langga!”

Langga mengangguk. Dia mengangkat lengan Jessica pelan-pelan. “Ayo, Jess. Kita ke bawah dulu. Ceritain dulu apa yang terjadi. Ayo, Sayang.”

“Langga, kamu nggak akan percaya… Sean….”

“Ssssst, ayo turun dulu.” Langga akhirnya memilih menggendong Jessica. Meskipun berontak, Jessica tetap tidak bisa turun dari cengkraman suaminya.

Ketika sampai di ruang keluarga, barulah Jessica diturunkan. Langga tanpa banyak berpikir kemudian memeluk istrinya. Dia mengusap-usap punggung Jessica seraya membisikkan kalimat-kalimat penenang walaupun hatinya juga masih tak karuan. Sebenarnya, apa yang terjadi antara Sean dan Jessica?

•••

“Keterlaluan!”

Lagi-lagi suara lantang Liem memenuhi ruang tengah kediamannya. Pria tua itu muak dengan tangisan Jessica yang tak kunjung reda. Belum lagi dia harus mengamankan Sean di kamarnya agar sang cucu tidak berusaha keluar rumah.

“Jess.” Langga berusaha menjauhkan wajah Jessica dari pelukannya. Pakaiannya basah akibat air mata sang istri. “Hey, tenang dulu. Cerita sama aku.”

“Tadi… tadi aku liat Sean bunuh Bobo, Langga!” Kini wanita itu menepuk-nepuk dadanya yang tidak pernah sesesak ini. “Dia… Dia bilang Bobo berisik. Jadi dia bunuh kucing aku.”

Liem berdecih. Bahkan sedari tadi dia ingin membungkam mulut sang menantu. Namun dia masih punya nurani, wanita itu adalah istri anaknya serta ibu dari cucu-cucunya. Liem hanya tidak habis pikir kenapa wanita itu malah menyalahkan Sean.

“Bunuh Bobo?” tanya Langga agak sangsi. “Jess, mungkin Sean nggak—”

“Dia yang bunuh Sofia!” Kali ini Jessica mengeluarkan teriakannya. Beruntung, Liem telah mengusir semua ART-nya. Alhasil, pembahasan ini hanya dapat didengar oleh keluarga dekat saja. “Aku yakin, Langga. Dia bilang—”

“Jess!”

Jessica tidak membiarkan Langga menyela. “Dia bilang, Bobo berisik kayak Sofia.”

“Dengerin—”

“Nggak!” Jessica melepaskan cengkraman tangan Langga di pundaknya. “Kamu nggak ngerti. Aku yakin dia yang udah bunuh Sofia. Anak kita pembunuh, Langga. Dia udah buat nyawa orang melayang.”

“Suruh istri kamu diam atau Papa nggak akan segan-segan langsung mukul dia, Langga!” Liem berdiri dari tempatnya duduk. Tangannya sudah mengepal erat.

“Pa!” Langga masih syok. Dia sangat terkejut melihat Jessica yang seperti ini. Terlebih mendengar perbuatan sang putra sulung, membuat Langga kalang kabut. Langga merasa takut sekaligus tidak menyangka anak yang selama ini dia banggakan melakukan perbuatan keji seperti itu.

“Nggak becus milih istri! Seharusnya memang kemarin kamu pisah sama dia! Berani banget nuduh cucuku. Ibu mana yang teriak-teriak bilang anaknya itu pembunuh, Langga! Istri kamu nggak waras!”

“Pa, Sean memang pem—”

Liem naik pitam. Dia bersiap melayangkan tangannya, sudah tidak peduli dengan status Jessica sebagai menantunya. “Sialan—”

“Mama!” Tangan Liem terhenti. Mata tuanya melirik pada Jenny yang berlari memeluk sang ibu dari lantai dua. Gadis itu sudah berderai air mata, pasti mendengar semua yang telah mereka bicarakan.

“Mama!”

Langga berusaha mengamankan sang putri. “Jenny, masuk kamar sekarang juga!”

Sayangnya gadis itu tidak sudi mendengar. Jenny memeluk Jessica erat dan menatap nyalang pada kakeknya yang masih menahan amarah. Dia sudah tidak tahan dengan ketidakadilan yang menimpa Jessica.

“Opa nggak tau apa-apa!” serunya sembari mengusap air mata. “Papa sama Mama juga nggak tau apa-apa. Kalian selalu mikir kalo Sean itu anak baik-baik, padahal nyatanya nol besar.”

Jenny melanjutkan. “Ini bukan pertama kalinya Sean kayak gitu. Orang yang Opa bela itu udah bunuh semua kucing kesayangan aku. Seperti yang kalian liat tadi, Sean emang psikopat. Setelah bunuh kucing aku, dia berlagak nggak salah. Dia tega cuma gara-gara kucing aku berisik!”

Baik Jessica maupun Langga sama-sama terperangah. Begitu juga Liem. Jessica langsung terduduk lemas, tidak sanggup menopang berat tubuhnya sendiri. Sebenarnya apa yang anak-anaknya sembunyikan?

“Adek…. kenapa—”

Jenny tersenyum miris sambil menoleh pada ayahnya. “Kenapa aku nggak bilang? Karena aku nggak tau kalo dia bisa bunuh cewek juga. Waktu Sean kena kasus, aku langsung tau kalo dia yang udah bunuh pacarnya. Tapi aku nggak tau kenapa polisi malah bebasin Sean gitu aja. Kalau aku bilang ke kalian pun, pasti nggak akan ada yang percaya. Aku nggak punya bukti.”

Penuturan Jenny seperti tombak yang menghunus jantung Jessica bertubi-tubi. Dia merasa menjadi orang tua yang gagal. Bagaimana bisa selama ini dia membesarkan seorang pembunuh biadab?

“Anak Mama itu sebenarnya monster, Ma!”

•••

Kalimat yang Jenny sampaikan terus berputar di telinga Jessica. Rasanya dia ingin menutup kedua telinganya erat-erat agar suara itu tidak terus terdengar. Nyatanya pernyataan Jenny adalah hal yang membuatnya seperti kehilangan nyawa.

Jessica berdiri kaku dibalik punggung sang suami. Matanya yang basah mengamati Sean yang penampilannya masih berlumur darah. Bau busuk menyengat tercium dari dalam kamar mandi.

“Bilang ke Mama kamu, Sean!”

Tangan Sean menutup kedua telinganya, merasa muak dengan lolongan teriakan Langga. “Berisik!”

Langga semakin murka. “Berani ya kamu. Bilang sekarang, kamu yang bunuh Sofia, kan?!”

“Papa—”

“Iya atau nggak, Sean?!”

Gigi Liem bergeletuk menahan amarah melihat Langga memaki sang cucu. “Langga! Kamu kan bisa bicara baik-baik sama anak kamu! Apa gini cara Papa ngajarin kamu, hah?!”

“Sean jawab Papa. Iya atau nggak?!”

Bukannya takut, Sean malah berdecak. Kelingkingnya mengorek telinga sebelah kanan, gatal akibat teriakan yang saling bersahutan. “Iya, terus kenapa?” Telahdewasa.com

Satu pernyataan itu berhasil membuat kepercayaan yang diberikan Langga dan Jessica hancur tak bersisa. Langga mencoba percaya kepada Sean untuk terakhir kalinya. Dia berusaha mengenyahkan kata-kata dari Jessica dan putrinya. Akan tetapi kini Sean sendiri yang sudah mengkhianati dirinya.

“Kurang ajar!” umpat Langga. “Kenapa kamu lakuin itu, hah?!”

Sean tampak berpikir. “Simpel. Dia berisik banget setiap hari. Aku muak denger suaranya. Cih, sok cantik padahal cuma cewek miskin.”

Langga sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Perasaannya sedih sekaligus marah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Jessica kala mendengar kalimat menjijikan itu dari putranya.

“Aku bunuh cewek itu setelah buat dia hampir gila gara-gara depresi. Padahal udah aku baikin, ternyata masih tetep berisik. Makanya aku bunuh aja, biar nggak ada yang ganggu aku terus.”

“Sean!”

“Apa? Kenapa?” tanyanya seakan menantang. “Papa mau apa? Aku udah ngaku pembunuh loh waktu itu. Tapi tetep aja nggak ada yang percaya. Ya udah sih, yang penting aku udah jujur.”

Melihat wajah sang ayah yang memerah dan wajah sang ibu yang pias membuat Sean kembali berceletuk. “Laporin aja sekarang. Bilang ke polisi kalo anak kalian yang bunuh cewek itu. Aku nggak takut.”

“Emang itu yang harusnya Papa lakukan dari dulu!” Langga baru akan merogoh ponselnya sebelum kata-kata Sean kembali membuatnya berhenti.

“Tapi setelah itu, siap-siap Opa akan dihujat dimana-mana. Nama keluarga kita bakal hancur. Opa bakal dibenci banyak orang dan… Opa nggak bakal bisa jadi gubernur lagi. Semuanya ada di tangan kalian. Opa bisa aja manfaatin aku buat ambil suara loh.”

Pria tua yang Sean panggil Opa itu masih terdiam. Reputasi, nama baik, dan segala kekuasaan yang dia dapat tidak bisa hancur begitu saja. Istana yang selama ini dia bangun harus tetap dipertahankan sampai dia mati. Liem tidak ingin kerja kerasnya lenyap dalam sekejap.

“Papa sama sekali nggak peduli.” Langga maju mendekat pada Sean. “Apa… apa kamu nggak menyesal sama sekali?”

Lelaki itu tertawa. “Sayangnya, nggak.”

Cukup sudah, Langga tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak melayangkan pukulan bertubi-tubi pada wajah sang putra. Jenny benar, dia sudah membesarkan monster selama ini.

Namun alih-alih mendukung perbuatan sang putra, Liem justru bergerak melindungi sang cucu kesayangan. Lelaki tua itu mendesah. “Jangan berani kamu bilang ke siapapun kalo Sean pembunuh, Langga. Atau kamu akan terima akibatnya.”

Bersambung…

“Mama!”

Sean muncul dari pintu depan kediaman Hianggio dengan senyum cerah. Wajahnya bersinar seperti cahaya matahari dipagi hari. Dia berlari menuju sang ibu sambil membawa kertas gambarnya.

“Abang!”

Bocah 7 tahun itu memeluk pinggang Jessica yang berbalut celemek. Wanita itu tengah memasak makan siang untuk putra putrinya. Sembari memotong wortel, Jessica mengawasi putri bungsunya yang masih balita.

“Gambar aku juara 1 di sekolah loh!” Gigi susu Sean terlihat jelas. “Kata Miss Betty, Sean is good at painting.”

“Wah, gambar Abang bagus banget!” Jessica memuji hasil gambar Sean. Gambar itu adalah potret keluarga Sean sendiri. “Tapi kok Adek nggak digambar?”

“Aku nggak suka Adek, Ma!” Sean menjulurkan lidahnya pada sang adik yang masih memakan roti coklatnya di samping dapur.

“Nggak boleh gitu, ah,” tegur Jessica. “Bantuin Mama masak aja gih.”

Tentu saja Sean langsung bersorak girang. Membantu ibunya adalah kegiatan yang dia suka. “Aku aja yang potong wortel, ya, Ma?”

Jessica mengangguk kecil lalu mengacak rambut sang putra. “Hati-hati, ya.”

Mereka memasak bersama dengan riang. Jessica mengamati lamat-lamat pahatan wajah Sean. Mirip seperti Langga, tetapi matanya milik Jessica.

“Aw!” Sean terperanjat sembari menunjukan jarinya yang berdarah. “Jari aku keiris, Ma!”

Tanpa banyak kata, Jessica mengecek jari Sean. Darah mulai keluar dari telunjuk anaknya, membuat Jessica panik bukan kepalang. “Ya ampun, Bang. Kamu cuci jarinya dulu, ya. Mama ambil betadine sama kapas dulu.”

Jessica berlari meninggalkan anaknya untuk mencari kotak obat. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, wanita itu segera berlari menuju dapur kembali. Sayangnya, langkah kakinya terhenti ketika melihat pemandangan mengerikan yang ada dihadapannya.

“Abang!”

Jessica menyaksikan Jenny telah terkapar di lantai dengan darah yang mengalir di kepalanya. Dan di sana, Sean sudah mengarahkan ujung mata pisau ke dada kiri sang adik. Jessica berteriak keras sambil berlari menuju sang anak.

“Kamu ngapain Adek, Bang?!”

“Aku mau Adek mati!”

“Jess!” Dari alam bawah sadarnya, Jessica merasa tubuhnya diguncang kencang oleh seseorang. “Bangun, Jess!”

Samar-samar Jessica mengenali suara Langga. Dia akhirnya terbangun dari mimpi buruknya. “Langga?”

“Iya, aku di sini. Kamu baik-baik aja.” Langga mengelus puncak kepala istrinya yang penuh dengan keringat. “Kamu pingsan tadi. Kamu nggak inget?”

Pelan, Jessica menggeleng. Dia tidak ingat apapun selain mimpi buruk yang baru saja menyambanginya. Bicara tentang mimpi, Jessica mendadak panik sendiri. “Langga, Adek dimana? Adek baik-baik aja, kan? Terus Sean—”

“Tenang, Jess. Tenang dulu. Adek baik-baik aja. Dia aman sama Mbak Mimi. Sean juga masih sama Papa.” Langga tidak mengerti kenapa istrinya begitu panik. Yang jelas, sekarang pikirannya campur aduk memikirkan Sean dan juga kesehatan Jessica. Melihat Jessica tidak sadarkan diri, Langga seperti kehilangan akalnya.

Menyadari kedua anaknya sudah aman, Jessica mulai kembali menangis. Masalah Sean benar-benar mengguncang kejiwaannya. Sekarang pun dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Ini gimana, Langga? Kita harus gimana?”

Langga meraih tekuk Jessica untuk dia bawa dalam dekapan. Sungguh, wanita ini adalah kekuatannya. Kini dia semakin melemah melihat kondisi Jessica yang terus menangis.

“Jess, kamu percaya sama aku, kan?” Bisa Langga rasakan Jessica yang mengangguk kecil disela tangis. “Kita… kita harus laporin Sean, ya?”

Tubuh Jessica langsung bereaksi mendengar penuturan gila suaminya. Dia semakin histeris memukul-mukul tubuh Langga yang tidak bergerak. “Apa.. nggak ada cara lain? Aku nggak bisa—”

“Kamu harus kuat, Jess. Ini nggak bener, kita nggak boleh biarin Sean terus bebas. Dia salah, Jess.”

Kuat? Jessica tidak tahu bahwa ada suatu masa dimana dia harus memilih antara anaknya ataupun kebenaran. Dia seorang ibu, tentu enggan berpisah sedetikpun dengan anaknya. Kini, dia harus siap berpisah dari Sean untuk waktu yang sangat lama. Jessica tidak bisa.

“Tapi, aku—”

Ucapan Jessica terpotong dengan kedatangan satpam depan rumahnya yang tergopoh-gopoh. “Pak Langga, itu Abang Sean dibawa kabur sama Bapak pake mobil. Nggak tau kemana, pergi nggak bawa penjaga juga, Pak!”

•••

Satu hal yang perlu diketahui tentang Sean, pria muda itu benci suasana ramai. Lebih-lebih lagi orang yang berisik. Ketenangan adalah mutlak baginya. Sean tidak segan-segan memarahi ataupun menghukum mereka yang mengusik zona nyamannya. Siapapun itu. Tak terkecuali adiknya.

Jenny memang berisik, tapi dia langsung menjauh dari Sean ketika dimarahi. Dia patuh, dan Sean senang akan itu. Berbeda dengan kucing Jenny, yang walaupun sudah Sean tendang dengan kasar keluar kamarnya, kucing itu tetap memaksa masuk. Jangan salahkan dirinya karena membunuh kucing itu, pikir Sean.

Kucing Jenny yang terus mengeong dan meninggalkan banyak bulu di kamarnya, Sean anggap sebagai hama yang harus dibasmi. Sama halnya dengan gadis centil yang selalu mengekorinya setiap saat. Sofia cantik, sangat cantik. Namun, rupa ayunya tak mampu membuat Sean bertekuk lutut. Malah Sean sangat terganggu dengan kehadiran gadis itu.

Sean ingin sekali melakban mulut Sofia agar dia tak bisa bicara lagi. Namun, tentu saja dia belum punya kuasa. Imejnya sebagai anak baik-baik akan rusak jika seperti itu. Sampai pada suatu hari, Sean terpikirkan sebuah ide gila ketika menonton film Deception of the Novelist. Sebuah rencana keji yang terus berputar-putar diotaknya.

Pada saat itu, Sean tidak memiliki secuil pun keraguan untuk melakukan rencananya. Tidak sama sekali. Dia sangat yakin. Sean kemudian memulai rencananya dengan menerima perasaan Sofia. Mereka akhirnya pacaran. Sean benar-benar memperlakukan Sofia dengan amat baik. Sampai gadis itu tidak curiga jika sebenarnya Sean memiliki niat yang terselubung.

Dari hubungan itu, Sean berhasil mendapatkan password ponsel dan alamat rumah Sofia dengan begitu mudah. Sean beberapa kali mampir ke rumah Sofia. Dalihnya ingin mengantar sang pacar pulang, padahal sebenarnya memantau keadaan sekitar. Sean tahu kalau daerah rumah Sofia sangat sepi di jam-jam pagi.

Ketika Sofia bercerita jika dirinya mengidap depresi akibat masalah ekonomi keluarganya, Sean seperti mendapatkan celah. Dia rajin membelikan Sofia obat. Obat yang sesungguhnya untuk menambah perasaan tidak karuannya.

Pada hari eksekusi, Sofia tidak masuk sekolah. Dia izin sakit hari itu. Entah bagaimana, tapi beberapa hari ini sakit kepalanya bertambah berat. Sofia sudah mengabari Sean. Dia meminta kekasihnya itu untuk datang ke rumahnya pada saat sore hari. Namun, Sean malah datang pada pukul 7 pagi. Dia membolos.

Sean kembali meminta Sofia meminum obat darinya. Hal itu malah membuat kepala Sofia semakin sakit. Saat itulah Sean pamit pergi untuk memanggilkan bantuan. Namun, sebenarnya lelaki itu tidak pergi. Dia justru bersembunyi di belakang rumah Sofia setelah menggondol ponsel milik kekasihnya itu. Lewat ponsel Sofia, Sean berkirim pesan dengan Kenny. Harus ada orang yang dicurigai selain dirinya, bukan?

Sofia : Ken, kepalaku sakit banget. Tolong ke rumahku sekarang.
Sofia : Minta Sean ke sini juga, please.

Senyuman Sean tidak dapat ditahan kala ponselnya berdering dan menampilkan pesan dari Kenny yang memintanya ke rumah Sofia sekarang juga. Rencananya sudah hampir berhasil kala itu.

Pada pukul tujuh tiga puluh pagi, Kenny akhirnya datang. Dia langsung menghampiri Sofia yang kini sudah terduduk lemas sambil terus meremasi kepalanya. Dan Sean bersiap. Dia mengambil sebatang kayu dari rumah tetangga Sofia dan dengan sangat beringas memukul kepala Kenny hingga tidak mampu menengok ke belakang.

Sofia terkejut. Namun, dia tak bisa berbuat banyak. Pisau tajam yang kini menggantikan posisi kayu itu segera menancap di dadanya. Perih sekali. Apalagi melihat wajah sumringah Sean. Didetik-detik terakhir hidupnya, Sofia yang malang sudah dikhianati. Telahdewasa.com

Tubuh mungil itu kemudian ambruk. Meninggalkan bercak darah yang sangat banyak membasahi lantai rumah. Matanya masih terbuka. Begitu juga mulutnya. Kematian gadis itu begitu tragis.

Sementara Sofia telah meninggalkan raganya, Sean malah tersenyum dan berjalan keluar dengan kayu yang kembali ditentengnya. Kayu itu kemudian dia kembalikan ke tempat semula. Usai itu, Sean berjalan santai ke halaman rumah tetangga Sofia dan berhenti di depan tong sampah.

Sean bersenandung kecil sambil melepaskan sarung tangan yang sudah dikenakannya sejak datang ke rumah Sofia. Lelaki itu membuangnya ke tempat sampah. Sean sudah hafal dengan pemilik benda hijau ini. Dia seorang tunanetra. Dan tunanetra itu tidak akan melihat benda mengerikan ini di tong sampahnya. Sean memang dipenuhi nafsu bengis, tapi dia merencanakan setiap rencana dengan matang.

Setelah menuntaskan pekerjaannya, Sean melakukan sentuhan akhir dengan berpura-pura terduduk lesu dihadapan mayat kekasihnya. Berkat buku psikologi yang sering dibacanya, Sean jadi tahu bagaimana ciri-ciri orang yang berbohong. Dia mempraktikkannya dengan sangat baik. Dia juga tahu bagaimana caranya mengelabuhi polisi.

Kata orang, salah satu cara untuk mengalahkan orang pintar adalah dengan membuat mereka merasa pintar. Sean membuat polisi itu merasa cerdik. Dia membuat keadaan seolah-olah polisi itu orang yang paling tahu segalanya. Dan itu menandai bahwa rencana busuknya… sungguh berakhir dengan mulus.

•••

“Sial!”

Liem memukul lemari milik cucunya dengan keras. Dia memejamkan matanya sejenak sebelum berbalik menatap Sean yang kini hanya duduk santai sembari mengorek-ngorek telinganya dengan jari kelingking.

“Apa kamu nggak denger apa yang Papamu bilang sebelum Mamamu pingsan tadi?” Liem putus asa. Cucunya kelewat kalem untuk masalah yang besar ini.

“Papa nggak akan lepasin aku?” Sean mengernyit, kemudian mengedik. “Aku lupa dia ngomong apa tadi.”

“Astaga.” Liem mendekat pada Sean dan memegangi kedua bahunya. “Dia pasti mau bawa kamu ke polisi.”

“Terus?”

“Opa nggak bisa biarin itu, Sean. Kamu udah Opa siapin jabatan jadi walikota waktu umur kamu udah 30 tahun nanti! Dan itu bisa aja gagal kalau kamu masuk penjara.” Urat leher Liem terlihat jelas saking geramnya.

“Walikota?” Rona wajah Sean berubah seketika. Pandangannya menajam pada sang kakek. “Aku udah pernah bilang sama Opa, ‘kan, kalau aku nggak mau masuk politik?! Kenapa Opa masih aja maksa?”

“Ini demi kebaikan kita. Percaya sama Opa, karir kamu akan terjamin kalau kamu masuk politik.”

“Aku nggak mau!”

Liem tidak menduga kalau Sean ternyata sangat keras kepala. Dia ingin membujuk Sean lagi, tapi dia teringat kalau bukan itu yang paling penting saat ini. Sekarang tugasnya adalah menyelamatkan cucu emasnya itu.

“Ck, ya udahlah, kita bahas itu nanti.” Dahi Liem yang sudah penuh keriput, kini makin berkerut. Dia memutar otaknya untuk mengamankan harta berbentuk manusianya ini. Sampai akhirnya dia terpikirkan sebuah tempat.

“Ayo, ikut Opa.” Liem mengambil lengan cucunya. “Kita pergi ke suatu tempat. Opa nggak akan biarin kamu masuk penjara! Opa akan selamatkan masa depan kamu!”

“Lepas.” Sean menyentak kasar. “Aku nggak mau jadi walikota!”

“Dan akhirnya membusuk di penjara? Itu mau kamu, ha? Jawab!”

Sean diam. Untuk beberapa detik, dia dan kakeknya saling memandang tajam. Barulah kemudian pandangan Liem melembut.

“Dengerin, Opa, Sean. Opa nggak akan maksa kamu jadi walikota. Opa janji. Jadi, sekarang ikutin kata-kata Opa, ya? Kamu cucu kesayangan Opa, dan Opa nggak akan biarin kehidupan kamu hancur cuma gara-gara kasus ini.”

Sean menyelidiki gerak-gerik pria berambut putih dihadapannya. Dia lantas mengangkat alis sebelah kanannya.

“Ikut kemana?”

Bersambung…

Langkah kaki Langga terus berpacu cepat. Dia segera menilik kamar sang putra sulung guna memastikan bahwa perkataan asisten rumah tangganya benar. Dan ternyata semua itu tidak salah. Sean benar-benar dibawa lari oleh Liem. Tangan Langga mengepal. Giginya bergemeletuk. Bisa-bisanya Liem melakukan ini tanpa persetujuannya!

Langga menghela napas sambil mengusap rambutnya kasar. Dia pun segera turun ke bawah untuk meminta asistennya menemukan Sean. Namun, ternyata di ruang keluarga sudah ada Jessica dan Jenny yang kini tengah berpelukan sambil menangis. Padahal tadi Langga sudah bilang agar Jessica tidak usah turun dari tempat tidurnya. Wanita itu sungguh keras kepala.

“Mereka nggak ada,” beritahu Langga. “Papa bener-bener keterlaluan. Aku nggak nyangka beliau bakal ambil langkah kayak gini.”

Jessica yang tersedu-sedu memutuskan untuk bangkit dari duduknya usai meminta Jenny pergi ke kamarnya. “Mereka ke mana Langga? Papa bawa Sean ke mana?”

“Aku nggak tau.” Langga merogoh ponselnya. “Kita coba tanya Pak Asep.”

Langga akhirnya menelepon sopir pribadi Liem. Menyuruhnya untuk menjelaskan ke mana agaknya majikannya pergi. Namun, tak disangka-sangka ternyata Pak Asep masih di rumah. Artinya Liem pergi tanpa membawa sopir dan tanpa pengamanan apapun. Sial, Langga sungguh marah dengan kelakuan ayahnya.

“Terus sekarang gimana? Kita nggak boleh kehilangan Sean sekarang, Langga. Apapun yang terjadi, dia harus… dihukum.”

Pikiran Langga tentu bercabang. Liem pasti bermaksud untuk melindungi cucunya. Lelaki baya itu pasti tahu kalau Langga akan memenjarakan Sean. Oleh sebab itu, demi menyelamatkan masa depan pria muda berusia 18 tahun itu, Liem akhirnya mengambil langkah nekat.

Langga pun sebenarnya tak pernah sekalipun dalam hidupnya berpikir untuk memenjarakan Sean. Jelas, si sulung adalah kebanggaannya. Langga ingin Sean punya masa depan yang bagus. Namun, tentu saja itu sebelum Langga mengetahui siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

Sekarang dia tahu, semua sudah terlambat. Dan satu-satunya hal yang harus dilakukannya adalah menangkap dan menghukum sang putra. Tolong jangan tanyakan betapa menyakitkannya itu, Langga bahkan menjadi rapuh hanya dengan membayangkannya.

“Kamu tenang dulu, okay? Papa pasti bawa Sean nggak jauh dari sini. Sekarang aku bakal coba hubungin semua pengurus aset apartment sama villanya Papa. Siapa tahu Sean dibawa ke sana,” ujar Langga bijak. Disaat seperti ini, dia memang harus bersikap tenang.

Satu persatu orang kepercayaannya Langga hubungi. Namun, tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan Sean dan Liem. Lagi-lagi mereka gagal. Langga merasa makin marah. Dia pun memutuskan untuk menelepon Nathan guna meminta bantuan.

“Saya mungkin bisa lacak ponselnya Sean, Pak. Atau mungkin punya Pak Liem.”

Langga memijat kepalanya. “Saya… saya liat ponselnya Sean ditinggal di kamarnya tadi.” Dia mendesah. “Apa nggak ada lagi yang bisa dilacak, Nat?”

“Mungkin akan sulit, Pak. Saya sarankan cek dulu CCTV di sekitar rumah Bapak. Siapa tahu Bapak dapet clue.”

Nathan benar. Langga dan istrinya pun buru-buru mengecek CCTV rumah. Dalam rekaman tersebut terlihat Liem amat gelisah dengan sesekali menarik tangan Sean untuk bergerak cepat mengikutinya. Benar dugaan Langga, Sean dan Liem tak membawa satu pun pakaian beserta alat elektronik mereka. Ini pasti sudah disengaja. Agar Langga tak dapat menemukan mereka. Brengsek!

“Papa pergi ke arah kota. Apa mungkin beliau pesen hotel, Langga?”

“Bisa jadi.” Langga mengernyit dalam. “Sampe sekarang masih belum ada kabar dari pengurus apartment sama villa. Itu artinya Papa emang nggak ke sana.”

Jessica menggigit bibir. Sebagai seorang ibu, dia jelas khawatir bukan main. Apalagi seseorang telah membawa kabur putranya, meskipun orang itu adalah mertuanya sendiri. Jessica sudah tidak bisa menolerir kejahatan Sean. Oleh sebab itu, dia tak mendukung perbuatan Liem. Dia dan Langga kini sepakat bahwa Sean mesti dihukum sesuai kesalahannya.

Hanya saja, Jessica risau. Akankah dia mampu bertahan jika hari pengadilan anaknya dilaksanakan kelak? Apakah dia akan kuat melihat anaknya dicaci maki oleh semua orang? Bukan sedih lagi, tapi Jessica mungkin akan hancur.

•••

Dalam kegelisahan yang mendalam, Jessica hanya bisa menunggu. Menunggu putranya kembali, menunggu Liem menyerah dan berhenti melindungi Sean. Sementara itu, Langga sudah cukup putus asa sekarang. Dia tak mampu berbuat banyak. Lapor polisi pun rasanya tak berguna. Apa yang mau dilaporkan memangnya? Kakek yang membawa cucu kandungnya pergi? Bukankah itu aneh? Bisa-bisa Langga ditertawakan oleh para polisi itu.

Dua setengah jam telah berlalu. Tidak ada tanda-tanda titik terang keberadaan Sean. Kini Jessica hanya bisa pasrah. Entah kemana Liem membawa raga Sean. Apakah dia masih bisa bertemu dengan putranya lagi? Jika memikirkan itu, Jessica tak bisa menahan tangisnya. Air matanya kembali mengalir tipis-tipis.

Padahal kesedihan akan kebenaran pelaku pembunuhan saja masih belum selesai dia tangisi. Kini masalah baru malah muncul. Ditengah sakit hatinya, tiba-tiba saja pintu utama terbuka. Liem berdiri di sana, tetapi dia hanya seorang diri. Tanpa Sean.

Sontak saja Jessica dan Langga terhenyak. Mereka kontan berdiri dan menghampiri si gubernur berperut lumayan buncit itu. “Papa bawa Sean ke mana?!” Langga tak bisa menahan emosinya lagi.

“Lepasin Papa!” Liem risih karena Langga mencengkram kuat bahunya. “Papa selamatkan anakmu dari ayahnya. Papa bawa dia ke rumah dinas.”

“Pa! Sean salah. Kita nggak boleh tutup mata. Dia harus dihukum. Bukannya malah disembunyikan kayak gini.”

Jessica mengangguk membenarkan suaminya. “Itu bener, Pa. We can’t protect Sean anymore.”

“Diam kamu. Ini semua gara-gara kamu!” hardik Liem. “Sean bukan pembunuh. Dia itu cuma sakit. Mentalnya bermasalah. Dan itu gara-gara kalian nggak becus ngurus dia.”

“Sekali pembunuh, tetap pembunuh. Sean harus diadili.” Langga bersikukuh dengan keputusannya.

“Papa tahu dia udah bunuh seseorang. Tapi itu nggak disengaja. Dia pasti stress. Makanya dia bertindak impulsif kayak gitu. Papa percaya kalau Sean nggak ada maksud buat bunuh cewek miskin itu, Langga!”

Amarah Langga makin berkobar. Dia tak menyangka bahwa laki-laki yang telah membesarkannya ini mampu menghina orang yang bahkan sudah tiada. Di mana letak nurani Liem sebenarnya? “Papa! Jangan keterlaluan, ya!”

“Kamu yang keterlaluan. Bukannya merasa bersalah karena bikin Sean jadi pembunuh, kalian malah sekongkol buat masukin cucu Papa ke penjara?” Liem berdecih. “Harusnya kalian mendukung Papa sekarang. Papa udah menyelamatkan masa depan dia. Masa depan yang bahkan orang tuanya aja nggak peduli.”

Jessica benar-benar tercekat. Dia menutup mulutnya syok. Apa maksud mertuanya itu? Jessica dan Langga jelas ingin masa depan terbaik untuk Sean, tapi tidak begini caranya. Justru mereka ingin Sean menyesali perbuatannya dan kelak tidak akan berbuat hal serupa lagi.

“Kalian harusnya diam, tutup mulut. Bukannya malah kayak gini.” Wajah Liem sudah merah. Namun, dia memutuskan untuk sedikit meredakan emosinya. Dia pun menghela napas. “Udah lah, percuma ngomong panjang lebar sama kalian. Masa depan Sean masih bisa kita selamatkan. Kita masih punya kesempatan.”

Liem merogoh kantongnya dan mengambil ponsel. Terlihat dia sudah memesankan 5 tiket pesawat ke Canada. Lagi-lagi hal itu membuat Langga dan Jessica tercengang.

“Besok pagi, kita pergi ke Canada. Jangan sampai polisi itu tau kalau Sean adalah pelakunya. Kalian bisa tinggal selama 4-5 tahun di Canada. Setelah kasus itu ditutup, baru kalian bisa kembali.”

“Papa!”

“Ini demi masa depan anakmu, Langga! Apa kamu nggak mau Sean sukses? Papa udah siapkan dia untuk jadi calon walikota 12 tahun lagi. Dan Papa nggak akan membiarkan rencana itu gagal gara-gara kalian.”

Liem bersiap untuk pergi. Namun, sebelum itu, dia berucap, “Kalian masih bisa menebus kesalahan kalian dengan cara menuruti keinginan Papa. Mungkin sekarang Tuhan sedang memberikan kalian kesempatan untuk jadi orang tua yang baik.”

•••

Kesempatan?

Apakah selama ini Jessica telah gagal menjadi orang tua yang baik bagi kedua putra putrinya? Kenapa dia harus diberi kesempatan? Bukankah selama ini Jessica telah membesarkan Sean dan Jenny dengan sepenuh hatinya dan dengan ajaran yang baik? Jadi, apakah selama ini itu tidak ada gunanya?

“Udah, ya? Jangan nangis lagi, Jess.” Langga berjongkok dihadapan sang istri. Pelan-pelan dia menghapus air mata Jessica yang tak kunjung surut. Telahdewasa.com

“Apa kita udah gagal, Langga? Apa aku bukan orang tua yang baik?”

“Hey, no. Don’t listen to what Papa says, please.” Langga tak setuju dengan ucapan ayahnya yang mengatakan kalau dia dan Jessica tak cukup mumpuni untuk mendidik anak. Nyata dia merasa telah memberikan kontribusi yang cukup bagus bagi perkembangan Sean dan Jenny.

“Aku… aku bahkan nggak tau kalau Sean udah sering berperilaku menyimpang. Aku nggak tau kalau selama ini Sean menyimpan rahasia besar. Padahal aku ibunya… harusnya aku yang paling tau, ‘kan?”

Langga reflek menggeleng. “Kenapa kamu malah nyalahin diri kayak gini? Ini murni takdir. Kamu udah jadi orang tua yang hebat. Stop salahin diri kamu sendiri, Jess.”

Jessica ingin sekali mencegah air matanya keluar lagi. Kepalanya menengadah. Dia terus mengipasi wajahnya agar tidak memerah. Hatinya benar-benar sakit karena tidak bisa mencegah takdir kejam yang menimpa Sean ini.

“Kenapa takdir kita harus begini, ya?”

Kalimat retoris nan putus asa itu cukup menggetarkan hati Langga. Jessica benar. Apa kesalahannya sehingga takdir dapat sekejam ini pada keluarganya? Kenapa harus cobaan ini yang dia alami?

Namun, Langga segera tersadar. Bahwa Tuhan memang telah menggariskan cobaan ini untuknya. Dan Langga harusnya mampu menyelesaikannya dengan baik. Tidak ada gunanya juga menyalahkan takdir. Toh, semua sudah terjadi.

“Langga… kita… kita nggak bener-bener ngikutin apa kemauan Papa, kan?” tanya Jessica gelagapan.

Akan tetapi, Langga diam. Tak membalas juga tak mau menatap netra istrinya. Dia hanya membisu dengan kepala yang menunduk dalam. Tindakannya membuat Jessica terbelalak. Dia menggeleng-geleng.

“Langga…?” Tenggorokannya sakit sekali. “Jawab, Langga?! Kita nggak akan turutin Papa, ‘kan?!”

Langga mendongak. Matanya sudah penuh dengan air mata. Dia pun merengkuh istrinya yang sekarang berontak dan memukul-mukul punggungnya, meminta penjelasan.

“Kalau kita turuti, itu artinya kita akan jadi orang jahat!” Jessica jelas tak mau itu terjadi.

“Jess…” Bibir Langga bergetar. “Tolong… percaya sama aku, ya?”

“Maksud kamu apa?” Jessica kini meremas pundak suaminya. Dia ingin menatap Langga, tapi suaminya tidak mau melepaskan pelukan mereka.

“Apa yang mau kamu lakukan sebenarnya?!”

Bersambung…

“Pak, koper Ibu sama Mbak Jenny sudah masuk mobil semua.”

Langga mengangguk mengerti. Dia sibuk memandangi foto keluarganya yang masih terpasang rapi di ruang tengah. Hati Langga terus bergejolak, dia merasa salah. Tetapi lelaki itu berusaha kuat demi Jessica dan Jenny.

“Makasih, Nathan,” ucap lelaki berbaju hitam itu. “Kamu ke depan aja. Nanti saya keluar kok.”

“Baik, Pak.” Sebelum pergi, Nathan mengecek ponselnya sejenak. “Izin menginformasikan, ajudan Bapak Liem sudah tiba di bandara. Kita diperintahkan untuk segera berangkat, Pak.”

“Ya,” balas Langga singkat.

Lelaki itu berjalan menuju kamar putrinya. Di sana, Jessica tengah membantu Jenny memakai kardigan milik gadis itu. Walaupun terlihat baik-baik saja, Langga tahu istrinya itu tengah menahan tangis. Dia terluka karena situasi ini.

“Sudah?”

Jessica dan Jenny sama-sama menoleh kearah Langga. “Udah ini, koper Adek udah dimasukin?”

“Semua koper kita udah masuk mobil. Nanti kita pergi ke rumah dinas Papa dulu. Baru…” Langga memilih menghentikan perkataannya.

“Oke.” Jessica sedikit mengembangkan senyum. Setidaknya dia tidak boleh bersedih di depan Jenny. Meskipun pada akhirnya dia akan sering menangis. “Adek siap?”

“Kita bener mau pindah, Ma?” tanya Jenny pelan. “Sama Abang juga?”

“Sayang, kamu tenang aja. Semua bakal baik-baik aja. Percaya sama Mama, ya?” Tangan lentik Jessica mengelus surai putrinya dengan lembut.

“Tapi—”

“Adek, kita harus buru-buru ke rumah dinas Opa. Jangan banyak tanya, Opa udah nunggu.”

Sejujurnya Jenny merasa kecewa dengan kedua orang tuanya. Dia paham, Langga dan Jessica sangat menyayangi Sean. Meskipun demikian, perbuatan Sean sudah keluar batas. Kabur bukan solusi dari permasalahan ini.

Mereka bertiga akhirnya meninggalkan rumah yang bertahun-tahun dihuni itu. Langga mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah dinas Liem. Di sana, Sean sudah siap dengan segala keperluannya. Langga dengar, ajudan Liem sendiri yang mempersiapkan segala kebutuhan Sean sebelum pindah termasuk pakaian dan pasport.

Selama kurang dari satu jam, mobil Langga akhirnya memasuki halaman depan rumah berwarna putih tersebut. Terlihat beberapa penjaga Liem sudah menunggu mereka tiba.

“Bapak di dalam. Pak Langga sama Bu Jessica silakan masuk dulu,” terang salah satu orang kepercayaan Liem.

“Makasih, Pak Roni.”

Sebelum masuk, Langga menggandeng tangan Jessica guna memberi kekuatan pada istrinya itu. Keduanya lantas masuk, menuju tempat Sean berada. Ternyata lelaki itu sudah rapi dengan 2 koper besar miliknya.

Begitu melihat sang putra, Jessica segera berlari memeluk anak yang dia rindukan. Tangisnya lagi-lagi terdengar, membuat Liem berdecak kesal. “Kamu baik-baik aja, Bang?”

“Baik.” Sean tetap tenang meskipun ibunya tengah memeluk tubuhnya begitu erat.

“Maafin Mama, ya. Ini semua salah Mama, maafin Mama, Bang.”

Sean tidak mengerti mengapa ibunya selalu meminta maaf dan menyalahkan dirinya. Padahal kejadian ini murni karena Sean sendiri. Malah Sean merasa lega setelah melakukan kejahatan itu. Dia merasa menang.

“Ma, nggak usah banyak drama lah. Ayo kita berangkat, Opa udah nunggu dari tadi loh,” desis Sean muak.

Kata-kata Sean itu membuat Langga membuang muka kesal. Namun, karena masih ada ayahnya, Langga menahan diri untuk tidak memarahi putranya. Bisa-bisa akan ada keributan nantinya.

“Iya, Jess. Kamu itu setiap hari nangis melulu. Coba tenang sedikit, kamu malah bikin repot Langga terus.” Liem menggelengkan kepalanya tanda heran. “Penerbangan kita satu jam lagi. Koper Jenny sama pasport-nya udah semua, Langga?”

“Udah, Pa,” timpal Langga menahan amarah.

“Bagus, biar Sean ikut mobil Papa. Kalian—”

“Pa, biarin Sean ikut mobil aku. Jessica masih mau sama anaknya. Sekali ini, tolong biarin Jessica ngurus anak kami.”

•••

Ingin rasanya Langga mengulur waktu selama mungkin bersama Sean. Perjalanan mereka terasa amat berat, namun semua sudah diputuskan secara matang. Langga tidak bisa mundur lagi, sudah sejauh ini dan dia harus bisa mengendalikan diri. Langga yakin keputusannya tepat.

Sementara Sean justru merasa aneh dengan tingkah Jessica. Ibunya itu terus memegang tangan kanannya sedari tadi. Jessica juga bersandar sendu dibahu Sean seolah-olah tubuhnya lemas tak bertulang.

Barang sedetikpun tidak Jessica lepaskan putranya. Wanita itu masih mengeluarkan air mata, namun tidak berkata apa-apa. Hanya saja, tangan Jessica tidak henti-hentinya mengelus Sean seperti menenangkan.

Sean menoleh ke arah jendela mobil. Alisnya tiba-tiba berkerut ketika mobil sang ayah agak melambat membuatnya jauh dari mobil Liem. Bukan itu saja, Langga justru membelokkan mobilnya alih-alih mengikuti mobil milik Liem.

“Pa, kok belok? Tadi mobil Opa lurus loh. Salah jalan ini, Pa,” tegur Sean yang sayangnya tidak dijawab oleh Langga maupun Jessica.

Hal tersebut membuat Sean sedikit panik. Apalagi ketika mobil Langga justru berbelok ke arah kantor polisi. Mata Sean membelalak. Dia merasa dikhianati oleh orang tuanya sendiri. Lelaki itu segera melepaskan genggaman Jessica dengan kasar.

“Kok kita ke sini? Maksudnya apa, Pa?! Kalian mau apa?!” teriaknya.

“Abang, listen to Mama.” Jessica berusaha menenangkan. “Mama sama Papa dengan berat hati buat keputusan ini—”

“Keputusan apa?! Kita harusnya ke bandara, Ma! Ngapain Papa bawa aku ke sini?!”

Jessica menangkup kedua sisi wajah sang putra. “Tenang dulu, Bang. Mama sama Papa nggak bermaksud bohongin kamu. Ini yang terbaik buat kamu—”

“Terbaik apanya?! Kalian mau masukin aku ke penjara?!” Sean menjauhkan diri dari ibunya. Urat kepalanya sampai terlihat saking emosinya lelaki itu.

“Iya!” Langga balas berteriak. “Kamu salah. Kamu pembunuh. Dan kamu harus dapet hukuman, Sean! Papa sama Mama nggak mau kamu kabur gitu aja. Kamu tetap harus di penjara karena kamu salah. Sangat salah!”

Sean terkejut bukan main. Hatinya panas mendengar kata-kata dari ayahnya. Ternyata mereka tega menusuknya dari belakang. “Kalian tega! Cuma kalian orang tua yang tega jeblosin anaknya sendiri ke penjara! Kalian jahat!”

“Ini demi kebaikan kamu, Sayang.” Jessica berusaha membuat Sean mengerti. “Mama sama Papa sayang banget sama kamu. Karena itu kami ingin kamu mengerti kalo kamu salah, Sayang.”

Lelaki 18 tahun itu menggeleng kuat. Dia kemudian merogoh sakunya mencari ponsel. “Mana Opa?! Aku harus kasih tau dia. Cuma Opa yang bisa nolong aku!” Telahdewasa.com

“Sean!” Langga berusaha merebut ponsel Sean. “Keterlaluan kamu! Kapan sih kamu ngerti, hah?! Kamu itu salah dan harus dihukum! Sekarang kamu bahkan nggak ngerasa bersalah, padahal kamu udah bunuh orang!”

Meskipun diteriaki oleh Langga, Sean seperti menutup telinga. Dia berusaha membuka pintu mobil untuk kabur, namun sialnya Langga sudah lebih dulu menguncinya. Bahkan Nathan dan beberapa penjaga sudah terlihat disekitar mobil Langga. Sepertinya Langga dan Jessica sudah merencanakan hal ini dengan matang.

Sean yakin Liem tidak mengetahui hal ini. Jika tidak, Liem pasti sudah membawanya pergi jauh. Sial, harusnya Sean tidak menaruh percaya kepada kedua orang tuanya begitu saja.

“Pa, aku mohon biarin aku pergi.” Karena terdesak, Sean berusaha memohon pada Langga. “Aku janji bakal jadi anak yang baik. Aku bakal nurut sama Papa. Ayo kita pergi ke Canada. Kita hidup bahagia di sana. Aku akan bertobat, nggak akan ngelakuin kejahatan lagi. Aku mohon, Pa.”

Langga tidak habis percaya, disaat terakhir Sean justru memohon ampun. Dia yakin Sean melakukan itu bukan karena menyesal. Melainkan tengah berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.

“Ma, Mama mau maafin aku, kan? Aku minta maaf, aku nyesel banget. Tolong bilang ke Papa, Ma. Ayo kita pergi. Aku janji bakal jadi anak baik, Ma. Aku nggak akan marah sama Mama lagi.” Sean meraih tangan dingin Jessica.

“Mama senang kamu udah sadar, Sayang.” Jessica menganggukkan kepalanya pada Langga, memberi tanda. Lantas, wanita itu membuka pintu mobil tersebut dan bergegas keluar. Tangannya masih memegang Sean untuk ikut bersamanya.

“Sean, Mama sayang banget sama kamu.” Jessica tergugu sebelum akhirnya berjalan menuju beberapa polisi yang sudah berjaga. Dengan susah payah, Jessica dan Langga menarik Sean yang memberontak.

Di hadapan polisi, Jessica sendiri yang menyerahkan putra tersayangnya itu. “Pak, kami mau menyerahkan Sean. Dia mengaku telah membunuh Sofia. Tolong… Tolong kasih dia hukuman yang sesuai dengan apa yang telah dia lakukan.”

•••

“Setelah mempertimbangkan semua bukti dan fakta yang ada, Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa Osean Hianggio terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Oleh karena itu, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun.”

Telinga Jessica berdenging mendengar ketuk palu dari hakim tersebut. Setelah melewati berbulan-bulan lamanya persidangan, akhirnya Sean dijatuhi vonis 20 tahun. Sorak sorai dari media serta keluarga Sofia justru semakin mengiris perasaan Jessica.

Kejahatan Sean akhirnya terungkap. Rencana kejinya pun terbongkar. Pria itu mengakui perbuatannya karena sudah terdesak. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkannya dari dinginnya jeruji besi.

Rasanya Jessica ingin berlari memeluk Sean yang semakin hari semakin tidak terurus. Meskipun Langga sudah memperingatinya untuk menyiapkan diri hari ini, Jessica tetap saja hancur. Raganya seperti diambil begitu saja. Sekarang dia tidak yakin bisa menjalani hidup dengan bahagia setelah ini.

“Jess? Kita bisa keluar dulu. Kamu harus istirahat. Kamu nggak baik-baik aja.” Langga merasa gelisah melihat Jessica yang menangis histeris bahkan hingga sesak napas.

“Aku mau ketemu Abang, Langga. Apa… apa boleh?”

Langga bisa saja menolak, tetapi dia tidak tega menyaksikan kesedihan Jessica. Mungkin dengan melihat Sean, kesedihan itu bisa hilang meskipun hanya beberapa saat saja. Langga memutuskan bertanya kepada Pak Beni, dan beruntung keduanya diizinkan bertemu Sean sebelum dibawa ke rutan kembali.

Beberapa media mulai menyorot pada Jessica dan Langga. Mereka diserbu beberapa pertanyaan, namun tidak keduanya hiraukan. Mereka dibimbing masuk ke sebuah ruangan guna bicara dengan Sean.

“Abang!” Pelukan Jessica begitu erat pada putranya karena tahu mungkin pelukan tersebut adalah pelukan terakhir sebelum mereka terpisah dalam waktu yang lama. “Mama akan selalu nunggu kamu. Kamu nggak sendiri, ada Mama sama Papa yang dukung kamu.”

“Aku nggak butuh orang tua kayak kalian.” Perlahan, Sean mundur menjauhi Jessica. Pria muda itu mengingat kembali pengakuan kejahatannya kepada polisi. “Jangan ke sini lagi, biarin aku sengsara sendirian. Aku benci sama kalian.”

Saat itu, Jessica menggeleng ketakutan. Dia tahu Sean akan marah padanya karena keputusannya untuk tidak kabur ke Canada. Hanya saja dia tidak menyangka Sean akan membencinya dan berani mengeluarkan kata-kata seperti itu.

“Mama akan jenguk kamu setiap bulan, tolong tunggu Mama, ya, Bang.”

Sean membuang muka dan memilih meninggalkan wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Luka hatinya masih basah. Dia tidak bisa memaafkan Jessica dan Langga begitu saja.

“Sean!”

Langga sigap meraih tubuh Jessica yang hampir ambruk. Kini semuanya telah selesai. Sean sudah mendapatkan hukuman dan mereka harus melanjutkan hidupnya kembali.

Meskipun ayah Langga juga masih memutus komunikasi dan enggan bersinggungan dengannya dan sang istri lagi. Langga harus tetap tegar, dia bertekad menciptakan keluarganya yang bahagia walaupun entah kapan dapat terwujud.

Sementara Jessica hanya perlu menerima. Ikhlas dengan semuanya dan fokus pada hal-hal lain. Masih ada putri bungsunya yang harus Jessica besarkan. Dan kali ini, Jessica tidak akan gagal.

Bersambung…

Canada, 2044.

“Iya, kalo capek kita berhenti dulu, kok.” Jessica terkekeh kecil mendengar suara putrinya di telepon. “Udah ya, Sayang. Besok kan kita ketemu, nggak usah khawatir lah.”

Langga ikut menoleh saat Jessica sudah menyimpan ponselnya. “Adek kenapa?”

“Marah gara-gara kita pergi ke makam Papa berdua doang. Dia takut kamu kecapekan nyetir,” jelas wanita 61 tahun itu.

Jessica mengerti Jenny pasti khawatir dengan kondisi mereka yang semakin tua. Hari ini adalah peringatan kematian ayah mertuanya. Liem berpulang sekitar 8 tahun yang lalu. Pria itu enggan dimakamkan di Indonesia dan memilih Canada sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Semenjak kasus Sean terkuak, popularitas Liem mulai menurun. Media serta rakyatnya beramai-ramai menghujat gubernur mereka saat itu. Liem dituntut untuk mundur oleh para petinggi partainya. Akhirnya dia mengundurkan dirinya setelah membuat pernyataan dihadapan media.

Setelah dua tahun perang dingin, Liem perlahan-lahan mulai mencoba membuka komunikasi dengan Langga. Beliau memutuskan pindah ke Canada dan menetap di negeri orang tersebut. Karena kesehatan Liem yang terus menurun, Langga dan Jessica mau tidak mau membawa Jenny untuk ikut pindah mengikuti sang kakek.

Langga dan Jessica memulai kembali kehidupan mereka dengan tenang. Meskipun begitu, Jessica tidak pernah bisa melupakan darah dagingnya yang sekarang sudah tidak lagi terkurung di jeruji besi. Sean bebas dengan masa hukuman yang hanya 15 tahun penjara.

Pihak berwajib telah memberikan banyak potongan masa hukuman untuk sulung Hianggio itu. Jessica sebenarnya rutin menemui kediaman Sean yang baru. Akan tetapi, hingga kini putranya itu masih enggan bertatap muka. Bahkan ketika mereka hendak pindah ke Canada, Sean tidak mau ikut. Meskipun demikian, Langga juga sudah meminta orang kepercayaannya untuk terus mengawasi Sean.

“Ayo, Jess.” Langga mengulurkan tangannya guna menggandeng tangan keriput sang istri.

Seusai menempuh hampir satu jam perjalanan menuju makam Liem, Langga dan Jessica akhirnya sampai. Mereka sudah mempersiapkan bunga mawar untuk mempercantik makam Liem. Bukan hanya itu, Jessica berniat membersihkan makam itu juga.

Keduanya berjalan beriringan menuju ujung makam, tempat tinggal Liem kini. Meskipun, Jessica terkadang dihina dan diperlakukan semena-mena oleh sang mertua, wanita itu tetap mencoba untuk menghormati Liem. Sebab Liem adalah orang tua Langga satu-satunya kala itu.

“Pak Robert bener, ternyata makam Papa udah kotor banget. Kemarin habis ada angin kencang, makanya banyak daun kering gini,” ucap Langga memberi penjelasan.

“Yah, udah aku duga, sih. Kemarin halaman rumah kita juga udah kayak hutan. Cuacanya emang lagi nggak menentu, ya.”

Kedua suami istri itu bergotong royong membersihkan makam Liem. Kemudian sama-sama berdoa untuk ketenangan sang ayah. Langga tidak menampik, masih ada perasaan sedih setiap dia mengunjungi Liem. Mau setua apapun, Langga juga tetap seorang anak yang ditinggal orang tuanya.

“Kamu kenapa?” Usapan tangan Jessica di punggung Langga membuat pria itu tersadar.

“Masih sedikit sedih.” Langga terkekeh sesaat setelah mengaku. “Sorry, aku udah tua tapi masih kayak gini.”

“Aku paham kok, Langga. Nggak usah sedih, kita semua udah bahagia, kan? Papa pasti juga bahagia.”

Senyum tulus Jessica menular pada Langga. Pria tua itu merangkul wanita yang menemani separuh hidupnya. Kini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dulu mereka bercerai. Mungkin Langga hanya akan menjadi lelaki tua yang kesepian. Semua terasa benar selama ada Jessica disampingnya.

“Kita pulang?”

Jessica mengangguk. “Aku mau buat makanan kesukaan Jenny. Dia mau ke rumah katanya.”

Langga terkekeh melihat keantusiasan Jessica. Keduanya pun pulang menuju perkampungan Canada yang jauh dari kota. Sepanjang jalan, banyak lahan kosong yang ditanami rumput hijau. Bau khas rumput menjadi teman Langga dan Jessica pulang.

•••

Mau seramai apapun rumah itu, Jessica tetap merasa tak lengkap. Bahkan meskipun sang cucu kini berada di pangkuannya, Jessica masih saja memikirkan orang lain yang kini berada nan jauh darinya. Sang putra sulung memang selalu hadir dalam benak wanita berambut putih itu tatkala dia sedang berkumpul bersama keluarga kecil Jenny.

Jessica selalu merasa Jenny sudah menemukan kebahagiaannya. Keluarganya harmonis, lengkap, dan berkecukupan. Gadis manis yang kini telah menjadi seorang ibu itu sungguh-sungguh beruntung. Namun, bagaimana dengan Sean?

Orang kepercayaan Langga yang selalu mengawasi Sean di Indonesia mengatakan bahwa hidup Sean penuh dengan kesederhanaan. Dia belum menikah. Entah karena dia tidak berniat menikah atau tidak ada wanita yang mau menikah dengannya. Kadang-kadang Jessica mengasihani nasib putranya yang justru masa depannya hancur karena ulahnya sendiri.

Harusnya kini mereka berkumpul bersama. Menghabiskan waktu dengan bermain bersama anak-anak Sean dan Jenny. Kalau saja saat itu Sean tidak diantarkan ke penjara, mungkin kini dia sudah memiliki anak. Genevieve bukan cucu pertamanya, melainkan keturunan Sean. Ah, pasti semua akan terasa lebih sempurna jika itu terjadi.

“Ma….” Jenny berkacak pinggang. Lagi-lagi dia mendapati sang ibu menangis ketika bercengkrama dengan bayinya, Genevieve.

“Ah, maaf.” Jessica buru-buru menghapus air matanya. “Mama kepikiran Abang lagi.”

Jenny tahu. Dia tak perlu menerka-nerka lagi. Ibunya sudah sering begitu. Jadi dia tak terkejut ketika Jessica mengakuinya dengan gamblang. “Aku dapet kabar dari Pak Waluyo, katanya dia baru masuk rumah sakit. Mama mau jenguk?”

Jessica meragu, hatinya jelas ingin sekali memeluk putranya yang sudah beberapa tahun tak ditemuinya. Namun, mengingat penolakan-penolakan Sean saat Jessica dan Langga mengunjunginya, membuat Jessica pesimis. “Buat apa? Abang kayaknya nggak mau ketemu Mama.”

“Abang sekarang udah dewasa, Ma. Harusnya bisa paham sama keadaan kita dulu, ‘kan?” Jenny tak bisa menutupi kekesalannya jika diingatkan akan salah satu masa paling kelam dihidupnya.

“Mama harap juga kayak gitu. Semoga Abang sekarang udah berubah.” Jessica tersenyum kecil. “Semoga dia masih mau meluk Mama sebelum Mama meninggal.”

“Astaga, Ma.” Jenny mengernyit tak suka. “Berapa kali aku bilang jangan suka ngomong begitu. Mama pasti umur panjang.”

“Iya-iya, maaf.” Ah, sebenarnya mau seberapa sering pun Jenny memarahinya, Jessica tetap saja sering berpikir tentang kematian. Mungkin semua orang yang usianya sudah senja juga berpikir demikian.

“Udah, ah, ayo kita keluar aja. Mungkin rumah-rumahannya Genevieve udah siap.”

Hari ini akhir pekan dan Langga sudah berjanji untuk merakitkan sebuah rumah mainan untuk cucunya. Pria tua yang kini masih perkasa itu memang selalu berusaha untuk menyenangkan Genevieve. Jessica ingat betapa harunya sang suami kala Langga memeluk Genevieve untuk pertama kalinya. Muka suaminya sangat merah saat itu.

“Gene, here, your toy is ready!” Langga menyambut cucunya yang kini tertatih-tatih hendak memeluknya. “Astaga! My little Jenny!” Telahdewasa.com

“Masih kuat kamu?” seloroh Jessica.

“Masih lah.” Langga menggoyang-goyangkan Genevieve seolah mempertontonkan betapa kuatnya dia. “Tuh!”

“Okay, Sir. Tapi, sekarang turunin Gene dulu. Nanti jatuh, Langga.” Jessica ikut mengelus puncak kepala cucunya yang kini tergelak di pelukan Langga.

•••

Canada, 2044.

“Iya, kalo capek kita berhenti dulu, kok.” Jessica terkekeh kecil mendengar suara putrinya di telepon. “Udah ya, Sayang. Besok kan kita ketemu, nggak usah khawatir lah.”

Langga ikut menoleh saat Jessica sudah menyimpan ponselnya. “Adek kenapa?”

“Marah gara-gara kita pergi ke makam Papa berdua doang. Dia takut kamu kecapekan nyetir,” jelas wanita 61 tahun itu.

Jessica mengerti Jenny pasti khawatir dengan kondisi mereka yang semakin tua. Hari ini adalah peringatan kematian ayah mertuanya. Liem berpulang sekitar 8 tahun yang lalu. Pria itu enggan dimakamkan di Indonesia dan memilih Canada sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Semenjak kasus Sean terkuak, popularitas Liem mulai menurun. Media serta rakyatnya beramai-ramai menghujat gubernur mereka saat itu. Liem dituntut untuk mundur oleh para petinggi partainya. Akhirnya dia mengundurkan dirinya setelah membuat pernyataan dihadapan media.

Setelah dua tahun perang dingin, Liem perlahan-lahan mulai mencoba membuka komunikasi dengan Langga. Beliau memutuskan pindah ke Canada dan menetap di negeri orang tersebut. Karena kesehatan Liem yang terus menurun, Langga dan Jessica mau tidak mau membawa Jenny untuk ikut pindah mengikuti sang kakek.

Langga dan Jessica memulai kembali kehidupan mereka dengan tenang. Meskipun begitu, Jessica tidak pernah bisa melupakan darah dagingnya yang sekarang sudah tidak lagi terkurung di jeruji besi. Sean bebas dengan masa hukuman yang hanya 15 tahun penjara.

Pihak berwajib telah memberikan banyak potongan masa hukuman untuk sulung Hianggio itu. Jessica sebenarnya rutin menemui kediaman Sean yang baru. Akan tetapi, hingga kini putranya itu masih enggan bertatap muka. Bahkan ketika mereka hendak pindah ke Canada, Sean tidak mau ikut. Meskipun demikian, Langga juga sudah meminta orang kepercayaannya untuk terus mengawasi Sean.

“Ayo, Jess.” Langga mengulurkan tangannya guna menggandeng tangan keriput sang istri.

Seusai menempuh hampir satu jam perjalanan menuju makam Liem, Langga dan Jessica akhirnya sampai. Mereka sudah mempersiapkan bunga mawar untuk mempercantik makam Liem. Bukan hanya itu, Jessica berniat membersihkan makam itu juga.

Keduanya berjalan beriringan menuju ujung makam, tempat tinggal Liem kini. Meskipun, Jessica terkadang dihina dan diperlakukan semena-mena oleh sang mertua, wanita itu tetap mencoba untuk menghormati Liem. Sebab Liem adalah orang tua Langga satu-satunya kala itu.

“Pak Robert bener, ternyata makam Papa udah kotor banget. Kemarin habis ada angin kencang, makanya banyak daun kering gini,” ucap Langga memberi penjelasan.

“Yah, udah aku duga, sih. Kemarin halaman rumah kita juga udah kayak hutan. Cuacanya emang lagi nggak menentu, ya.”

Kedua suami istri itu bergotong royong membersihkan makam Liem. Kemudian sama-sama berdoa untuk ketenangan sang ayah. Langga tidak menampik, masih ada perasaan sedih setiap dia mengunjungi Liem. Mau setua apapun, Langga juga tetap seorang anak yang ditinggal orang tuanya.

BACA JUGA:

GAIRAH IBU KEPALA SEKOLAH

“Kamu kenapa?” Usapan tangan Jessica di punggung Langga membuat pria itu tersadar.

“Masih sedikit sedih.” Langga terkekeh sesaat setelah mengaku. “Sorry, aku udah tua tapi masih kayak gini.”

“Aku paham kok, Langga. Nggak usah sedih, kita semua udah bahagia, kan? Papa pasti juga bahagia.”

Senyum tulus Jessica menular pada Langga. Pria tua itu merangkul wanita yang menemani separuh hidupnya. Kini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dulu mereka bercerai. Mungkin Langga hanya akan menjadi lelaki tua yang kesepian. Semua terasa benar selama ada Jessica disampingnya.”Daftar Slot Online Rajanaga777

“TAMAT”

Exit mobile version